Anda di halaman 1dari 28

POLITIK INTERNASIONAL (3) 15 SEPTEMBER 2009

SISTEM INTERNASIONAL DAN TANTANGANNYA

Argumen maupun pemahaman menyangkut sistem internasional dalam bahasan kali ini lebih menekankan pada tingkat makro atau disebut sebagai sistem internasional. Tentunya kebalikan dari hal itu disebut sebagai pada mikro level (non-state, and state actors). Dalam arti yang luas dan menyangkut pengertian dalam sistem politik, sistem internasional adalah a collection of

independent political entities which interact with considerable frequency and according to regularised processes.

Namun pengertian tersebut juga mengalami perkembangan yang lebih jauh tidak lagi hanya mengambarkan hal yang kaku tapi bisa disebut sebagai family of nations, international society or community, dan istilah lainnya. Salah satu keuntungan dari berbagai istilah tsb tentunya sebagai upaya untuk lepas dari pengertian politik yang bersifat political rhetoric, hal ini akan membawa kita berpikir secara lebih sistematis untuk melihat maupun memahami langsung apa yang disebut sebagai sistem internasional.

Intinya, kendatipun kita ketahui bahwa kalau berpikir meyangkut sistem maka tentunya kita juga akan melakukan konsentrasi atas unsur-unsur yang disebut sebagai sistem tersebut yang selama ini dikenal sebagai

micro level (non-states and states actors

Tapi masalahnya bagi studi hubungan internasional (SHI), upaya tersebut tidak mudah, karena untuk berpikir ditingkat makro level (sistem), tidak bisa otomatis hal itu merupakan representasi dari semua tingkah laku ditingkat micro level tersebut. Dalam prakteknya, bisa saja suatu macro level (sistem) hanya mewakili satu unit penting yang punya power dan leverage dominan (politik, ekonomi, dan mililer).

Beberapa uraian di atas menjadi keunikan dari SHI, yang menyebabkan analisa menyangkut sistem internasional lebih menekankan pada aspek structural paradigm which evolved in system analysis. Fokusfokus lainnya yang berpijak pada Marxist conception of class conflict and others again on liberal traditions tentunya amat tergantung pada hak pandangan seseorang yang bersifat individual. Masing-masing pendekatan tersebut mempunyai sumbangannya sendiri, dan tidak bisa dicampur aduk karena dasar konsepsinya sudah berbeda. Pihak-pihak yang menancapkan pandangannya melalui liberal traditions, lebih dilihat sebagai sesuatu yang sederhana, persuaisive reason that it focuses on the central power political features of the international system (J. Frankel,

International Relations In A Changing World, Oxford University Press, UK, 1988, hal. 160).

Intinya, sistem internasional tidak memiliki 2 hal yang amat penting ditingkat domestik; (1) Basis sosial dari masyarakat, dan (2) struktur politik pemerintahan dunia

International systems can build only upon a limited and conditional cooperation which sometimes degenerates into anarchy.
(1)

They lack a hierachically arranged government which determines the jurisdiction of all the social subgroups and has the means to enforce its norms of law.

(2) The meaning of sovereugnty is quite different in both contexts.


Sementara kedaulatan internal menunjukkan bahwa pemerintah merupakan penguasa tertinggi dari sistem politik suatu negara, namun kedaulatan eksternal negara-negara tidak secara otomatis menjadi penguasa tertinggi tapi dalam prakteknya tergantung pada sistem.

While political systems are strongly centralised within the states, international systems are strongly decentralised they are subsystem dominated.

Kendatipun terminologi sistem international mempunyai kekurangan yang bersifat struktural, dan sejumlah norma yang diharapkan bisa mengatur tingkah laku anggotanya, namun berbagai struktur sistem intenasional cukup variatif (much looser, and the sets of

norms much weaker than those distinguishable within states)

Intinya, keterkaitan antar unit aktor dalam tatanan dunia, amat dipengaruhi oleh masing-masing historical system. Alhasil logika mengenai sistem perlu dipahami dengan baik sehingga bisa punya sumbangan yang tepat dalam merumuskan suatu kebiajakan luar negeri yang efektif.

Dalam konteks non-state actors maupun state actors, sistem internasional tidak secara otomatis merupakan lingkungan luar dari tindakan aktor-aktor tersebut. Dari sisi pandangan yang bersifat sistemik, implemetasi yang terjadi di tingkat sistem bisa lebih hebat/dahsyat dari apa yang dilakukan aktor negara dan non-negara Tampaknya sistem politik internasional adalah kombinasi dari berbagai tindakan para aktornya dan bukan hanya aktor tunggal semata.

