Anda di halaman 1dari 27

BAB I PENDAHULUAN

Mioma uteri adalah suatu tumor jinak yang tumbuh dalam otot uterus. Biasa juga disebut fibromioma uteri, leiomioma uteri atau uterine fibroid. Mioma uteri bukanlah suatu keganasan dan tidak juga berhubungan dengan keganasan. Mioma bisa menyebabkan gejala yang luas termasuk perdarahan menstruasi yang banyak dan penekanan pada pelvis.(1,3) Berdasarkan otopsi, Novak menemukan 27% wanita berumur 25 tahun mempunyai sarang mioma, pada wanita yang berkulit hitam ditemukan lebih banyak. Mioma uteri belum pernah dilaporkan terjadi sebelum menarke, sedangkan setelah menopause hanya kira-kira 10% mioma yang masih bertumbuh. Diperkirakan insiden mioma uteri sekitar 20 30% dari seluruh wanita. Di Indonesia mioma uteri ditemukan pada 2,39 11,7% pada semua penderita ginekologi yang dirawat. Tumor ini paling sering ditemukan pada wanita umur 35 45 tahun (kurang lebih 25%) dan jarang pada wanita 20 tahun dan wanita post menopause. Wanita yang sering melahirkan akan lebih sedikit kemungkinan untuk berkembangnya mioma ini dibandingkan dengan wanita yang tak pernah hamil atau hanya 1 kali hamil. Statistik menunjukkan 60% mioma uteri berkembang pada wanita yang tak pernah hamil atau hanya hamil 1 kali.(2,3) Perihal penyebab pasti terjadi tumor mioma belum diketahui. Mioma uteri mulai tumbuh dibagian atas (fundus) rahim dan sangat jarang tumbuh dimulut rahim. Bentuk tumor bisa tunggal atau multiple (banyak), umumnya tumbuh didalam otot rahim yang dikenal dengan intramural mioma. Tumor mioma ini akan cepat memberikan keluhan, bila mioma tumbuh kedalam mukosa rahim, keluhan yang biasa dikeluhkan berupa perdarahan saat siklus dan diluar siklus haid. Sedangkan pada tipe tumor yang tumbuh dikulit luar rahim yang dikenal dengan tipe subserosa tidak memberikan keluhan perdarahan, akan tetapi seseorang baru mengeluh bila tumor membesar yang dengan perabaan didaerah perut dijumpai benjolan keras, benjolan tersebut kadang sulit digerakkan bila tumor sudah sangat besar.(4)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Anatomi Uterus berbentuk seperti buah advokat atau buah peer yang sedikit gepeng kea rah

muka belakang, ukurannya sebesar telur ayam dan mempunyai rongga. Dindingnya terdiri atas otot-otot polos. Ukuran panjang uterus adalah 7 7,5 cm, lebar di atas 5, 25 cm, tebal 2,5 cm dan tebel dinding uterus adalah 1,25 cm. Bentuk dan ukuran uterus sangat berbeda-beda, tergantung pada usia dan pernah melahirkan anak atau belumnya. Terletak di rongga pelvis antara kandung kemih dan rectum. Letak uterus dalam keadaan fisiologis adalah anteversiofleksio ( serviks ke depan dan membentuk sudut dengan serviks uteri ). Bagian-bagian uterus terdiri atas : 1. Fundus uteri, adalah bagain uterus proksimal di ats muara tuba uterina yang mirip dengan kubah , di bagian ini tuba Falloppii masuk ke uterus. Fundus uteri ini biasanya diperlukan untuk mengetahui usia/ lamanya kehamilan 2. Korpus uteri, adalah bagian uterus yang utama dan terbesar. Korpus uteri menyempit di bgaian inferior dekat ostium internum dan berlanjut sebagai serviks. Pada kehamilan, bagian ini mempunyai fungsi utama sebagai tempat janain berkembang. Rongga yang terdapat di korpus uteri disebut kavum uteri ( rongga rahim ). 3. Serviks uteri, serviks menonjol ke dalam vagina melalui dinding anteriornya,dan bermuara ke dalamnya berupa ostium eksternum. Serviks uteri terdiri dari : Pars vaginalis servisis uteri yang dinamakan porsio Pars supravaginalis servisis uteri yaitu bagian serviks yang berada di atas vagina Secara histologis, dinding uterus terdiri atas : A. Endometrium ( selaput lendir ) di korpus uteri Endometrium terdiri atas epitel pubik, kelenjar-kelenjar dan jaringan dengan banyak pembuluh darah. Endometrium terdiri atas epitel selapis silindris, banyak kelenjar tubuler bersekresi lendir. Dua pertiga bagian atas kanal servikal dilapisi selaput lendir dan sepertiga bawah dilapisi epitel berlapis gepeng, menyatu dengan epitel vagina.Endometrium melapisi seluruh kavum uteri dan mempunyai arti penting dalam siklus haid. Endometrium merupakan bagian dalam dari korpus uteri yang membatasi cavum uteri. Pada endometrium terdapat lubang-lubang kecil yang merupakan muara-muara dari saluran-saluran kelenjar uterus yang dapat

menghasilkan secret alkalis yang membasahi cavum uteri. Epitel endometrium berbentuk seperti silindris. B. Myometrium / Otot-otot polos Lapisan otot polos di sebelah dalam berbentuk sirkuler dan di sebelah luar berbentuk longitudinal. Di antara kedua lapisan itu terdapat lapisan otot oblik, berbentuk anyaman, lapisan ini paling kuat dan menjepit pembuluh-pembuluh darah yang berada di sana. Myometrium merupakan bagian yang paling tebal. Terdiri dari otot polos yang disusun sedemikian rupa hingga dapat mnedorong isinya keleuar saat persalinan. Di antara serabut-serabut otot terdapat pembuluh-pembuluh darah, pembuluh lympa dan urat saraf. Otot uterus terdiri dari 3 bagain :
a.

Lapisan luar, yaitu lapisan seperti kap melengkung melalui fundus menuju kea rah

ligamenta
b.

Lapisan dalam, merupakan serabut-serabut otot yang berfungsi sebagai sfingter

dan terletak pada ostium internum tubae dan orificium uteri internum
c.

Lapisan tengah, terletak antara ke dua lapisan di atas, merupakan anyaman serabut

otot yang tebal ditembus oleh pembuluh-pembuluh darah. Jadi, dinding uterus terutama dibentuk oleh lapisan tengah ini. C. Perimetrium Perimetrium adalah lapisan serosa / terdiri atas peritoneum viserale yang meliputi dinding uterus bagian luar. Ke anterior peritoneum menutupi fundus dan korpus, kemudian membalik ke atas permukaan kandung kemih. Lipatan peritoneum ini membentuk kantung vesikouterina. Ke posterior, peritoneum menutupi menutupi fundus, korpus dan serviks, kemudian melipat pada rektum dan membentuk kantung rekto-uterina. Ke lateral, hanya fundus yang ditutupi karena peritoneum membentuk lipatan ganda dengan tuba uterina pada batas atas yang bebas. Lipatan ganda ini adalah ligamentum latum yang melekatkan uterus pada sisi pelvis.

