Anda di halaman 1dari 19

NIH Public Access

Ketidakseimbangan Otot dan Menurunnya Gerak Sendi Pergelangan Kaki pada Pasien dengan Hammer Toe Deformity
Published in final edited form as: Clin Biomech (Bristol, Avon). 2009 October ; 24(8): 670675. OY Kwon, LJ Tuttle, JE Johnson, and MJ Mueller
Department of Physical Therapy, College of Health Science, Yonsei University, South Korea Movement Science Program, Washington University, St. Louis, MO Department of Orthopaedic Surgery, Washington University, St. Louis, MO Program in Physical Therapy, Washington University, St. Louis, MO

Abstrak` Latar belakang Banyak faktor yang dapat mencetuskan terjadinya hammer toe deformity pada sendi metatarsophalangeal. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk (1) membandingkan rasio kekuatan otot ekstensor / fleksor pada jari kaki 2-4 antara kelompok dengan dan tanpa hammer toe deformity (2) untuk menentukan korelasi antara rasio kekuatan otot ekstensor / fleksor pada jari kaki 2-4 dan deformitas sendi metatarsophalangeal (3) untuk menentukan jika tindakan klinis yang berbeda antara kelompok dan jika tindakan ini berkorelasi dengan sendi metatarsophalangeal. Metode Terdapat 27 kaki dengan hammer toe deformity dan 31 kaki tanpa hammer toe deformity akan diuji. Kekuatan otot kaki diukur menggunakan dinamometer dan rasio kekuatan otot ekstensor dan fleksor jari kaki akan dihitung. Sendi metatarsophalangeal diukur dari gambar tomografi komputer. ROM pergelangan kaki, subtalar , dan torsi tibialis diukur dengan menggunakan geniometri.

Hasil Rasio kekuatan otot ekstensor / fleksor pada jari kaki adalah 2,3-3,0 kali lebih tinggi pada kelompok non hammer toe deformity yaitu jari 2-4. Rasio kekuatan otot ekstensor / fleksor pada jari kaki 2-4 dan sendi metatarsophalangeal korelasinya lebih tinggi (r = 0,69-0,80). Dorsofleksi pergelangan kaki dan sendi metatarsophalangeal berkorelasi negatif untuk jari kaki 2-4 (r = -0,38---0.56) seperti eversi sendi metatarsophalangeal. Interpretasi Hasil yang didapatkan berupa faktor-faktor risiko potensial untuk terjadinya hammer toe deformity. Penelitian tambahan diperlukan untuk menentukan hubungan penyebab antara hammer toe deformity dan rasio kekuatan otot ekstensor / fleksor pada jari kaki 2-4. Pendahuluan Hammer toe deformity adalah dorsofleksi pada sendi metatarsophalangeal

(MTPJ), plantarflexi pada sendi interphalangeal proksimal dan melebihi posisi normal atau dorsofleksi pada sendi interphalangeal distal (Tollafild dan Merriman, 1995). Hammer toe deformity adalah masalah yang sering terjadi terutama di jari kaki kedua dan dapat menjadi sumber ketidaknyamanan pada kaki depan (Dhukaram et al, 2002). Insiden hammer toe deformity meningkat sesuai dengan usia. Hammer toe deformity dapat menyebabkan rasa nyeri dan kalus pada sendi interphalangeal proksimal karena iritasi pemakaian sepatu, dan juga dapat menyebabkan metatarsalgia dan pembentukan kalus pada metatarsal. hammer toe deformity biasanya terjadi pada pasien dengan diabetes dan neuropati perifer yang berhubungan dengan peningkatan tekanan kaki depan bagian plantar dan peningkatan risiko ulserasi (Lavery et al, 998; Mueller et al, 2003 ).

Faktor risiko potensial untuk terjadinya hammer toe deformity sangat beragam antara lain ketidakseimbangan otot, ketidakefektifan fleksor kaki ( atrofi dan kelemahan otot-otot intrinsik kaki ), hallux valgus, trauma, arthritis inflamasi, kontraksi ekstensor digitorum longus (EDL), diabetes, tipe kaki dan faktor biomekanik (Coughlin, 1984; Coughlin et al, 2000; Dhukaram et al, 2002;