Selanjutnya dalam prosesnya kombinasi aktor tersebut mengembangkan karakteristik dan momentumnya sendiri yang tujuan akhirnya mungkin tidak direncanakan, dan sering menjadi amat diperlukan bagi suatu peristiwa/kasus internasional perlombaan senjata maupun perang yang terjadi merupakan hal-hal yang menonjol dari pernyataan tersebut

Kendatipun demikian pembahasan menyangkut sistem politik internasional tidak bisa pula semata-mata lepas dari matriks sejarah. Khususnya, pemikiran tradisi moderen Eropa mempunyai 3 aliran pandangan; (1) Realis dengan Mahciavelli sebagai tokohnya (Machiavellian school). (2) The rationalist atau Grotian school, menekankan rasionalitas dan kerjasama. (3). Revolusionaris atau Kantian school, menekankan solidaritas manusia dan cenderung melihat sistem internasional sebagai persatuan antar umat manusia. Untuk ini khususnya, kontribusi utama datang dari para ahli hukum, sejarawan, behavioralis, dan para analis sistem.

Ada 2 tipe ekstrim daripada suatu sistem, pertama; sistem secara dominan dikuasai oleh units (ini akibat sistem yang terdiri dari hubungan power antar negara). Kedua, adanya institusi utama yang amat berperan bagi suatu sistem. Studi menyangkut Balance of Power (BOP), 1648 -1914 menjadi dasar penting terminologi dan masyarakat internasional yang kontemporer. Dari sisi analitis, hal itu dapat dilihat melalui

geographical scope (1), dan functional domain (2). Juga intensity of interaction yang dapat diukur melalui intensity of the use of force trade is the one of the most important- the strattegy is much more important
than the market and the issue of competitiveness!

Pada tahap berikutnya adalah penting untuk membedakan struktur dan proses dalam sistem internasional. Struktur adalah karateristik hubungan antar aktor dalam waktu tidak terbatas seperti bentuk-bentuk utama dari asosiasi, dan bentuk-bentuk utama dari interaksi Proses sendiri terkait dengan bentuk dan pola interaksi yang membedakan struktur baik dalam jangka pendek maupun dalam konteks kepentingan analitisnya. Selanjutnya istilah stability dan change. Stabilitas suatu sistem amat terkait dengan konsentrasi dari power.

Dominasi dari suatu negara mungkin bisa melahirkan perbedaan eksistensi suatu sistem, misalnya pilihan terhadap sistem yang kondusif pada stabilitas tidak selalu sama bisa bipolar maupun multipolar Pada awal Perang Dingin banyak akademisi yang melihat bahwa bipolar sebagai suatu ciri dari sistem internasional, less stable and less flexible. Sistem kemudian mengalami perubahan yaitu ke arah detente antara blok Barat dan Timur. Konsentrasi perhatian dari satu pihak/pelaku utama (protagonist) kepada pelaku lainnya mempunyai hasil yang positif, karena satu pihak memberikan perhatian penuh pada pihak lain dan sebaliknya.

Kemudian dalam perkembangannya sistem bipolar tersebut berkembang menjadi multipolar (mulai awal 70an sudah mulai terjadi transisi, akibat berkembang pesatnya kemajuan perekonomian Jepang dan Jerman, disusul negara-negara yang tergabung dalam NICS yang sekaligus dan tidak langsung mengurangi dominasi ekonomi Amerika secara global). Sistem multipolar yang juga menggambarkan suatu kompleksitas menurunkan beban tanggungjawab atas konflik yang terjadi di tingkat peripheral yang kemudian tidak berkembang luas dan bereskalasi. Namun bagaimanapun sistem bipolar maupun mutipolar ternyata bukanlah merupakan jaminan yang kuat dan menentukan terhadap stabilitas.

Dalam prosesnya, sistem multipolar yang diikuti dengan karateristik situasi yang berbeda dari waktu ke waktu isu minyak, nuklir, pembantaian ras tertentu, akhirnya melahirkan pula perang-perang besar yang cukup berbahaya (Perang Irak-Iran, Perang Teluk I dan II, Perang di Bosnia, dan Serbuan AS ke Irak). Ini secara nyata menunjukkan bahwa sistem multipolar/unipolar pun tidak berarti lebih baik dan lebih menjamin perdamaian dibandingkan dengan sistem bipolar

Dari kasus berbagai perang tersebut (periode 70-an dan 20-an), akhirnya banyak pihak menilai bahwa tampaknya sistem bipolar lebih baik dan bisa dikatakan lebih bisa menjamin perdamaian, ditambah institusi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) tampak terjaga martabat dan kredibilitasnya oleh AS dan negara-negara Barat dimasa lalu. Dibandingkan dengan kasus Perang Teluk I dan II, PBB hanya dipakai sebagai alat saja oleh AS khususnya.

Di masa sistem multipolar inilah, muncul istilah yang populer bagi SHI, yaitu uniteralisme AS menjadi gejala dominan pada pemerintahan George W. Bush. Dibalik itu semua, tentunya dipertanyakan yaitu, mengapa perdamaian abadi tidak kunjung tiba?