Gambar 2.1. Gambar Histolig uteri secara sagital Uterus sebenarnya terapung dialam rongga pelvis dengan jaringan ikat dan ligamenta yang menyokongnya, sehingga terfiksasi dengan baik. Ligament yang memfiksasi uterus adalah: 1. Ligamentum kardinale sinistrum et dekstrum ( Mackenrodt ) yakni ligamentum yang terpenting, mencegah supaya uterus tidak turun, terdiri atas jaringan ikat tebal dan berjalan dari serviks dan puncak vagina ke rah lateral dinding pelvis. 2. Ligamentum sakro- uterinum sinistrum et dekstrum, yakni ligamentum yang menahan uterus supaya tidak banyak bergerak, berjalan dari serviks bagian belakang, kiri dan kanan, kearah os sacrum kiri dan kanan. 3. Ligamentum rotundum sinistrum et dekstrum, yakni ligamentum yang menahan uterus dalam antefleksi dan berjalan dari sudut fundus uteri kiri dan kanan, ke daerah inguinal kiri dan kanan. Pada kehamilan kadang-kadang terasa sakit di daerah inguinal pada waktu berdiri cepat karena uterus berkontraksi kuat dan ligamentum rotundum menjadi kencang serta mengadakan tarikan pada daerah inguinal. Pada persalinan ia pun terba kencang dan terasa sakit bila dipegang. 4. Ligamentum latum sinistrum et dekstrum, yakni ligamentum yang meliputi tuba, berjalan dari uterus kea rah sisi, tidak banyak mengandung jaringan ikat. Sebenarnya ligamentum ini adalah bagian dari peritoneum viserale yang meliputi uterus dan kedua tuba dan berbentuk sebagai lipatan. Di bagian dorsal, ligamentum ini ditemukan indung telur ( ovarium sinistrum et dekstrum ). Untuk memfiksasi uterus, ligamentum latum ini tidak banyak artinya. 5. Ligamentum infundibulo-pelvikum, yakni ligamentum yang menahan tuba Falloppii berjalan dari arah infundibulum ke dinding pelvis. Di dalamnya ditemukan urat-urat saraf, saluran-saluran limfe, arteria dan vena ovarica.

Gambar 2.2. Anatomi sistrem reproduksi wanita Uterus diperdarahi oleh arteri uterin kiri dan kanan yang terdiri atas ramus asenden dan ramus desenden. Pembuluh darah ini berasal dari arteri iliaka interna ( disebut juga dengan arteri hipogastrika ) yang melalui dasar ligamentum latum masuk ke dalam uterus di daerah servik kira kira 1,5 cm di atas forniks lateralis vagina. Pembuluh darah lain yang memperdarahi adalah arteri ovarika kiri dan kanan. Arteri ini berjalan dari dinding lateral pelvis, melalui dinding ligamentum infundibulo-pelvicum mengikuti tuba falopi,

beranastomosis dengan ramus asenden arteri uterine disebelah lateral, kanan dan kiri uterus. Bersama sama dengan arteri tersebut diatas terdapat vena-vena yang kembali melalui pleksus vena ke vena hipogastrika.

Gambar 2.3. Arteri dan vena yang memperdarahi organ reproduksi wanita 5

2.2. Fisiologi Sekarang diketahui bahwa dalam proses ovulasi harus ada kerjasama antara korteks serebri, hipotalamus, hipofisis, ovarium, glandula tiroidea, glandula suprarenalis dan kelenjar endokrin lainnya. Yang memegang peranan penting dalam proses tersebut adalah hubungan hipotalamus, hipofisis dan ovarium. Hipotalamus menghasilkan faktor yang telah dapat diisolasi dan disebut Gonadotropin Relaksing Hormon ( GnRH) karena dapat merangsang pelepasan Luteinizing Hormon (LH ) dan Follicle Strimulating Hormon (FSH) dari hipofisis. Berikut dibawah ini gambar fisiologi dari siklus menstruasi:

Gambar 2.4. Siklus Menstruasi wanita Siklus haid normal dibagi atas dua fase dan 1 saat, yaitu fase folikular, saat ovulasi dan fase luteal. Perubahan perubahan kadar hormon sepanjang siklus haid disebabkan oleh

mekanisme umpan balik (feedback) antara hormon steroid dan horman gonatropin. Estrogen menyebabkan umpan balik negatif terhadap FSH, sedangkan terhadap LH estrogen menyebabkan umpan balik negatif jika kadarnya rendah dan umpan balik positif jika kadarnya tinggi. Tidak lama setelah haid mulai, pada fase folikular ini, beberapa folikel berkembang oleh pengaruh FSH yang meningkat. Peningkatan FSH ini disebabkan oleh agregasi korpus luteum, sehingga hormon steroid berkurang. Dengan berkembangnya folikel, produksi estrogen meningkat, dan inilah menekan produksi FSH, folikel yang akan berovulasi melindungi dirinya sendiri terhadap atresia, sedangkan folikel lain mengalami atresia. Pada waktu ini LH meningkat, namun penurunan pada tingkat ini hanya membantu pembuatan estrogen dalam folikel. Perkembangan folikel berakhir setelah kadar estrogen dalam plasma 6

meninggi. Estrogen pada mulanya meninggi secara berangsur angsur, kemudian dengan cepat mencapai puncaknya. Ini memberikan umpan balik positif terhadap pusat siklik dan dengan lonjakan LH pada pertengan siklus, mengakibatkan terjadinya ovulasi. LH meninggi itu menetap kira-kira 24jam dan menurun pada fase luteal. Dalam beberapa jam setelah LH meningkat, estrogen menurun dan mungkin inilah yang menyebabkan LH menuru. Pada fase luteal, setelah ovulasi, sel sel granulusa membesar, membentuk vakuola dan bertumpuk pigmen kuning (lutein) menjadi korpus luteum. Luteinzed theca cell membuat pula estrogen yang banyak, sehingga kedua hormon itu meningkat pada fase luteal. Mulai 1012 hari setelah ovulasi korpus luteum mengalami regresi berangsur-angsur disertai dengan
15

berkurangnya kapiler-kapiler dan diikuti oleh penurunan sekresi progesterone dan estrogen.
14

