Abstrak
Biosorpsi merupakan salah satu alternatif yang ekonomis dan efisien untuk pembersihan logam berat dari limbah buangan. Penelitian in bertujuan untuk menentukan kemampuan biomassa karang Heliofungia actiniformis untuk mengadsorpsi ion Cu2+ . Biosorpsi ion Cu2+ oleh biomassa H. Actiniformis dilakukan dengan variasi waktu kontak, pH, dan konsentrasi ion Cu2+. Interaksi biomassa dengan ion Cu2+ dipelajari dengan menggunakan FTIR. Penelitian ini menggunakan dua jenis metode yakni metode batch dan metode kolom. Pada Penelitian ini, proses desorpi ion Cu2+ dari biomassa juga dilakukan dengan menggunakan beberapa larutan pendesorpsi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa waktu kontak optimum adalah 80 menit, pH optimum adalah 3. Adsorpsi ion Cu2+ lebih sesuai dengan isotermal Langmuir ( qmaks = 15,27 mg g-1). Analisis FTIR menunjukkan bahwa gugus fungsi NH (amina) dan S=O (sulfonat) merupakan gugus fungsi yang berperan pada adsorpsi ion Cu2+ oleh biomassa H. Actiniformis. Efektifitas desorpsi tertinggi (99,56 %) didapatkan dengan menggunakan larutan pendesorpsi HNO3 0,1 M. Metode kolom dilakukan dengan 3 siklus. Persentase ion Cu2+ yang terdesorpsi berturutturut adalah 9,88; 6,57; dan 3,54 %.
Kata kunci:
Biosorpsi, Cu2+, karang Heliofungia actiniformis, isotermal langmuir, metode batch, metode kolom.
Pendahuluan
Logam berat merupakan elemen yang berbahaya di permukaan bumi. Logam berat masuk ke lingkungan melalui kegiatan pertambangan minyak, emas, dan batubara, pembangkit tenaga listrik, pestisida, keramik, peleburan logam, pabrik-pabrik pupuk dan kegiatan-kegiatan industri lainnya (Suhendrayatna, 2001) Salah satu pencemaran yang berbahaya adalah pencemaran logam tembaga (Cu). Tembaga (Cu) merupakan salah satu logam berat yang banyak dimanfaatkan dalam industri, terutama dalam industri elektroplating dan industri logam (aloi). Keberadaan tembaga dalam jumlah kecil sangat berguna bagi makhluk hidup karena merupakan logam essensial, tapi dalam jumlah besar dapat mengakibatkan berbagai masalah kesehatan karena sifatnya yang toksik. Ion tembaga dapat terakumulasi di otak, jaringan kulit, hati, pankreas dan miokardium. Dengan demikian penanganan limbah yang mengandung tembaga harus dilakukan (Triani, 2006) Berbagai biosorben telah digunakan untuk menghilangkan logam berat. Contoh biosorben adalah rumput laut Eucheuma spinosum (Diantariani dkk., 2008) , biomassa rhizoma Lamun Thalassia hemprichii (Septiany, 2008), biomassa Saccharomyces cerevisiae (Ramadhan dkk., 2008; dan Kresnawaty dkk., 2007) , biomassa Chorella sp (Triani., 2006), karbon aktif dari tempurung kelapa (Onundi
dkk., 2010), karbon aktif dari sekam padi (Teker dkk., 1998), makroalga Caulerpa lentillifera (Pavasant dkk., 2005), alga coklat Sargassum sp (Esmaeili dkk., 2007) dan ampas tahu (Qaddafi, 2008). Seperti berbagai jenis alga dan lamun yang berasal dari laut yang berpotensi sebagai biosorben, terumbu karang juga memiliki potensi sebagai biosorben logam berat. Menurut Veron (1995) terumbu karang merupakan endapan massif (deposit) padat kalsium (CaCO3) yang dihasilkan oleh karang dengan sedikit tambahan dari alga berkapur (Calcareous algae) dan organisme lain yang mensekresikan kalsium karbonat (CaCO3). Kandungan CaCO3 yang terdapat pada karang dapat mengikat logam berat melalui proses penukaran ion sehingga karang berpotensi sebagai biosorben logam berat. Dari berbagai spesis karang yang ada, pada penelitian ini digunakan biomassa karang Heliofungia actiniormis karena kelimpahannya di alam khususnya di Sulawesi Selatan. Menurut Bruckner, 2001 luas habitat Heliofungia actiniformis di kepulauan Spermonde Sulawesi Selatan 1.760.000 m2 dengan potensi stok alami 91.766,4 koloni. Selain itu biomassa karang yang menggandung matriks organik dengan gugus fungsi seperti karbonil, hidroksil, sulfuhidril atau amina yang memungkinkan karang mengakumulasi dan mengadsorpsi logam berat (Shah, 2008) Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui potensi biomassa karang Heliofungia actiniormis mengadsorpsi dan mengdesorpsi ion Cu2+. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang kemampuan biomassa karang Heliofungia actiniormis dalam mengadsorpsi dan mengdesorpsi ion Cu2+.
