Anda di halaman 1dari 22

FENOMENA PENEGAKAN SUPREMASI HUKUM PADA PEMILIHAN UMUM PASCA PENETAPAN CALON LEGISLATIF TAHUN 2009

Oleh: M. Satria, SH, MKn Dosen Fakultas Hukum Universitas Haluoleo Kendari

Abstrak Fungsi dari hukum adalah untuk mengatur hubungan antara negara atau masyarakat dengan warganya dan hubungan antar manusia, agar supaya kehidupan di dalam masyarakat berjalan dengan lancar dan tertib. Serta, fungsi hukum adalah melindungi kepentinggan manusia atau masyarakat, karena dimana-mana bahaya selalu mengancamnya sejak dulu sampai sekarang, baik secara makro maupun secara mikro. Permasalahan hukum pemilu yang penyelesaiannya memerlukan putusan lembaga peradilan terbagi dalam dua jenis masalah, yaitu perselisihan hasil pemilu yang diatur dalam ketentuan Pasal 258 dan Pasal 259 dan tindak pidana pemilu yang diatur dalam Pasal 260 sampai dengan Pasal 310 Undang-Undang No. 10 tahun 2008. perselisihan hasil pemilu adalah perselisihan antara Komisi Pemilihan Umum dengan peserta pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil pemilu secara nasional yang dapat

mempengaruhi perolehan kursi peserta pemilu, yang hanya dapat diajukan permohonan pembatalannya kepada Mahkamah Konstitusi, paling lama 3 x 24 jam sejak diumumkan.

Sedangkan Tindak Pidana Pemilihan Umum berdasarkan ketentuan Undang-Undang No. 10 tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD didefenisikan sebagai pelanggaran terhadap ketentuan pidana pemilu yang diatur dalam undang-undang ini yang penyelesaiannya melalui pengadilan pada peradilan umum, sedangkan pelanggaran yang

bersifat administratif diselesaikan melalui KPU dan Badan Pengawas Pemilu/Panitia Pengawas Pemilu serta aparat dibawahnya.

Pendahuluan Setiap manusia terlahir dengan hak-hak asasi kebebasan untuk memilih serta mengeluarkan pendapat yang melekat dalam dirinya yang kemudian dijamin oleh UndangUndang Dasar dari sebuah negara. Akan tetapi, kebebasan itu menjadi terbatas apabila seseorang berada di tengah-tengah suatu sistem sosial. Sekiranya, setiap orang akan menuntut kebebasan mutlak bagi dirinya, maka tak bisa dibayangkan betapa kacaunya sistem sosial tersebut bilamana kebebasan tersebut tidak dapat diatur. Sehingga, diadakanlah batasan-batasan tersebut guna melindungi hak-hak asasi manusia. Seperti, hak hidup, misalnya, mensyaratkan ketentuan bahwa orang tidak dapat memiliki klaim atas hidup orang lain atau hak milik seseorang tidak dapat dialihkan kepada orang lain kecuali atas izin dari pemilik tersebut atau juga seperti hak seseorang untuk mengeluarkan pendapat, hak untuk mendapatkan penghidupan serta hak untuk memilih sesuatu yang ia inginkan. Oleh sebab itu, hak-hak tersebut yang dimiliki oleh setiap manusia tidak dapat disalahgunakan didalam kehidupan bermasyarakat karena akan menimbulkan suatu konflik atau kekacauan. Untuk menghindari hal-hal tersebut pemerintah sebagai pelaksana daripada pemerintahan serta pengatur, kiranya dipandang sangat perlu bilamana hak-hak tersebut diatur untuk menjaga kelangsungan dari suatu pemerintahan. Hukum bukanlah tameng, perisai, senjata, benteng ataupun pelindung diri dari kesalahan tetapi hukum itu adalah merupakan tempat untuk mencari keadilan dan kebenaran dari perbuatan-perbuatan orang yang telah merugikan orang lain dan negara. Padahal, di dalam UUD 1945 telah dinyatakan dengan tegas bahwa, Indonesia adalah Negara Hukum (Rechtsstat) bukan

Negara Kekuasaan (Machtsstat). Negara Hukum adalah suatu negara yang dalam berkehidupan bernegara, berpemerintahan, dan bermasyarakat, selalu mengacu kepada hukum yang berlaku sebagai pedomannya. Oleh karena itu, fungsi dari hukum adalah untuk mengatur hubungan antara negara atau masyarakat dengan warganya dan hubungan antar manusia, agar supaya kehidupan di dalam masyarakat berjalan dengan lancar dan tertib. Serta, fungsi hukum adalah melindungi kepentingan manusia atau masyarakat, karena dimana-mana bahaya selalu mengancamnya sejak dulu sampai sekarang, baik secara makro maupun secara mikro. Manusia sangat berkepentingan terlindungi terhadap bahaya-bahaya yang mengancamnya. Kepentingan manusia atau masyarakat itu akan terlindungi apabila tatanan di dalam masyarakat itu tertib, tenteram dan aman. Setidaktidaknya manusia akan merasa aman dan terlindungi apabila masyarakatnya tertib. Ketertiban masyarakat atau rasa aman warganya berarti kepentingan terlindungi terhadap bahaya yang mengancamnya. Semua manusia ingin kepentingannya terlindungi. Kiranya tidak ada manusia yang tidak mau dilindungi kepentingannya, bahkan ada yang untuk melindungi kepentingannya, menuntut atau melaksanakan haknya, sampai hati kalau ada manusia yang melakukan kekerasan atau justru malanggar hak orang lain. Oleh karena itu, dalam melindungi kepentingan manusia atau masyarakat, hukum menciptakan pedoman-pedoman, kaedah-kaedah atau peraturanperaturan hukum yang harus dipatuhi atau ditaati dan harus dapat pula dipaksakan pelaksanaannya. Hal ini mengakibatkan, bahwa tugas hukum adalah untuk mencapai kepastian hukum (demi adanya ketertiban) dan keadilan di dalam masyarakat. Kepastian hukum mengharuskan diciptakannya peraturan-peraturan umum atau kaedah-kaedah yang berlaku umum. Agar supaya tercipta suasana yang aman dan tenteram di dalam masyarakat, maka peraturan-peraturan