2.2.1 Siklus ovarium A. Fase folikular a. Hari ke 1-8, awal siklus. Kadar FSH dan LH relative tinggi dan

memacu perkembangan 10-20 folikel dengan satu folikel dominan. b. Hari ke 9-14,pada saat ukuran folikel meningkat lokalisasi akumulasi

cairan tampak sekitar sel granulose dan menjadi konfluen. c. Perubahan hormone : berhubungan dengan pematangan folikel adalah

ada kenaikan yang progresif dalam produksi estrogen oleh sel granulose dari folikel yang berkembang. Karena kadar estrogen meningkat, pelepasan kedua gonadotropin ditekan (umpan balik negatif) yang berguna untuk mencegah hiperstimulasi dari ovarium dan pematangan banyak folikel. B. Fase ovulasi Hari ke 14, ovulasi adalah pembesaran volikel secara cepat yang diikuti dengan protusi dari permukaan korteks ovarium dan pecahnya folikel dengan ekstrusinya oosit yang ditempeli oleh cumulus ooforus Perubahan hormo estrogen meningkatkan sekresi LH mengakibatkan meningkatnya produksi androgen dan estrogen (umpan balik positif). Segera sebelum ovulasi terjadi penurunan kadar estradiol yang cepat dan peningkatan produksi progesterone. C. Fase luteal Hari ke 15-28, sel granulose mengalami litenisasi menjadi korpus luteum. Korpus luteum merupakan sumber utama hormone seks, estrogen dan

progesterone disekresi oleh ovarium pada fase pasca ovulasi. Korpus luteum meningkatkan produksi progesterone dan estradiol. Jika terjadi konsepsi dan implantasi, korpus luteum tidak mengalami regresi karena dipertahankan oleh gonadotropin yang dihasilkan oleh trofoblas. Jika konsepsi dan implementasi tidak terjadi maka korpus luteum akan mengalami regresi dan terjadilah haid.
14

2.2.2 Siklus uterus Melibatkan endometrium dan mukosa servis : A. Endometrium a. Fase proliferai Selama fase folikular di ovarium, endometrium dibawah pengaruh estrogen. Pada akhir haid proses regenerasi berjalan dengan cepat, disebut juga dengan fase proliferasi. Kelenjar tubular yang tersusun rapi sejajar dengan sedikit sektresi. b. Fase sekretoris Setelah fase ovulasi, produksi progesterone menginduksi perubahan sekresi endometrium. Tampak sekretori darivakuole dalam epitel kelenjar dibawah nucleus, sekres maternal ke dalam lumen kelenjar dan menjadi berkelok- kelok. c. Fase haid Normal fase luteal berlangsung selama 14 hari. Pada akhir fase ini terjadi regresi korpus luteum yang ada hubungannya dengan menurunnya preoduksi estrogen dan progesterone ovarium. Penurunan ini diikuti oleh kontraksi spasmodic yang intensdari bagian arteri spiralis kemudian endometrium menjadi iskemik dan nekrosis, terjadi pengelupasan lapisan superficial endometrium dan terjadilah perdarahan. B. Mucus servics a. Awal fase folikular mucus servics viskus dan impermeable b. Akhir fase folikular kadar estrogen meningkat memacu perubahan dan komposisi mucus, kadar airnya meningkat secara progresif, sebelum ovulasi terjadi mucus servik banyak mengandung air dan mudah dipenetrasi oleh spermatozoa.

c. Setelah ovulasi progesterone diproduksi oleh korpus luteumyang efeknya berlawanan dengan estrogen dan mucus serviks menjadi impermeable lagi, orifisium uteri eksternum kontraksi. 2.3. Definisi Mioma Uteri Mioma uteri adalah tumor jinak miometrium uterus dengan konsistensi padat kenyal, batas jelas, mempunyai pseudo kapsul, tidak nyeri, bisa soliter atau multipel. Tumor ini juga dikenal dengan istilah fibromioma uteri, leiomioma uteri, atau uterine fibroid. Mioma uteri bukanlah suatu keganasan dan tidak juga berhubungan dengan keganasan.(1,5,6) 2.4. Epidemiologi Mioma Uteri Berdasarkan otopsi, Novak menemukan 27% wanita berumur 25 tahun mempunyai sarang mioma, pada wanita yang berkulit hitam ditemukan lebih banyak. Mioma uteri belum pernah dilaporkan terjadi sebelum menarke, sedangkan setelah menopause hanya kira-kira 10% mioma yang masih bertumbuh. Diperkirakan insiden mioma uteri sekitar 20 30% dari seluruh wanita. Di Indonesia mioma uteri ditemukan pada 2,39 11,7% pada semua penderita ginekologi yang dirawat. Tumor ini paling sering ditemukan pada wanita umur 35 45 tahun (kurang lebih 25%) dan jarang pada wanita 20 tahun dan wanita post menopause. Wanita yang sering melahirkan akan lebih sedikit kemungkinan untuk berkembangnya mioma ini dibandingkan dengan wanita yang tak pernah hamil atau hanya 1 kali hamil. Statistik menunjukkan 60% mioma uteri berkembang pada wanita yang tak pernah hamil atau hanya hamil 1 kali. Prevalensi meningkat apabila ditemukan riwayat keluarga, ras, kegemukan dan nullipara.(2,3) 2.5. Etiologi Mioma Uteri Sampai saat ini belum diketahui penyebab pasti mioma uteri dan diduga merupakan penyakit multifaktorial. Dipercaya bahwa mioma merupakan sebuah tumor monoklonal yang dihasilkan dari mutasi somatik dari sebuah sel neoplastik tunggal. Sel-sel tumor mempunyai abnormalitas kromosom lengan 12q13-15. Ada beberapa faktor yang diduga kuat sebagai faktor predisposisi terjadinya mioma uteri, yaitu : (3) 1. Umur : mioma uteri jarang terjadi pada usia kurang dari 20 tahun, ditemukan sekitar

10% pada wanita berusia lebih dari 40 tahun. Tumor ini paling sering memberikan gejala klinis antara 35-45 tahun. 2. Paritas : lebih sering terjadi pada nullipara atau pada wanita yang relatif infertil, tetapi

sampai saat ini belum diketahui apakah infertil menyebabkan mioma uteri atau sebaliknya mioma uteri yang menyebabkan infertil, atau apakah kedua keadaan ini saling mempengaruhi.

3.

Faktor ras dan genetik : pada wanita ras tertentu, khususnya wanita berkulit hitam,

angka kejadiaan mioma uteri tinggi. Terlepas dari faktor ras, kejadian tumor ini tinggi pada wanita dengan riwayat keluarga ada yang menderita mioma. 4. Fungsi ovarium : diperkirakan ada korelasi antara hormon estrogen dengan

pertumbuhan mioma, dimana mioma uteri muncul setelah menarke, berkembang setelah kehamilan dan mengalami regresi setelah menopause. 2.6. Patofisiologi Mioma Uteri Mioma merupakan monoclonal dengan tiap tumor merupakan hasil dari penggandaan satu sel otot. Etiologi yang diajukan termasuk di dalamnya perkembangan dari sel otot uterus atau arteri pada uterus, dari transformasi metaplastik sel jaringan ikat, dan dari sel-sel embrionik sisa yang persisten. Penelitian terbaru telah mengidentifikasi sejumlah kecil gen yang mengalami mutasi pada jaringan ikat tapi tidak pada sel miometrial normal. Penelitian menunjukkan bahwa pada 40% penderita ditemukan aberasi kromosom yaitu

t(12;14)(q15;q24). Meyer dan De Snoo mengajukan teori Cell Nest atau teori genioblast. Percobaan Lipschultz yang memberikan estrogen kepada kelinci percobaan ternyata menimbulkan tumor fibromatosa baik pada permukaan maupun pada tempat lain dalam abdomen. Efek fibromatosa ini dapat dicegah dengan pemberian preparat progesteron atau testoster. Pemberian agonis GnRH dalam waktu lama sehingga terjadi hipoestrogenik dapat mengurangi ukuran mioma. Efek estrogen pada pertumbuhan mioma mungkin berhubungan dengan respon mediasi oleh estrogen terhadap reseptor dan faktor pertumbuhan lain. Terdapat bukti peningkatan produksi reseptor progesteron, faktor pertumbuhan epidermal dan insulinlike growth factor 1 yang distimulasi oleh estrogen. Anderson dkk, telah mendemonstrasikan munculnya gen yang distimulasi oleh estrogen lebih banyak pada mioma daripada miometrium normal dan mungkin penting pada perkembangan mioma. Namun bukti-bukti masih kurang meyakinkan karena tumor ini tidak mengalami regresi yang bermakna setelah menopause sebagaimana yang disangka. Lebih daripada itu tumor ini kadang-kadang berkembang setelah menopause bahkan setelah ooforektomi bilateral pada usia dini.(3) 2.7. Klasifikasi mioma uteri Klasifikasi mioma dapat berdasarkan lokasi dan lapisan uterus yang terkena.(3) A. Lokasi Cerivical (2,6%), umumnya tumbuh ke arah vagina menyebabkan infeksi. Isthmica (7,2%), lebih sering menyebabkan nyeri dan gangguan traktus urinarius. Corporal (91%), merupakan lokasi paling lazim, dan seringkali tanpa gejala. 10

B. Lapisan Uterus Sarang mioma di uterus dapat berasal dari serviks uteri (1-3%) dan selebihnya adalah dari korpus uteri. Menurut tempatnya di uterus dan menurut arah pertumbuhannya, maka mioma uteri dibagi 4 jenis antara lain: 1. Mioma submukosa 2. Mioma intramural 3. Mioma subserosa 4. Mioma intraligamenter

Gambar 2.5. Jenis-jenis mioma uteri Jenis mioma uteri yang paling sering adalah jenis intramural (54%), subserosa (48%), submukosa (6,1%) dan jenis intraligamenter (4,4%). 1. Mioma Uteri Submukosa Mioma submukosa dapat tumbuh bertangkai menjadi polip, kemudian dilahirkan melalui saluran serviks disebut mioma geburt. Hal ini dapaat menyebabkan dismenore, namun ketika telah dikeluarkan dari serviks dan menjadi nekrotik, akan memberikan gejala pelepasan darah yang tidak regular dan dapat disalahartikan dengan kanker serviks. Dari sudut klinik mioma uteri submukosa mempunyai arti yang lebih penting dibandingkan dengan jenis yang lain. Pada mioma uteri subserosa ataupun intramural walaupun ditemukan cukup besar tetapi sering kali memberikan keluhan yang tidak berarti. Sebaliknya pada jenis submukosa walaupun hanya kecil selalu memberikan keluhan perdarahan melalui vagina. Perdarahan sulit untuk dihentikan sehingga sebagai terapinya dilakukan histerektomi. 11

2. Mioma Uteri Subserosa Lokasi tumor di subserosa korpus uteri dapat hanya sebagai tonjolan saja, dapat pula sebagai satu massa yang dihubungkan dengan uterus melalui tangkai. Pertumbuhan ke arah lateral dapat berada di dalam ligamentum latum dan disebut sebagai mioma intraligamenter. Mioma yang cukup besar akan mengisi rongga peritoneal sebagai suatu massa. Perlengketan dengan usus, omentum atau mesenterium di sekitarnya menyebabkan sistem peredaran darah diambil alih dari tangkai ke omentum. Akibatnya tangkai makin mengecil dan terputus, sehingga mioma akan terlepas dari uterus sebagai massa tumor yang bebas dalam rongga peritoneum. Mioma jenis ini dikenal sebagai jenis parasitik. C. Mioma Uteri Intramural Disebut juga sebagai mioma intraepitelial. Biasanya multipel apabila masih kecil tidak merubah bentuk uterus, tetapi bila besar akan menyebabkan uterus berbenjolbenjol, uterus bertambah besar dan berubah bentuknya. Mioma sering tidak memberikan gejala klinis yang berarti kecuali rasa tidak enak karena adanya massa tumor di daerah perut sebelah bawah. Kadang kala tumor tumbuh sebagai mioma subserosa dan kadang-kadang sebagai mioma submukosa. Di dalam otot rahim dapat besar, padat (jaringan ikat dominan), lunak (jaringan otot rahim dominan). Secara makroskopis terlihat uterus berbenjol-benjol dengan permukaan halus. Pada potongan, tampak tumor berwarna putih dengan struktur mirip potongan daging ikan. Tumor berbatas tegas dan berbeda dengan miometrium yang sehat, sehingga tumor mudah dilepaskan. Konsistensi kenyal, bila terjadi degenerasi kistik maka konsistensi menjadi lunak. Bila terjadi kalsifikasi maka konsistensi menjadi keras. Secara histologik tumor ditandai oleh gambaran kelompok otot polos yang membentuk pusaran, meniru gambaran kelompok sel otot polos miometrium. Fokus fibrosis, kalsifikasi, nekrosis iskemik dari sel yang mati. Setelah menopause, sel-sel otot polos cenderung mengalami atrofi, ada kalanya diganti oleh jaringan ikat. Pada mioma uteri dapat terjadi perubahan sekunder yang sebagian besar bersifat degenerasi. Hal ini oleh karena berkurangnya pemberian darah pada sarang mioma. Perubahan ini terjadi secara sekunder dari atropi postmenopausal, infeksi, perubahan dalam sirkulasi atau transformasi maligna.

12

Gambar 2.6. Jenis-jenis mioma uteri. D. Mioma intraligamenter Mioma subserosa yang tumbuh menempel pada jaringan lain, misalnya ke ligamentum atau omentum kemudian membebaskan diri dari uterus sehingga disebut wondering parasitis fibroid. Jarang sekali ditemukan satu macam mioma saja dalam satu uterus. Mioma pada servik dapat menonjol ke dalam satu saluran servik sehingga ostium uteri eksternum berbentuk bulan sabit. Apabila mioma dibelah maka tampak bahwa mioma terdiri dari bekas otot polos dan jaringan ikat yang tersusun seperti kumparan (whorie like pattern) dengan pseudokapsul yang terdiri dari jaringan ikat longgar yang terdesak karena pertumbuhan. Gambaran makroskopik mioma uteri: Berkapsul Berbatas tegas