Parrish, 1973; Hansen 2000). Ketidakseimbangan otot antara ekstensor dan fleksor jari kaki intrinsik telah dianggap sebagai penyebab utama untuk beberapa jenis hammer toe deformity (Scheck, 1977; Schnepp, 1937, Hansen 2000). Ekstensi kuat dari EDL dan oto ekstensor digitorum brevis (EDB ) pada MTPJ yang seimbang dengan fleksor digitorum longus, interosseus, dan lumbrical ( otot kaki intrinsik ) ( Bhatia et al, 1994). Ketika otot-otot intrinsik kaki lemah, aktivitas dari otot ekstensor menjadi lebih lama. Hal ini diyakini menjadi penyebab terjadinya hammer toe deformity ( Boulton, 1988). Namun, sebuah penelitian baru-baru ini pada pasien dengan diabetes dan neuropati tidak sesuai dengan penelitian ini (Bus et al, 2009). Posisi ekstensi yang lama pada jari kaki dapat menyebabkan pemendekan otot EDL dan pemanjangan otot-otot intrinsik kaki. Masalah ini bisa diperparah dengan adanya keterbatasan ROM dorsofleksi pada pergelangan kaki (Hansen 2000) atau pada sendi subtalar yang dapat meningkatkan aktivitas EDL sehingga ROM pada bagian pergelangan kaki meningkat. Meskipun ketidakseimbangan otot telah dianggap sebagai etiologi utama hammer toe deformity, kita menyadari tidak ada penelitian yang mengemukakan untuk mengukur secara kuantitatif rasio kekuatan otot ekstensor / fleksor jari kaki. Beberapa penelitian telah mengemukakan secara langsung mengukur kekuatan otot fleksor kaki secara keseluruhan (Allen dan Gross, 2003; Menz et al, 2006; Nihal et al, 2002; Senda et al, 1999). Namun, kami menyadari tidak ada penelitian yang mengemukakan untuk mengukur secara kuantitatif rasio kekuatan otot ekstensor / fleksor jari kaki pada orang dengan dan tanpa hammer toe deformity. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk (1) membandingkan rasio rasio kekuatan otot ekstensor / fleksor jari kaki 2-4 antara kelompok dengan dan tanpa hammer

toe deformity (HT dan NHT) dan (2) untuk menentukan korelasi antara rasio kekuatan otot ekstensor / fleksor pada jari kaki 2-4 dan deformitas sendi metatarsophalangeal (3) untuk menentukan jika tindakan klini (ROM pergelangan kaki, ROM subtalar, torsio tibial) yang berbeda antara kelompok HT dan NHT jika tindakan ini berkorelasi dengan sendi metatarsophalangeal. Metode Subjek Terdapat dua puluh sembilan subjek yang berpartisipasi dalam penelitian ini (16 perempuan dan 13 laki-laki). Dua puluh tujuh kaki (10 kaki perempuan, 17 kaki laki-laki) dengan hammer toe deformity dan usia rata-rata ( SD ) dari 32 ( 14 ) tahun yang ditunjuk sebagai kelompok jari kaki palu ( HT ) . Tiga puluh satu kaki (22 kaki perempuan, laki-laki 9 kaki ) tanpa hammer toe deformity dan usia ratarata (SD) dari 29 (8) tahun yang ditunjuk sebagai kelompok non hammer toe deformity (NHT). Subyek dengan terlihat metatarsal phalangeal bersama hiperekstensi (melampaui 30 derajat ekstensi) yang terlihat selama berdiri dan duduk di kelompokkan HT . Anehnya, laki-laki lebih mungkin untuk berada dalam kelompok jari kaki palu daripada perempuan (Tabel 1). Perbedaan gender ini mungkin juga memberikan kontribusi terhadap perbedaan yang signifikan dalam berat badan, tinggi badan, dan kaki panjang antara HT dan kelompok NHT ( p < 0,01 ), (Tabel 1). Pasien dengan riwayat operasi kaki, neuropati perifer, penyakit sistemik, penyakit saraf, neuroma Morton, kelainan bentuk kaki yang parah, deformitas tetap jari kaki palu kaki, ulserasi kaki, claustrophobia, gangguan kognitif atau tumor ganas dikeluarkan dari penelitian ini. Peserta direkrut dari kalangan staf dan mahasiswa di Washington University, dan rawat jalan dari Departemen Bedah Ortopedi di Rumah Sakit Barnes - Jewish, Washington University Medical Center. Semua subjek diberikan informed consent yang disetujui oleh Washington University School of Medicine Manusia Kantor Perlindungan Penelitian.

Tabel 1 Karakteristik deskripitif subjek Kelompok Karakteristik Umur (tahun) Jenis kelamin Laki-laki (%) Perempuan (%) Berat (kg) Tinggi (cm) Panjang kaki (cm) BMI 10 ( 27%) 17 (63%) 78.3 (14.2) 173.2 (9.1) 258.3 (16.9) 26.4 (3.4) 22 ( 71% )* 9 (29% )* 63.2 (13.4)* 164.4 (9.6)* 243.7(23.3)* 23.2 (3.1) HT 32 (14) NHT 29 (8)