termaksud harus ditegakkan serta dilaksanakan dengan tegas. Sehingga, hukum itupun dipandang sebagai suatu bagian dari realitas sosial yang bertalian erat sekali dengan faktor-faktor sosial lainnya. Hukum di satu sisi adalah merupakan hasil dari interaksi berbagai kekuatan sosial, politik, ekonomi dan lain sebagainya dan sebagai bagian dari realitas sosial yang juga dapat menimbulkan pengaruh terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat. Dengan demikian, penegakan hukum pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan ketertiban, kepastian hukum serta rasa keadilan dalam masyarakat sehingga masyarakat merasa mendapatkan pengayoman dan perlindungan akan hak-haknya. Selain itu juga, penegakan hukum bertujuan pula untuk mengamankan pembangunan dan hasil-hasilnya. Penerapan dan penegakan hukum dilakukan dengan menata dan menyempurnakan kembali fungsi dan peranan organisasi lembaga hukum, profesi serta badan peradilan, membina sikap perilaku, kemampuan dan keterampilan aparatur negara terutama para penegak dan pelaksana hukum. Selain itu juga, eksistensi hukum pada hakikatnya untuk mengatur hubungan hukum dalam pergaulan masyarakat, baik antara orang-seorang, orang yang satu dengan orang yang lain, antara orang dengan negara dan mengatur hubungan antara lembaga-lembaga negara yang ada. Sehingga, dapat dikatakan juga hukum itu merupakan sosial control (control social) dan juga berfungsi sebagai alat perubahan sosial (social engenering). Fungsi hukum tersebut akan tidak tercipta dan akan menghambat terciptanya keadilan ekonomi maupun keadilan politik, apabila hukum itu didalam kekuasaan tidak dipergunakan, dipatuhi dan dilaksanakan secara baik dan benar maka kekuasaan itupun akan cenderung digunakan secara tidak benar. Dengan demikian, tepatlah bahwa hukum sebenarnya merupakan appleit science yang berfungsi sebagai instrumen pengendalian sosial dalam human relation, baik sebagai pengendali pemegang

kekuasaan dalam menjalankan roda pemerintahan maupun orang seorang dalam hubungan kemasyarakatan. Dengan demikian, maka penegakan hukum merupakan kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaedah-kaedah atau pandangan-pandangan menilai yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan social engineering, memelihara dan mempertahankan (social control) kedamaian pergaulan hidup. Sehingga dengan demikian, sistem penegakan hukum yang baik adalah menyangkut penyerasian antara nilai-nilai dengan kaedah-kaedah, serta dengan perilaku nyata dari manusia, dimana dalam teori hukum dibedakan tiga macam hal berlakunya hukum, yakni: (1) Hal berlakunya secara yuridis. Ada tiga pendapat yang menyatakan bahwa hukum itu mempunyai kelakuan yuridis, antara lain: Pertama, Hans Kelsen menyatakan bahwa apabila penentuannya berdasarkan pada kaedah yang lebih tinggi tingkatannya. Kedua, W. Zevenbergen menyatakan, bahwa suatu kaedah hukum mempunyai kelakukan yuridis, jikalau kaedah tersebut berbentuk menurut cara yang telah ditetapkan. Ketiga, Logemann, maka kaedah hukum mengikat, apabila menunjukkan hubungan keharusan antara suatu kondisi dan akibatnya, (2) Hal berlakunya hukum secara sosiologi yang berintikan pada efektifitas hukum. Dalam hal berlakunya hukum secara sosiologis dapat dilihat dari dua teori yang ada, yaitu: Pertama, teori kekuasaan, dimana dinyatakan bahwa hukum berlaku secara sosiologis apabila dipaksakan berlakunya oleh penguasa (masyarakat menerima atau tidak). Kedua, Teori pengakuan, yang intinya adalah kemandirian atau pendirian, dimana hukum didasarkan pada penerimaan atau pengakuan oleh mereka kepada siapa hukum tadi tertuju, (3) Hal berlakunya hukum secara filosofis. Artinya, bahwa hukum itu harus sesuai dengan cita-cita hukum, sebagai nilai positif yang tertinggi.

Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa hukum yang baik itu adalah hukum yang harus memenuhi ketiga syarat tersebut, karena apabila hukum hanya mempunyai kelakuan yuridis, maka ada kemungkinan bahwa hukum tadi hanya merupakan kaedah yang mati saja (dade regel). Kalau kaedah hukum hanya mempunyai kelakuan sosiologis dalam arti teori kekuasaan, maka hukum tersebut mungkin menjadi aturan paksa. Akhirnya, apabila suatu kaedah hukum hanya mempunyai kelakukan filosofis, maka hukum tersebut hanya boleh disebutkan sebagai kaedah hukum yang diharapkan atau dicita-citakan. Selain itu juga, hukum bisa berjalan bagus sesuai dengan kehendak masyarakat banyak manakalah hukum tersebut dijalankan oleh manusia-manusia bijak, yang memiliki mental, moralitas dan agama yang baik. Karena, hukum sebenarnya telah memiliki acuan yang jelas namun yang merusaknya adalah moral dan mental penegak (pelaksana hukum) yang memegang amanah penegakkan hukum itu sendiri. Hukum adalah bagian dari hidup manusia, hal ini sesuai dengan ungkapan ubi societas ibi lus (dimana ada masyarakat di sana ada hukum), karena itu hukum tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan hidup manusia itu. Dan salah satu kodrat dari kehidupan manusia, ialah manusia selalu hidup dalam kelompok-kelompok yang selalu mengalami perkembangan sendiri-sendiri sehingga tingkat perkembangannyapun berbedabeda.

Supremasi Hukum Masyarakat kita yang dewasa ini sedang mengalami dekadensi dan disintegrasi dalam berbagai aspek kehidupan, sehingga menuntut adanya reorientasi dalam pembinaan dan pengembangan hukum, tidak saja bila diinginkan agar hukum memiliki supremasinya. Membicarakan masalah Supremasi Hukum saat ini sedang mengalami kehancuran. Terbukti,

sejak Orde Lama hukum itu telah dimanipulasi untuk kepentingan politik sesaat sang pemimpin Besar Revolusi, karena politik di era Orde Lama merupakan panglima. Orde Baru mengembangkan hukum untuk mendukung pembangunan ekonomi, sehingga hukum dimanipulasi untuk mengembangkan pembangunan yang di sana-sini hukum menjadi bersifat represif, melanggar hak-hak asasi masyarakat yang ujung-ujungnya untuk memberi legitimasi apa yang disebut sebagai KKN dan kroniisme. Hukum menjadi hukumnya penguasa, yaitu penguasa tunggal yang mengatasnamakan dirinya sebagai mandataris MPR dan menjadikan hukum telah kehilangan dimensi etisnya. Sedangkan pada era reformasi sekarang ini, hukum bukan lagi dijadikan sarana untuk membela atau menegakkan kebenaran dan keadilan, melainkan hukum sudah dijadikan komoditi untuk dipertukarkan sebagai alat pembayaran guna membeli hal-hal yang justru untuk menentang kebenaran dan keadilan itu sendiri. Supremasi berasal dari bahasa Inggris supreme yang berarti highest in degree, yang dapat diterjemahkan mempunyai derajat tinggi. Dengan demikian, dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, hukum harus berada di tempat yang paling tinggi, hukum juga dapat mengatasi kekuasaan lain termasuk kekuasaan politik. Dengan kata lain, negara yang dapat dikatakan telah mewujudkan Supremasi Hukum adalah negara yang sudah mampu menempatkan hukum sebagai panglima, bukannya hukum yang hanya menjadi pengikut setia kekuasaan dan kepentingan politik tertentu yang jauh dari kepentingan rakyat secara keseluruhan. Oleh karena itu, dalam penegakkan Supremasi Hukum memiliki ciri-ciri sebagai berikut : (1) Hukum harus dapat berperan sebagai panglima. Ini berarti dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat Law Enforcement harus dapat diwujudkan dalam Law Enforcement ini tidak ada kamus kebal hukum. (2) Hukum harus dapat berfungsi sebagai Center Of Action. Semua

perbuatan hukum, baik yang dilakukan oleh penguasa maupun individu harus dapat dikembalikan kepada hukum yang berlaku. Hukum harus mampu berperan sebagai sentral, bukan hanya sebagai instrumental yang fungsinya melegitimasi semua kebijakan pemerintah. (3) Berlakunya asas semua orang didepan hukum (Equalty Before The Law). Untuk menegakkan Supremasi Hukum dengan ciri-ciri tersebut diperlukan pilar-pilar penyangganya. Semakin kokoh pilar-pilar ini semakin tegak Supremasi Hukum, dan sebaliknya semakin lemah pilar-pilar tersebut semakin rapuh Supremasi Hukum1. Istilah supremasi hukum juga dikenal dengan istilah the rule of law yang diartikan sebagai pemerintah oleh hukum, bukan oleh manusia, bukan hukumnya yang memerintah, karena hukum itu hanyalah keadah atau pedoman dan sekaligus sarana atau alat, tetapi ada manusia yang harus menjalankannya secara konsisten berdasarkan hukum, dan tidak sekehendak atau sewenang-wenang. Hukum itu diciptakan atau direkayasa oleh manusia, terutama hukum tertulis. Setelah hukum itu tercipta maka manusia harus tunduk pada hukum. Hukum harus mempunyai kekuasaan tertinggi demi kepentingan manusia itu sendiri, tetapi sebaliknya manusia tidak boleh diperbudak oleh hukum. Governance not by man but by law berarti bahwa tindakan-tindakan resmi (pemerintah) pada tingkat teratas sekalipun harus tunduk pada peraturan-peraturan hukum2. Jadi, supremasi hukum atau rule of law merupakan konsep yang menjadi tanggugjawab ahli hukum untuk melaksanakan dan yang harus dikerjakan tidak hanya melindungi dan mengembangkan hak-hak perdata dan politik perorangan dalam masyarakat bebas, tetapi untuk menyelenggarakan dan membina kondisi sosial, ekonomi, pendidikan, dan kultural yang dapat

