Anda di halaman 1dari 4

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Keberhasilan pembangunan di bidang ekonomi dan kemajuan teknologi di
bidang informasi serta teknologi pangan menyebabkan sebagian penduduk
Indonesia mengalami peningkatan kemakmuran terutama masyarakat di daerah
perkotaan, sehingga terjadi perubahan gaya hidup dalam pemilihan makanan
yang serba praktis yaitu makanan cepat saji ( ) yang kandungan gizinya
tidak seimbang.
Fast food merupakan jenis makanan yang dikemas, mudah disajikan,
praktis, atau diolah dengan cara sederhana. Fast food biasanya berupa lauk
pauk dalam kemasan, mie instan, nugget, dan corn flakes. Di kalangan remaja
Indonesia terutama perkotaan istilah burger, pizza, fried chicken, french fries
yang biasanya disajikan di restoran fast food tampaknya sudah tidak asing lagi
(Anonim 2010).
Fast food memiliki beberapa kelebihan antara lain penyajian yang cepat
sehingga tidak menghabiskan waktu lama dan dapat dihidangkan kapan dan
dimana saja, higienis dan dianggap sebagai makanan bergengsi. Seperti yang
dinyatakan Suryaalamsyah (2009), saat ini telah menjadi bagian dari
perilaku konsumsi sebagian remaja di luar rumah di berbagai kota dan
diperkirakan cenderung akan semakin meningkat.
Banyak faktor yang membuat para remaja lebih memilih mengkonsumsi
fast food antara lain kesibukan orang tua khususnya ibu yang tidak sempat
menyiapkan makanan di rumah sehingga remaja lebih memilih membeli
makanan diluar, lingkungan sosial dan kondisi ekonomi yang mendukung dalam
hal besarnya uang saku remaja. Selain itu, penyajian fast food yang cepat dan
praktis tidak membutuhkan waktu lama, rasanya enak, sesuai selera dan
seringnya mengkonsumsi fast food dapat menaikkan status sosial remaja,
menaikkan gengsi dan tidak ketinggalan globalitas.
Memasuki era globalisasi, sebagai akibat perubahan gaya hidup dan pola
makan, ndonesia menghadapi masalah gizi ganda. Salah satu masalah gizi
ganda yaitu gizi lebih mulai tampak, terutama di kota-kota besar. Soekirman
(1993) diacu dalam Susanti (1999) menyatakan bahwa, terdapat hubungan yang
erat antara pertumbuhan ekonomi yang tinggi di daerah kota, perubahan pola
konsumsi pangan, dan meningkatnya penyakit degeneratif. Kehidupan yang
modern di lingkungan kota, kemajuan teknologi, sarana yang serba otomatis,
2
menyebabkan hidup menjadi serba mudah. Sebagai akibat dari kehidupan
santai, energi yang tadinya untuk aktivitas tidak terlalu diperlukan lagi dan akan
disimpan sebagai timbunan lemak, yang akhirnya menimbulkan kejadian gizi
lebih.
Riyadi (1996) menyatakan bahwa gizi lebih dapat terjadi pada siapa saja
dan biasa terjadi mulai dari bayi hingga usia lanjut, baik pria maupun wanita. Gizi
lebih dengan derajat berlebihan disebut obesitas. Keadaan anak dan remaja
dapat menyebabkan gangguan perkembangan sosial dan emosional,
peningkatan penyakit jantung koroner, hipertensi, diabetes, yang pada akhirnya
nanti dapat menyebabkan peningkatan resiko kematian.
Prevalensi overweight dan obesitas pada anak usia 6-18 tahun di Rusia
adalah 6% dan 10%, di Cina adalah 3,6% dan 3,4% dan Inggris adalah 23-31%
dan 10-17%, bergantung pada umur dan jenis kelamin. Di Indonesia,
berdasarkan data Survei Kesehatan Nasional (SUSENAS) tahun 1989,
prevalensi obesitas di Indonesia untuk kota dan desa adalah 1,1% dan 0,7 %,
Angka tersebut meningkat hampir lima kali menjadi 5,3 % dan 4,3 %
pada tahun 1999. Data SUSENAS tahun 2004 prevalensi obesitas di Indonesia
mengalami peningkatan mencapai tingkat yang membahayakan. Berdasarkan
Riset Kesehatan Dasar 2007 (RISKESDAS) prevalensi status gizi lebih di
Provinsi Kepulauan Riau adalah 22,9% yang terdiri dari 11,4% overweight dan
11,5% obesitas. Ada dua kota memiliki prevalensi status gizi lebih di atas angka
prevalensi provinsi yakni Kota Batam dan Tanjung Pinang. Persentase
overweight dan obesitas pada usia 15 tahun ke atas di Kota Batam yaitu 12,8.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan adanya keterkaitan antara
konsumsi fast food dengan kejadian obesitas. Sebuah penelitian yang dilakukan
selama 15 tahun di Amerika Serikat memperlihatkan, fast food yang sudah
menjadi bagian dari kehidupan modern terbukti berkolerasi positif terhadap
peningkatan obesitas. Orang yang terbiasa makan di restoran cepat saji, minimal
2 kali seminggu, umumnya memiliki bobot badan lebih berat sebanyak 4-5 kg
daripada orang yang tidak makan di restoran cepat saji. Penelitian lainnya juga
dilakukan oleh Telethon Instutute for Child Health Research di Australia tahun
2009 menunjukkan bahwa pola konsumsi fast food mempengaruhi kesehatan
remaja. Sementara di Indonesia, sebuah penelitian di Makassar tahun 2007
menunjukkan bahwa adanya kebiasaan makan keluarga dan keinginan makan
3
remaja yang tinggi terhadap makanan jenis fast food dapat mempengaruhi
peningkatan berat badan yang tidak ideal yang meningkatkan kejadian gizi lebih.
Dewasa ini remaja disibukkan pada jadwal pelajaran yang padat
disekolah, ditambah lagi banyak diantara remaja yang mengambil les tambahan
di luar jam sekolah. Pada hari libur remaja cenderung mengalokasikan waktu
dengan menonton televisi atau jalan-jalan ke mall dan memilih mengkonsumsi
fast food. Hal ini merupakan fenomena yang berkembang pada remaja saat ini
khususnya yang tinggal di perkotaan.
Kota Batam merupakan kota terbesar di Provinsi Kepulauan Riau yang
terletak sangat strategis karena terletak di jalur pelayaran internasional. Kota ini
memiliki jarak yang dekat dengan Singapura dan Malaysia. Kota Batam juga
merupakan salah satu kota dengan pertumbuhan terpesat di Indonesia.
Pertumbuhan ekonomi yang semakin meningkat ditandai dengan semakin
banyaknya didirikannya mall di Kota Batam yang banyak menjual berbagai jenis
fast food. Hal ini dikhawatirkan akan banyaknya siswa yang cenderung memilih
mengkonsumsi fast food. Berdasarkan latar belakang di atas penulis tertarik
meneliti tentang kebiasaan konsumsi fast food pada siswa yang berstatus gizi
lebih di SMA Kartini Batam.
Tujuan
Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis
kebiasaan konsumsi fast food pada siswa yang berstatus gizi lebih dan normal di
SMA Kartini Batam.
Tujuan Khusus
1. Mengetahui karakteristik contoh yang berstatus gizi lebih dan normal
(jenis kelamin, umur, dan uang saku).
2. Mengidentifikasi kebiasaan konsumsi fast food contoh berstatus gizi lebih
dan normal.
3. Mempelajari frekuensi konsumsi fast food contoh berstatus gizi lebih dan
normal.
4. Mengidentifikasi pengetahuan gizi contoh berstatus gizi lebih dan normal.
5. Menganalisis kebutuhan dan aktivitas fisik contoh berstatus gizi lebih dan
normal.
4
6. Menganalisis perbedaan uang saku, pengetahuan gizi, frekuensi
konsumsi fast food, konsumsi, dan aktivitas fisik contoh berstatus gizi
lebih dan normal.
7. Menganalisis hubungan uang saku dan pengetahuan gizi dengan
frekuensi konsumsi fast food contoh berstatus gizi lebih dan normal.
8. Menganalisis hubungan jenis kelamin, uang saku, pengetahuan gizi,
frekuensi konsumsi fast food, dan aktivitas fisik dengan status gizi contoh.
Hipotesis
1. Terdapat perbedaan kebiasaan konsumsi fast food pada contoh berstatus
gizi lebih dan normal.
2. Terdapat hubungan kebiasaan konsumsi fast food dengan karakteristik
dan status gizi pada contoh berstatus gizi lebih dan normal.
Kegunaan
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat
dan memberikan informasi mengenai gambaran kebiasaan mengkonsumsi fast
food pada contoh yang berstatus gizi lebih dan normal di SMA Kartini Batam.
Selain itu, diharapkan dapat menjadi bahan informasi bagi orang tua, pihak
sekolah dan pemerintah kota.

Anda mungkin juga menyukai