HT: hammer toe deformity NHT: non hammer toe deformity P<0,01 Kekuatan Otot Kekuatan otot kaki diukur menggunakan dinamometer digital (MSC-100, Chatillon) dipasang secara vertikal di papan kayu yang stabil (Gambar 1). Sebuah manset kulit tipis (lebar 1,5 cm) dihubungkan dengan dinamometer .Kekuatan otot fleksor kaki diukur dalam posisi duduk dengan lutut flexi 90 derajat dan pergelangan kaki dalam posisi netral (0 derajat dorsofleksi dan plantarflexion) . Beberapa penulis merekomendasikan menempatkan kaki dan pergelangan kaki dalam posisi netral untuk menguji kekuatan otot kaki dan meminimalkan pengaruh otot ekstrinsik kaki (Kendall et al, 1993; Hislop dan Montgomery, 1995). Kaki pasien distabilkan oleh pemeriksa untuk mencegah terangkatnya tumit dan gerakan kaki selama tes kekuatan otot dilakukan. Ketinggian platform disesuaikan dengan tinggi kaki pasien. Manset kulit ditempatkan di sisi plantar palang proksimal dari kaki yang akan diukur. Pasien diminta untuk menekan sekuat mungkin dengan jari kakinya selama 5 detik tanpa mengangkat tumit. Pasien melakukan hal tersebut selama 3 kali sebelum dicatat. Setelah pasien

terbiasa dengan tes, 3 kali percobaan dikumpulkan dan rata-rata dari 3 percobaan digunakan untuk menentukan rasio kekuatan otot extensor/flexor jari kaki. Istirahat diberikan selama satu menit antara percobaan untuk meminimalkan kelelahan otot . Gambar 1. Tes kekuatan otot ekstensor jari kaki 4. Pemeriksa menstabilkan kaki untuk mencegah tumit dan metatarsal 4 terangkat selama tes dilakukan.

Untuk mengukur kekuatan otot ekstensor jari kaki digunakan dinamometer digital. Manset kulit ditempatkan di sisi plantar palang proksimal dari kaki yang akan diukur. Pasien diminta untuk menekan sekuat mungkin dengan jari kakinya selama 5 detik tanpa mengangkat metatarsal (Gambar 1). Pasien melakukan hal tersebut selama 3 kali sebelum dicatat. Setelah pasien terbiasa dengan tes, 3 kali percobaan dikumpulkan dan rata-rata dari 3 percobaan digunakan untuk menentukan rasio kekuatan otot extensor/flexor jari kaki. Istirahat diberikan selama satu menit antara percobaan untuk meminimalkan kelelahan otot. Rata-rata dari 3 percobaan digunakan untuk menentukan rasio kekuatan otot extensor/flexor jari kaki. CT Scan MTPJ jari kaki 2-4 diukur dari data CT menggunakan metode yang ditetapkan sebelumnya (Commean et al, 2002). CT scan dilakukan dengan pasien dalam posisi duduk dengan pergelangan kaki posisi plantarfleksi 30 derajat dengan papan pergelangan kaki untuk memastikan posisi pengujian yang sama antara subjek . MTPJ dipengaruhi oleh ketegangan pasif dari otot-otot ekstrinsik kaki

yang pada sendi pergelangan kaki. Jika pergelangan kaki berada dalam posisi dorsofleksi, ketegangan pasif fleksor digitorum longus akan memberikan kontribusi pada penurunan MTPJ. Pada posisi plantarfleksi pergelangan kaki, terjadi peningkatan ketegangan pasif dari otot EDL akan meningkatkan sudut MTPJ. Untuk meminimalkan efek ketegangan pasif otot ekstrinsik pada MTPJ selama tes, kami memilih untuk memposisikan pergelangan kaki plantarfleksi 30 derajat, yang merupakan pertengahan posisi fisiologis ROM pergelangan kaki yaitu antara 10 derajat dorsofleksi sampai 50 derajat plantarfleksi. Meskipun posisi ini berbeda dari posisi yang digunakan untuk mengukur kekuatan otot , kami berpikir posisi ini adalah posisi optimal untuk menentukan ukuran ROM. Pinggul pasien diposisikan netral (tidak ada rotasi internal atau eksternal ) dan pita perekat digunakan untuk menstabilkan kaki. Setiap pasien di scan dari lutut ke jari kaki . Semua gambar yang dihasilkan dan dianalisis menggunakan Analisis perangkat lunak 7.0 (Biomedical Imaging Resource, Mayo Clinic, Rochester MN). MTPJ diukur dari proyeksi gambar bagian lateral setiap kaki (Commean et al, 2002) (Gambar 2). Gambar 2. Gambar lateral metatarsal ketiga. Sudut BAD diukur untuk

menentukan sudut deformitas pada jari palu kaki.

