” (The Methodology of
Content Analysis of Media Messages by Harold Lasswell, 1927)
KH. Abdul Wahid Hasyim lahir pada tanggal 1 juni 1914 di Tebuireng Jombang.
Membidani terbitnya majalah bulanan bernama “Suluh Nahdlatul Ulama” yang
diasuh dan dikemudikan dari tengah-tengah Pesantren Tebuireng. Majalah ini
menjadi mimbar dan sekaligus menara Nahdlatul Ulama (NU). Melalui penerbitan
majalah inilah, KH. Abdul Wahid Hasyim mengakui rasa simpatinya pada karya-
karya KH Saifuddin Zuhri yang tersebar di berbagai media NU seperti “Berita
NU” di Surabaya, Majalah bulanan “Suara Ansor NU” di Surabaya, Majalah
bulanan “Trompet Pemuda” terbitan Ansor NU Cabang Kudus, Majalah bulanan
berbahasa Jawa “Panggugah” diterbitkan Konsulat NU Banyumas dan Mingguan
“Pesat” yang berisi berita-berita politik populer di Semarang.
Mengenalnya Dekat
Semenjak tahun 1939 KH. A Wahid Hasyim dipercaya menjabat sebagai Ketua
MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia), sebuah badan federasi NU, Muhammadiyah,
PSII, PII, Al-Irsyad, Persis. Sehubungan dengan jabatannya di MIAI, KH A.
Wahid Hasyim juga kemudain duduk pula dalam kepemimpinan Presidium
Korindo (Kongres rakyat Indonesia), sebuah proyek perjuangan bersama GAPI
(Gabungan Partai Politik Indonesia).
Perkenalan ini terus berjalan hingga 5 hari sebelum KH A. Wahid Hasyim wafat
pada tanggal 19 April 1953 dalam usia 39 tahun. Wafat ketika sedang malakukan
tugas selaku Ketua Umum Pengurus Besar NU (partai politik yang berusia 2 tahun
setelah memisahkan diri dari partai Masyumi).
KH A. Wahid Hasyim termasuk orang besar yang tidak pernah menyusahkan diri
maupun orang lain dalam masalah makanan. Tentang makanan Nabi Besar
Muhammad SAW bersabda, ”Kami adalah golongan orang-orang yang makan bila
merasa lapar dan jika makan pun tidak sampai kenyang.”
Jika kebetulan dalam perjalanan KH A. Wahid Hasyim harus makan dalam sebuah
restoran dan memesan berbagai jenis makanan ”kelas berat” aneka ragam, maka
tujuannya hanyalah untuk menyenangkan teman dalam perjalanan. Termasuk bila
di rumah, hanyalah untuk menghormati tamu saja.
Di atas meja ada sebutir telur rebus dari sisa santapan sahur kemarin dan segelas
teh bagian KH Syaifuddin Zuhri ketika sore. Dengan sebutir telur dan segelas teh
itulah KH A. Wahid Hasyim bersahur. Padahal bila KH A. Wahid Hasyim mau
lebih dari itu, KH Syaifuddin Zuhri masih bisa membelikannya di sebuah warung
dekat hotel yang masih melayani para pembeli. Di sana masih bisa dipesan nasi
goreng, sate ayam, gado-gado dan sebagainya.
KH A. Wahid Hasyim berpakaian dengan disertai cita rasa dan daya insting yang
begitu kuat. KH A. Wahid Hasyim tahu benar mengenai kecocokan antara situasi
dan keserasianpakaianny a. Mengerti tentang menggunakan setelan celana, dan
setelan sarung dalam waktu yang tepat.
Pada suatu hari KH A. Wahid Hayim diundang Bung Karno ke Istana Presiden di
Yogyakarta. Di sana telah berkumpul Dr. Muhammad Hatta, Haji Agus salim, Mr.
Muhammad Yamin, dan tokoh nasional lainnya. Perundingan politik sedang
berlangsung berhubung atau situasi tanah air. Tiba di Istana Presiden, KH A.
Wahid Hasyim langsung bercengkrama dengan yang tengah menantikan
kedatangannya. Sedangkan KH Syaifuddin Zuhri yang mendampinginya duduk
bersama para ajudan dan pengawal dalam jarak 20 meter. Tiap kali KH A. Wahid
Hasyim mengemukakan pendapatnya dalam diskusi, maka para pejabat tinggi
negara itu tergelak tertawa sebagai tanda persetujuan dalam suasana gembira.