Metode Penelitian
Bahan
Bahan bahan yang akan digunakan pada penelitian ini adalah biomassa Heliofungia actiniformis kering, larutan Cu(NO3)2.3H2O , HCl 0,1 M, HNO3 0.1 M, H2SO4 0, 1M , CH3COOH 0, 1M , etilendiamin tetra asetat (EDTA) 0,1 M, Natrium karbonat 0, 1M , Natrium bikarbonat 0,1 M, Natrium sitrat 0, 1M dan Kalium klorida 0,1M , akuades, kertas pH, kertas saring whatman, alumunium foil, kertas label.
Alat
Alat alat yang dibutuhkan pada penelitian ini adalah alat alat gelas yang umum digunakan, stirrer magnetic , Spektrofotometer Serapan Atom (SSA) Buck Scientific Model 205 VGP, PH meter, lumpang , neraca digital, ayakan, spektrofotometer FT-IR 8201 PC Shimadzu
Penentuan pH optimum
Sebanyak 200 gr biosorben karang dimasukkan dalam 50 mL larutan Cu(NO3)2.3H2O 10 mgL-1 pada variasi pH (2, 3, 4, 5, 6, dan 7). Campuran diaduk dengan stirer (150 rpm) pada waktu kontak yang optimal. Campuran disaring, dan konsentrasi sisa ion Cu2+ dalam larutan ditentukan dengan menggunakan spektrofotometer serapan atom (SSA). Setiap percobaan dilakukan 2 kali pengulangan. pH optimum yang diperoleh selanjutnya dipakai pada penentuan kapasitas biosorpsi.
Kapasitas biosorpsi biosorben karang ditentukan dengan cara memasukkan biosorben karang 200 gram ke dalam 50 ml larutan Cu(NO3)2.3H2O (pH optimum) dengan variasi konsentrasi 10, 20, 50, 100, 150, 200, 250, dan 300 mgL-1 . Campuran diaduk dengan stirer selama waktu kontak yang optimum, lalu disaring. Sisa ion Cu2+ dalam larutan ditentukan dengan menggunakan spektrofotometer serapan atom (SSA). Setiap percobaan dilakukan 2 kali pengulangan
2.25 2.00 1.75 2.13 2.13 2.17 2.12 1.96 2.14 2.18 2.15 2.18
Gambar 1
Biosorpsi ion Cu2+ oleh biomassa karang Heliofungia actiniformis sebagai fungsi waktu (konsentrasi awal Cu2+ 10 mgL-1, biomassa 0,2g)
Gambar 2 dan 3 adalah model kinetika adsorpsi reaksi orde satu dan orde dua. Nilai kesetimbangan adsorpsi (qeq) ion Cu2+ oleh biomassa karang Heliofungia actiniformis model orde satu adalah 2,08 mg.g-1(lampiran 25). Bila nilai ini dibandingkan dengan nilai qeq yang diperoleh secara eksperimen yakni 2,18 mg.g-1(Gambar 3) maka nilai qeq dari model reaksi orde memiliki perbedaan yang cukup jauh dengan nilai qeq eksperimen. Sedangkan nilai koefesien korelasinya (R2) 0,35, nilai ini lebih kecil dari angka satu. .
