Anda di halaman 1dari 9

FRAKTUR

1. Definisi

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer et al., 2000). Fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang (Carpenito, 2009). Fraktur adalah gangguan pada kontinuitas tulang. Fraktur paling sering disebabkan oleh trauma, tetapi dapat terjadi fraktur patologik pada tulang yang sakit hanya oleh regangan otot ringan pada aktivitas sehari-hari (Gruendemann, 2005 )

2. Klasifikasi Beberapa macam fraktur (Hegner, 2003) a. Fraktur Tertutup atau Fraktur Oblique Tulang-tulang yang patah tetap berada pada posisi yang tepat b. Fraktur Terbuka (Compound) Tulang patah dan kulit terbuka. Tulang dapat menembus melewati kulit yang terbuka c. Fraktur Greenstick Tulang tidak sepenuhnya patah. Fraktur ini biasanya terjadi pada anak kecil. Tulang anak kecil bersifat fleksibel karena pertumbuhannya belum sempurna d. Fraktur Comminuted Terjadi pada tulang yang pecah menjadi lebih dari dua pecahan e. Fraktur Kompresi Terjadi pada tulang yang berongga seperti vetebra. Tulang mengalami kompresi atau hancur

Jenis- jenis fraktur (Hegner, 2003)

Keterangan:

Tipe-tipe fraktur (Williams dan Hopper, 2007)

Keterangan:

Tipe-tipe fraktur (Smeltzer dan Bare, 2010) 3. Etiologi Fraktur dapat diakibatkan oleh (Muttaqin, 2005) a. Fraktur akibat peristiwa trauma sebagian fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba berlebihan yang dapat berupa pemukulan, penghancuran, perubahan pemuntiran atau penarikan. Bila tekanan kekuatan langsung tulang dapat patah pada tempat yang terkena dan jaringan lunak akan ikut rusak. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan pada kulit di atasnya. Penghancuran

kemungkinan akan menyebabkan fraktur komunitif disertai kerusakan jaringan lunak yang luas. b. Fraktur akibat peristiwa kelelahan atau tekanan retak dapat terjadi pada tulang seperti halnya pada logam dan benda lain akibat tekanan berulang-ulang. Keadaan ini paling sering dikemukakan pada tibia, fibula atau metatarsal terutama pada atlet, penari atau calon tentara yang berjalan baris berbaris dalam jarak jauh. c. Fraktur patologik karena kelemahan pada tulang fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal kalau tulang tersebut lunak (misalnya oleh tumor) atau tulang-tulang tersebut sangat rapuh. 4. Patofisiologi Ketika tulang patah, sel tulang mati. Perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah dan ke dalam jaringan lunak disekitar tulang tersebut. Jaringan lunak biasanya mengalami kerusakan akibat cedera. Reaksi inflamasi yang intens terjadi setelah patah tulang. Sel darah putih dan sel mast berakumulasi sehingga menyebabkan peningkatan aliran darah ke daerah tersebut. Fagositosis dan pembersihan debris sel mati dimulai. Bekuan fibrin (hematoma fraktur) terbentuk di tempat patah dan berfungsi sebagai jala untuk melekatnya sel-sel baru. Aktivitas osteoblas segera terstimulasi dan terbentuk tulang baru imatur yang disebut kalus. Bekuan fibrin segera direabsorbsi dan sel tulang baru secara perlahan mengalami remodeling untuk membentuk tulang sejati. Tulang sejati menggantikan kalus dan secara perlahan mengalami kalsifikasi (Corwin, 2009)

a. Fase Penyembuhan Fraktur

(Brooker, 2002)

(William dan Hopper, 2007)

(Tambayong, 2000)

b. Pathway

5.

Manifestasi Klinis Manifestasi klinis faktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformasi, pemendekan ektrimitas, kreptitus, pembengkakan lokal, dan perubahan warna (Suzanne C. Smeltzer & Brebda G. Bare, 2001). a. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi. Spase otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiyah yang dirancang yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antara fragmen tulang. b. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tidak dapat digunakan dan cenderung bergerak tidak alamiah (gerakan luar biasa) bukannya tetap rigid seperti normalnya. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai menyebabkan defrmitas (terlihat maupun teraba) ektrimiatas yang biasanya diketahui dengan

membadingkan dengan ektrimitas normal. Ektrimitas tidak dapat berfungsi dengan

baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang tempat melekatnya otot. c. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarya karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah fraktur. Fragmen sering sekali melingkupi satu sama lain sampai 2.5 sampai 5 cm (1 sampai 2 inci) d. Saat ektrimitas di periksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang yang disebut krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan fragmen lainnya. (Uji krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan lunak yang lebih berat). e. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai trauma dan pendarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini biasa baru terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera.

6.

