Anda di halaman 1dari 37

BAB I PENDAHULUAN 1.

Latar Belakang Kulit merupakan organ tubuh yang terletak paling luar dan juga merupakan organ yang esensial dan vital karena memiliki berbagai fungsi dalam melindungi tubuh dari pengaruh luar lingkungan serta sebagai cermin kesehatan dan kehidupan. Dalam melaksanakan tugasnya sebagai pelindung kulit dapat mengalami gangguan ataupun kelainan yang dapat mengurangi manfaat kulit itu sendiri serta memberikan efek yang buruk bagi individu.1 Kelainan dermatologis dapat memberikan berbagai macam manifestasi. Salah satu manifestasi umum dari kelainan tersebut adalah gatal atau dalam bahasa medis dikenal dengan sebutan pruritus. Pruritus dapat didefinisikan sebagai sensasi yang tidak menyenangkan pada kulit yang menyebabkan keinginan untuk menggaruk.2,3 Pruritus dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu fakrtor eksogen maupun faktor endogen. Selain itu, pruritus juga dapat terjadi karena adanya kelainan kulit ataupun karena pengaruh dari penyakit sistemik lain yang dapat memberikan komplikasi gatal.1,3 International Forum For the Study of Itch mengelompokkan pruritus menjadi pruritus akut dan kronik. Pruritus akut adalah pruritus dengan lama gejala kurang dari 6 minggu sedangkan pruritus kronis memberikan gejala lebih dari 6 minggu.2 Prevalensi terjadinya pruritus sendiri masih tinggi. Dalam penelitian yang dilakukan pada populasi umum menyebutkan bahwa dari 18.747 responden sebanyak 35, 5% responden mengalami pruritus atau gatal. Penelitian lain juga menyebutkan bahwa dari 200 sampel yang diteliti 39,1% responden menyatakan pernah mengalami pruritus, yaitu 16,5% responden mengalami pruritus kronis selama kurang dari 12 bulan dan 21,6% responden mengalami pruritus kronis selama hidupnya.4 Pruritus selain memberikan sensasi yang tidak menyenangkan juga memberikan efek lain seperti gangguan pola tidur, gangguan dalam berkonsentrasi, gangguan fungsi seksual dan depresi. Efek yang lebih berat dari pruritus adalah efek psikis yang ditimbulkannya.5 Pruritus yang merupakan manifestasi umum dari kelainan dermatologis dengan preavalensi kejadian yang masih tinggi serta efek yang ditimbulkannya membuat penulis tertarik untuk membuat referat yang berkaitan dengan pruritus yang mengupas segala aspek tentang pruritus baik dari penyebab, mekanisme terjadinya pruritus, manifestasi serta penatalaksnaan pruritus. 1. TUJUAN 1. Tujuan Umum Mahasiswa dapat mengetahui tentang kelainan dermatologis yaitu pruritus dan segala macam aspek yang menyertainya 1. Tujuan khusus 1. Mahasiswa dapat mengetahui tentang etiologi atau penyebab pruritus baik yang berasal dari kelainan dermatologis ataupun yang disebabkan karena penyakit sistemik lainnya 2. Mahasiswa dapat mengetahui mekanisme terjadinya pruritus, gejala serta pemeriksaan yang dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis 3. Mahasiwa mampu memberikan penatalaksanaan yang berkaitan dengan pruritus 4. Mahasiwa mengetahui kelainan dermatologis serta penyakit-penyakit sistemik lain yang

berhubungan dengan pruritus.

1. MANFAAT 1. Dapat mengetahui tentang pruritus dan hal-hal yang berkaitan dengan pruritus 2. Dapat menegakkan diagnosis yang berkaitan dengan pruritus 3. Dapat melakukan penatalaksanaan yang tepat pada kejadian pruritus.

BAB II PEMBAHASAN

2. Definisi Pruritus dapat didefinisikan sebagai sensasi kulit yang iritatif dan menimbulkan rangsangan untuk menggaruk. Pruritus (gatal) merupakan gejala utama dari penyakit kulit yang menimbulkan sensasi atau keinginan untuk menggaruk.1,3 Pruritus merupakan sensasi tidak menyenangkan pada kulit yang menyebabkan keinginan untuk menggaruk. Internasional Forum For the Study of Itch (IFSI) mengelompokkan pruritus menjadi akut dan kronik, dengan lama gejala pruritus 6 minggu atau lebih. 6

Pruritus dapat merupakan manifestasi umum dari kelainan dermatologi seperti xerotic eczema, dermatitis atopik, serta juga dapat merupakan akibat dari penyakit sistemik.2 2. Etiologi Pruritus dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu : 1. Faktor eksogen Dermatitis kontak (pakaian, logam, benda asing), rangsangan oleh ektoparasit (serangga, tungau, skabies, pedikulus, larva migrans), atau faktor lingkungan yang dapat membuat kulit lembab atau kering. 2. Faktor endogan Rekasi obat atau penyakit. Sebagai contoh adalah diskriasia darah, limfoma, keganasan alat dalam, kelainan hepar atau ginjal. Namun sering karena penyebab klinis pada permulaan belum diketahui.1

2. Epidemilogi Epidemiologi berkaitan dengan kejadian pruritus dapat dilihat dari beberapa penelitian yang dilakukan di beberapa negara seperti penelitian tahun 2000-2001 yang dilakukan di negara bagian Oslo dengan menggunakan metode penelitian cross sectional.4 Prevalensi kejadian pruritus pada populasi umum (N:18.747) The prevelance (itch yes/no) Severity Yes, a little Yes, quite a lot Very much Itch (%) 8,4 18,7 5,9 2,5 Tabel 2.1 Prevalensi Epidemiologi Selain itu, penelitian juga dilakukan A German pilot study berkaitan dengan prevalensi kejadian pruritus kronik (n:200) menunjukkan bahwa 16,5% sampel pernah mengalami pruritus kronik kurang dari 12 bulan dan 22,6% mengalami pruritus kronik selama hidupnya.4 Prevalensi pruritus yang disebabkan oleh kelainan kulit dan penyakit kulit menular.3 Penyebab Estimasi prevalensi pruritus 17% dari populasi Tidak diketahui 70% pada populasi penduduk US Penyakit kulit 30-60% pada populasi dewasa

15-23% pada populasi US Dermatitis atopik Dermatitis kontak 80% dari 40.350 penderita psoriasis Poison ivy Xerosis idiopatik pada lansia Tidak diketahui Urtikaria Psoriasis Tidak diketahui Pityriasis rosea Tidak diketahui Dermatitis seborrheic Neurodermatitis (liken simplex kronikus, prurigo nodularis, liken amyloidosis) Tidak diketahui Pityriasis rubra pilaris Dermatitis herpetiformis 110-588/juta/tahun Penyakit pada kolagen Dermatomyositis Infection Varicella HIV Onchocerciasis Scabies Infeksi jamur superficial 4 juta kasus varicella di US setiap tahun Dengan folikulitis 25-50%, non spesifik pruritus 11-46% dari pasien HIV 6 juta dengan pruritus berat Tidak diketahui Tidak diketahui 38%

Tabel 2.2 Prevalensi Epidemiologi Pruritus Kelainan Kulit Prevalensi kejadian pruritus pada penyakit sistemik.3 Jenis penyakit Estimasi prevalensi 25-85%

Gagal ginjal kronik, stadium terminal Hepar Cholestasis Hepatitis C Kolestasis pada kehamilan Hematopoietic Polycythemia vera Anemia defisiensi besi

20-25% 4% Tidak diketahui

48% Tidak diketahui Tidak diketahui

Myeloma multipel Mastocytosis Hodgkin limpoma Non-hodgkin limpoma Endokrin Hipertiroidisme Hipotiroidisme Sindrom carcinoid Anoreksia nervosa

Tidak diketahui Tidak diketahui 30% Tidak diketahui

60% Tidak diketahui Tidak diketahui 58%

Tabel 2.3 Prevalensi Pruritus Pada Penyakit Sistemik 2. Klasifikasi 1. Pruritus primer Pruritus tanpa adanya penyakit dermatologi atau alat dalam dan dapat bersifat lokalisata atau generalisata, dapat bersifat psikogenik yang dapat disebabkan oleh komponen psikogenik yang memberikan stimulasi pada itch centre. 2. Pruritus sekunder Pruritus yang timbul sebagai akibat penyakit sistemik.1 Pruritus juga dapat diklasifikasikan berdasarkan patofisiolgi yang mendasarinya yaitu sebagai berikut :6 1. Pruritoceptive Ujung-ujung nervus cutaneus diaktifkan oleh pruritogen. Terjadi dikulit dan dapat diakibatkan karena proses inflamasi atau proses patologik yang tampak. Sebagai contoh urtikaria, scabies 2. Neuropathic Disebabkan oleh lesi yang terletak pada serabut aferen penghantaran impuls. Sangat mungkin untuk mencari penyebab pruritus didaerah terdapat gejala pruritus, namun lesi penyebab mungkin dapat terletak jauh saraf, tulang belakang atau otak. Pruritus neuropathic dikaitkan dengan kelainan yang menyebabkan kerusakan pada saraf seperti stroke, tumor, malformasi pembuluh darah, demielinisasi dan kompresi radikuler.

3. Neurogenic Berasal dari sistem saraf pusat yang tidak disertai dengan kerusakan atau kondisi patologis pada saraf, misalnya pruritus yang berkaitan dengan excoriations neurotik. 4. Phsycogenic

Pruritus physogenic dapat didiagnosis ketika pruritus terjadi tanpa adanya kelainan pada kulit atau penyakit medis lainnya. Pruritus phsycogenic dapat diklasifikasikan menjadi : a. Tipe kompulsive Garukan kulit dilakukan untuk mencegah peningkatan kecemasan atau untuk mencegah terjadinya peristiwa atau situasi yang ditakuti dan/ ditimbulkan karena obsesi (contoh: obsesi yang berkaitan dengan kontaminasi kulit). Pada pruritus phsycogenic tipe kompulsive garukan pada kulit dilakukan dengan kesadaran penuh. b. Tipe impulsive Tipe impulsive berkaitan dengan gairah, kesenangan atau untuk mengurangi ketegangan. Pada tipe ini garukan dilakukan secara otomatis atau saat kesadaran minimal. c. Tipe campuran Merupakan gabungan antara pruritus phsycogenic tipe kompulsive dan pruritus phsycogenic tipe impulsive. Terdapat beberapa kriterita utuk mendiagnosis pruritus phsycogenic yaitu : a. Kriteia mayor Meliputi 3 kriteria yaitu sebagai berikut : Pruritus sine materia yang terlokalisir atau generalisata (tidak terdapat lesi pada kulit) Pruritus kronis (>6 minggu) Tidak terdapat kelainan yang mendasarinya. b. Kriteria minor 3 atau 7 kriteria minor yaitu : Pruritus meningkat berkaitan dengan obat-obatan psikotropika Berkaitan dengan kelainan psikologis Pruritus meningkat berkaitan dengan psikoterapi Terjadi pada keadaan istirahat atau ketika tanpa melakukan aktivitas Variasi terjadi pada malam hari Intensitas meningkat saat terjadi stress Berkaitan dengan satu atau beberapa peristiwa masa lalu yang berdampak pada psikologis.6,7,8,9,10 2. Patofisiologi Zat-zat kimia dan rangsangan fisik (mekanik) dapat memicu terjadinya pruritus. Sensasi ini dipengaruhi oleh stimulasi terhadap ujung saraf bebas yang terletak didekat junction dermoepidermal sinaps, terjadi di akar dorsalkorda spinalis (substansi grisea), bersinaps dengan neuron kedua yang menyeberang ke tengah, kemudian menuju traktus spinotalamikus dan berakhir di thalamus. Dari thalamus kemudian terdapat neuron ketiga yang meneruskan rangsang sampai ke pusat persepsi yang terletak di korteks serebri. Serabut saraf tipe C tak tereliminasi merupakan serabut saraf yang khusus menghantarkan rangsang pruritus, baik di sistem saraf perifer maupun sistem saraf pusat. 80% serabut saraf tipe C adalah nosiseptor polimodal yang merespons stimulasi mekanik, panas dan kimiawi sedangkan 20% sisanya merupakan nosiseptor mekano-insensitif yang dirangsang oleh stimulus kimiawi. Dari 20% saraf tersebut, 15% merupakan histamin negatif (tidak merangsang gatal), dan hanya 5% yang merupakan histamin positif yang merangsang gatal.