13

Gambar 2.7. Representasi gambar uterus normal dan struktur vaskulernya A. Pelebaran pembuluh darah pada endometrium dan miometrium pada uterus normal B. Pelebaran pembuluh darah obstruksi fisik pada pembuluh darah uterus miomatosus 2.8. Gejala klinis Hampir separuh kasus mioma uteri ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan ginekologik karena tumor ini tidak mengganggu. Gejala yang timbul sangat tergantung pada tempat sarang mioma ini berada serviks, intramural, submukus, subserus), besarnya tumor, perubahan dan komplikasi yang terjadi. Gejala tersebut dapat digolongkan sebagai berikut: (6) 1) Perdarahan abnormal Gangguan perdarahan yang terjadi umumnya adalah hipermenore, menoragia dan dapat juga terjadi metroragia. Beberapa faktor yang menjadi penyebab perdarahan ini, antara lain adalah :

14

- Pengaruh ovarium sehingga terjadilah hyperplasia endometrium sampai adeno karsinoma endometrium. - Permukaan endometrium yang lebih luas daripada biasa. - Atrofi endometrium di atas mioma submukosum. - Miometrium tidak dapat berkontraksi optimal karena adanya sarang mioma diantara serabut miometrium, sehingga tidak dapat menjepit pembuluh darah yang melaluinya dengan baik. 2) Rasa nyeri Rasa nyeri bukanlah gejala yang khas tetapi dapat timbul karena gangguan sirkulasi darah pada sarang mioma, yang disertai nekrosis setempat dan peradangan. Pada pengeluaran mioma submukosum yang akan dilahirkan, pula pertumbuhannya yang menyempitkan kanalis servikalis dapat menyebabkan juga dismenore. 3) Gejala dan tanda penekanan Gangguan ini tergantung dari besar dan tempat mioma uteri. Penekanan pada kandung kemih akan menyebabkan poliuri, pada uretra dapat menyebabkan retensio urine, pada ureter dapat menyebabkan hidroureter dan hidronefrosis, pada rectum dapat menyebabkan obstipasi dan tenesmia, pada pembuluh darah dan pembuluh limfe dipanggul dapat menyebabkan edema tungkai dan nyeri panggul. 4) Infertilitas dan abortus Infertilitas dapat terjadi apabila sarang mioma menutup atau menekan pars intertisialis tuba, sedangkan mioma submukosum juga memudahkan terjadinya abortus oleh karena distorsi rongga uterus. Rubin (1958) menyatakan bahwa apabila penyebab lain infertilitas sudah disingkirkan, dan mioma merupakan penyebab infertilitas tersebut, maka merupakan suatu indikasi untuk dilakukan miomektomi. 2.9. Diagnosis 1. Anamnesis Dalam anamnesis dicari keluhan utama serta gejala klinis mioma lainnya, faktor resiko serta kemungkinan komplikasi yang terjadi. 2. Pemeriksaan fisik Pemeriksaan status lokalis dengan palpasi abdomen. Mioma uteri dapat diduga dengan pemeriksaan luar sebagai tumor yang keras, bentuk yang tidak teratur, gerakan bebas, tidak sakit.

15

3. Pemeriksaan penunjang a. Pemeriksaan laboratorium Akibat yang terjadi pada mioma uteri adalah anemia akibat perdarahan uterus yang berlebihan dan kekurangan zat besi. Pemeriksaaan laboratorium yang perlu dilakukan adalah Darah Lengkap (DL) terutama untuk mencari kadar Hb. Pemeriksaaan lab lain disesuaikan dengan keluhan pasien. b. Imaging 1) Pemeriksaaan dengan USG akan didapat massa padat dan homogen pada uterus. Mioma uteri berukuran besar terlihat sebagai massa pada abdomen bawah dan pelvis dan kadang terlihat tumor dengan kalsifikasi. 2) Histerosalfingografi digunakan untuk mendeteksi mioma uteri yang tumbuh ke arah kavum uteri pada pasien infertil. 3) MRI lebih akurat untuk menentukan lokasi, ukuran, jumlah mioma uteri, namun biaya pemeriksaan lebih mahal. 2.10. Diagnosis banding(7) Diagnosis banding yang perlu dipikirkan adalah tumor abdomen dibagian bawah atau panggul ialah mioma subserosum dan kehamilan. Mioma submukosum harus dibedakan dengan inversion uteri. Mioma intramural harus dibedakan dengan adenomiosis, koriokarsinoma, karsinoma korporis uteri, atau suatu sarcoma uteri. 2.11. Penatalaksanaan Tidak semua mioma uteri memerlukan pengobatan bedah. Penanganan mioma uteri tergantung pada umur, status fertilitas, paritas, lokasi dan ukuran tumor, sehingga biasanya mioma yang ditangani yaitu yang membesar secara cepat dan bergejala serta mioma yang diduga menyebabkan fertilitas. Secara umum, penanganan mioma uteri terbagi atas penanganan konservatif dan operatif. (3) Pilihan pengobatan mioma tergantung umur pasien, paritas, status kehamilan, keinginan untuk mendapatkan keturunan lagi, keadaan umum dan gejala serta ukuran lokasi serta jenis mioma uteri itu sendiri. 2.11.1 Konservatif Tidak semua mioma uteri memerlukan pengobatan bedah ataupun

medikamentosa terutama bila mioma itu masih kecil dan tidak menimbulkan gangguan atau keluhan. Penanganan konservatif, bila mioma yang kecil pada pra dan post menopause tanpa gejala. Cara penanganan konservatif sebagai berikut :

16

a) Observasi dengan pemeriksaan pelvis secara periodik setiap 3-6 bulan. b) Bila anemia, Hb < 8 g% transfusi PRC. c) Pemberian zat besi. Penderita dengan mioma yang kecil dan tanpa gejala tidak memerlukan pengobatan, tetapi harus diawasi perkembangan tumornya. Jika mioma lebih besar dari kehamilan 10 12 minggu, tumor yang berkembang cepat, terjadi torsi pada tangkai, perlu diambil tindakan operasi. 2.11.2 Terapi medikamentosa Terapi medikammentosa yang dapat memperkecil volume atau menghentikan pertumbuhan mioma uteri secara menetap belum tersedia pada saat ini. Terapi medikamentosa masih merupakan terapi tambahan atau terapi pengganti sementara
3,8

dari terapi operatif. Adapun preparat yang selalu digunakan untuk terapi medikamentosa adalah analog GnRH, progesteron,danazol, gestrinon, tamoksifen, goserelin, anti

prostaglandin,agen-agen lain (gossipol,amantadine) A. Analog GnRH . Penelitian multisenter yang dilakukan pada 114 pasien dengan mioma uteri yang diberikan analog GnRH leuprorelin asetat selama 6 bulan, ditemukan pengurangan volume uterus rata-rata 67 %, pada 90 wanita didapatkan pengecilan volume uterus sebesar 20 %, dan pada 35 wanita ditemukan pengurangan volume mioma sebanyak 80 %. Efek maksimal dari analog GnRH baru terlihat setelah 3 bulan dimana cara kerjanya menekan produksi estrogen dengan sangat kuat, sehingga kadarnya dalam darah menyerupai kadar estrogen wanita usia menopause. Setiap mioma
2,9

uteri memberikan hasil yang berbeda-beda terhadap pemberian analog GnRH. Mioma submukosa dan mioma intramural merupakan mioma uteri yang paling responsif terhadap pemberian analog GnRH. Sedangkan mioma subserosa tidak responsif dengan pemberian analog GnRH ini. Keuntungan pemberian pengobatan medikamentosa dengan analog GnRH
2

adalah: 1. Mengurangi volume uterus dan volume mioma uteri 2. Mengurangi anemia akibat pendarahan 3. Mengurangi pendarahan pada saat operasi 17