Setelah kira-kira satu jam, pertemuan para pemimpin itu pun usai. KH A. Wahid
Hasyim cepat-cepat meninggalkan mereka, meskipun tampaknya para koleganya
ini masih hendak menahan agar bisa bercengkerama lebih lama lagi. Terasa adanya
suasana kangen antara satu dengan lainnya. Tetapi KH A. Wahid Hasyim cepat-
cepat menuju mobilnya. Dalam mobil KH Syaifuddin Zuhri menanyakan,
mengapa menghadiri pertemuan tingkat tinggi itu, KH A. Wahid Hasyim cuma
mengenakan sarung saja? Maka KH A. Wahid Hasyim menjawab, ”Kedatangn
saya bukan karena atas keinginan saya, melainkan atas permintaan mereka. Buat
mereka tidak menjadi persoalan pakaian yang saya kenakan. Kecuali itu saya
sengaja memakai sarung untuk mengangkat harkat kaum bersarung!” Kemudian
KH A. Wahid Hasyim menyambung pernyataannya, ”Para kyai kadang-kadang
tidak dihargai oleh mereka yang sok intilektual hanya karena sarungnya. Padahal
lihatlah, Ki Sarmidi Mangunsarkoro selalu mengenakan sarung, padahal beliau
menteri P dan K!” tandas KH A. Wahid Hasyim.
Membaca Buku
KH A. Wahid Hasyim adalah pribadi yang cerdas dan lihai dalam berpidato.
Terutama sekali karena pidatonya selalu didukung dan dilengkapi dengan tema-
tema yang disitir dari salah berbagai buku. Tentu tiada kesulitan bagi KH A. Wahid
Hasyim untuk mencari referensi, karena KH A. Wahid Hasyim menguasai bahasa
Arab, Belanda dan Inggris sebagai kunci utama dalam penguasaan buku-buku
ilmiah saat itu.
Pendidikan Agama
KH A. Wahid Hasyim kecil mulai belajar bahasa Belanda sambil asyik bermain
main dengan teman-temannya. Daya tangkap serta kecerdasan menjadikannya
mudah mempelajari bahasa Belanda. Bukan saja”berguru” kepada Imam Sukarlan
(guru prifatnya), namun KH A. Wahid Hasyim juga berguru kepada santri-santri
lain yang mahir berbahasa Bseperti Abdul Aziz Diyar yang merangkap guru juga
sebagai di Pesantren Tebuireng.
Menginjak usia sekitar 20-an tahun, KH A. Wahid Hasyim telah mulai sering
membantu KH Hasyim Asy’ari menyiapkan kurikulum dalam pesantren dan
menjawab surat-surat ayahandanya dalam bahasa Arab. Surat-surat ini banyak
diterima dari para ulama di berbagai pelosok tanah air yang menanyakan beberapa
masalah hukum Islam aktual yang sedang menjadi topik hanyag di masyarakat.
Namanya mulai dikenal masyarakat seiring seringnya KH A. Wahid Hasyim
mewakili ayahandanya menghadiri pertemuan-pertemuan ilmiah maupun
ceramah-ceramah atas undangan pesantren-pesantren di daerah lain.
KH A. Wahid Hasyim telah memiliki sifat mulia sejak kecilnya. Sikap mulia dan
sederhana ini tetap disandangnya hingga dirinya telah menjadi menteri negara. KH
A. Wahid Hasyim tetap menulis surat-surat yang diketik sendiri kepada teman-
temannya, baik yang masih sering berjumpa, apalagi yang sudah jarang bersua.
Surat-suratnya biasanya berisi anjuran mempererat tali persaudaraan, paparan
perkembangan masyarakat dan menasehatkan cara-cara menghadapi situasi
terkini.
Surat-surat yang datang dari teman-teman maupun orang yang tak dikenalnya,
selalu diperhatikan dan dijawab seperlunya. Diceritakan dalam suatu surat, si
pengirim menyatakan dirinya adalah seorang petani miskin yang diperlakukan
tidak adil oleh pamong desanya. KH A. Wahid Hasyim sangat antusias menerima
surat dari orang yang tak dikenal itu, diambulnya mesin ketik dan seketika itu pula
ditulis jawabannya dengan pendek.