Sel-sel keratinosit juga mengekspresikan mediator neuropeptida dan reseptor juga terlibat dalam proses terjadinya pruritus, termasuk diantaranya NGF (nerve growth factor), reseptor vanilloid TRPV1, PAR 2 (proteinase activated receptor type 2) serta kanal ATP berbasis voltase. Dengan demikian epidermis serta percabangan serabut saraf intraepidermal terlebih tipe C berpengaruh dalam mekanisme gatal, tidak hanya persarafan. Melalui serabut asenden stimulus akan dipersepsi oleh korteks serebri. Sensasi gatal hanya akan dirasakan apabila serabut-serabut saraf nosiseptor polimodal tidak terangsang. Rangsangan nosiseptor polimodal terhadap rangsang mekanik akan diinterpretasikan sebagai nyeri dan akan menginhibisis 5% serabut saraf yang mempersepsi gatal. Namun, setelah rangsang mekanik ini dihilangkan dan pruritogen masih ada maka sensasi gatal akan muncul kembali.11 2. Manifestasi klinis Pertama sangat penting untuk menentukan apakah penyebab pruritus terkait dengan penyakit kulit atau penyakit sistemik. Pada kondisi kulit kering atau pada scabies hanya terdapat sedikit lesi primer kulit, sehingga penggalian riwayat penyakit dan pemeriksaan laboratorium merupakan hal yang penting. Juga sangat penting untuk dapat membedakan antara pruritus generalisata dan pruritus lokal yang biasanya tidak disertai dengan penyakit sistemik. Anamnesis yang lengkap, termasuk riwayat konsumsi obat-obat tertentu dan pemeriksaan fisik merupakan langkah awal yang penting dalam menentukan pruritus. Anamnesis juga harus mencakup kualitas dari gatal, distribusi dan waktu.3 Lesi kulit sekunder yang merupakan karakteristik dari pruritus diantaranya eksoriasi, likenifikasi, dan hiper- atau hipopigemntasi. Likenifikasi merupakan hasil dari aktivitas menggaruk yang dilakukan secara terus-menerus dengan plak yang menebal. Likenifikasi terdistribusi pada area yang mudah dijangkau pasien untuk menggaruk seperti siku, pergelangan kaki, pantat, genitalia.3 Dalam banyak kasus, gatal yang terjadi biasanya disertai dengan nyeri dan sensasi terbakar. Prurigo nodular disertai dengan stres emosional dan gangguan obsesif kompulsif yang juga dapat terjadi pada dermatitis atopik dan gagal ginjal.3 Namun, beberapa pruritus tidak menampakkan manifestasi klinis yang spesifik. Pruritus berat, urtikaria krinis biasanya tidak menunjukkan lesi sekunder yang berkaitan dengan aktivitas menggaruk. Pruritus neuropati seperti neuralgia psthepertic, pruritus brachioradial dan parethetica notalgia biasanya disertai dengan nyeri dan perasaan terbakar. Dermatitis atopik biasanya disertai dengan rasa terbakar setelah menggaruk.3 2. Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan meliputi biopsi kulit, skrining untuk hepatitis B atau C, elektroforesis protein plasma, imunoelectrophoresis. Ct-Scan dada dan perut dapat dilakukan untuk membantu menyingkirkan limfoma.3 Rekomendasi pemeriksaan laboratorium pada pruritus generalisata.3 Rekomendasi Pemeriksaan darah lengkap Pemeriksaan kimia: urea, kreatinin, enzim hepar Tes fungsi tiroid Foto thoraks dada Optional

Pemeriksaan HIV dengan gejala dan tanda penyerta Pemeriksaan feses untuk parasitesis Tabel 2,4 Pemeriksaan Penunjang 2. Diagnosis banding Differential diagnosis pada pruritus generalisata tanpa disertai lesi primer pada kulit.3 Gagal ginjal kronis Cholestasis Hipertiroidisme Pruritus pada kelainan hepar dan keganasan lymphoreticular Hodgkin disease Polycythemia vera Myeloid dan leukemia limpatik Myelodisplasia Mastocytosis HIV dengan pruritus Pruritus aquagenic Gatal sebagai manifestasi kelainan kejiwaan Pruritus neuropati Obat-obatan

Tabel 2.5 Diagnosis Bandimg

2. Komplikasi Pruritus dapat merusak kualitas hidup seseorang. Pasien dengan pruritus kronik sering mengeluh susah tidur, susah untuk berkonsentrasi dan penurunan fungsi seksual, agitasi serta depresi. Dalam beberapa kondisi dapat timbul infeksi sekunder sebagai akibat dari garukan sebagai contoh pada dermatitis atopik.3 2. Penatalaksanaan Penatalaksanaan pruritus dapat dilakukan dengan berbagai cara. Penatalaksanaan dapat dilakukan dengan penatalaksanaan sesuai dengan penyebab serta penatalaksanaan simtomatik. Penatalaksanaan terhadap penyebabnya harus menemukan kelainan yang mendasarinya dan kemudian melakukan penatalaksanaan sesuai penyebab tersebut sehingga dapat menghilangkan keluhan gatal. Penatalaksanaan simtomatik dengan cara mengalihkan rasa gatal, dapat menggunakan terapi pendinginan dan pemanasan. Penatalaksanaan secara simtomatik dapat dilakukan lebih awal sebelum penyebab dari gatal itu sendiri diketahui, sehingga dapat memperingan keluhan yang dirasakan. Sebagian besar pengobatan yang

tersedia dikelompokkan menjadi pengobatan secara simtomatik dan manajemen.3 Farmakologi 1. Antipruritus topikal Barrier creams dan kombinasi Membantu stratum korneum untuk menahan air dan mencegah terjadinya kehilangan air pada transepidermal.3 Topikal salisilat Penelitian menunjukkan bahwa penggunaan asam salisilat topikal berfungsi untuk mengurangi gatal pada kulit. Asam salisilat topikal merupakan agen keratolitik yang dapat meningkatkan hidrasi dan menurunhkan pH pada stratum corneum. Aspirin topikal mengurangi perasaan gatal pada pasien dengan liken simplex chronicus dengan gejala gatal lokal.3 Topikal immunodulator Salah satu obat yang digunakan untuk mengurangi gejala gatal karena obat tersebut secara langsung mempengaruhi serabut saraf tipe C.3 Capsaicin Merupakan senyawa aktif yang memberikan efek terhadap pelepasan neuropeptida termasuk serabut saraf tipe C. Namun mekanisme sebenarnya dari obat ini belum sepenuhnya diketahui. Capsaicin mengaktifkan reseptor vanilloid TRPV1 yang banyak terdapat dalam lapisan epidermis.3 Topikal anastesi Pramoxine, merupakan salah satu anastesi topikal yang dapat mengurangi gatal terutama pada daerah wajah dengan menghambat transmisi impuls saraf. Penelitan dengan menggunakan double-blind menunjukkan bahwa pamoxine menghambat induksi histamin pada manusia. Polidocanol merupakan surfaktan non ionik yamng memiliki sifat anastesi dan pelembab. Dalam sebuah penelitian menunjukkan kombinasi antara urea 5% dan polidocanol dapat mengurangi gatal pada pasien dengan dermatitis atopik, dermatitis kontak dan psoriasis.3

Topikal antihistamin Pada penelitian double blind, dengan jumlah placebo yang besar, krim doxepin 5% memberikan efek dalam mengurangi sensasi gatal pada dermatitis atopik.3 Kortikosteroid12 Sediaan kortikosteroid. Konsentrasi dan Bentuk Sediaan Potensi Sangat Tinggi Nama Dosis

Clobetasol 0,05% krim, salep, aplikasi kulit Propionate kepala Halcinonide 0,1% krim, solution Potensi Tinggi Amcinonide 0,1% krim Beclometasone 0,025% krim dipropionate Betamethasone 0,05% krim, salep, cair 0,064% dipropionate krim, salep, solution Betamethasone 0,025% krim valerate Betamethasone 0,1% krim, gel, lotion, salep, valerate solution Desoximetasone 0,05% gel, 0,025% krim, salep Difluocortolone 0,3% salep berlemak valerate Difluocortolone 0,1% krim, salep berlemak, valerate salep Fluclorolone 0,025% krim acetonide Fluocinolone 0,025% krim, gel, salep 0,03% acetonide salep Fluocinolone 0,2% krim acetonide Fluocinolone 0,005% krim 0,01% krim, salep acetonide 0,0125% krim Fluocinonide 0,05% krim, salep Fluocortolone/ fluocortolone 0,25%/0,25% krim caproate Fluocortolone pivalate/ 0,25%/0.25% salep fluocortolone caproate Fluticasone 0,05% krim, 0,005% salep propionate Hydrocortisone 0,127% krim aceponate Methylprednisolone 0,1% krim, salep berlemak, aceponate salep Mometasone 0,1% krim, salep, lotion furoate Prednicarbate 0,25% krim Potensi Sedang Alclometasone 0, 05% krim, salep dipropionate Clobetasone 0,05% krim, salep butyrate Desonide 0,05% krim, salep, lotion Fluprednidene 0,1% krim, solution acetate Triamcinolone 0,1% krim, salep, lotion 0,2% acetonide krim, 0,02% krim