Goniometri ROM dorsofleksi dan plantarfleksi pergelangan kaki, ROM inversi dan eversi calcaneal, dan torsi tibialis diukur menggunakan goniometer plastik dengan skala interval 2 derajat. Untuk ukuran dorsofleksi pergelangan kaki, plantarfleksi pergelangan kaki, inversi calcaneus, dan eversi calcaneus, pasien dalam keadaan

posisi tengkurap dengan lutut diperpanjang, kaki dan pergelangan kaki diposisikan pada ujung tiang. Ketika mengukur ROM dorsofleksi dan plantarfleksi pergelangan kaki, lengan ditempatkan di garis tengah sisi lateral fibula dan sumbu ditempatkan di tengah garis melalui garis tengah lateral fibula dan garis tengah lateral metatarsal 5. Kaki dipindahkan secara pasif oleh pemeriksa dan ROM itu direkam. Untuk mengukur ROM inversi dan eversi calcaneus, lengan ditempatkan di garis tengah posterior kaki dan sumbu ditempatkan di atas tendon calcaneus sejalan dengan malleolus tersebut. Bergerak lengan ditempatkan di garis tengah posterior calcaneus. Pemeriksa menciptakan posisi awal 0 derajat inversi dan eversi dan kemudian calcaneus dipindahkan pasif medial dan lateral untuk inversi dan eversi masing-masing dan nilai ROM dicatat. Untuk mengukur torsi tibialis, peserta diposisikan tengkurap dengan lutut tertekuk sampai 90 derajat dan pergelangan kaki diposisikan dalam keadaan netral. Pemeriksa menentukan tengah medial maleolus dalam arah anterior - posterior pada sendi pergelangan kaki dan menandai sebuah titik pada titik tengah dengan menggunakan pulpen. Selanjutnya, aspek yang paling menonjol dari maleolus lateral ditandai dengan titik menggunakan pulpen. Pemeriksa kemudian menarik garis pada permukaan plantar tumit yang menghubungkan titik-titik pada malleolus medial dan lateral untuk menandai poros transmalleolar ( Milner dan Soames, 1998; Staheli et al , 1985; Valmassy dan Stanton, 1989 ). Satu lengan goniometer itu kemudian sejajar dengan sumbu transmalleolar yang telah disusun pada permukaan plantar tumit dan lengan lainnya adalah selaras tegak lurus terhadap sumbu panjang paha dan sudut antara dua garis tercatat sebagai sudut torsi tibialis ( Stuberg et al, 1991). Peserta diminta untuk tetap santai untuk meminimalkan rotasi kaki bagian bawah selama pengukuran. Piva et al ( 2006) melaporkan bahwa reliabilitas pengukuran goniometeric untuk torsi tibialis dengan subjek dalam posisi tengkurap adalah moderat ( ICC = 0.70 ) .

Analisa Statistik Tes Independen digunakan untuk menentukan perbedaan yang signifikan antara kelompok HT dan NHT. Korelasi antara rasio kekuatan otot ekstensor/fleksor jari kaki dan sudut MTPJ diuji dengan menggunakan korelasi Pearson. Analisis regresi multiple dilakukan untuk menentukan kontribusi sudut MTPJ dari rasio kekuatan otot ekstensor/fleksor jari kaki, ROM dorsofleksi pergelangan kaki, dan ROM eversi sendi subtalar. Tingkat signifikansi untuk semua analisis ditetapkan pada p = 0,05 Hasil Rasio kekuatan otot ekstensor / fleksor jari kaki adalah 2,3-3,0 kali lebih tinggi pada kelompok HT dibandingkan dengan kelompok NHT (rata-rata ( SD ) : 2,4 ( 1,6 ) vs 0,8 ( 0,2 ) ; 1,9 ( 0,7 ) vs 0,8 ( 0,20 ) ; 1,6 ( 0,8 ) vs 0,7 ( 0,2 ) , semua p < 0,001 ). Kelompok HT memiliki ROM dorsofleksi pergelangan kaki yang kurang ( mean ( SD ) : 4.7 ( 5.4 ) vs 10,3 ( 2,6 ) derajat , p <0,01 ) dan ROM eversi calcaneus yang kurang ( mean ( SD ) : 7.1 ( 3.3 ) vs 9,9 ( 2,7 ) derajat , p <0,01 ) dibandingkan dengan kelompok NHT. Rasio kekuatan otot ekstensor / fleksor jari kaki 2-4 dan MTPJ sangat berhubungan ( r = 0,69 , r = 0,80 , r = 0,77 , Tabel 3 ). Dorsofleksi pergelangan kaki dan MTPJ berkorelasi negatif pada jari kaki 2-4 ( r = -0.46 , -0.56 , -0.38 ) seperti eversi calcaneal dan MTPJ angle ( r = -0,60 , r = 0.59 , r = -0.45 ) . Lihat Tabel 2 untuk deskripsi besarnya masing-masing variabel dibandingkan antara kelompok dan Tabel 3 untuk korelasi antara variabel untuk masing-masing kaki. Rasio kekuatan otot ekstensor / fleksor jari kaki 48-64 % dari variasi pada MTPJ di jari kaki 2-4 ( p < 0,001 ). ROM eversi menambahkan 6-11 % dari variasi pada MTPJ di jari kaki 2-4 untuk menjelaskan total 59-73 % dari total variasi pada MTPJ di jari kaki 2-4 ( p < 0,001 ). Lihat Tabel 4 untuk hasil lengkap dari analisis regresi berganda.