”Surat Saudara sangat mengharukan saya. Harap dimaafkan, bahwa pada saat inii
saya belum sempat membalas surat Saudara. Insya Allah saya akan perhatikan
benar-benar. Bahkan saya berpikir akan datang kepada Saudara untuk turut
memecahkan persoalan Saudara. Wassalam”
Benar juga, di hari lain KH A. Wahid Hasyim datang ke daerah Kediri untuk
menjumpai si pengirim surat dan lalu datang kepada camat di daerahnya untuk
mencari jalan penyelesaiannnya. Akhirnya masalah si pengirim surat dapat
dipecahkan.
Menurut KH A. Wahid Hasyim, ”Orang-orang tua tidak usah dilihat dari ilmu
maupun kedudukannya, dari segi usia saja, orang yang lebih muda wajib
memuliakannya.
Pesantren adalah sebuah sistem pendidikan serta kader vorming yang telah
mempunayi tradisi tersendiri. Pesantren inilah yang menimbulkan salah satu
inspirasi bagi Ki Hajar Dewantara tatkala mencetuskan idenya membangun
Perguruan Taman Siswa.
Atas dorongan K.H. Mahfudz Shiddiq Ketua Umum PBNU yang dipilih selama 4
kali kongres (Orang kuat dalam NU), maka pada tahun 1939 KH A.Wahid Hasyim
dipilih menjadi Ketua Dewan Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI). Para anggota
MIAI adalah tokoh-tokoh top Indonesia seperti Abikusno Cokrosuyoso, Dr.
Sukiman, Wondoamiseno, KH Mas Mansur, KH Abdul Kahar Muzakkir, Umar
Habaisy, Muhammad Natsir, dan lain-lain. Kedudukan Ketua MIAI ini dengan
sendirinya menempatkan KH A.Wahid Hasyim sebagai pejuang politik
menghadapi penjajahan.
Akan tetapi tatkala zaman pendudukan Jepang, kelompok MIAI bubar. Kemudian
atas prakarsa KH A. Wahid Hasyim MIAI menjelma menjadi ”Majelis Syuro
Muslimin Indonesia” (Masyumi). Melalui Masyumi ini, terbentukalah badan Pusat
latihan Hizbullah di Cibarusa, dekat Cibinong Bogor, Sekolah Tinggi Islam di
Jakarta dan penerbitan Majalah ”Suara Muslimin” yang mula-mula dipimpin oleh
KH Saifuddin Zuhri dan kemudian beralih ke tangan Harsono Cokroaminoto.
Partai Masyumi dipimpin oleh dr. Sukiman, sedang pimpinan Majelis Syuro-nya
dipimpin oleh KH Hasyim Asy’ari dan KH Abdul Wahab Chasbullah selaku
Wakilnya. Adapun KH A.Wahid Hasyim memegang jabatan Ketua Dewan
Pertahanan Partai yang langsung memimpin Markas Tertinggi ”Hizbullah”, yang
diketuai oleh Zainul Arifin dan Markas Tertinggi ”Barisan Sabillah” yang diketuai
oleh KH. Masykur. Berhubung tugasnya di dalam partai ”Masyumi” yang
membidani politik pertahanan (kemiliteran) , maka KH A.Wahid Hasyim diangkat
oleh Panglima Besar Jenderal Sudirman menjadi penasehat pribadinya.
Masa perang kemerdekaan antara tahun 1945-1950 menyebabkan KH A. Wahid
Hasyim menyibukakan diri dalam gejolak revolusi. Meskipun sebagian besar
waktunya dicurahkan kepada soal politik dan pertahanan, seperti dua kali
menghadapi agresi Belanda atas Republik Indonesia dan kemelut politik yang
penuh pertentangan di masyarakat, namun KH A.Wahid Hasyim tetap menjalin
hubungan erat dengan para ulama dan dunia pesantren.
Bagi NU, Partai Masyumi terlalu mengandalkan kekuatan grup elita politisinya,
mengira bahwa Masyumi telah begitu kuat hingga memandang kecil terhadap
kekuatan dan pengaruh NU. Tahun 1952 NU melangsungkan Kongres di
Palembang, dr. Sukiman selaku ketua Partai Masyumi hadir dalam kongres itu atas
undangan NU. Acara terpenting dalam kongres ialah: apakah NU tetap di dalam
Masyumi atau keluar. Akhirnya kongres memutuskan NU menjelma menjadi
partai politik sendiri lepas dari Partai Masyumi. Kongres juga memilih KH
A.Wahid Hasyim menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Partai NU.
Sifat Menonjol