1 2 x/hari 2 3 x/hari 2 -3 x/hari 2 x/hari 1 3 x/hari 2 3 x/hari 1 3 x/hari 1 3 x/hari 2x/ hari 1 3 x/hari 2 x/hari 1 3 x/hari 2 3 x/hari 1 3 x/hari 2 3 x/hari 1 3 x/hari

1 3 x/hari 1 2 x/hari 1 2 x/hari 1 2 x/hari 1 x/hari 1 2 x/hari 2 3 x/hari Sampai 4 x/hari 2 x/hari 2 x/hari 2 3x/hari

Potensi Rendah Hydrocortisone Hydrocortisone acetate 0,5% krim, 1% lotion, gel, krim 2,5% krim 1% krim, salep 2,5% krim 2 3 x/hari 2 3 x/hari

Tabel 2.6 Sediaan kortikosteroid Potensi kortikosteroid topikal.1 Kiasifikasi Nama Dagang Diprolene ointment Diprolene AF cream Psorcon ointment Golongan 1: (super Temovate ointment poten) Temovate cream Ultravate ointment Ultravate cream 0,05% halobetasol propionate 0,1% amcinonide Cyclocort ointment Diprosone ointment Elocon ointment Florone ointment Halog ointment Halog cream Halog solution Lidex ointment Golongan II: (potensi tinggi) Lidex cream Lidex gel Lidex solution Maxiflor ointment Maxivate ointment 0,05% diflorasone diacetate 0,05% betamethasone dipropionate 0,05% fluocinonide 0,05% betamethasoin dipropionate 0,01% mometasone fuorate 0,05% diflorasone diacetate 0,01% halcinonide 0,05% diflorasone diacetate 0,05% clobetasol propionate Nama Generik 0,05% betamethason dipropionate

Maxivate cream Topicort ointment Topicort cream Topicort gel

dipropionate

0,25% desoximetasone

Golongan III: (potensi tinggi)

Aristocort A ointment Cultivate ointment Cyclocort cream 0,05% betamethasone Cyclocort lotion dipropionate Diprosone cream 0,05% diflorosone Flurone cream diacetate Lidex E cream Maxiflor cream Maxivate lotion Topicort LP cream Valisone ointment 0,05% fluocinonide 0,05% diflorosone diacetate 0,05% betamethasone dipropionate

0,05% desoximetasone 0,1% triamcinolone acetonide 0,005% fluticasone propionate 0,1 % amcinonide

0,05% desoximetasone 0,01% betamethasone valerate 0,1% triamcinolone acetonide 0,05% flurandrenolide 0,1% mometasone furoate

Aristocort omtment Cordran ointment Elocon cream Golongan IV: (potensi medium) Elocon lotion Kenalog ointment Kenalog cream Synalar ointment Westcort ointment

0,1% triamcinolone acetonide

0,025% fluocinolone acetonide 0,2% hydrocortisone valerate 0,05% flurandrenolide 0,05% fluticasone propionate

Golongan V: (potensi medium)

Cordran cream Cutivate cream Dermatop cream Diprosone lotion Kenalog lotion Locoid ointment Locoid cream Synalar cream Tridesilon ointment Valisone cream Westcort cream

0,1% prednicarbate 0,05% betamethasone dipropionate 0,1% triamcinolone acetonide 0,1% hydrocortisone butyrate

0,025% fluocinolone acetonide 0,05% desonide 0,1% betamethasone valerate 0,2% hydrocortisone valerate 0,05% aclometasone

0,1% triamcinolone acetonide Aclovate ointment Aclovate cream Aristocort cream Desowen cream Kenalog cream Kenalog lotion Locoid solution Synalar cream Synalar solution Tridesilon cream Valisone lotion 0,05% desonide 0,025% triamcinolone acetonide

Golongan VI: (potensi medium)

0,1% hydrocortisone butyrate 0,01% fluocinolone acetonide

0,05% desonide 0,1% betamethasone valerate Obat topical dengan hidrokortison, deksametason, glumetalone, prednisolone, dan metilprednisolone Tabel 2.7. Potensi kortikosteroid Topikal cannabinoids Penelitian menunjukkan bahwa kombinasi cannabinoids dengan barrier krim memberikan efek antipruritus pada dermatitis atopic dan pruritus urea.3 Macam antipruritus topikal.3

Golongan VII: Potensi lemah)

Obat Asam salisilat Tacrolimus Pimecrolimus Menthol Capsaicin Pramoxine Polidocanol

Dosis 2-6% 0,1% ointment 1% krim 1% krim 0,75-1% krim 1,0-2,5% 5% urea+3% polidocanol

Indikasi Liken simplex cronicus Dermatitis atopik, dermatitis kontak Dermatitis atopik, dermatitis kontak Pruritis neuropati Dermatitis facial, dermatitis atopik Dermatitis atopik, dermatitis kontak, psoriasis, pruritus uremic Dermatitis atopik Dermatitis atopik, pruritus uremic

Catatan Sengatan Sengatan, sensasi terbakar Sengatan, sensai terbakar Iritasi kulit Sensasi terbakar

Doxepin Canabinoids

5% krim

Efek mengatuk pada 25% kasus, dermatitis kontak alergi

Tabel 2.8 Antipruritus Topikal 2. Antipruritus sistemik Antihistamin Gatal terjadi ketika histamin dilepaskan sehingga menyebabkan kemerahan, bengkak dan panas yang merupakan konsekuensi gatal. Antihistamin atau H1 bekerja dengan cara memblok histamin. Doxepin yang merupakan senyawa trisiklik dibenzoxepin adalah antihistamin yang sangat aktif sehingga dapat digunakan pada dermatitis atopik dan juga mempunyai efek psikoterapi yang baik digunakan pada pruritus. Kerjanya dengan menurunkan reseptor sensorik kulit. Dosis awal 25-50 mg diminum sebelum tidur. Efek samping dari obat ini adalah mengantuk, sensasi terbakar atau menyengat yang terlokalisir yang biasanya bersifat sementara. Beberian et al, dalam penelitian double blind menunjukkan hasil bahwa pemeberian doxepin yang dikombinasi dengan hidrokortison topikal atau triamsinolon topikal lebih memberikan efek yang signifikan dalam mereduksi gatal daripada pemberian kortikosteroid tunggal pada pasien dermatitis atopik.3,13 Penggolongan antihistamin (AH 1) Golongan dan contoh obat Etanolamin Karbinoksamin 4-8 mg 3-4 jam +++ Dosis pada dewasa Masa kerja Aktivitas Catatan antikolinergik

Sedasi ringan sampai sedang

Sedatisi kuat Difenhidramin Dimenhidrinat 25-50 mg 4-6 jam +++ 50 mg 4-6 jam +++ Sedasi kuat

Etilenediamin Pirilamin Tripelenamin 25-50 mg 4-6 jam + 25-50 mg 4-6 jam +

Sedasi sedang Sedasi sedang Sedasi kuat Sedasi ringan Sedasi ringan Sedasi ringan Sedasi ringan Sedasi kuat, antiemetik

Piperazin Hidroksizin Siklizin Meklizin

25-100 mg 25-50 mg 25-50 mg

6-24 jam 4-6 jam 12-24 jam -

Alkilamin Klorfeniramin Bromfeniramin Derivat fenotiazin Prometazin Lain lain Siproheptadin 4 mg 6 jam + 10-25 mg 4-6 jam +++ 4-8 mg 4-8 mg 4-6 jam + 4-6 jam +

Mebhidrolin napadisilat

Sedasi sedang, antiserotonin

50-100 mg

4 jam +

Tabel 2.9. Penggolongan AH 1 Antagonis reseptor H 2 (AH 2) Bekerja dengan cara menghambat sekresi asam lambung. Golongan dan contoh obat Astemizol Feksofenadin Dosis dewasa 10 mg 60 mg Masa kerja Aktivitas Catatan antikolinergik Mula kerja < 24 jam lambat Resiko aritmia 12-24 jam lebih rendah

Lain lain Loratadin 10 mg 24 jam Masa kerja lebih lama 5-10 mg 12-24 jam Tabel 2.10. Penggolongan AH 2 Opiate antagonist dan agonis-antagonis Naloxone dan naltrexone digunakan dalam pengobatan pruritus yang berkaitan dengan kolestasis, uremia dan penyakit kulit.3

Setirizine

Mirtazapine Mirtazapine yang merupakan antidperesan oral merupakan salah satu obat yang menunjukkan hasil dalam menurunkan gatal pada beberapa pasien. Mitrazapine memiliki efek samping yang minimal dan merupakan alternatif dalam pengobatan pruritus nokturna. Hal ini terlihat dari efektivitas yang lebih baik ketika digunakan pada pruritus sistemik dengan nocturnal pruritus dengan dosis 15mg/malam.3 Thalidomide Thalidomide memperlihatkan efek yang baik pada penggunaan obat terhadap pasien dengan peradangan kulit seperti prurigo dan dermatitis. Thalidomide telah digunakan selama beberapa tahun sebagai agen imunomodulator. Gabapentin Gabapentin efektif dalam pengobatan pruritus brachioradial, sclerosis multipel dengan pruritus dan bebrapa pruritus neuropati lainnya. Gabapentin mungkin menghambat pusat gatal sebagaimana pusat nyeri. Gabapentin juga merubah sensasi gatal pada pruritus yang berkaitan dengan kerusakan saraf pada kulit dan pruritus dengan penyakit sistemik.3 Kortikosteroid13 Sediaan kortikosteroid Nama Bentuk oral Kortisol/hidrokortison 5-20 mg Prednison 5 mg Metil prednisolon 4 mg 6-metil prednisolon 4 mg Deksametason 0,5 mg Deksametason Nafosfat Triamsinolon asetonid Perenteral 25,50 mg/ml (suspensi) 40 mg/ml 20, 40, 80 mg/ml (suspensi) 4 mg/ml 4-24 mg/ml 40mg/ml (suspensi)

Tabel 2.11. Sediaan kortikosteroid Macam antipruritus sistemik.3 Obat Doxepin Nalxone Dosis Indikasi Catatan 25-100 mg Urtikaria kronis Mengantuk 0.002 g/kg, Hepatotoksik, peningkatan dosis Pruritus kolestasis, nausea, secara bertahap pruritus uremic vomitus, sampai 0.2g/kgbb insomnia Hepatotoksik, nausea, vomitus, Pruritus kolestasis, 12.5-250 mg insomnia, pruritus uremic kontraindikasi pada pasien disfungsi hepar Mengantuk, Penyakit 1-4 mg inhal pusinh, nausea, peradangan kulit vomitus Insomnia, Pruritus 20 mg disfungsi generalisata seksual Penyakit Mengantuk, 15 mg peradangan pada kenaikan berat kulit dan sistemik badan Prurigo nodularis, prurigo aktinik, neuralgia 100 mg poshepertik, pruritus uremic, dermatitis atopik Mengantuk, 300-2400 mg Pruritus neuropati konstipasi Tabel 3.12 Obat Anti Pruritus Sistemik

Naltrexone

Butorphanol Paroxetine Mirtazapine

Thalidomide

Gabapertin

Non farmakologi3 Phototherapy Telah digunakan selama lebih dari sepuluh tahun untuk mengobatai pruritus tipe lain. Phototherapy mengurangi kepadatan sel mast dengan menginduksi apoptosis.