Tabel 2. Perbandingan variabel antara HT dan kelompok NHT Variabel HT Rasio kekuatan jari kaki (ekstensor/flexor) Jari kaki 2 Jari kaki 3 Jari kaki 4 MTPJ data CT Jari kaki 2 Jari kaki 3 Jari kaki 4 ROM Pergelangan Kaki Dorsofleksi Plantarfleksi Torsio tibial Sendi subtalar Inversi calcaneus Eversi calcaneus 40.6 (6.5) 7.1 (3.3) 38.7 (4.0) 9.9 (2.7) 4.7 (5.4) 55.0 (8.4) 33.4 (5.0) 10.3 (2.6) 57.4 (5.6) 33.2 (3.8) 58.6 (11.9) 59.0 (13.2) 48.3 (12.6) 40.2 (10.0) 39.4 (8.8) 30.1 (9.3) Rata-rata (SD) 2.4 (1.6) 1.9 (0.7) 1.6 (0.8) Kelompok NHT Rata-rata (SD) 0.8 (0.2) 0.8 (0.2) 0.7 (0.2)

HT: hammer toe deformity NHT: non hammer toe deformity ROM: range of motion MTPJ: metatarsophalangeal joint P<0,01 P<0,001

10

Tabel 3. Korelasi Variabel pada Jari Kaki 2-4 Jari kaki kedua MTPJ Kekuatan otot ROM ROM Eversi subtalar

ekstensor/fleksor dorsofleksi pergelangan kaki MTPJ Kekuatan 1,00 otot 0.69-0.80 1.00

ekstensor/fleksor ROM dorsofleksi pergelangan kaki ROM subtalar P<0,05 Eversi -0.45 - 0.60 -0.29 - -0.45 0,51 1,00 -0.38 0.56 - -0.42 - -0.61 1,00

11

Tabel 4. Analisis Regresi Konstribusi unik Lokasi MTPJ Jari kaki 2 Variabel Independen Extensor/Flexor (2) 0,69 DF ROM 0,46 EV ROM 0,60 Extensor/Flexor (2) 0,80 DF ROM 0,56 EV ROM 0,59 MTPJ angle: metatarsophalangeal joint angle DF ROM : ankle dorsofleksi EV ROM : subtalar joint eversi range of motion NS: not significant 0,08 < 0,001 0,73 < 0,001 0,64 0,01 NS 0,11 < 0,001 < 0,001 0,64 0,65 < 0,001 NS 0,59 < 0,001 0,48 0,00 < 0,001 NS 0,48 0,48 < 0,001 NS rb sr2c p Model overal R2 p

Diskusi Meskipun ketidakseimbangan otot antara ekstensor dan fleksor jari-jari kaki telah digambarkan sebagai faktor risiko untuk terjadinya hammer toe deformity, penelitian ini awalnya untuk mengukur perbedaan ini dan untuk menemukan hubungan antara rasio kekuatan otot ekstensor / fleksor jari kaki dan MTPJ. Dalam penelitian ini, rasio kekuatan otot ekstensor / fleksor jari kaki adalah 2,33,0 kali lebih tinggi pada kelompok HT dibandingkan dengan kelompok NHT. Selain itu, rasio kekuatan otot ekstensor / fleksor jari kaki dan MTPJ adalah jari kaki 2-4 berkorelasi lebih tinggi (r = 0,69 , r = 0,80 , r = .75 masing-masing,