4. Tidak diperlukan insisi yang luas pada uterus saat pengangkatan mioma 5. Mempermudah tindakan histerektomi vaginal 6. Mempermudah pengangkatan mioma submukosa dengan histeroskopi. B. Progesteron Peneliti Lipschutz tahun 1939, melaporkan perkembangan mioma uteri dapat dihambat atau dihilangkan dengan pemberian progesteron. Dimana progesteron yang diproduksi oleh tubuh dapat berinteraksi secara sinergis dengan estrogen,
3,10,11

tetapi mempunyai aksi antagonis. Tahun 1946 Goodman melaporkan terapi injeksi progesteron 10 mg dalam 3 kali seminggu atau 10 mg sehari selama 2 6 minggu, terjadi regresi dari mioma uteri, setelah pemberian terapi. Segaloff tahun 1949, mengevaluasi 6 pasien dengan perawatan 30 sampai 189 hari, dimana 3 pasian diberi 20 mg progesteron intramuskuler tiap hari, dan 3 pasian lagi diberi 200 mg tablet. Pengobatan ini tidak mempengaruhi ukuran mioma uteri. Goldhiezer, melaporkan adanya perubahan degeneratif mioma uteri pada pemberian progesteron dosis besar. Dengan pemberian medrogestone 25 mg pr hari selama 21 hari. Pada pemberian 2 mg norethindrone tiap hari selama 30 hari tidak mempengaruhi perubahan ukuran volume mioma uteri. Perkiraan ukuran mioma uteri sebelum dan sesudah terapi tidak dilakukan dan efektifitasnya dimulai berdasarkan temuan histologis. Terapi progesteron mungkin ada berhasil
2,3,11

dalam pengobatan mioma uteri, hal ini belum terbukti saat ini. C. Danazol Danazol merupakan progestogen sintetik yang berasal dari testoteron, dan pertama kali digunakan untuk pengobatan endometrosis. Prof. Maheux tahun 1983 pada pertemuan tahunan perkumpulan fertilitas Amerika, mempresentasikan hasil studinya di Universitas Yale, 8 pasien mioma uteri diterapi 800 mg danazol setiap hari, selama 6 bulan. Dosis substansial didapatkan hanya menyebabkan pengurangan volume uterus sebesar 20 25 %, dimana diperoleh fakta bahwa
3

damazol memiliki substansi androgenik. Tamaya, dan rekan-rekan tahun 1979, melaporkan reseptor androgen pada mioma terjadi peningkatan aktivitas 5 - reduktase dibandingkan dengan miometrium dan endometrium normal. Yamamoto tahun 1984, dimana mioma

18

uteri, memiliki suatu aktifitas aromatase yang tinggi dan dapat membentuk
3,12

estrogen dari androgen. D. Tamoksifen Tamoksifen merupakan turunan trifeniletilen mempunyai khasiat estrogenik maupun antiestrogenik. Dan dikenal sebagai selective estrogen receptor modulator (SERM) dan banyak digunakan untuk pengobatan kanker payudara stadium lanjut. Karena khasiat sebagai estrogenik maupun antiestrogenik. Beberapa peneliti melaporkan, pemberian tamoksifen 20 mg tablet perhari untuk 6 wanita premenopause dengan mioma uteri selama 3 bulan dimana, volumae mioma tidak berubah. Kerja tamoksifen pada mioma uteri, dimana konsentrasi reseptor estradiol total secara signifikan lebih rendah. Hal ini terjadi karena peningkatan kadar
3

progesteron bila diberikan secara berkelanjutan. E. Goserelin Goserelin merupakan GnRH agonis, dimana ikatan reseptornya terhadap jaringan sangat kuat, sehingga kadarnya dalam darah berada cukup lama. Dan pada pemberian goserelin dapat mengurangi setengah ukuran mioma uteri dan dapat menghilangkan gejala menorargia dan nyeri pelvis. Pada wanita premenopause dengan mioma uteri, pengobatan jangka panjang dapat menjadi alternatif tindakan histerektomi terutama pada saat menjelang menopause. Pemberian goserelin 400 mikrogram 3 kali sehari semprot hidung sama efektifnya dengan pemberian 500 mikrogram sehari sekali dengan cara injeksi subkutan. Untuk pengobatan mioma uteri, dimana kadar estradiol kurang signifikan disupresi selama pemberian goserelin dan pasien sedikit mengeluh efek samping berupa keringat dingin. Pembereian dosis yang sesuai, agar dapat menstimulasi estrogen tanpa tumbuh mioma kembali atau berulangnya peredaran abnormal sulit diterima. Peneliti mengevaluasi efek pengobatan dengan formulasi depot bulanan goserelin dikombinasi dengan HRT (estrogen konjugasi 0.3 mg ) dan medroksiprogesteron asetat 5 mg pada pasien mioma uteri, parameter yang diteliti adalah volume mioma uteri, keluhan pasien, corak perdarahan, kandungan mineral tulang dan fraksi kolesterol. Dapat disimpulkan dari hasil penelitian, dimana pemberian goserelin dikombinasi dengan HRT dilaporkan mioma uteri berkurang, dengan keluhan 19

berupa keringat dingin dan pola perdarahan spotting, bila pengobatan dihentikan. Dimana kandungan mineral tulang berkurang bila pemberian pengobatan selama 6 bulan pertama. Tiga bulan setelah pengobatan perlu dilakukan observasi, dan konsentrasi HDL kolesterol meningkat selama pengobatan, sedangkan plasma
10

trigliserida konsentrasi menetap selama pemberian terapi. F. Antiprostaglandin Penghambat pembentukan prostaglandin dapat mengurangi perdarahan yang berlebihan pada wanita dengan menoragia, dan hal ini beralasan untuk diterima atau mungkin efektif untuk menoragia yang diinduksi oleh mioma uteri. Ylikorhala dan rekan-rekan, melaporkan pemberian naproxen 500 1000 mg setiap hari untuk terapi selama 5 hari tidak memiliki efek pada menoragia yang diinduksi mioma, meskipun hal ini mengurangi perdarahan menstruasi 35,7 % wanita dengan menoragia idiopatik. Studi ini didasarkan hanya penilaian secara
3