BAB III Pruritus Kelainan Kulit dan Penyakit Kulit Menular 3. Dermatitis Atopik1 Sinonim : eczema atopik, eczema konstitusional, eczema fleksural, neuridermitis diseminta, prurigo besnier. Merupakan keadaan peradangan kulit kronis residif, disertai gataL yang umumnya sering terjadi selama bayi dan anak-anak, sering berhubungan dengan peningkatan kadar IgE dalam serum dan riwayat atopi pada keluarga atau penderita (dermatitis atopik, rinitis alergika, dan atau asma bronkial).

Manifestasi klinis : Kulit penderita dermatitis atopik pada umumnya kering, pucat/redup, kadar lipid di epidermis berkurang dan kehilangan air lewat epidermis meningkat. Gejala utama dermatitis atopik adalah pruritus, dapat hilang timbul sepanjang hari, tetapi umumnya lebih hebat pada malam hari. Kelainan kulit dapat berupa papul, eritema, likenifikasi, erosi, ekskoriasi, eksudasi dan krusta. Kalsifikasi dermatitis atopik : Dermatitis atopik dapat dibagi menjadi tiga fase yaitu : 1. Dermatitis atopik infantil (2 bulan-2 tahun) 2. Dermatitis atopik pada anak (2-10 tahun) 3. Dermatitis atopik pada remaja dan dewasa Diagnosis : Kriteria dermatitis atopik masih kontroversial dan dasar molekul pruritus pada dermatitis atopik masih belum bisa dijelaskan. Apakah gatal terjadi sebelum adanya lesi pada kulit atau sebaliknya juga masih menjadi isu yang belum terselesaikan. Alloknesis merupakan ciri-ciri gatal yang menonjol pada dermatitis atopik dan gejala gatal tersebut berkaitan dengan keringat, perubahan suhu yang mendadak, serta kontak langsung dengan wol. Intensitas gatal pada dermatitis atopik berhubungan dengan faktor psikis dan mungkin gatal dicetuskan oleh stres kognitif seperti kecemasan dan juga depresi. Pruritus nokturna merupakan masalah mayor pada dermatitis atopik, terjadi pada awal tidur dan menyebabkan kelelahan dan iritabilitas. 1. 2. 3. 4. Dermatitis di muka atau ekstensor pada bayi dan anak Dermatitis flexura pada dewasa Dermatitis kronis atau residif Riwayat atopi pada penderita atau keluarga

Kriteria minor : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. Xerosis Infeksi kulit (khususnya oleh S.aureus dan herpes simplex) Dermatitis non spesifik pada tangan atau kaki Iktiosis/ hiperliniar palamaris/ keratosis pilaris Pitriasis alba Dermatitis di papila mammae White dermographism and delayed blanch response Keilitis Lipatan intra-orbital dennie morgan Konjungtivitis berulang Keratokonus Katarak subkapsular anterior Orbita menjadi gelap Muka pucat atau eritem Gatal bila berkeringat Intolerans terhadap wol atau pelarut lemak Aksentuasi perifolikuler Hipersensitif terhadap makanan Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh lingkungan dan atau emosi Tes kulit alergi tipe dadakan positif Kadar IgE dalam serum meningkat Awitan pada usia dini.

Diganosis : harus memenuhi 3 kriteria mayor dan tiga kriteria minor

Kriteria diagnosis untuk bayi : Tiga kriteria mayor : 1. Riwayat atopi pada keluarga 2. Dermatitis di muka atau ekstensor 3. Pruritus Ditambah tiga kriteria minor : 1. 2. 3. 4. Xerosis/ iktiosis/ hiperliniaris palmaria Aksentuasi perifolikuler Fisura belakang telinga Skuama di skalp kronis

Penatalaksanaan Topikal 1. Hidrasi kulit, menggunakan pelembab sebagai contoh hidrofilik urea 10% dapat ditambah hidrokortison 1% didalamnya. Jika menggunakan pelembab dengan asam laktat maka konsentrasinya tidak melebihi 5%. Tujuan hidrasi kulit adalah untuk mencegah masuknya mikroorganisme patogen, bahan iritan dan alergen yang dapat masuk karena kulit kering pada penderita dermatitis atopik. 2. Kortikosteroid topikal. Pada bayi menggunakan salep steroid potensi rendah, misal hidrokortison 1-2,5%. Pada anak dan dewasa dapat menggunakan steroid potensi menengah seperti triamsinolon kecuali pada muka menggunakan steroid potensi rendah. Jika sudah dapat terkontrol maka penggunaan dilakukan secara intermiten (2 kali seminggu) untuk menjaga kekambuhan dan menggunakan kortikosteroid potensi rendah 3. Imunomodulator topikal. Takrolimus, merupakan suatu penghambat calcineurin dapat diberikan dalam bentuk salep 0,03% untuk anak usia 2-15 tahun, dan untuk dewasa dapat diberikan 0,03-0,1%. Cara kerja obat yaitu menghambat aktivitas sel yang terlibat dalam dermatitis atopik : sel langerhans, sel T, sel mast dan keratinosit. Pimekrolimus, merupakan senyawa askomisin yaitu imunomodulator golongan makrolaktam. Derivat yang digunakan yaitu ASM 981 konsentrasi 1% yang mempunyai efektivitas sama dengan krim klobetasol-17-propionat , tidak menyebabkan atrofi kulit, aman pada anak dan dapat digunakan pada kulit sensitif. Cara pemakaian dioleskan 2 kali sehari. 4. Antihistamin, pengobatan dermatitis atopik dengan antihistamin topikal tidak dianjurkan karena berpotensi kuat menimbulkan sensitisasi pada kulit.

Sistemik 1. Kortikosteroid, hanya digunakan untuk mengendalikan eksaserbasi akut, dalam jangka pendek, dan dosis rendah, diberikan secara berselang-seling (alternate) atau diturunkan secara bertahap (tapering) kemudian segera diganti dengan kortikosteroid topikal. 2. Antihistamin, digunakan untuk membantu mengurangi rasa gatal yang hebat, terutama pada malam hari yang dapat mengganggu tidur. Digunakan antihistamin dengan efek sedatif misalnya hidroksisin atau difenhidramin. 3. Anti-infeksi, dapat diberiksan eritromisin, asitromisin atau klaritromisin (untuk yang belum resisten) dan dikloksasilin, oksasilin (pada pasien yang sudah resisten).

4. Interferon, menekan respons IgE dan menurunkan fungsi dan proliferasi sel TH2. Pengobatan rekombinan menunjukkan perbaikan klinis karena dapat menurunkan jumlah eosinofil total dalam sirkuasi. 5. Siklosporin, pengobatan jangka pendek dengan dosis 5 mg/kgBB. Bila pengobatan dengan siklosporin dihentikan dapat terjadi kekambuhan segera serta efek samping dari obat ini adalah peningkatan kreatinin dalam serum, penurunan fungsi ginjal dan hepar.

3. Dermatitis kontak1 Merupakan dermatitis yang disebabkan oleh bahan /substansi yang menempel pada kulit. Dikenal dua macam dermatitis yaitu dermatitis kontak iritan dan dermatitis alergik. Dermatitis kontak iritan Penyebab munculnya dermatitis jenis ini adalah bahan yang bersifat iritan misalnya bahan pelarut, deterjen, minyak pelumas, alkali dan serbuk kayu. Kelainan kulit yang terjadi selain ditentukan oleh ukuran molekul, daya larut, konsentrasi bahan tersebut dan vehikulum juga dipengaruhi oleh lama kontak, kekerapan, gesekan dan trauma fisis. Suhu dan kelembaban juga berperan. Kelainan kulit sangat beragam bergantung pada sifat iritan. Iritan kuat memberi gejala akut, sedangkan iritan lemah memberi gejala kronis. Selain itu juga banyak faktor yang mempengaruhi yaitu faktor individu dan faktor lingkungan. Upaya penatalaksanaan dermatitis kontak iritan yang terpenting adalah menghindari pajanan bahan iritan, baik yang bersifat mekanik, fisis maupun kimiawi serta menyingkirkan faktor yang memperberat. Apabila diperlukan untuk mengatasi peradangan dapat diberikan kortikosteroid topikal, misal hidrokortison atau untuk kelainan yang kronis dapat diawali dengan kortikosteroid yang lebih kuat. Dermatitis kontak alergi Pada umumnya penderita mengeluh gatal dan kelainan kulit bergantung pada keparahan dermatitis dan lokalisasinya. Pada stadium akut diawali dengan bercak eritematosa yang berbatas tegas kemudian diikuti edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Vesikel atau bula dapat pecah menimbulkan erosi dan eksudasi (basah). Pada stadium kronis terlihat kulit kering, berskuama, papul, likenifikasi dan mungkin fisura, batas tidak jelas. Pengobatan yang perlu diperhatikan adalah upaya pencegahan terulangnya kontak kembali dengan alergen penyebab dan menekan kelainan kulit yang timbul. Kortikosteroid (prednison 30 mg/hari) dapat diberikan dalam jangka pendek untuk mengatasi peradangan pada stadium akut yang ditandai dengan eritema, edema, vesikel atau bula serta eksudatif. Untuk dermatitis kontak alergi ringan atau akut yang telah mereda (setelah mendapat pengobatan kortikosteroid sistemik) cukup diberikan kortikosteroid atau makrolaktam secara topikal. 3. Urtikaria (hives, nettle rash, biduran, kaligata) Reaksi vaskular di kulit karena berbagai macam penyebab yang ditandai dengan edema setempat yang cepat timbul dan menghilang perlahan-lahan, berwarna pucat, meninggi di permukaan kulit. Dapat disebabkan oleh berbagai macam penyebab, diantaranya obat, makanan, gigitan/sengatan serangga, bahan fotosensitizer, inhalan, kontaktan, trauma fisik, infeksi dan infestasi, psikis, genetik, penyakit sistemik. Keluhan subyektif meliputi gatal, rasa terbakar atau tertusuk. Pada klinis tampak eritem dan edem setempat yang berbatas tegas, terkadang pada bagian tengah tampak pucat. Bentuk dapat papul, besarnya dapat lentikuler sampai numular atau plakat. Penatalaksanaan meliputi pengobatan terhadap penyebab atau