12

Gambar 2). Otot EDL dorsofleksi pergelangan kaki dan meluas ke jari kaki, sedangkan otot EDB meluas hanya jari-jari kaki. Pada kelompok HT, otot-otot ekstensor jari kaki lebih kuat dari otot-otot fleksor jari kaki, sedangkan pada kelompok NHT otot ekstensor jari kaki lebih lemah dari otot-otot fleksor jari kaki. Penelitian lain hanya mengukur kekuatan otot fleksor kaki menggunakan dinamometer (Senda et al, 1999), Sensor tekanan (Menz et al, 2006; Nihal et al, 2002), dan kekuatan platform (Endo et al, 2002). Namun, penelitian kami adalah untuk mengukur secara kuantitatif kekuatan otot fleksor dan ekstensor jari kaki. Dalam penelitian ini, kekuatan otot kaki diukur menggunakan dinamometer digital. Ada kemungkinan bahwa perangkat ini dapat digunakan secara klinis untuk mengukur kekuatan otot kaki. Setiap ekstensor dan fleksor tendon jari kaki 2-4 berasal dari tendon dari EDL dan fleksor digitorum longus otot . Karena merupakan tendon umum, orang mungkin berpendapat bahwa tidak ada kebutuhan untuk mengukur masing-masing kaki terpisah. Namun, kami menemukan perbedaan hasil pada jari kaki 2-4 . Dalam penelitian ini , nilai ratarata kekuatan otot ekstensor adalah 5,99 kg untuk jari kaki 2, 5,04 kg untuk jari kaki 3, dan 4,46 kg untuk jari kaki 4. Rata-rata nilai kekuatan otot fleksor kaki adalah 4,69 kg untuk kaki -2 , 4,43 kg untuk kaki 3, dan 4,37 kg untuk kaki 4. Untuk fleksor dan kekuatan otot ekstensor , kaki 4 itu lebih lemah daripada jari kaki 3 dan 2 . Tendon jari kaki 4 berjalan lebih miring dibandingkan dengan tendon kaki 2 dan 3. Hal ini bisa menjadi alasan yang mungkin mengapa kekuatan otot kaki 4 adalah lebih lemah dibandingkan dengan jari kaki 2 dan 3. Penelitian ini mengidentifikasi bahwa ketidakseimbangan otot dan berkurangnya gerakan ROM sendi dihubungkan dengan hammer toe deformity. Mekanisme terjadinya ketidakseimbangan otot yang mungkin berkontribusi terhadap hammer toe deformity tidak diketahui. Hansen ( 2000) dan Sahrmann (2002 ) menjelaskan bahwa beberapa orang dengan hammer toe deformity saat dorsofleksi kaki terjadi kontraksi otot EDL lebih dominan dari otot tibialis anterior selama melakukan kegiatan. Ada kemungkinan bahwa penggunaan dari otot ekstensor jari kaki untuk mengontrol gerakan pergelangan kaki dapat menyebabkan peningkatan

13

penggunaan EDL yang kemudian dapat menyebabkan ketidakseimbangan otot dan berpotensi terjadinya hammer toe deformity. Selain itu, Hansen ( 2002, hal 224 ) berpendapat bahwa penurunan ROM dorsofleksi karena otot fleksor plantar ketat dapat berkontribusi untuk terjadinya hammer toe deformity. Untuk mendukung pendapat ini, kami menemukan bahwa ROM dorsofleksi pada sendi pergelangan kaki secara signifikan kurang pada kelompok HT dibandingkan dengan kelompok NHT ( 4,7 ( 5,4 ) vs 10,3 ( 2,6 ) derajat , p <0,01 ) dan ROM dorsofleksi berkorelasi negatif dengan MTPJ pada jari kaki 2-4 ( r = -0.46 , -0.56 , -0.38 ) . Hansen (2000 ) berpendapat bahwa otot fleksor plantar ketat dapat memberikan kontribusi lebih pada penggunaan EDL dan menyarankan pengobatan dengan perpanjangan otot gastrocnemius. Dalam penelitian kami, ROM eversi calcaneaus sendi subtalar lebih rendah pada kelompok HT dibandingkan dengan kelompok NHT ( 7,1 3,3 vs 9,9 2,7 derajat , p < 0,01 ) dan ROM eversi calcaneaus berkorelasi negatif dengan MTPJ pada jari kaki 2 - 4 ( r = -0,60 , r = -0.59 , r = -0.45 ) .Otot EDL adalah pronator yang kuat pada sendi subtalar. Ketika ada pronasi sendi subtalar ( eversi ) yang terbatas, mungkin otot EDL harus bekerja lebih keras dibandingkan jika sendi subtalar memiliki ROM yang optimal dan EDL menjadi singkat. Hal ini berkontribusi terjadinya deformitas jari kaki palu. Kami juga mengukur ROM plantarfleksi pergelangan kaki, ROM inversi calcaneus, dan torsi tibialis dalam penelitian ini dan kami tidak menemukan perbedaan signifikan antara kelompok HT dan kelompok NHT . Kami menggunakan rasio kekuatan otot ekstensor / fleksor, ROM dorsofleksi pergelangan kaki, dan ROM eversi sendi subtalar sebagai faktor dalam analisis regresi ganda berdasarkan korelasi dengan MTPJ. Kami menemukan bahwa rasio kekuatan otot ekstensor / fleksor menjelaskan 48-64 % dari varians sudut MTPJ jari kaki 2-4 dan eversi ROM menjelaskan tambahan 6-11 % varian . Dorsofleksi ROM tidak menjelaskan variasinya unik sekali toe ekstensor / kekuatan otot