simptomatik, sedangkan ukuran mioma tidak diukur. 2.11.3. Pengobatan Operatif Penanganan operatif, bila: - Ukuran tumor lebih besar dari ukuran uterus 12-14 minggu. - Pertumbuhan tumor cepat. - Mioma subserosa bertangkai dan torsi. - Bila dapat menjadi penyulit pada kehamilan berikutnya. - Hipermenorea pada mioma submukosa. - Penekanan pada organ sekitarnya. Jenis operasi yang dilakukan dapat berupa : A. Enukleasi Mioma Dilakukan pada penderita infertil atau yang masih menginginkan anak atau mempertahankan uterus demi kelangsungan fertilitas. Sejauh ini tampaknya aman, efektif, dan masih menjadi pilihan terbaik. Enukleasi sebaiknya tidak dilakukan bila ada kemungkinan terjadinya karsinoma endometrium atau sarkoma uterus, juga dihindari pada masa kehamilan. Tindakan ini seharusnya dibatasi pada tumor dengan tangkai dan jelas yang dengan mudah dapat dijepit dan diikat. Bila miomektomi menyebabkan cacat yang menembus atau sangat berdekatan dengan endometrium, kehamilan berikutnya harus dilahirkan dengan seksio sesarea. 20

Kriteria preoperasi menurut American College of Obstetricians Gynecologists (ACOG) adalah sebagai berikut : a. Kegagalan untuk hamil atau keguguran berulang. b. Terdapat leiomioma dalam ukuran yang kecil dan berbatas tegas. c. Apabila tidak ditemukan alasan yang jelas penyebab kegagalan kehamilan dan keguguran yang berulang. B. Histerektomi Dilakukan bila pasien tidak menginginkan anak lagi, dan pada penderita yang memiliki leiomioma yang simptomatik atau yang sudah bergejala. Kriteria ACOG untuk histerektomi adalah sebagai berikut: a. Terdapatnya 1 sampai 3 leiomioma asimptomatik atau yang dapat teraba dari luar dan dikeluhkan olah pasien. b. Perdarahan uterus berlebihan : Perdarahan yang banyak bergumpal-gumpal atau berulang-ulang selama lebih dari 8 hari. Anemia akibat kehilangan darah akut atau kronis. c. Rasa tidak nyaman di pelvis akibat mioma meliputi : a) Nyeri hebat dan akut. b) Rasa tertekan punggung bawah atau perut bagian bawah yang kronis. c) Penekanan buli-buli dan frekuensi urine yang berulang-ulang dan tidak disebabkan infeksi saluran kemih. C. Penanganan Radioterapi

- Hanya dilakukan pada pasien yang tidak dapat dioperasi (bad risk patient). - Uterus harus lebih kecil dari usia kehamilan 12 minggu. - Bukan jenis submukosa. - Tidak disertai radang pelvis atau penekanan pada rektum. - Tidak dilakukan pada wanita muda, sebab dapat menyebabkan menopause. - Maksud dari radioterapi adalah untuk menghentikan perdarahan.

21

Mioma

Besar < 14 mgg

Besar > 14 mgg

Tanpa keluhan

Dengan keluhan

Konservatif

Operatif

Gambar 2.8. Bagan Penatalaksanaan Mioma Uteri. (5) 2.12. Komplikasi Perubahan sekunder pada mioma uteri yang terjadi sebagian besar bersifat degenerasi. Hal ini oleh karena berkurangnya pemberian darah pada sarang mioma. Perubahan sekunder tersebut antara lain : (6) a) Atrofi : sesudah menopause ataupun sesudah kehamilan mioma uteri menjadi kecil. b) Degenerasi hialin : perubahan ini sering terjadi pada penderita berusia lanjut. Tumor kehilangan struktur aslinya menjadi homogen. Dapat meliputi sebagian besar atau hanya sebagian kecil dari padanya seolah-olah memisahkan satu kelompok serabut otot dari kelompok lainnya. c) Degenerasi kistik : dapat meliputi daerah kecil maupun luas, dimana sebagian dari mioma menjadi cair, sehingga terbentuk ruangan-ruangan yang tidak teratur berisi agar-agar, dapat juga terjadi pembengkakan yang luas dan bendungan limfe sehingga menyerupai limfangioma. Dengan konsistensi yang lunak ini tumor sukar dibedakan dari kista ovarium atau suatu kehamilan. d) Degenerasi membatu (calcereus degeneration) : terutama terjadi pada wanita berusia lanjut oleh karena adanya gangguan dalam sirkulasi. Dengan adanya pengendapan garam kapur pada sarang mioma maka mioma menjadi keras dan memberikan bayangan pada foto rontgen.

22

e) Degenerasi merah (carneus degeneration) : perubahan ini terjadi pada kehamilan dan nifas. Pada patogenesisnya diperkirakan karena suatu nekrosis subakut sebagai gangguan vaskularisasi. Pada pembelahan dapat dilihat sarang mioma seperti daging mentah berwarna merah disebabkan pigmen hemosiderin dan hemofusin. Degenerasi merah tampak khas apabila terjadi pada kehamilan muda disertai emesis, haus, sedikit demam, kesakitan, tumor pada uterus membesar dan nyeri pada perabaan. Penampilan klinik ini seperti pada putaran tangkai tumor ovarium atau mioma bertangkai. f) Degenerasi lemak : jarang terjadi, merupakan kelanjutan degenerasi hialin. 2.13. Mioma Uteri dan Kehamilan Pengaruh mioma uteri pada kehamilan adalah : 1. Kemungkinan abortus lebih besar karena distorsi kavum uteri khususnya pada mioma submukosum. 2. Dapat menyebabkan kelainan letak janin 3. Dapat menyebabkan plasenta previa dan plasenta akreta 4. Dapat menyebabkan HPP akibat inersia maupun atonia uteri akibat gangguan mekanik dalam fungsi miometrium 5. Dapat menganggu proses involusi uterus dalam masa nifas 6. Jika letaknya dekat pada serviks, dapat menghalangi kemajuan persalinan dan menghalangi jalan lahir. 7. Mioma membesar terutama pada bulan-bulan pertama karena pengaruh estrogen yang meningkat 8. Dapat terjadi degenerasi merah pada waktu hamil maupun masa nifas seperti telah diutarakan sebelumnya, yang kadang-kadang memerlukan pembedahan segera guna mengangkat sarang mioma. Namun, pengangkatan sarang mioma demikian itu jarang menyebabkan perdarahan. 9. Meskipun jarang, mioma yang bertangkai dapat mengalami torsi dengan gejala dan tanda sindrom akut abdomen. 10. Terapi mioma dengan kehamilan adalah konservatif karena miomektomi pada

kehamilan sangat berbahaya disebabkan kemungkinan perdarahan hebat dan dapat juga menimbulkan abortus. Operasi terpaksa jika lakukan kalau ada penyulit-penyulit yang menimbulkan gejala akut atau karena mioma sangat besar. Jika mioma menghalangi jalan lahir, dilakukan SC (Sectio Caesarea) disusul histerektomi tapi kalau akan dilakukan miomektomi lebih baik ditunda sampai sesudah masa nifas. 23