sampai numular atau plakat. Penatalaksanaan meliputi pengobatan terhadap penyebab atau jika mungkin menghindari penyebab yang dicurigai. Pengobatan dapat menggunakan antihistamin. 3. Psoriasis (psoriasi vulgaris)1 Merupakan penyakit yang disebabkan oleh autoimun, bersifat kronik dan residif ditandai dengan adanya bercak-bercak eritema berbatas tegas dengan skuama yang kasar belapislapis dan transparan, disertai fenomena tetesan lilin, auspitz, koefner. Gejala klinis meliputi gatal ringan. Tempat predileksi pada skalp, perbatasan daerah tersebut dengan muka, ekstremitas bagian ekstensor dan daerah lumbosakral. Keluhan kulit meliputi bercak-bercak eritem yang meninggi (plak) dengan skuama di atasnya. Eritema sirkumskrip dan merata, tetapi pada stadium penyembuhan sering eritem ditengah menghilang dan hanya terdapat di pinggir. Skuama berwarna putih seperti mika, berlapis-lapis, kasar dan transparan. Pada psoriasis terdapat fenomena tetesan lilin, Auspitz, dan kbner (isomorfik). Fenomena tetesan lilin merupakan skuama yang berubah warnanya menjadi putih pada goresan, seperti lilin yang digores yang disebabkan perubahan indeks bias. Pada fenomena auspitz tampak serum atau darah berbintik-bintik yang disebabkan oleh papilomatosis. Fenomena kbner biasanya terjadi setelah 3 minggu dan merupakan tanda yang tidak khas pada psoriasis. Tanda khas pada psoriasis meliputi fenomena tetesan lilin dan Auspitz. Bentuk klinis psoriasis : 1. Psoriasis vulgaris Bentuk yang lazim didapat sehingga disebut vulgaris. Psoriasis tipe ini juga disebut tipe plak, karena lesi-lesinya umum berbetuk plak. 2. Psoriasis gutata Diameter kelainan biasanya tidak melebihi 1 cm. Timbul mendadak dan diseminata, biasanya setelah infeksi Stretopcoccus di saluran napas bagian atas setelah influenza atau morbili, dan menyerang anak-anak serta dewasa muda. Namun, juga dapat muncul setelah infeksi lain seperti bakteri maupun viral. 3. Psoriasis inversa (psoriasis fleksural) Sesuai dengan namanya, memiliki daerah predileksi pada daerah flexor. 4. Psoriasis eksudative Merupakan bentuk yang sangat jarang, bentuk kelainan eksudatif seperti pada dermatitis. 5. Psoriasis seboroik (seboriasis) Merupakan gabungan antara psoriasis dengan dermatitis seboroik, skuama yang pada umumnya kering menjadi agak berminyak dan basah. 6. Psoriasis pustulosa Psoriasis pustulosa palmoplantar (Barber) Bersifat kronik dan residif, mengenai telapak tangan atau telapak kaki atau keduanya. Kelainan kulit berupa kelompok-kelompok pustul kecil steril dan dalam, diatas kulit yang eritematosa, disertai gatal. Psoriasis pustulosa generalisata akut (von Zombusch)

Dapat timbul pada penderita yang sedang atau telah menderita psoriasis dan dapat juga muncul pada penderita yang belum pernah menderita psoriasis. Gejala awal berupa kulit nyeri, hiperalgesia disertai gejala umum berupa demam, malaise, nausea, anoreksia. Setelah beberapa jam timbul banyak plak edematosa dan eritematosa pada kulit normal. Dalam satu hari pustul-pustul berkonfluensi membentuk lake of pus berukuran beberapa sentimeter. 7. Eritriderma psoriatik Dapat disebabkan karena pengobatan topikal yang terlalu kuat atau oleh penyakitnya sendiri yang meluas. Lesi khas psoriasis tidak tampak lagi karena terdapat eritema dan skuama tebal universal. Penatalaksanaan Penatalaksanaan meliputi : Pengobatan sistemik a. Kortikosteroid Kortikosteroid dengan dosis kira-kira ekuivalen dengan prednison 30 mg/hari, dan setelah terdapat perbaikan dosis diturunkan perlahan-lahan, kemudian diberi dosis pemeliharaan. Penghentian obat secara mendadak beresiko menyebabkan kekambuhan dan dapat terjadi psoriasis pustulosa generalisata. b. Obat sitostatik Obat sitostatik yang biasanya digunakan adalah metotreksat. Indikasinya adalah untuk psoriasis, psoriasis pustulosa, pdsoriasis artritis dengan lesi kulit dan eritoderma. Permulaan diberikan tes dosis inisial 5 mg per os untuk mengetahui apakah terdapat gejala sensitivitas atau gejala toksik. Jika tidak terjadi efek yang tidak dikehendaki maka diberikan dosis 3x2,5 mg dengan interval 12 jam dalam satu minggu dengan dosis total 7,5 mg. Jika tidak tampak perbaikan maka dosis dinaikkan 2,5-5 mg/minggu. Dapat juga diberikan dosis i.m 7,5-25 mg dosis tunggal setiap minggu. Jika penyakitnya telah terkontrol maka dosis diturunkan atau interval diperpanjang kemudian dihentikan dan kembali ke terapi topikal. c. Levodopa Dosis 2x250 mg-3x500 mg, efek samping berupa mual, muntah, anoreksia, hipotensi, gangguan psikis dan pada jantung. d. DDS DDS (diaminodifenilsulfon) digunakan pada pengobatan psoriasis pustulosa tipe Barber dengan dosis 2x100 mg/hari, dengan efek samping anemia hemolitik, methemoglobinemia dan agranulositosis. e. Etretinat dan asitretin Etretinat digunakan untuk psoriasis yang sulit disembuhkan dan pada eritroderma psoriatika. Pada psoriais obat tersebut mengurangi prolferasi sel epidermial pada lesi psorasis dan kulit normal. Dosis pada bulan pertama 1 mg/kgBB, jika belum terjadi perbaikan dapat dinaikkan menjadi 1,5 mg/kgBB.

Asitertin merupakan metabolit aktif etretinat yang utama. Manfaat asitertin sama dengan etretinat namun obat ini juga memiliki kelebihan yaitu waktu paruh eliminasi hanya 2 hari, dibandingkan dengan etretinat yang lebih dari 100 hari.

f. Siklosporin Diberikan dengan dosis 6 mg/kgBB/hari, efek samping obat tersebut adalah imunosupresif. Bersifat nefrotoksis dan hepatotoksik. Hasil pengobatan baik namun setelah pengobatan dapat terjadi kekambuhan. Pengobatan topikal a. Kortikosteroid Pada skalp, muka dan daerah lipatan digunakan krim dan pada tempat lain dapat digunakan salep. b. Ditranol Konsentrasi yang digunakan 0,2-0,8% dalam pasta, salep atau krim. Lama pemakaian sampai jam sehari sekali untuk mencegah iritasi. c. Tazaroten Merupakan molekul retinoid asetilinik topikal, dengan efek menghambat proliferasi dan normalsasi pertanda diferensiasi keratinosit dan menghambat petanda proinflamasi pada sel radang yang mengiritasi kulit. Tersedia dalam bentuk gel dan krim dengan konsentrasi 0,05% dan 1%. Bila dikombinasi dengan steroid topikal potensi sedang dan kuat dapat mempercepat penyembuhan dan mengurangi iritasi. d. Emollen Efek emollen adalah melembutkan permukaan kulit. Jadi emollen tidak memiliki efek antipsoriasis.

3. Pitriasis Rosea1 Merupakan penyakit kulit yang masih idiopatik, dimulai dengan sebuah lesi inisial berbentuk eritema dan skuama halus. Kemudian disusul oleh lesi-lesi yang lebih kecil di badan, lengan dan paha atas yang tersusun sesuai dengan lipatan kulit. Etiologi dari penyakit ini masih idiopatik, namun terdapat hipotesis yang mengemukakan bahwa penyakit ini disebabkan oleh virus dengan alasan bahwa penyakit dapat sembuh sendiri (self limiting disease). Gejala konstitusi pada umunya tidak terdapat, sebagian penderita mengeluh gatal ringan. Penyakit dimulai dengan lesi pertama (herald patch), umumnya di badan, solitar, berbentuk oval dan anular, dengan diameter kira-kira 3 cm. Ruam tersiri atas eritema dan skuama halus di pinggir. Lesi berikutnya timbul 4-10 hari setelah lesi pertama, dengan gambaran yang khas. Lesi sama dengan lesi pertama hanya berukuran lebih kecil, susunannya sejajar dengan costa, sampai menyerupai pohon cemara terbalik. Lesi tersebut timbul serentak atau

dalam beberapa hari. Tempat predileksi pada badan, lengan atas bagian proksimal dan paha atas. Penatalaksanaan Pengobatan bersifat simtomatik, untuk gatal dapat diberikan sedativ sedangkan sebagai obat topikal dapat diberikan bedak asam salisilat yang dibubuhi mentol -1%. 3. Dermatitis Seboroik1 Merupakan kelainan kulit yang didasari oleh faktor konstitusi dan tempat predileksi pada tempat-tempat seboroik. Kelainan kulit terdiri atas eritema dan skuama yang berminyak dan agak kekuningan dengan batas yang kurang jelas. Bentuk ringan hanya mengenai kulit kepala dengan skuama yang halus, mulai sebagai bercak kecil yang kemudian mengenai seluruh kulit kepala dengan skuama-skuama yang halus dan kasar. Kelainan tersebut dinamakan pitriasis sika (ketombe, dandruff). Bentuk yang berminyak disebut pitriasis steatoides yang dapat disertai eritema dengan krusta-krusta yang tebal. Bentuk yang berat ditandai dengan adanya bercak-bercak berskuama dan berminyak disertai eksudasi dan krusta tebal. Dapat meluas ke dahi, glabela, telinga posaaurikuler dan leher. Bentuk yang lebih berat lagi, seluruh kepala tertutup oleh krusta-krusta yang kotor dan berbau tidak sedap. Pada bayi, skuama-skuama yang kekuningan dan kumpulan debris-debris epitel yang lekat pada kulit kepala disebut cerdle cap. Penatalaksanaan Sistemik Kortikosteroid digunakan pada bentuk yang berat, prednison dosis 20-30 mg/hari. Jika telah terdapat perbaikan dosis diturunkan perlahan dan jika terdapat infeksi sekunder dapat diberikan antibiotik Isotretinoin, dapat digunakan pada kasus rekalsitran. Efeknya mengurangi aktiivtas kelenjar sebasea. Dosis 0,1-0,3 mg/kgBB/hari. Setelah itu diberikan dosis pemeliharaan 5-10 mg.hari selama beberapa tahun. Topikal 1. Dapat diberikan selenium sulfida dan jika terdapat skuama serta krusta diberi emolien (krim urea 10%) 2. Ter, misalnya likuor karbonas detergens 2-5% atau krim pragmatar 3. Resorsin 1-3% 4. Sulfur presipitatum 4-20% dapat dikombinasi dengan asam salisilat 3-6% 5. Kortikosteroid, misalnya hidrokortison 2 % 6. Krim ketokonazol 2%. 3. Neurodermatitis sirkumskripta (liken simplex kronikus)1 Merupakan peradangan kulit kronis, gatal, sirkumskrip ditandai dengan kulit tebal dan garis kulit tampak lebih menonjol (likenifikasi) menyerupai kulit batang kayu, akibat garukan atau gosokan yang berulang-ulang karena berbagai rangsangan pruritogenik. Gejala klinis meliputi keluhan gatal yang sangat, bila timbul pada malam hari maka dapat mengganggu tidur. Gatal tidak terus menerus, biasanya pada waktu tidak melakukan aktivitas. Jika gatal muncul sulit untuk ditahan dan penderita merasa enak setelah digaruk karena akan timbul luka, dan rasa gatal akan hilang untuk sementara. Lesi biasanya tunggal. Pada awalnya berupa plak eritematosa, sedikit edematosa, kemudian

menjadi edema dan eritema menghilang, bagian tengah berskuama dan menebal, likenifikasi dan eksoriasi, sekitarnya menjadi hiperpigmentasi, batas dengan kulit normal tidak jelas. Penatalaksanaan Antipruritus dapat berupa antihistamin yang memilki efek sedativ (hidroksizon, difenhidramin, prometazin) atau tranquilizer. Dapat juga diberikan krim doxepin 5% jangka pendek (maksimal 8 hari). Dapat juga digunakan kortikosteroid potensi kuat. 3. Pitriasi rubra pilaris1 Merupakan kelainan menahun dengan plak eritematosa, berskuama dan papul keratotik folikular. Etiologi Penyakit ini adalah herediter atau didapat. Gejala kinis Pada bentuk herediter meluasnya penyakit secara bertahap sedangkan pada bentuk yang didapat meluas dengan cepat. Eritema dan skuama pada muka dan kulit kepala kemudian eritema dan penebalan di telapak tanagn dan kaki. Papul folikular keratolitik dikelilingi oleh eritama yang umumnya terdaat pada dorsum jari tangan, siku dan pergelangan tangan. Kelainan berbatas tegas dan sering terlihat pulau-pulau kulit normal. Eritema dan skuama dapat meluas ke seluruh permukaan kulit. Bentuk herediter memiliki kecenderungan untuk menetap seumur hidup. Kelaian sismtemin pada umumnya tidak terjadi, kecuali jika kelainan sudah menyeluruh. Penatalaksanaan Vitamin A 200.000 unit /hari/os selam beberapa bulan. Pengobatan topikal dengan asam salisit (3-20%) kemudian diberi salep kortikosteroid. Dapat juga diberi krim asam retinoat 0,05%. Metotreksat dosis 1,25 mg/hari intermiten 2x1 minggu. 3. Dermatitis Herpetiformis (Morbus Duhring)1 Merupakan penyakit menahun dan residif, ruam bersifat polimorfik terutama berupa vesikel, tersusun berkelompok dan simetrik serta disertai rasa sangat gatal. Etiologi Penyakit ini masih idiopatik atau belum jelas. Gejala klinis Keadaan umum baik. Keluhan sangat gatal. Tempat predileksi di punggung, daerah sakrum, bokong, daerah ekstensor di lengan atas, sekitar siku dan lutut. Ruam berupa eritema, papulo-vesikel dan veskel/bula yang berkelompok dan sistemik. Kelainan yang utama adalah vesikel, oleh karena itu disebut hepetiformis yang berarti seperti herpes zooster. Vesikelvesikel tersebut dapat tersusun arsinar atau sirsinar. Dinding vesikel atau bula tegang. Penatalaksanaan Obat pilihan adalah preparat sulfon yaitu DDS serta pilihan kedua adalah sulfapiridin. Dosis DDS 200-300 mg/hari. Dicoba dulu 200 mg/hari, dan jika ada perbaikan akan tampak 3-4 hari. Bila belum ada perbaikan dosis dapat dinaikkan, dengan dosis efektif 200 mg atau 300 mg. Jika telah sembuh dosis diturunkan perlahan setiap minggu sampai 50 mg/hari,

kemudain 2 hari sekali dan menjadi 1x dalam satu minggu. Sulfapiridin, dosis 1-4 gr/hari. Tetapi karena efek toksik yang lebih banyak maka obat ini sukar didapat. Diet bebas gluten, dilakukan secara ketat dan perbaikan pada kulit tampak setelah beberapa minggu. Dengan diet ini, penggunaan obat dapat ditiadakan atau dosisnya dikurangi. 3. Scabies1 Sinonim : the itch, gudik Scabies merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi terhadap sarcoptes scabiei va, hominis dan produknya. Cara penulatran atau transmisi dapat melalui kontak langsung (kontak kulit dengan kuit) dan kontak tidak langsung (melalui benda). Penularan biasanya oleh Sarcoptes scabiei betina yang telah dibuahi atau kadang-kadang oleh bentuk larva. Gejala klinis dari scabies meliputi 4 tanda kardinal yaitu : a. Pruritus nokturna Gatal pada malam hari yang disebabkan karena aktivitas tungau yang lebih tinggi pada suhu yang lebih lembab dan panas. b. Komunitas Menyeang manusia secara kelompok, misalnya dalam sebuah keluarga biasanya seluruh anggota keluarga terkena infeksi. c. Adanya terowongan Adanya terowongan (kunikulus) pada tempat-tempat predileksi yang berwarna putih atau keabu-abuan, berbentuk garis lurus atau berkelok, pada ujung terowongan tersebut ditemukan papul atau vesikel. Jika timbul infeksi sekunder ruam kulit menjadi polimorf (pustul, ekskoriasi dan lain-lain). Tempat predileksi biasanya pada tempat dengan stratum korneum yang tipis. d. Menemukan tungau Merupakan hal yang paling diagnostik. Dapat ditemukan satu atau lebih stadium hidup tungau tersebut.

3. Pediculosis corporis, capitis, pubis11 a. Pedikulosis corporis Merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh Pediculus humanus var. corporis. Cara penularan melalui pakaian dan pada orang yang dadanya berambut terminal kutu ini dapat melekat pada rambur tersebut dapat ditularkan melalui kontak langsung. Tuma sewaktu menghisap darah mengeluarkan air liur yang menyebabkan rasa gatal pada kulit. Akibat gigitan, timbul papula-paula dan karena digaruk makan akan tampak bekas-bekas garukan. Lokalisasi di daerah pinggang, ketiak dan inguinal dengan efloresensi papula-paula miliar disertai bekas garukan yang menyeluruh. Pemeriksaan pembantu dengan mencari tuma dalam lipatan pakaian. Diagnosis banding melputi scabies, gigitan serangga dan folikulitis. Penatalaksanaan :

Umum : menungkatkan kebersihan dengan memakai pakaian yang bersih Khusus : 1. Pakaian harus direbus dan dijemur di panas matahari 2. Gama benzen heksaklorida 1% baik dalam laruta krim, dioleskan pada kulit dan didiamkan selama 15 menit 3. Obat lain : benzil benzoat 20-25% dalam larutan atau krim. b. Pedikulosis capitis Merupakan infeki kulit dan rambut kepala yang disebabkan Pediculus humanus var. capitis. Kelainan kulit yang timbul disebabkan oleh garukan untuk menghilangkan rasa gatal. Gatal tersebut timbul karena pengaruh air liur dan ekskreta dari kuku yang dimasukkan kedalam kulit ketika menghisap darah.Gejala awal yang dominan hanya rasa gatal pada daerah oksiput dan temporal serta meluas ke seluruh kepala. Kemudian karena garukan terjadi erosi, ekskoriasi dan infeksi sekunder (pus, krusta). Bila infeksi sekunder berat, rambut akan bergumpal disebabkan oleh banyaknya pus dan krusta (plikapelonika) dan disertai pembesaran kelenjar getah bening regional (oksipu dan retroaurikular). Pada keadaan tersebut kepala berbau busuk. Lokalisasi pada bagian belakang kepala (regio oksipitalis) dan diatas telinga (regio parietalis) dengan efloresensi tampak krusta yang melekat pada rambut dan beberapa rambur bergabung menjadi satu. Ditemuka uma kepala dan telur-telur yang melekat pada rambut. Pemeriksaan pembantu dengan mencari tuma kepala dan telurnya. Diagnosis banding dapat dermatitis seboroika atau pioderma primer. Penatalaksanaan : Umum : menjaga kebersihan kepala, rambut harus sering dicuci dan dirawat dengan baik Khusus : 1. Gama benzen heksaklorida 1% dalam bentuk shampoo, dapat diulang beberapa kali 2. Jika terdapat infeksi sekunder dapat diberikan antibitoik. c. Pedikulosis pubis (phthriasis pubis) Merupakan infeksi tuma pada rambut dan kulit di daerah pubis dan sekitarnya. Penularan pada umumnya melalui kontak langsung. Disebabkan oleh Phthirus pubis. Gejala klinis terutama rasa gatal di daerah pubis dan sekitarnya. Gatal tersebut dapat meluas sampai ke daerah abdomen dan dada, dan pada daerah tersebut dijumpai bercak-bercak yang berwarna abu-abu atau kebiruan (makula serulae). Kutu tersebut sulit dilepaskan karena kepalanya dimasukkan kedalam muara folikel rambut. Gejala patognomonik laiinya adalah black dot yaitu adanya bercak-bercak hitam yang tampak jelas pada celana dalam berwarna putih yang dilihat oleh penderita ketika bangun tidur. Bercak hitam tersebut merupakan krusta yang berasal dari darah dan sering salah diinterpretasikan sebagai hematuria. Dapat terjadi infeki sekunder yaitu pembesaran kelenjar getah bening regional. Pemeriksaan pembantu dengan mencari tuma dewasa yang melekat ert di pangkal rambut, dan telur pada rambut. Diagnosis banding dapat deramtitis seboroik dan tinea kruris. Penatalaksanaan meliputi : Umum : rambut kemaluan/ketiak/jenggot dicukur

Khusus : 1. Gama benzen heksaklorida 1% dalam bentuk krim atau lotion, dioleskan satu kali sehari dan dapat diulang setelah satu minggu 2. Krotamiton 1% krim atau lotion yang dioleskan satu kali sehari dan dapat diulang setelah satu minggu 3. Infeksi sekunder dapat diobati dengan pemberian antibiotik.