1 F. Sugeng Istanto, Supremasi Hukum Dalam Sistem Pemerintahan Negara Undang-Undang Dasar 1945, Justitia Et Pax. 2 Sudikno Mertokusumo, Upaya Meningkatkan Supremasi Hukum, Justitia Et Pax.

mewujudkan aspirasi rakyat. Supremasi hukum atau Rule of law dimaksudkan bahwa hukumlah yang berkuasa. Pengekangan kekuasaan oleh hukum merupakan unsur esensial yang kebal terhadap kecaman 3. Pengertian Anglo Saxon mengenai supremasi hukum atau rule of law ini di Eropa Kontinental disebut dengan negara hukum (Kant, Stahl). Menurut Dicey, rule of law mengandung 3 unsur, yaitu: (1) Hak asasi, (2) Persamaan kedudukan dimuka hukum (equality before the law), (3) Supremasi aturan-aturan hukum yang tidak ada kesewenang- wenangan tanpa aturan yang jelas. Dari uraian dan penjelasan singkat di atas dapat kita simpulkan sementara, bahwa Indonesia adalah sebagai negara hukum. Adapun ciri-ciri negara hukum adalah seperti berikut: (a) Pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi yang mengandung persamaan dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi, kultural dan pendidikan, (b) Peradilan yang bebas dan tidak memihak, tidak dipengaruhi oleh sesuatu kekuasaan/kekuatan lain apapun, dan (c) Legalitas dalam arti hukum dalam semua bentuknya. Sehingga, dalam penegakan supremasi hukum itu akan kita jumpai dalam konteks pemahaman suatu negara itu sebagai negara hukum, dimana hukumlah yang berkuasa dalam arti bahwa pemerintah dijalankan berdasarkan hukum secara konsisten tanpa pandang bulu dan bahwa tidak ada seorang pun kebal terhadap hukum. Perlu mendapat perhatian bahwa supremasi hukum itu melibatkan banyak pihak atau unsur. Supremasi hukum tidak hanya melibatkan peradilan saja yang terdiri dari hakim, jaksa, polisi, pengacara tetapi juga para pihak. Bahkan melibatkan seluruh kehidupan manusia.

3 Muchsan, 2000, Supremasi Hukum Dalam Negara Hukum, disampaikan pada KULIAH PERDANA program Magister Hukum Bisnis dan Hukum Kenegaraan, Program Magister Hukum Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta.

Pasca Pemilu Legislatif 2009 Salah satu wujud pelibatan masyarakat dalam proses politik adalah Pemilihan Umum (Pemilu). Adalah kenyataan yang tak dapat dibantah bahwa partai politik merupakan salah satu pilar dan institusi demokrasi yang penting selain lembaga parlemen, pemilihan umum, eksekutif, yudikatif dan pers yang bebas. Demokrasi dalam konteks Negara adalah semangat (spirit) dan institusionalisasi prinsip-prinsip kebebasan dan kesamaan dengan segala derivatifnya melalui kedaulatan suara mayoritas yang dikerangkakan dalam format yuridis ketatanegaraan. Dalam demokrasi ada konvergensi tiga fenomena sekaligus, yaitu kekuasaan/politik, moral/etika dan yuridis/hukum yang terjalin membentuk pemahaman politik yang menolak absolutisme/otoriter dan menolak pula tatanan politik yang totaliter4. Demokrasi dan hukum merupakan dua sisi mata uang, dimana ada demokrasi disitu ada hukum. Hanya saja seringkali dari relaitas sejarah model demokrasi yang dikembangkan menentukan (determinant) atas hukum, artinya bila kualitas demokrasi baik maka kualitas hukumnya akan baik, dan sebaliknya jika kualitas demokrasi bobrok, hukumnyapun akan jelek5. Hukum menjadi instrument kekuasaan dari rejim yang berkuasa melalui hukum-hukum yang menindas yang justru mengingkari prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri. Melalui fungsi traditionalnya dalam partisipasi politik, komunikasi politik, partai adalah jembatan antara rakyat dan pemerintah. Namun demikian tidak semua partai politik bisa memberikan kontribusi positif bagi perkembangan demokrasi, hanya partai-partai yang kuat dan terlembagakan dengan baik yang menjanjikan terbangunnya demokrasi yang lebih baik6.

4 Hendra Nurtjahjo, 2005, Filsafat Demokrasi, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, hal 228-229. 5 Moch. Mahfud MD,1999, Pergulata Politik dan Hukum di Indonesia, Gama Media, Yogyakarta, hal 48. 6. Samuel P Huntington,1968, Political Order in Changing Societies, New Haven and London, Yale University, sebagaimana dikutip oleh Samsuddin Haris, loc cit.

Pemilu Bangsa Indonesia telah sembilan (9) kali dilaksanakan yaitu tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, dan 2009, merupakan sarana bagi masyarakat untuk ikut menentukan figure dan arah kepemimpinan Negara atau daerah dalam periode tertentu. Maka, pemilu 2004 dan 2009 adalah pesta rakyat yang sangat bersejarah bagi Indonesia. Pasalnya, untuk pertama kalinya pada tahun 2004 dan 2009 Indonesia menyelenggarakan pemilu secara langsung. Oleh karena itu, pemilu memiliki fungsi utama untuk menghasilkan kepemimpinan yang benar-benar mendekati kehendak rakyat dan mampu mencerminkan nilainilai demokrasi dan dapat menyerap serta memperjuangkan aspirasi rakyat sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara. Serta, tujuan utama pemilu adalah untuk menghasilkan parlemen yang legitimate dan pemerintahan yang kuat. Pemilu juga merupakan kebutuhan mutlak bagi setiap negara moderen dalam rangka menegakkan dan mempertahankan system demokrasi. Juga, hampir tak ada pemerintah yang dapat bekerja secara bertanggungjawab tanpa dukungan dan kepercayaan rakyat yang diberikan melalui pemilihan umum. Penyelenggaraan pemilihan umum itu sendiri telah mendapatkan legalisasinya di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) sebagai wujud dari pelaksanaan kedaulatan rakyat. Jadi, penyelenggaraan pemilihan umum bukan hanya dalam rangka aktualisasi asas kedaulatan rakyat itu sendiri, melainkan juga untuk memilih secara langsung presiden dan wakil presiden, para wakil rakyat yang akan duduk di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) melalui pintu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Pemilu adalah salah satu piranti serta lembaga demokrasi untuk mengaktualisasikan aspirasi dan kepentingan rakyat. Pemilihan umum tidak hanya merupakan manisfestasi berlakunya asas kedaulatan rakyat dalam kehidupan bernegara, tetapi juga berperan sebagai

wadah untuk membangunan kepercayaan rakyat terhadap pemerintah. Kepercayaan rakyat itulah yang menjadi modal utama bagi pemerintah untuk bekerja dan menjalankan programprogramnya berdasarkan kebijakan yang telah disepakati bersama rakyat melalui para wakilnya di lembaga-lembaga perwakilan rakyat. Juga berfungsi sebagai mekanisme politik untuk menjamin keberlangsungan pergantian pemerintahan secara teratur. Pemilu merupakan rangkaian tak terpisahkan antara pemilihan legislative dengan pemilihan presiden dan wakil presiden, adanya sequence (jeda waktu) antara keduanya, adalah untuk memastikan gambaran riil partai politik pendukung parlemen terhadap pemerintahan presiden dan wakil presiden terpilih. Karena hanya partai politik dan gabungan partai politik yang berhasil masuk parlemen-lah yang berhak mengusung pasangan calon presiden dan calon wakil presiden serta keikut sertaan partai politik pada pemilu berikutnya. Rangkaian pemilu merupakan suatu kesatuan daripada kemerdekaan berserikat, berkumpul, serta mengeluarkan pikiran dan pendapat merupakan hak asasi manusia yang diakui dan dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Oleh karena itu, pemilu merupakan pilar demokrasi pada pokoknya memiliki kedudukan dan peran yang sentral dan penting dalam setiap system demokrasi. Tidak ada Negara demokrasi tanpa pelaksanaan pemilihan umum. Karena itu, pemilu memainkan peran strategisnya dan penting sebagai penghubung antara yang diperintah dan yang memerintah. Sekaligus juga pemilu tersebut dipergunakan untuk memilih dan menempatkan para pemimpin ataupun perwakilan suara rakyat di parlemen yang akan memperjuangkan nasib rakyat guna mewujudkan keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia dalam praktek berbangsa dan bernegara. Pemilu 2009 yang baru usai dilaksanakan adalah merupakan pemilu pertama untuk memilih dan menentukan calon legislative (pusat dan daerah) tidak lagi berdasarkan pada nomor

urut, atau hanya memilih tanda gambar partai tertentu saja, namun pemilu yang dilaksanakan bersandarkan kepada suara terbanyak. Pada akhirnya pesta demokrasi tahun 2009 di bulan April dinyatakan telah selesai dengan penilaian berbagai pihak atas keberhasilan KPU

menyelenggarakan pemilu yang menyita waktu, pikiran dan biaya sosialisasi yang begitu besar, bukan tidak menyisakan persoalan sama sekali. Ratusan para calon legislative (caleg) telah menaruh harapan bahwa mereka akan bakal menjadi atau terpilih untuk duduk sebagai anggota legislative periode 2009. Meskipun, hasil pemilu cukup memuaskan, namun dari segi prosesnya banyak menuai berbagai kritik terhadap kinerja KPU dan Panwas. Keberhasilan KPU harus dibayar mahal dengan banyaknya wajib pilih yang menyebar diseluruh tanah air tidak bisa menggunakan kesempatannya untuk memilih dan menentukan wakil rakyat dalam membawakan aspiranya, dengan alasan dari panitia penyelenggaraan pemilu karena tidak masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), banyaknya kertas suara para caleg yang tertukar di wilayah pemilihannya dengan caleg lain, terlambatnya logistic dan penghitungan di setiap TPS melalui KPPS, PPK dan KPU itu sendiri serta bermunculannya kecurangan penghitungan atau penggelembungan suara. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pelanggaran yang terjadi pada saat pelaksanaan pemilu 2009 kebanyakan tidak ditindak lanjuti ataupun diproses dengan baik oleh KPU atau Panwas berkaitan dengan pelanggaran administrasi serta pidana pemilu. Dalil klasik yang dijadikan tameng oleh kedua lembaga tersebut bahwa belum cukup bukti atau masih dalam proses dan kajian. Padahal, Negara telah membuat suatu aturan main yang begitu komprehensif dimana telah diperkirakan akan bermunculan kriminalisasi atau pelanggaran tindak pidana pemilu yang terjadi hampir pada seluruh tahapan penyelenggaraan pemilu. Sebagaimana kita ketahui bahwa

sistem penegakan hukum tindak pidana pemilu yang diatur dalam UU No. 10 tahun 2008 merupakan sistem yang sengaja diciptakan dalam rangka terus menerus memperbaiki kualitas demokrasi. Permasalahan hukum pemilu yang penyelesaiannya memerlukan putusan lembaga peradilan terbagi dalam dua jenis masalah, yaitu Perselisihan Hasil Pemilu yang diatur dalam ketentuan Pasal 258 dan Pasal 259 dan tindak pidana pemilu yang diatur dalam Pasal 260 sampai dengan Pasal 310 Undang-Undang No. 10 tahun 2008. Perselisihan hasil pemilu adalah perselisihan antara Komisi Pemilihan Umum dengan peserta pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil pemilu secara nasional yang dapat mempengaruhi perolehan kursi peserta Pemilu, yang hanya dapat diajukan permohonan pembatalannya kepada Mahkamah Konstitusi, paling lama 3 x 24 jam sejak diumumkan; Sedangkan Tindak Pidana Pemilihan Umum berdasarkan ketentuan Undang-Undang No. 10 tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD didefenisikan sebagai pelanggaran terhadap ketentuan pidana pemilu yang diatur dalam undang-undang ini yang penyelesaiannya melalui pengadilan pada peradilan umum, sedangkan pelanggaran yang bersifat administratif diselesaikan melalui KPU dan Badan Pengawas Pemilu/Panitia Pengawas Pemilu serta aparat dibawahnya. Dalam konteks pengaturan tindak pidana, sesungguhnya UU Pemilu merupakan undang-undang khusus (lex specialis) karena mengatur tindak pidana yang diatur dalam UU Pemilu, secara umum KUHP (lex generalis) juga telah mengaturnya dalam Pasal 148 sampai dengan Pasal 153 KUHP, yang antara lain mengatur: dengan kekerasan/ancaman sengaja merintangi orang menggunakan hak pilih; menjanjikan/menyuap orang supaya tidak menggunakan hak pilih; menerima janji/menerima suap;

melakukan tipu muslihat agar suara pemilih tak berharga atau menyebabkan beralihnya hak pilih kepada orang lain;

memakai nama orang lain supaya dapat memilih; menggagalkan pemungutan suara atau melakukan tipu muslihat agar hasil pemilihan lain dari yang seharusnya.

Dari 51 Pasal yang mengatur tindak pidana pemilu, sebagian besar (40 pasal) mengancam penyelenggara pemilu tingkat pusat (KPU) sampai dengan ketingkat desa, hanya 11 ketentuan yang tidak langsung ditujukan kepada penyelenggara pemilu, bahkan berdasarkan ketentuan Pasal 311 UU No. 10 tahun 2008 penyelenggara pemilu ditambah hukumannya 1/3 dalam melakukan tindak pidana yang ditujukan pada subjek lain selain penyelenggara pemilu. Dengan demikian, keseluruhan ketentuan/pasal tindak pidana pemilu dapat di jatuhkan terhadap penyelenggara pemilu dari tingkat pusat (KPU) sampai ke tingkat desa (PPS). Adapun, jenis-jenis tindak pidana berdasarkan tahapan pelaksanaan pemilu antara lain: a. Tahapan pemutahiran data dan penyusunan daftar pemilih - Sengaja menyebabkan orang kehilangan hak pilih; - Pemalsuan identitas diri sendiri/orang lain dalam daftar pemilih; - Menghalangi orang mendaftar sebagai pemilih; - Panitia Pemilihan Suara /PPLN tidak memperbaiki daftar pemilih; - Merugikan WNI dalam proses rekapitulasi daftar pemilih tetap; b. Pendaftaran peserta pemilu/penetapan peserta pemilu/penetapan jumlah kursi/pencalonan DPR, DPD, DPRD; - Perbuatan curang memperoleh dukungan pencalonan DPD;

- Membuat dan menggunakan dokumen palsu untuk menjadi calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota; - Penyelenggara pemilu yang tidak menindak lanjuti temuan Bawaslu dalam verifikasi partai politik; - Penyelenggara pemilu yang tidak menindak lanjuti temuan Bawaslu dalam verifikasi partai politik dan verifikasi administratif calon DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota; c. Tahapan masa kampanye; - Kampanye diluar jadwal waktu yang ditentukan; - Melanggar larangan isi kampanye (mempersoalkan dasar negara/UUD 1945, disintegrasi, menghasut agama, ketertiban umum, kekerasan, merusak dan menggunakan fasilitas pemerintah); - Larangan kampanye bagi pejabat negara Hakim, BPK dan BI, PNS/TNI Polri; - Menyuap untuk memilih peserta tertentu atau tidak memilih (golput); - Menerima suap; - Menerima sumbangan kampanye dari pihak asing, tidak jelas identitas, pemerintah; - Mengacaukan kampanye; - Lalai atau sengaja menyebabkan terganggunya tahapan pemilu; - Keterangan tidak benar laporan dana kampanye; d. Tahapan masa tenang; - Orang /lembaga survei dilarang mengumumkan hasil survey pada masa tenang; e. Tahap pemungutan dan penghitungan suara; - KPU sengaja mencetak surat suara melebihi jumlah yang ditentukan (Pasal 145);

- Perusahaan pencetak suara mencetak melebihi jumlah yang ditetapkan dalam Pasal 146 ayat (1); - Perusahaan pencetak tidak menjaga kerahasiaan, keamanan dan keutuhan surat suara; - Menjanjikan atau menyuap/memberi uang agar tidak memilih atau memilih peserta pemilu tertentu; - Dengan kekerasan menghalangi orang menggunakan hak pilihnya; - Sengaja melakukan perbuatan yang menyebabkan suara pemilih tak bernilai; - Mengaku orang lain pada saat pemungutan suara; - Memberikan suara lebih dari satu kali di satu atau lebih TPS; - Sengaja menggagalkan pemungutan suara; - Majikan/atasan yang tidak memberikan kesempatan pekerja memberikan suaranya; - Merusak hasil pemungutan suara; - KPPS tidak memberikan surat suara pengganti surat suara yang rusak; - Memberitahu pilihan pemilih kepada orang lain; - KPU tidak menetapkan pilihan suara ulang; - KPPS tidak melaksanakan ketetapan KPU untuk melakukan pungutan suara ulang; f. Penetapan hasil pemilu - Lalai menyebabkan rusak/hilangnya hasil pemungutan suara; - Mengubah berita acara hasil pemungutan suara; - KPU karena kelalaiannya menyebabkan hilangnya/berubahnya berita acara hasil rekapitulasi; - Sengaja merusak/mengganggu/mendistorsi sistem informasi perhitungan suara; - KPPS sengaja tidak membuat/menandatangani berita acara perolehan suara peserta pemilu;

- KPPS sengaja tidak memberikan salinan berita acara pemungutan suara, sertifikat hasil penghitungan suara; - KPPS/KPPSLN tidak menjaga, mengamankan keutuhan kotak suara; - Pengawas pemilu lapangan yang tidak mengawasi penyerahan kotak suara tersegel; - PPS yang tidak mengumumkan hasil perhitungan suara; - KPU tidak menetapkan perolehan hasil pemilu anggota DPR, DPD, DPRD; - Orang/lembaga survey perhitungan cepat (quickcount) yang mengumumkan hasil perhitungan cepat pada hari/tanggal pemungutan suara; - Orang/lembaga survey perhitungan cepat (quickcount) yang tidak mengumumkan bahwa hasil perhitungannya bukan merupakan hasil pemilu resmi; - Bawaslu/Panwaslu yang tidak menindak lanjuti temuan/laporan pelanggaran pemilu yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu (KPU Cs) dalam setiap tahapan penyelenggaraan pemilu.

Kesimpulan The rule of law yang diartikan sebagai pemerintah oleh hukum, bukan oleh manusia, bukan hukumnya yang memerintah, karena hukum itu hanyalah keadah atau pedoman dan sekaligus sarana atau alat, tetapi ada manusia yang harus menjalankannya secara konsisten berdasarkan hukum, dan tidak sekehendak atau sewenang-wenang. Hukum itu diciptakan atau direkayasa oleh manusia, terutama hukum tertulis. Setelah hukum itu tercipta maka manusia harus tunduk pada hukum. Rangkaian pemilu merupakan suatu kesatuan daripada kemerdekaan berserikat, berkumpul, serta mengeluarkan pikiran dan pendapat merupakan hak asasi manusia yang diakui dan dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

Oleh karena itu, pemilu merupakan pilar demokrasi pada pokoknya memiliki kedudukan dan peran yang sentral dan penting dalam setiap system demokrasi. Tidak ada Negara demokrasi tanpa pelaksanaan pemilihan umum. Karena itu, pemilu memainkan peran strategisnya dan penting sebagai penghubung antara yang diperintah dan yang memerintah. Sekaligus juga pemilu tersebut dipergunakan untuk memilih dan menempatkan para pemimpin ataupun perwakilan suara rakyat di parlemen yang akan memperjuangkan nasib rakyat guna mewujudkan keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia dalam praktek berbangsa dan bernegara. Hasil pemilu cukup memuaskan, namun dari segi prosesnya banyak menuai berbagai kritik terhadap kinerja KPU dan Panwas. Keberhasilan KPU harus dibayar mahal dengan banyaknya wajib pilih yang menyebar diseluruh tanah air tidak bisa menggunakan kesempatannya untuk memilih dan menentukan wakil rakyat dalam membawakan aspiranya, dengan alasan dari panitia penyelenggaraan pemilu karena tidak masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), banyaknya kertas suara para caleg yang tertukar di wilayah pemilihannya dengan caleg lain, terlambatnya logistic dan penghitungan di setiap TPS melalui KPPS, PPK dan KPU itu sendiri serta bermunculannya kecurangan penghitungan atau penggelembungan suara. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pelanggaran yang terjadi pada saat pelaksanaan pemilu 2009 kebanyakan tidak ditindak lanjuti ataupun diproses dengan baik oleh KPU atau Panwas berkaitan dengan pelanggaran administrasi serta pidana pemilu. Dalil klasik yang dijadikan tameng oleh kedua lembaga tersebut bahwa belum cukup bukti atau masih dalam proses dan kajian.

DAFTAR PUSTAKA
Muchsan, 2000, Supremasi Hukum Dalam Negara Hukum, disampaikan pada KULIAH PERDANA program Magister Hukum Bisnis dan Hukum Kenegaraan, Program Magister Hukum Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta.. Sudikno Mertokusumo, Upaya Meningkatkan Supremasi Hukum, Justitia Et Pax F. Sugeng Istanto, Supremasi Hukum Dalam Sistem Pemerintahan Negara Undang-Undang Dasar 1945, Justitia Et Pax. Hendra Nurtjahjo, 2005, Filsafat Demokrasi, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta. Moch. Mahfud MD, 1999, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Gama Media, Yogyakarta. Samuel P Huntington, 1968, Political Order in Changing Societies, New Haven and London, Yale University, sebagaimana dikutip oleh Samsuddin Haris, loc cit.

DAFTAR RIWAYAT HIDUP


A. BIODATA
1. 2. 3. 4. 5. 6.

:
: Muhamad Satria, SH, M.K.n : Kendari, 13 OKTOBER 1968 : Laki-Laki : Dosen Fakultas Hukum Universitas Haluoleo : ISLAM : Jl. Melati. No. 14, Kel. Bende Kec. Kadia, Kota Kendari

Nama Tempat & Tanggal Lahir Jenis Kelamin Pekerjaan Agama Alamat

B. RIWAYAT PENDIDIKAN

1. Masuk pada Universitas Hasanuddin (UNHAS) Fakultas Hukum Program Sarjana (S-1) Makassar, Tahun 1987-1993. 2. Masuk pada Universitas Gadjah Mada (UGM) Fakultas Hukum Program Strata (S-2) Hukum Kenotariatan Yogyakarta, Tahun 2000-2003

C. PENGALAMAN ORGANISASI

1. Ketua Koordinator Komisi Yudisial Republik Indonesia wilayah Sulawesi Tenggara pada tahun 2007-2010 2. Ketua Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Universitas Haluoleo tahun 2005 sampai dengan sekarang 3. Direktur LKBH Fakultas Hukum Universitas Haluoleo pada tahun 2005-sampai dengan sekarang. 4. Anggota Lembaga Kajian Konstitusi (LKK) Fakultas Hukum Universitas Haluoleo pada tahun 2008-sampai dengan sekarang. 5. Anggota Pusat Kajian Hukum Adat (PUSAKA) Fakultas Hukum Universitas Haluoleo pada tahun 2008-sampai dengan sekarang. 6. Staf Ahli pada kantor Pengacara Dahlan and Patner, tahun 2004 sampai dengan sekarang. 7. Anggota Lembaga Perlindungan Perempuan dan Anak (LP2A) Fakultas Hukum Universitas Haluoleo pada tahun 2008-sampai dengan sekarang. 8. Dewan Penasehat Jurnal Ilmia PROTEKTORAT Fakultas Hukum Universitas Haluoleo pada tahun 2005-sampai dengan sekarang. 9. Penanggung Jawab Jurnal Ilmiah KONSTITUSI Fakultas Hukum Universitas Haluoleo pada tahun 2005-sampai dengan sekarang. 10. Board of BPP Indonesian Public Contractor Association (ASKUMINDO) Sout East Sulawesi, tahun 2006-2010. 11. Board of Karetedo Kojukai Branch Sout East Sulawesi, tahun 2004-2009. 12. Presidium Coordinator of Student Notary Organization of Indonesia, tahun 2001-2002. 13. Chief of Family of Notary Student Gdjah Mada University Yogyakarta, tahun 2001-2002.

14. Chief of Student Senate Danamon Campus Ciawi-Bogor, Indonesia tahun 1987. 15. Board of Kendari Youth Student Association Branch Makassar, tahun 19891990. 16. Secretary of Student Senate Faculty, Faculty of Law Hasanuddin University, tahun 1988-1989. 17. PT. Bank Danamon Tbk: a) Senior & Legal Officer, b) Credit/Marceting Division, c) Division of International Trade (Export Import/LC), dan d) Tutor/Instruktor and Planning Program Cenral for Teaching and Training, board region V Makassar Sout East Sulawesi.

D. KEGIATAN YANG PERNAH DIIKUTI

1. Anggota Penelitian dari Komisi Yudisial Republik Indonesia (KY-RI) bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Haluoleo wilayah Sulawesi Tenggara tentang Putusan-Putusan Hakim yang ada di Sulawesi Tenggara tahun 2007 sampai dengan sekarang 2. Peneliti dari Fakultas Hukum bekerjasama dengan UNDP dan Universitas Indonesia tentang Akses Bantuan Hukum Bagi Masyarakat Miskin pada tahun 2006. 3. Anggota Peneliti dari United Nation Office Drugs and Crime kerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Haluoleo pada tahun 2004

Kendari, MEI 2009 Yang Membuat,

(M. S A T R I A)

Anda mungkin juga menyukai