2.14 Prognosis Histerektomi dengan mengangkat seluruh mioma adalah kuratif. Miomektomi yang ekstensif dan secara signifikan melibatkan miometrium atau menembus endometrium, maka diharuskan SC pada persalinan berikutnya. Mioma yang kambuh kembali setelah miomektomi terjadi pada 15-40% pasien dan 2/3-nya memerlukan tindakan lebih lanjut.11

24

BAB III RINGKASAN

Mioma

uteri

adalah

salah

satu

tumor

neoplastik

jinak

dari

otot

polos

miomentrium.Mioma uteri berbatas tegas, tidak berkapsul, dan berasal dari otot polos jaringan fibrous, sehingga mioma uteri dapat berkonsistensi padat jika jaringan ikatnya dominan, dan berkonsistensi lunak jika otot rahimnya yang dominan. Mioma uteri biasa juga disebut leiomioma uteri, fibroma uteri, fibroleiomioma, mioma fibroid atau mioma simpel. Mioma uteri merupakan tumor jinak yang paling sering ditemukan yaitu satu dari empat wanita selama masa reproduksi yang aktif. Kejadian mioma uteri sukar ditetapkan karena tidak semua mioma uteri memberikan keluhan dan memerlukan tindakan operatif. Gejala tersebut dapat digolongkan sebagai berikut : Perdarahan abdominal. Gangguan perdarahan yang terjadi umumnya adaah hipermenore, menoragia, dan dapat juga terjadi metrorargia. Rasa nyeri. Gejala dan tanda penekanan. Infertilitas dan abortus Walaupun kebanyakan mioma muncul tanpa gejala tetapi sekitar 60% ditemukan secara kebetulan pada saat pemeriksaan USG, pemeriksaan pelvis, atau pada laparatomi daerah pelvis Etiologi yang pasti terjadinya mioma uteri saat ini belum diketahui. Mioma uteri banyak ditemukan pada usia reproduktif dan angka kejadiannya rendah pada usia menopause, dan belum pernah dilaporkan terjadi sebelum menarche. Diduga penyebab timbulnya mioma uteri paling banyak oleh stimulasi hormon estrogen

25

DAFTAR PUSTAKA

1.

Thomas EJ. The aetiology and phatogenesis of fibroids. In : Shaw RW. eds. Advences in reproduktive endocrinology uterine fibroids. England New Jersey : The Phartenon Publishing Group, 1992 ; 1 8. Diakses 15 Januari 2013.

http://digilib.unsri.ac.id/jurnal/health-sciences/mioma-uteri/mrdetail/906/ 2. Baziad A. Pengobatan medikamentosa mioma uteri dengan analog GnRH. Dalam : Endokrinologi ginekologi edisi kedua. Jakarta : Media Aesculapius FKUI, 2003; 151 156. Diakses 9 Oktober 2010. http://digilib.unsri.ac.id/jurnal/health-sciences/miomauteri/mrdetail/906/ 3. Bradley J, Voorhis V. Management options for uterine fibroids, In : Marie Chesmy, Heather Whary eds. Clinical obstetric and Gynecology. Philadelphia : Lippincott Williams and Wilkins, 2001 ; 314 315. Diakses 9 Oktober 2010.

http://digilib.unsri.ac.id/jurnal/health-sciences/mioma-uteri/mrdetail/906/ 4. Schwartz MS. Epidermiology of uterine leiomiomata. In : Chesmy M, Heather, Whary eds. Clinical Obstetric and Ginecology. Philadelphia : Lippincott Williams and Willkins, 2001 ; 316 318. Diakses 9 Oktober 2010. http://digilib.unsri.ac.id/jurnal/healthsciences/mioma-uteri/mrdetail/906/ 5. Friedman AJ, Rein MS, Murugan R, Pandian, Barbieri RL.Fasting serum growth hormone and insulin_like growth factor I and II concentrations in women with leiomiomata uteri treated with leuprolide acetate or placebo. Fertility and Sterility, 1990 ; 53 : 250 253. Diakses 15 Januari 2013. http://digilib.unsri.ac.id/jurnal/healthsciences/mioma-uteri/mrdetail/906/ 6. Joedosaputro MS. Tumor jinak alat genital. Dalam: Sarwono Prawiroharjo, edisi kedua. Ilmu Kandungan. Yayasan Bina Pustaka. Jakarta: 1994; 338-345 7. Sivecney G.Mc, Shaw RW. Attempts at medical treatment of uterine fibroids. In : R.W. Shaw, eds. Advences in reproductive endocrinology uterine fibroids. England New Jersey : The Phartenon Publishing Group, 1992 ; 95 101. Diakses 9 Oktober 2010. http://digilib.unsri.ac.id/jurnal/health-sciences/mioma-uteri/mrdetail/906/ 8. Schwartz MS. Epidermiology of uterine leiomyomata. In : Chesmy M, Heather, Whary eds. Clinical Obstetric and Ginecology. Philadelphia : Lippincott Williams and Willkins, 2001 ; 316 318. 15 Januari 2013. http://digilib.unsri.ac.id/jurnal/health-

sciences/mioma-uteri/mrdetail/906/

26

9.

Bradley J, Voorhis V. Management options for uterine fibroids, In : Marie Chesmy,Heather Whary eds. Clinical obstetric and Gynecology. Philadelphia : Lippincott Williams and Wilkins, 2001 ; 314 315, Diakses 9 Oktober 2010.

http://digilib.unsri.ac.id/jurnal/health-sciences/mioma-uteri/mrdetail/906/ 10. Lumsden MA. The role of oestrogen and growth factors in the control of the growth of uterine leiomiomata. In : R.W. Shaw, eds. Advances in reproductive endocrinology uterine fibroids. England-New Jersey: The Parthenon Publishing Group, 1992; 9 20. Diakses 9 Oktober 2010. http://digilib.unsri.ac.id/jurnal/health-sciences/mioma-

uteri/mrdetail/906/ 11. Prawirohardjo S, Hanifa W. Ilmu Kebidanan, edisi IV. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo, 2010; 10:130-136 12. Parker WH. Etiology, symptomatology, and diagnosis of uterine myomas. Fertility and Sterility.Vol. 87, No. 4, April 2007. p725-33. 13. Baziad A. Pengaruh hormon seks terhadap genitalia dan ekstragenitalia. Dalam : Endokrinologi genikologi edisi kedua. Jakarta : Media Aesculapius FKUI, 2003 ; 131 132 14. Schwartz MS. Epidermiology of uterine leiomyomata. In : Chesmy M, Heather, Whary eds. Clinical Obstetric and Ginecology. Philadelphia : Lippincott Williams and Willkins, 2001 ; 316 318 15. Bradley J, Voorhis V. Management options for uterine fibroids, In : Marie Chesmy,Heather Whary eds. Clinical obstetric and Gynecology. Philadelphia : Lippincott Williams and Wilkins, 2001 ; 314 315

27

Anda mungkin juga menyukai