3. Varicella (cacar air, chicken pox)1 Merupakan infeksi akut primer oleh virus varicela-zooster yang menyerang kulit dan mukosa, klinis terdapat gejala konstitusi, kelainan kulit polimorf, terutama berlokasi di bagian sentral tubuh. Etiologi : Virus varicella-zooster Gejala klinis Masa inkubasi 14-21 hari. Gejala klinis dimulai dengan gejala prodromal yaitu demam yang tidak terlalu tinggi, malaise dan nyeri kepala, kemudian disusul timbul erupsi kulit berupa papul eritematosa yang dalam waktu beberapa jam berubah menjadi vesikel. Bentuk vesikel khas yaitu berupa tetesan embun (tear drops). Vesikel akan berubah menjadi pustul dan kemudian menjadi krusta. Sementara proses ini berlangsung timbul lagi vesikel-vesikel baru sehingga menimbulkan gambaran polimorfi. Penyebaran terutama didaerah badan dan kemudian menyebar secara sentrifugal ke muka dan ekstremitas, serta dapat menyerang selaput lendir mata, mata, mulut dan saluran napas bagian atas. Jika terdapat infeksi sekunder terdapat pembesaran kelenjar getah bening. Penatalaksanaan Pengobatan berupa simtomatik dengan antipiretik dan anlgetik, dan untuk menghilangkan rasa gatal dapat diberikan sedativ. Lokal diberikan bedak yang ditambah dengan zat anti gatal (mentol, kamfora) untuk mencegah pecahnya vesikel secara dini serta menghilangkan rasa gatal. Jika timbul infeksi sekunder dapat diberikan antibiotik berupa salep dan oral.

3. HIV1 Infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah suatu infeksi yang secara progresif merusak sel-sel darah putih (limfosit), menyebabkan AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) dan penyakit lainnya sebagai akibat dari gangguan kekebalan tubuh. Etiologi : 2 jenis virus penyebab AIDS, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Penularan HIV melalui kontak cairan tubuh (darah, semen, cairan vagina, cairan serebrospinal dan air susu ibu) yang mengandung sel terinfeksi atau partikel virus. Dalam konsentrasi kecil, virus terdapat di air mata, air kemih dan air ludah. Gejala Klinis : 1. Gejalanya berupa demam, ruam-ruam, pembengkakan kelenjar getah bening dan rasa tidak enak badan yang berlangsung selama 3-14 hari. Sebagian besar gejala akan menghilang, meskipun kelenjar getah bening tetap membesar.

2. Selama beberapa tahun, gejala lainnya tidak muncul. Tetapi sejumlah besar virus segera akan ditemukan di dalam darah dan cairan tubuh lainnya. Dalam waktu beberapa bulan setelah terinfeksi, penderita bisa mengalami gejala-gejala yang ringn secara berulang yang belum benar-benar menunjukkan suatu AIDS. Gejalanya berupa: pembengkakan kelenjar getah bening, penurunan berat badan, demam yang hilang-timbul, perasaan tidak enak badan, lelah, diare berulang, anemia, thrush (infeksi jamur di mulut). AIDS Beberapa infeksi oportunistik dan kanker merupakan ciri khas dari munculnya AIDS: 1. Thrush Pertumbuhan berlebihan jamur Candida di dalam mulut, vagina atau kerongkongan, biasanya merupakan infeksi yang pertama muncul. 2. Pneumonia pneumokistik jamur Pneumocystis carinii merupakan infeksi oportunistik yang sering berulang pada penderita AIDS. 3. Toksoplasmosis Infeksi kronis oleh Toxoplasma sering terjadi sejak masa kanak-kanak, tapi gejala hanya timbul pada sekelompok kecil penderita AIDS. 4. Tuberkulosis penderita infeksi HIV, lebih sering terjadi dan bersifat lebih mematikan. Mikobakterium jenis lain yaitu Mycobacterium avium, merupakan penyebab dari timbulnya demam, penurunan berat badan dan diare pada penderita tuberkulosa stadium lanjut. Tuberkulosis bisa diobati dan dicegah dengan obat-obat anti tuberkulosa yang biasa digunakan. 5. Infeksi saluran pencernaan oleh parasit Cryptosporidium sering ditemukan pada penderita AIDS. Parasit ini mungkin didapat dari makanan atau air yang tercemar. Gejalanya berupa diare hebat, nyeri perut dan penurunan berat badan. 6. Leukoensefalopati multifokal progresif infeksi virus di otak yang bisa mempengaruhi fungsi neurologis penderita. 7. Infeksi oleh sitomegalovirus. 8. Sarkoma Kaposi suatu tumor yang tidak nyeri, berwarna merah sampai ungu, berupa bercak-bercak yang menonjol di kulit. Pengobatan 1. Nucleoside reverse transcriptase inhibitor Zidovudin, didanosin, zalsitabin, stavudin, lamivudin, Abakavir 2. Non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor Nevirapin, Delavirdin, Efavirenz 3. Protease inhibitor Saquinavir, Ritonavir, Indinavir, Nelfinavir 3. Jamur superficial 1 Tinea Kapitis Kelainan kulit pada daerah kepala rambut yang disebabkan jamur golongan dermatofita. Disebabkan oleh species dermatofitatrichophyton dan microsporum. Gambaran klinik keluhan penderita berupa bercak pada kepala, gatal sering disertai rambut rontok ditempat lesi. Diagnosis ditegakkan berdasar gambaran klinis, pemeriksaan lampu wood dan pemeriksaan mikroskopis dengan KOH, pada pemeriksaan mikroskopis terlihat spora diluar rambut atau didalam rambut.

Pengobatan pada anak peroral griseofulvin 10-25 mg/kg BB perhari, pada dewasa 500 mg/hr selama 6 minggu.

Tinea Favosa Infeksi jamur kronis terutama oleh trychophiton schoen lini, trychophithon violaceum, dan microsporum gypseum. Gambaran klinik : gambaran ringan berupa kemerahan pada kulit kepala dan terkenanya folikel rambut tanpa kerontokan hingga skutula dan kerontokan rambut serta lesi menjadi lebih merah dan luas kemudian terjadi kerontokan lebih luas, kulit mengalami atropi sembuh dengan jaringan parut permanen. Diagnosis dengan pemeriksaan mikroskopis langsung Prinsip pengobatan tinea favosa sama dengan pengobatan tinea kapitis, hygiene harus dijaga.

Tinea Korporis Infeksi jamur dermatofita pada kulit halus (globurus skin) di daerah muka, badan, lengan dan glutea. Penyebab tersering adalah T. rubrum dan T. mentagropytes. Gambaran klinik : lesi terdiri atas bermacam-macam efloresensi kulit, berbatas tegas dengan konfigurasi anular, arsinar, atau polisiklik, bagian tepi lebih aktif dengan tanda peradangan yang lebih jelas. Daerah sentral biasanya menipis dan terjadi penyembuhan, sementara tepi lesi meluas sampai ke perifer. Kadang bagian tengahnya tidak menyembuh, tetapi tetap meninggi dan tertutup skuama sehingga menjadi bercak yang besar. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan lokalisasinya serta kerokan kulit dengan mikroskop langsung dengan larutan KOH 10-20% untuk melihat hifa atau spora jamur. Pengobatan sistemik berupa griseofulvin 500 mg sehari selama 3-4 minggu, itrakenazol 100mg sehari selama 2 minggu, obat topikal salep whitfield.

Tinea Imbrikata Penyakit yang disebabkan jamur dermatofita yang memberikan gambaran khas berupa lesi bersisik yang melingkarlingkar dan gatal. Disebabkan oleh dermatofita T. concentricum. Gambaran klinik : menyerang seluruh permukaan kulit halus, sehingga sering digolongkan dalam tinea korporis. Lesi bermula sebagai makula eritematosa yang gatal, kemudian timbul skuama agak tebal terletak konsensif dengan susunan seperti genting, lesi tambah melebar tanpa meninggalkan penyembuhan dibagian tangahnya. Diagnosis berdasar gambaran klinis yang khas berupa lesi konsentris. Pengobatan sistemik griseofulvin 500 mg sehari selama 4 minggu, sering kambuh

setelah pengobatan sehingga memerlukan pengobatan ulang yang lebih lama, ketokonazol 200 mg sehari, obat topikal tidak begitu efektif karena daerah yang terserang luas.

Tinea Kruris Penyakit jamur dermatifita didaerah lipat paha, genitalia dan sekitar anus, yang dapat meluas kebokong dan perut bagian bawah. Penyebab E. floccosum, kadangkadang disebabkan oleh T. rubrum. Gambaran klinik : lesi simetris dilipat paha kanan dan kiri mula-mula lesi berupa bercak eritematosa, gatal lama kelamaan meluas sehingga dapat meliputi scrotum, pubis ditutupi skuama, kadang-kadang disertai banyak vesikel kecil-kecil. Diagnosis berdasar gambaran klinis yang khas dan ditemukan elemen jamur pada pemeriksaan kerokan kulit dengan mikroskopis langsung memakai larutan KOH 10-20%. Pengobatan sistemik griseofulvin 500 mg sehari selama 3-4 minggu, ketokonazol, obat topikal salp whitefield, tolsiklat, haloprogin, siklopiroksolamin, derivat azol dan naftifin HCL.

Tinea Manus et Pedis Merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi jamur dermatofita didaerah kilit telapak tangan dan kaki, punggung tangan dan kaki, jari-jari tangan dan kaki serta daerah interdigital. Penyebab tersering T. rubrum, T. mentagrophytes, E. floccosum. Gambaran klinik ada 3 bentuk klinis yang sering dijumpai yaitu: a. Bentuk intertriginosa berupa maserasi, deskuamasi, dan erosi pada sela jari tampak warna keputihan basah terjadi fisura terasa nyeri bila disentuh, lesi dapat meluas sampai ke kuku dan kulit jari. Pada kaki lesi sering mulai dari sela jari III, IV dan V. b. Bentuk vesikular akut ditandai terbentuknya vesikula-vesikula dan bila terletak agak dalam dibawah kulit sangat gatal, lokasi yang yang sering adalah telapak kaki bagian tengah melebar serta vesikulanya memecah. c. Bentuk moccasin foot pada bentuk ini seluruh kaki dan telapak tepi sampai punggung kaki terlihat kulit menebal dan berskuama, eritema biasanya ringan terutama terlihat pada bagian tepi lesi. Diagnosis ditegakkan berdasar gambaran klinik danpemeriksaan kerokan kulit dengan larutan KOH 10-20% yang menunjukkan elemen jamur. Pengobatan cukup topikal saja dengan obat-obat anti jamur untuk interdigital dan vesikular selama 4-6 minggu.

Tinea unguium Kelainan kuku yang disebabkan infeksi jamur dermatofita. Penyebab tersering adalah T. mentagrophites, T. rubrum. Gambaran klinik biasanya menyertai tinea pedis atau manus penderita berupa

kuku menjadi rusak warna menjadi suram tergantung penyebabnya, distroksi kuku mulai dari dista, lateral, ataupun keseluruhan. Diagnosis ditegakkan berdasar gejala klinis pada pemeriksaan kerokan kuku dengan KOH 10-20 % atau biakan untuk menemukan elemen jamur. Pengobatan infeksi kuku memerlukan ketekunan, pengertian kerjasama dan kepercayaan penderita dengan dokter karena pengobatan sulit dan lama. Pemberian griseofulvin 500 mg sehari selama 3-4 bulan untuk jari tangan untuk jari kaki 9-12 bulan. Obat topical dapat diberikan dalam bentuk losion atau crim.