14

fleksor disertakan . Dorsofleksi ROM sangat berkorelasi dengan rasio ekstensor / kekuatan otot fleksor kaki. Hasil ini menunjukkan bahwa 1 ) ketidakseimbangan kekuatan otot fleksor dan ekstensor jari 2-4 , 2 ) penurunan ROM dorsofleksi pergelangan kaki, dan 3 ) penurunan ROM eversi sendi subtalar dapat menyebabkan hammer toe deformity. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menentukan apakah memperkuat fleksor kaki dan meningkatkan dorsofleksi pergelangan kaki dan menurunkan ROM dapat mengurangi atau mencegah hammer toe deformity. Meskipun penelitian kami menunjukkan korelasi antara ketidakseimbangan otot, keterbatasan sendi, deformitas jari palu kaki. Pertama, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, dan panjang kaki tidak cocok antara HT dan kelompok NHT. Anehnya, laki-laki lebih mungkin untuk berada dalam kelompok jari palu kaki daripada perempuan. Perbedaan gender ini mungkin juga memberikan kontribusi terhadap perbedaan yang signifikan dalam berat badan, tinggi, dan panjang kaki antara HT dan kelompok NHT. Namun, tidak ada perbedaan yang signifikan dalam rasio kekuatan otot ekstensor / fleksor antara dua jenis kelamin, sehingga perbedaan dalam variabel ini tidak mungkin terjadi karena distribusi ketidaksetaraan gender antara kelompok. Kedua , ketika mengukur kekuatan otot kaki, manset kulit ditempatkan di atas palang proksimal dalam upaya untuk mengukur kekuatan otot fleksor intrinsik jari kaki, tetapi tidak mungkin untuk mengecualikan kontribusi dari otot-otot fleksor kaki panjang dalam ukuran kami toe flexor kekuatan otot. Penelitian tambahan diperlukan untuk memahami peran spesifik bahwa otot-otot intrinsik bermain dalam pengembangan HT deformitas. Ketiga, kita tidak dapat menentukan mekanisme untuk pengembangan palu deformitas kaki dari hasil penelitian ini . Tidak jelas apakah ketidakseimbangan antara otot ekstensor dan fleksor mendahului hammer toe deformity atau merupakan konsekuensi dari deformitas. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menentukan hubungan penyebabl antara hammer toe deformity dan rasio jari ekstensor / kekuatan otot fleksor di kaki 2-4. Keempat , peserta dalam penelitian ini tidak memiliki penyakit neuromotor atau metabolik ( seperti diabetes dan

15

neuropati perifer ) yang bisa memberikan kontribusi untuk terjadinya hammer toe deformity. Penelitian di masa depan harus mencakup orang-orang dengan diabetes dan neuropati perifer dan penyakit neuromotor lainnya untuk menentukan apakah hasil ini digeneralisasikan untuk populasi ini. Kesimpulan Rasio kekuatan otot ekstensor / fleksor jari kaki 2-4 adalah 2,5 kali lebih tinggi pada kelompok HT dibandingkan dengan kelompok NHT. Rasio kekuatan otot ekstensor / fleksor jari kaki berkorelasi positif dengan sudut MTPJ ketika ROM dorsofleksi pergelangan kaki dan ROM eversi berkorelasi negatif dengan sudut MTPJ. Hasil penelitian ini memberikan pengetahuan tentang faktor-faktor risiko potensial (ketidakseimbangan otot antara otot ekstensor dan otot fleksor jari kaki, ROM dorsofleksi pergelangan kaki terbatas dan ROM eversi terbatas) terjadinya hammer toe deformity. Penelitian tambahan diperlukan untuk menentukan apakah dengan memperkuat otot fleksor kaki dan meningkatkan dorsofleksi pergelangan kaki atau ROM eversi calcaneus berpotensi menurunkan atau mencegah hammer toe deformity.