Pemeriksaan Diagnostik Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada klien dengan fraktur (Doengoes, 2000) a. b. Pemeriksaan rontgen : menentukan lokasi / luasnya fraktur / trauma. Scan tulang (tomogram, scan CT / MRI) : memperlihatkan fraktur dan juga dapat mengindentifikasi kerusakan jaringan lunak. c. d. Arteriogram : dilakukan bila kerusakan vaskuler di curigai. Hitung darah lengkap : hematokrit mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun (pendarahan bermakna pada trauma multiple ). Peningkatan jumlah leukosit adalah respon stress normal setelah trauma e. f. Kreatinin : trauma pada otot meningkatkan beban kreatinin untuk klien ginjal. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfuse multiple, atau cedera hati

7.

Penatalaksanaan Penatalaksanaan konservatif, yang dilakukan pada fraktur (Muttaqin, 2005) a. Proteksi semata-mata (tanpa reduksi atau imobilisasi) Proteksi fraktur terutama untuk mencegah trauma lebih lanjut dengan cara memberikan sling (mitela) pada anggota gerak atau tongkat pada anggota gerak bawah. b. Immobilisasi dengan bidai eksterba (tanpa reduksi) Immobilisasi pada fraktur dengan bidai ekterna hanya memberikan sedikit immobilisasi biasanya hanya mengunakan plester of paris (gips) atau dengan bermacam-macam bidai atau plastic atau metal c. Reduksi tertutup dengan manipulasi dan immobilisasi ekterna menggunakan gips. Reduksi tertutup yang diartikan manipulasi, dilakukan baik dengan pembiusan

umum ataupun local. Reposisi yang dilakukan melawan kekuatan terjadi fraktur. Penggunaan gips untk immobilisasi merupakan alat utama untuk teknik ini. d. Reduksi tertutup dengan traksi berlanjut di ikuti dengan traksi berlanjut dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu traksi kulit dan traksi tulang.

8.

Komplikasi Komplikasi fraktur dibagi menjadi dua (Muttaqin, 2005) a. Komplikasi awal (24 jam paska trauma), terdiri dari : kerusakan arteri, kompartemen sindrom, fat embolism sindrom, infeksi, avaskuler nekrosis, syok hipovolemik, syok hipovolemik b. Komplikasi lanjut, terdiri dari : delayed union, non union, mal union

- Mal union: fraktur menyembuh pada saatnya tetapi terdapat deformitas yang
berbentuk angulasi, varus atau valgus, kependekan ataumenyilang

- Non union: fraktur yang tidak sembuh antara 6-8 bulan dan tidak didapatkan
konsolidasi sehingga terjadi sendi palsu

- Delayed union: fraktur yang tidak sembuh setelah selang waktu 3-5 bulan (3
bulan untuk anggota gerak atas, 5 bulan untuk anggota gerak bawah)

Komplikasi fraktur menurut Corwin (2009) a. Non union, delayed union atau mal union tulang dapat terjadi yang menimbulkan deformitas atau hilangnya fungsi b. Sindrom kompartemen ditandai oleh kerusakan atau destruksi saraf dan pembuluh darah yang disebabkan oleh pembengkakan dan edema di daerah fraktur. Lima tanda pada sindrom kompartemen meliputi nyeri, denyut nadi lemah, pucat, parestesia, dan paralisis. c. Embolus lemak dapat timbul setelah patah tulang, terutama tulang panjang. Embolus lemak dapat timbul akibat pajanan sum-sum tulang atau dapat terjadi akibat aktivasi sistem saraf simpatis yang menimbulkan stimulasi mobilisasi asam lemak bebas setelah trauma. Embolus lemak yang timbul setelah patah tulang panjang sering tersangkut di sirkulasi paru dan dapat menimbulkan gawat napas dan gagal napas.

9.

Daftar Pustaka Brooker, Chris. 2002. Ensiklopedia Keperawatan. Jakarta: EGC Carpenito, Lynda Juall. 2008. Nursing Diagnosis: Application to Clinical Practice. Lippincott Williams and Wilkins Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Edisi 3.Jakarta: EGC

Doengoes, Marylin E. 2000. Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan. Edisi 3. Jakarta: EGC Gruendemann, Barbara J. Buku Ajar Keperawatan Perioperatif. Vol 2. Jakarta: EGC Hegner, Barbara R. 2003. Asisten Keperawatan: Suatu Pendekatan Proses

Keperawatan. Edisi 6. Jakarta: EGC Hopper, Paula D. dan Linda S. Williams. 2007. Understanding Medical Surgical Nursing third edition. Philadelphia: F.A. Davis Company Mansjoer, Arif et al. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3 Jilid 1. Jakarta: Media Aesculapius Muttaqin, Arif. 2005. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Dengan Gangguan Persarafan. Jakarta: EGC Smeltzer, Suzanne C. dan Brebda G. Bare. 2010. Brunner & Suddarths Textbook of Medical-Surgical Nursing. 10th Edition. Suzanne C. Smeltzer dan Brenda G. Bare. 2001. Brunner dan Suddart Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Jakarta: EGC Tambayong, Jan. 2000. Patofisiologi Untuk Keperawatan. Edisi 1. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai