Anda di halaman 1dari 4

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TRAFIKING DI INDONESIA DIKAITKAN DENGAN KONTEKS HUKUM INTERNASIONAL

A. Latar Belakang Masalah Trafiking in person atau perdagangan manusia mungkin bagi banyak kalangan merupakan hal yang sudah sering atau biasa untuk di dengar oleh karena tingkat terjadinya kasus trafiking yang tidak dipungkiri sering terjadi di Indonesia sendiri. Fenomena ini memang adalah hal yang sering menjadi pusat perhatian berbagai kalangan. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa Trafiking terhadap manusia adalah suatu bentuk praktek kejahatan kejam yang melanggar martabat manusia, serta merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia paling konkrit yang sering memangsa mereka yang lemah secara ekonomi, sosial, politik, kultural dan biologis. Banyak kalangan menyebut trafiking terhadap manusia, yang saat ini digunakan secara resmi di dalam Undangundang No. 21 tahun 2007 dengan sebutan Perdagangan Orang sebagai the form of modern day slavery. Sebutan tersebut sangat tepat karena sesungguhnya ia adalah bentuk dari perbudakan manusia di zaman modern ini. Ia juga merupakan salah satu bentuk perlakuan kejam terburuk yang melanggar harkat dan martabat manusia. Praktik trafiking yang seringkali terjadi selama ini adalah perdagangan wanita dan anak-anak yang diperniagakan secara paksa, diculik, disekap, dijerat dengan utang, ditipu, dibujuk atau diiming-imingi dan seterusnya, untuk dijadikan pekerja seks komersial atau dieksploitasi. Hal ini diketahui dari banyak pengalaman yang terungkap dari korban maupun para pelaku tindak pidana trafiking yang terungkap. Kita mengetahui secara pasti bahwa diri kita adalah bebas dan tidak dapat diperlakukan layaknya barang atau benda yang berada di bawah penguasaan manusia lain yang juga mempunyai harkat dan martabat yang sama dengan kita. Pada dasarnya trafiking dapat terjadi oleh berbagai faktor yang antara lain kemiskinan. Tingkat kemiskinan yang tinggi di Indonesia, banyaknya pengangguran dan sedikitnya lapangan kerja yang tersedia di Indonesia mengakibatkan banyak rakyat Indonesia yang tertarik dengan iming-iming untuk bekerja di luar negeri dengan gaji yang besar. Padahal banyak lembaga pengiriman tenaga kerja ke luar negeri yang ada belum jelas asal usulnya. Tetapi karena desakan ekonomi yang sangat tinggi maka terkadang mereka tidak terlalu peduli akan kejelasan dari lembaga ataupun perusahaan penyalur tenaga kerja tersebut. Padahal banyak perusahaan penyalur tenaga kerja ke luar negeri yang mengirimkan tenaga kerja dari Indonesia bukan untuk bekerja sebagaimana pekerjaan yang layak, tetapi banyak yang ternyata para pekerja yang dikirimkan dijadikan pekerja seks komersial dan bahkan ada yang dieksploitasikan untuk menjadi budak. Tidak hanya itu, ada pula faktor yang sering menjadi penyebabnya yaitu faktor sosial budaya, orang tua menganggap bahwa anak merupakan hak milik yang harus melakukan kehendak orang tua. Setiap anak harus dan tidak

boleh menentang kemauan dari orang tua, padahal belum tentu semua pemikiran orang tua itu benar. Sebagai contoh di Indonesia telah kita ketahui belakangan ini mengalami bencana alam yang memperburuk keadaan ekonomi suatu keluarga yang di daerah bencana tersebut orang tua yang putus asa banyak menjual anak-anaknya guna memulihkan perekonomiannya. Masalah lain yang sering timbul dari perdagangan orang khususnya bayi adalah akibat dari pergaulan bebas antar remaja yang semakin marak di Indonesia. Banyak pemuda pemudi yang melakukan hubungan suami istri di luar nikah yang mengakibatkan terjadinya kehamilan diluar nikah. Terhadap bayi yang lahir tersebut biasanya karena kedua orang tuanya tidak memliki status perkawinan yang jelas dan untuk menghindari aib di masyarakat maka banyak dari orang tua yang memiliki bayi diluar pernikahan menjual bayi tersebut kepada orang lain yang bersedia membeli bayi tersebut. Padahal belum tentu sang pembeli bayi tersebut berniat menjadikan bayi tersebut sebagai anak angkatnya. Trafiking khususnya terhadap wanita dan anak, telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan, baik terorganisir maupun tidak terorganisir. Kejahatan keji ini bahkan melibatkan tidak hanya orang perorangan tapi juga penyelenggara Negara yang menyalahgunakan wewenang dan/atau kekuasaannya. Jaringan pelaku trafiking ini juga memiliki jangkauan operasi tidak hanya terbatas antarwilayah dalam negeri, namun juga meluas sampai antarnegara. Apabila dibayangkan, trafiking merupakan bisnis yang sangat menguntungkan, pedagangnya hanya menggunakan modal yang tidak banyak yang barang dagangannya tersebut seolah-olah hanya di ambil begitu saja layaknya air disungai atau udara yang bebas dihirup yang memang diciptakan Yang Maha Esa untuk dipergunakan. Hanya saja manusia adalah milik dari dirinya masing-masing yang apabila memperdagangkan manusia adalah hal yang tidak berkeprimanusiaan. Dari hal ini dapat diketahui pula bahwa trafiking adalah merupakan industri yang sangat menguntungkan. Dari industri seks saja menghasilkan US $ 1,2 3,3 Milyar per tahun untuk di Indonesia saja. Di dalam KUHP, sesungguhnya telah terdapat banyak pasal yang biasa didayagunakan untuk menindak pelaku trafiking ini, seperti Pasal 263 tentang Memalsukan surat-surat, Pasal 277 tentang Mengaburkan asal usul seseorang, Pasal 285, Pasal 286, Pasal 287, Pasal 288, Pasal 289, Pasal 290, dan masih banyak lagi yang akan dibahas lebih lagi nantinya. Disamping itu, trafiking terhadap manusia juga sesungguhnya dilarang dalam berbagai Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia di luar KUHP yang memuat ancaman pidana kepada pelaku tindak pidana terkait trafiking, seperti: Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, Undang-undang 36 Tahun 2009 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan saksi dan korban, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor

39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 Tentang Keimigrasian, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1991 Tentang penghapusan Korupsi dan lain sebagainya. Pasal 83 UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak misalnya juga menetapkan larangan memperdagangkan, menjual atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual. Namun demikian ketentuan KUHP dan UU Perlindungan Anak serta Peraturan Perundang-undangan RI lainnya tersebut tidak merumuskan pengertian perdagangan orang yang tegas atau lengkap secara hukum. Disamping itu, Pasal 297 dan Pasal 324 KUHP memberikan sanksi yang terlalu ringan dan dirasakan tidak sepadan dengan dampak yang diderita korban akibat kejahatan trafiking tersebut. Oleh karena itu dipandang perlu untuk membentuk undang-undang khusus yang mampu menyediakan landasan hukum materil dan formil sekaligus dengan rumusan dan unsur-unsurnya secara komprehensif serta ancaman hukuman yang berat guna memberantas tuntas kejahatan keji terhadap kemanusiaan ini. Untuk maksud dan tujuan tersebut, maka lahirlah UndangUndang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Pada konteks nasional, persoalan trafiking manusia di Indonesia sudah sampai pada taraf sangat memprihatinkan. Fenomena trafiking manusia dapat diasumsikan bagaikan fenomena gunung es di samudera yang luas, yaitu jumlah korban yang terdeteksi atau terungkap dan tertangani baru merupakan puncak gunung es yang tampak di permukaan samudera luas. Artinya, sesungguhnya masih jauh lebih banyak korban trafiking manusia yang belum terungkap, seperti bagian es yang berada di permukaan samudera. Hal itu juga menandakan, bahwa upaya pengendalian dan penanggulangan kejahatan trafiking melalui sarana penegakan hukum masih sangat jauh dari memadai, sehingga dibutuhkan berbagai upaya yang lebih efektif untuk mengendalikan dan memberantasnya, terutama dalam hal penegakan hukum. Trafiking manusia juga dikenal diseluruh dunia sebagai satu-satunya tindakan atau perbuatan pidana yang telah secara signifikan menjerumuskan jutaan korban ke dalam perbudakan dan memungkinkan jaringan kejahatan terorganisir untuk mengalihkan dana yang besar ke berbagai upaya mengoperasikan kejahatan terkait lainnya, seperti perdagangan narkotika, pencucian uang dan lain sebagainya yang dapat berpotensi melumpuhkan sendi-sendi perekonomian Negara dan sistem penegak hukum. Hal ini juga yang menyebabkan tindak pidana perdagangan orang ini masuk kedalam kejahatan lintas Negara. Trafiking merupakan kejahatan yang terorganisir yang dilakukan dengan berbagai prosedur oleh beberapa orang yang mempunyai tugas masing-masing seperti perekrutan, penyekapan, pengiriman serta penerimaan seperti yang dikatakan oleh Donald Cressey. Semua prosedur ini banyak terjadi melewati batas nasional Negara yang menyangkut kepentingan banyak Negara yang menjadi pusat perhatian. Oleh karena itu pula maka banyak pula dilakukan konvensi-konvensi internasional guna

membahas bagaimana cara pencegahan dan penanggulan terjadinya kasus trafiking ini karena juga disadari trafiking sebagai tindak pidana sumber dana kejahatan lainnya yang juga berimbas pada kepentingan Negara-negara pula.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Perkembangan Masalah Tindak Pidana Trafiking secara Nasional dan International ? 2. Bagaimana Tinjauan Yuridis terhadap Tindak Pidana Trafiking secara Nasional ? 3. Bagaimana Tinjauan Yuridis Trafiking Menurut Hukum Internasional ?

Anda mungkin juga menyukai