BAB IV Pruritus Penyakit Sistemik Etiologi pruritus karena penyakit sistemik14 1

Kondisi metabolik dan endokrin 2.. Hipertiroidisme Hipotiroidisme Kehamilan Tumor ganas Limfoma, myeloid dan lymphatic leukemia, myelodysplasia Multiple myeloma Hodgkin disease Kanker jenis lain 3. Obat-obatan Aspirin, alkohol, dextran, polymyxin B, morphine, codeine, scopalamine, D-tubocurarine, IV hydroxyethyl starch 4. Penyakit ginjal Gagal ginjal Kelainan darah Polycythemia vera Paraproteinemia, defisiensi Fe Kelainan hepar Penyakit obstruktif biliar Kehamilan (kolestasis intrahepatik)

5.

Psikogenik 6. Periode stress emosional Pruritus psychogenic Anoreksia nervosa Necrotic axcoriations Delusi parasitosis

7.

Tabel 4.1 Pruritus Penyakit Sistemik 4. Pruritus pada kondisi metabolik dan endokrin1 Kehamilan Pruritus gravidarum diinduksi oleh estrogen dan terkadang juga memiliki hubungan dengan kolestasis. Pruritus terutama terdapat pada trimester terakhir pada kehamilan, dapat dimulai dari daerah abdomen atau badan yang kemudian berkembang menjadi generalisata. Pruritus juga dapat disertai dengan anoreksia, nausea dan juga vomitus. Pruritus dapat menghinlang sesudah penderita melahirkan tetapi dapat residif pada kehamilan berikutnya. Penyakit endokrin Pada hiperparatiroidia sekunder pruritus terjadi karena pada kondisi tersebut terdapat kenaikan hormon paratiroid dalam plasma yang menyebabkan penurunan ekskresi karena Ca dalam serum tidak berubah. Deposit kalsium fosfat di kulit tersebut pada akhirnya menyebabkan pruritus. Pada hipertiroid dan hipotiroid penyebab timbulnya pruritus belum dapat diketahui dengan jelas. Tetapi dapat berkaitan dengan peningkatan tekanan darah, peningkatan suhu kulit dan aktivitas kelenjar paratiroid yang abnormal yang pada akhirnya dapat menyebabkan pruritus.

4. Pruritus pada penyakit hepar15 Pruritus hepatikum merupakan gejala ikutan yang utama pada penyakit hati dan biasanya disertai kolestasis. Pruritus yang terjadi dianggap berkaitan dengan garam empedu. Intensitas gatal sebanding dengan konsentrasi garam empedu dalam darah. Pada kolestasis penyebab terjadinya pruritus juga belum sepenuhnya diketahui. Zat yang menumpuk dalam plasma dan jaringan lain yang merupakan akibat dari kolestasis dapat menjadi penyebab terjadinya pruritus. Namun sifat dan mekanisme zat tersebut juga belum diketahui secara pasti. Hipotesis lain menyebutkan bahwa pruritus pada kolestasis berhubungan dengan peningkatan opiodergic. Pruritus pada kolestasis dapat dianalogkan dengan pruritus yang terjadi akibat farmakologi yang berhubungan juga dengan peningkatan opiodergic. Pruritus sebagai ekspresi kolestasis merupakan tanda adanya onstruksi pada empedu (obstructive biliary disease). Perasaan gatal biasanya lebih banyak jika penyakit disertai dengan ikterik. Obstruksi dapat berlokasi intra atau ekstra hepatal. Selain itu, pruritus juga dapat bermanifestasi sebagai efek samping obat-obat yang

memberi efek samping obstruksi biliar intra-hepatal seperti klorpromazin, intra atau ekstra hepatal misalnya klorpromazin, metil testosteron dan pil kontrasepsi. 4. Pruritus pada penyakit ginjal16 Uremia merupakan penyebab metabolik yang paling sering. Penyebab pruritus pada penyakit ginjal belum dapat diketahui secara pasti dan dapat bersifat multifaktorial. Sejumlah faktor diketahui menyebabkan pruritus uremik namun etiologi spesifik pada umumnya belum diketahui pasti. Beberapa kasus pruritus lebih berat selama atau setelah dialisis. Berikut ini merupakan beberapa mekanisme yang menyebakan pruritus yaitu sebagai berikut : Xerosis Masalah kulit yang sering terjadi pada pasien dialisis (60%-90%) yang memicu terjadinya pruritus uremia. Xerosis atau dry skin akibat atrofi kelenjar sebasea, gangguan fungsi sekresi eksternal, dan gangguan hidrasi stratum korneum. Skin dryness pada pasien dialisis yang pruritus mempunyai hidrasi lebih rendah dibandingkan pasien dialisis tanpa keluhan pruritus. Hiperparatiroid Hiperparatiroid dapat menstimulasi sel mast untuk melepaskan histamin dan dapat menyebabkan mikropresipitasi garam kalsium dan magnesium di kulit. Peningkatan proliferasi sel mast di kulit Pada pasien uremia, jumlah sel mast dermis meningkat, dan kadar histamin dan triptase plasma lebih tinggi pada pasien dengan pruritus uremik berat. Neuropati sensorik uremik Pruritus uremik merupakan sensasi gatal dari neuropati dan neurogenik. Pruritus ditransmisikan melalui serabut C di kulit. Stimulan serabut C meliputi sitokin, histamin, serotonin, prostaglandin, neuropeptida, dan enzim. Sensasi gatal neuropati dapat berasal dari kerusakan sistem saraf di sepanjang jalur afferen. Stahle-Backdahl menyatakan bahwa pruritus uremik dapat disebabkan oleh proliferasi abnormal serabut saraf sensorik Berkurangnya eliminas transepidermal faktor pruritogenik Secara teori, akumulasi senyawa pruritogenik yang tidak terdiaisis dapat menimbulkan efek sensasi gatal di saraf pusat ataupun di reseptor. Senyawa pruritogenik di antaranya vitamin A, hormon paratiroid dan histamin yang berpotensi menimbulkan pruritus. Namun tidak ada bukti-bukti yang mendukung bahwa senyawa tersebut menyebabkan pruritus uremik. Stale-Backdahl menyatakan hipotesa bahwa pruritus uremik dapat disebabkan oleh proliferasi abnormal serabut saraf sensorik yang dikenal sebagai neuropati uremik. Stale menemukan serabut saraf dan saraf terminal tersebar di lapisan epidermis pasien dialisis. Namun, laporan terbaru menyatakan tidak ada perbedaan distribusi serabut saraf sensorik enolase-positip antara pasien normal dengan pasien uremik. Marker infl amasi seperti C-reactive protein dan interleukin-6 dilaporkan juga meningkat pada pasien pruritus uremik. Hiperkalsemia Hiperfosfatemia

Peningkatan kadar histamin Histamin, basofi l, trombosit, dan sel mast peritoneal serta bronkial telah dikenal sebagai pemicu rasa gatal pada kulit yang alergi. Pelepasan histamin dipicu oleh substansi P, neurotransmiter yang terlibat dalam sensasi rasa gatal. Kadar histamin yang meningkat telah dilaporkan pada pasien uremia, namun hubungan antara kadar histamin dengan derajat pruritus masih belum jelas. Reaksi fl are akibat histamin sangat sedikit pada pasien uremia dibandingkan pasien normal, dan antagonis histamin biasanya tidak efektif mengurangi pruritus uremik. Jadi, sangat tidak mungkin bahwa histamin berperan sebagai patogen utama pruritus. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5. Kesimpulan 1. Pruritus merupakan sensasi tidak menyenangkan pada kulit yang menyebabkan keinginan untuk menggaruk. Internasional Forum For the Study of Itch (IFSI) mengelompokkan pruritus menjadi akut dan kronik, dengan lama gejala pruritus 6 minggu atau lebih. 2. Pruritus dapat disebabkan karena faktor eksogen ataupun faktor endogen 3. Penyebab pruritus dapat disebabkan karena adanya kelainan kulit dan juga dapat disebabkan karena penyakit sistemik lain 4. Pruritus menurut patofisiologinya dapat dibedakan menjadi pruritoceptive, neuropathic, neurogenic dan phsycogenic 5. Manifestasi klinis dari pruritus meliputi UKK sekunder seperti likenifikasi, ekskoriasi dan lainnya 6. Penatalaksanaan dapat meliputi aspek farmakologi dan non farmakologi 7. Pruritus harus dapat ditangani secara tepat karena mempengaruhi kualitas hidup seseorang. 5. Saran 1. Penelitian yang berkaitan dengan pruritus harus diperbanyak karena dapat menambah wawasan dan kepustakaan khususnya bagi mahasiswa dan juga untuk masyarakat umu 2. Penyusunan referat tentang pruritus yang lebih baik dan lebih lengkap.

DAFTAR PUSTAKA 1. Djuanda Adhi, Hamzah M, Aisah S. 2007. Ilmu penyakit kulit dan kelamin edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. Hal 321-323: 342-352 2. Karnath, B. 2005. Pruritus A Sign of Underlying Disease http://www.turnerwhite.com/memberfile.php?PubCode=hp_oct05_pruritus.pdf

3. Wolf, K. 2008. Fitzpatricks dermatology in general medicine edisi 7. New York The MacGraw-Hill Company hal 902-911 4. Mirsey, L dan Stander, S. 2010. (eds) Pruritus, Dol 10.1007/978-1-84882-322-8_11. London: Springer verlag london limited 5. http://www.itchforum.net/content/e02about_Itch/index_eng.html 6. Stander, S, dkk. 2007. Clinical Classification of Itch: a Position Paper of the International Forum for the Study of Itch. Prancis: Acta dern venereol 7. Louise, OA. 2011. Neuropathic Itch. US: PMC (US National Library of Medicine National Institutes of Health) www.nci.nih.gov>journallist>NHPAAuthorManusripts 8. www.medscape.com/viewarticle/730033-4 9. Stephanie. 2008. Physcogenic Pruritus. USA: Harvard Medical School; 10. Mirsey, L, dkk. 2009. Itch Disoreder or Physcogenic Pruritus. France: Department of Dermatology,University Hospital FR 29609 Brest Cedex, France 11. http://www.scribd.com/doc/45790104/Mekanisme-Gatal-Pruritus 12. http://as3pram.files.wordpress.com/2007/07/potensi-kortikosteroid-topikal.pdf 13. Nafrialdi, Setiawati A. 2007. Farmakologi dan terapi: edisi 5. Jakarta. Hal 277-285: 51 14. Wolf, K. 2009. Fitspatricks color atlas and synopsis of clinical dermatology: edisi 6. New York: The MacGraw-Hill Company. Hal 1068-1069 15. Yohova,D. 2007. Pruritus In Certain Internal Disease. USA: US National Library of Medicine National Institutes of Health 16. Roswati, E. 2010. Pruritus pada Pasien Hemodialisis. Medan: Divisi Neurologi dan Hipertensi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU

Anda mungkin juga menyukai