16

Referensi 1. Allen RH, Gross MT. Toe flexors strength and passive extension range of motion of the first metatarsophalangeal joint in individuals with plantar fasciitis. J. Orthop.Sports Phys. Ther. 2003;33:468478. [PubMed] 2. Bhatia D, Myerson MS, Curtis MJ, Cunningham BW, Jinnah RH. Anatomical restraints to dislocation of the second metatarsophalangeal joint and assessment of a repair technique. J. Bone Joint Surg. Am. 1994;76:13711375. [PubMed] 3. Bus SA, Maas M, Michels RP, Levi M. The role of muscle atrophy in the etiology of claw toe deformity in diabetes may not be as straightforward as widely believed. Diabetes Care. 2009 Epub ahead of print. [PMC free article] [PubMed] 4. Boulton AJ. The diabetic foot. Med. Clin. North Am. 1988;72:15131530. [PubMed] 5. Commean PK, Mueller MJ, Smith KE, Hastings M, Klaesner J, Pilgram T, Robertson DD. Reliability and validity of combined imaging and pressures assessment methods for diabetic feet. Arch. Phys. Med. Rehabil. 2002;83:497505. [PubMed] 6. Coughlin MJ. Mallet toes, hammer toes, claw toes, and corns. Causes and treatment of lesser-toe deformities. Postgrad. Med. 1984;75:191198. [PubMed] 7. Coughlin MJ, Dorris J, Polk E. Operative repair of the fixed hammertoe deformity. Foot Ankle Int. 2000;21:94104. [PubMed] 8. Dhukaram V, Hossain S, Sampath J, Barrie JL. Correction of hammer toe with an extended release of the metatarsophalangeal joint. J. Bone Joint Surg. Br. 2002;84:986990. [PubMed] 9. Diamond JE, Mueller MJ, Delitto A, Sinacore DR. Reliability of a diabetic foot evaluation. Phys. Ther. 1989;69:797802. published erratum appears in Phys Ther 1989 Nov;69(11):994. [PubMed]

17

10. Endo M, shton-Miller JA, Alexander NB. Effects of age and gender on toe flexor muscle strength. J. Gerontol. A Biol. Sci. Med. Sci. 2002;57:M392 M397. [PubMed] 11. Hansen ST., Jr Functional Reconstruction of the Foot and Ankle. Lippincott Williams & Wilkins; Philadephia, PA: 2000. 12. Hislop HJ, Montgomery J. Daniels and Worthinghams Muslce Testing: Techniques of Manual Examination. sixth ed. W.B. Saunders Company; Philadelphia, PA: 1995. 13. Kendall FP, McCreary EK, Provance PG. Muscles: Testing and Function. fourth ed. Lippincott Williams & Wilkins; Philadelphia, PA: 1993. 14. Lavery LA, Armstrong DG, Vela SA, Quebedeaux TL, Fleischli JG. Practical criteria for screening patients at high risk for diabetic foot ulceration. Arch. Intern. Med. 1998;158:157162. [PubMed] 15. Menz HB, Zammit GV, Munteanu SE, Scott G. Plantarflexion strength of the toes: age and gender differences and evaluation of a clinical screening test. Foot Ankle Int. 2006;27:11031108. [PubMed] 16. Milner CE, Soames RW. A comparison of four in vivo methods of measuring tibial torsion. J. Anat. 1998;193:139144. [PMC free article] [PubMed] 17. Mueller MJ, Hastings MK, Commean PK, Smith KE, Pilgram T, Robertson DD, Johnson JE. Forefoot structural predictors of plantar pressures during walking in people with diabetes and peripheral neuropathy. J. Biomech. 2003;36:10091017. [PubMed] 18. Nihal A, Goldstein J, Haas J, Hiebert R, Kummer FJ, Liederbach M, Trepman E. Toe flexor forces in dancers and non-dancers. Foot Ankle Int. 2002;23:11191123. [PubMed] 19. Parrish TF. Dynamic correction of clawtoes. Orthop. Clin. North Am. 1973;4:97102. [PubMed] 20. Piva SR, Fitzgerald K, Irrgang JJ, Jones S, Hando BR, Browder DA, Childs JD. Reliability of measures of impairments associated with

18

patellofemoral pain syndrome. BMC. Musculoskelet. 2006;7:33. [PMC free article] [PubMed] 21. Sahrmann SA. Diagnosis and movement of movement impairment syndrome. Mosby; St. Louis: 2002. 22. Scheck M. Etiology of acquired hammertoe deformity. Clin. Orthop. 1977;123:6369. [PubMed] 23. Senda M, Takahara Y, Yagata Y, Yamamoto K, Nagashima H, Tukiyama H, Inoue H. Measurement of the muscle power of the toes in female marathon runners using a toe dynamometer. Acta Med. Okayama. 1999;53:189191. [PubMed] 24. Schnepp KH. Hammertoe and claw foot. Am. J. Surg. 1937;36:351359. 25. Staheli LT, Corbett M, Wyss C, King H. Lower-extremity rotational problems in children. Normal values to guide management. J. Bone Joint Surg. Am. 1985;67:3947. [PubMed] 26. Stuberg W, Temme J, Kaplan P, Clarke A, Fuchs R. Measurement of tibial torsion and thigh-foot angle using goniometry and computed tomography. Clin. Orthop. Relat. Res. 1991:208212. [PubMed] 27. Tollafild DR, Merriman LM. assessment of the lower limb. In: Merriman LM, Tollafild DR, editors. Assessment of the locomotor system. Churchill Livingstone; 1995. pp. 139191. 28. Valmassy R, Stanton B. Tibial torsion. Normal values in children. J Am. Podiatr. Med. Assoc. 1989;79:432435. [PubMed]

19

Anda mungkin juga menyukai