Hal penting yang perlu digarisbawahi, bahwa situasi tersebut merupakan pencerminan dari masih hebatnya perbedaan persepsi/interpretasi/dan amat kecilnya toleransi/apalagi untuk menyatakan kita hidup didalam planet yang sama. Inilah cikal bakal atau motif utama yang menyebabkan clash of interests menjadi amat sulit dijembatani maupun diperkecil ancamannya

Memasuki 2006-09, ada beberapa buku maupun laporan jurnal Foreign Affairs yang perlu mendapat perhatian (1) Joseph Stiglitz, Making Globalisation Work, Penguin, Allen Lane, UK, 2006, dan (2) Francis Fukuyama, After The Neocons, America at the Crossroads, Profile Books, USA, 2006. Stiglitz khususnya melihat tatanan dunia makin hari makin timpang, sistem yang ada yang bernuansakan globalisasi (yang dianggap sebagai pengertian percepatan) ternyata bukan membuat negara berkembang umumnya menjadi cepat baik posisi dan status ekonominya, tapi makin menderita dan timpang

Alhasil sistem internasional bukan makin adil, dan fair serta free for all , tapi makin sulit bagi negara berkembang untuk keluar dari kemelut kesulitannya sendiri.Bahkan Stiglitz tampaknya pesimis, terutama setelah gagalnya pertemuan Doha yang membahas soal perdagangan dunia, kehidupan negara maju jelas-jelas bisa terjadi di atas pengorbanan yang amat dalam yang dirasakan oleh umumnya negara berkembang.

The global trade and financial regimes give the advanced industrial countries a marked advantage (Stiglitz, hal. 57).

Ia lebih jauh memperkirakan bahwa perdagangan yang juga terkait dengan after the oil peak (global warming, soil problems, deforestation, dll) tidak lebih buruk bahayanya daripada isu nuklir. Kini tidak lagi hanya AS yang disebut sebagai rakus akan minyak (the olioholics), tapi tambah 2 negara lagi (Cina dan India). Sulit dibayangkan bagaimana jadinya tatanan dunia dimasa 20 s/d 30 tahun mendatang, kualitas alam, udara yang makin buruk, persediaan enerji yang makin terbatas namun munculnya enerji pengganti tampaknya belum menyakinkan

Akhirnya Stiglitz berkeyakinan bahwa globalisasi yang sekarang menjadi ciri tatanan dunia tidak akan punya arti apaapa bagi mayoritas negara berkembang.

We can make globalisation work, not just for the rich and powerful but for all people, including those in the poorest countries (hal. 292).

Dalam soal keluhan Stiglitz tersebut, tampaknya kelemahan globalisasi tersebut tidak lepas dari masa-bodonya negara-negara maju, termasuk AS yang selalu berupaya melindungi dirinya dan warganya sendiri dari ancaman perbaikan nasib hidup di negara-negara berkembang. Situasi tersebut bertambah keruh, terutama setelah AS menginvasi Irak, makin tidak jelas perang tersebut untuk apa, dan seakan-akan dunia makin suram ditikam dari 2 arah unfair trade dan unstable world.

Francis Fukuyama tidak tahan melihat makin suram dan menyimpangnya kebijakan luar negeri AS (Rethinking memutuskan keluar dari kelompok Neocons. Lebih jauh Fukuyama menyimpulkan; by invading Iraq, the

Institutions for World Order, hal. 155), ia

Bush administration created a self-fulfilling prophecy(hal, 181).

Beberapa hal lainnya, yang menjadi perhatian serius dari Fukuyama, sebagai akibat makin menggejalanya unilateralisme AS; 1. Globalisation has meant that

societies are increasingly interpenetrated economically and culturally, a technological change or new investment thousands of miles away can lead to job losses, new cultural influences, or environmental damageat hom. 2. The defacto weigth of the US on the global stage has created an inherent imbalance; the US can affect many countries around the world without their being able to exercise a reciprocal degree of inluenceon the US. 3.The UN was frequently deadlocked and impotent in dealing with security problems (hal. 156-158), ZD.

KESIMPULAN KESENJANGAN STRUKTURAL YANG MAKIN LUAS ANTAR AKTOR NEGARA MAJU DAN BERKEMBANG. ISU GLOBALISASI EKONOMI MEMBUAT TATANAN DUNIA MAKIN VARIATIF PERKEMBANGANNYA ISU-ISUNYA TIDAK HANYA SOAL PERANG DAN DAMAI, TAPI JUGA ISU STRATEGI UNTUK MENANG DALAM ABAD PERDAGANGAN. POLIN DAN ISU LINGKUNGAN MAKIN PENTING ( LESTER R. BROWN, PLAN B 2.0 RESCUING A PLANET UNDER STRESS AND A CIVILIZATION IN TROUBLE, 2006).

1.JELASKAN PERBEDAAN ANTARA POLITIK LUAR NEGERI DAN POLITIK INTERNASIONAL? 2. HAL-HAL APA YANG MENJADI KELEMAHAN MAUPUN KEKUATAN DARI PERBEDAAN TERSEBUT? (KALAU MEMANG ADA?)

Anda mungkin juga menyukai