100
Gambar 2.
kinetika orde satu untuk adsorpsi ion Cu2+ oleh biomassa karang Heliofungia actiniformis
Sedangkan nilai kesetimbangan adsorpsi (qeq) yang diperoleh dari model reaksi orde dua adalah 2,17 mg.g-1(lampiran 25). Nilai ini hampir mendekati nilai qeq yang diperoleh secara eksperimen yakni 2,18 mg.g-1, dan nilai koefisien korelasinya (R2) adalah 0,99 mendekati nilai 1. Hasil ini menunjukkan bahwa adsorpsi ion Cu2+ oleh biomassa karang Heliofungia actiniformis mengikuti model reaksi orde dua.
60.0000
t/q (g/mg/menit)
Gambar 3.
kinetika orde satu untuk adsorpsi ion Cu2+ oleh biomassa karang Heliofungia actiniformis
Perbandingan nilai konstanta reaksi (k), koefesien korelasi (R2) dan nilai kesetimbangan adsorpsi (qe) masing masing orde reaksi satu dan dua dapat dilihat pada tabel 1 berikut.
Tabel 1. Perbandingan konstanta reaksi orde satu dan orde dua penyerapan ion Cu2+ pada biomassa karang Heliofungia actiniformis
Pengaruh pH
Nilail pH adalah salah satu variabel utama yang mempengaruhi proses biosorpsi (Hawari, dkk, 2006) ditinjau dari dua aspek yakni kelarutan ion logam dan total muatan pada permukaan biosorben sehingga proton dapat diadsorpsi atau dilepaskan (Romera, dkk, 2007). Gambar 6 menunjukkan grafik adsorpsi ion Cu2+ oleh biomassa karang Heliofungia actiniformis pada berbagai pH.
1.50 0 2 4
pH
2+
oleh biomassa karang Heliofungia actiniformis berdasarkan variasi pH. (konsentrasi awal Cu2+ 10 mg.L-1,
biomassa 0,2g, waktu kontak 80 menit) Berdasarkan hasil yang diperoleh pada Gambar 4 ion Cu2+ yang diadsorpsi oleh biomassa karang Heliofungia actiniformis pada pH 2 adaah 2.28 mg.g-1. Jumlah ini naik pada pH 3 dan kemudian turun kembali pada pH 4 dan 5. Pada pH 6 dan 7, jumlah ion Cu2+ yang diadsorpsi naik. Hal ini dapat dijelaskan dari hasil pengamatan secara visual yang menunjukkan adanya endapan yang terbentuk pada pH tersebut. Hasil ini didukung oleh Shevla (1990) bahwa ion Cu2+ mulai membentuk endapan Cu(OH)2 pada pH sekitar 5,6 dan mengendap sempurna pada pH 7,1. Adanya endapan menyebabkan jumlah ion Cu 2+ yang terdapat dalam larutan berkuranng dan sebagian ion tersebut hilang karena terikat pada gugus -OH membentuk endapan Cu(OH)2. Sehingga analisis SSA memberikan konsentrasi ion yang lebih kecil daripada yang sebenarnya dalam larutan. Pada kondisi lingkungan yang sangat asam, biosorben dan ion logam lebih bermuatan positif sehingga terjadi tolakan elektrostatik (Babarinde, 2008). Penurunan pH menyebabkan kompetisi meningkat antara ion hidrogen dengan ion logam. Sebaliknya, meningkatnya nilai pH (berkurangnya ion H+) menyebabkan kompetisi berkurang sehingga pengambilan ion logam oleh biosorben menjadi meningkat. Kondisi pH optimum pada penelitian ini dimana biomassa karang Heliofungia actiniformis mampu mengadsorpsi ion Cu2+ secara maksimum pada pH 3, kondisi yang sama juga ditemukan pada penelitian sebelumnya dengan biomassa lamun Thalassia hemprichii (Septiany, 2008), dan dengan Arthrobacter sp (Veglio dan Beolchini, 1997)
.
105 %T
3942,50 3761,19 2154,49
90
2370,51 2322,29
75
2852,72
2621,26
60
45
2522,89 2497,82
2920,23
30
3419,79
15
1788,01
1398,39
1082,07
366,48
1531,48
858,32
707,88
621,08
Gambar 5.
Gugus fungsi yang terdapat pada biomassa karang Heliofungia actiformis dapat diketahui dengan adanya pita serapan pada bilangan gelombang tertentu. Pita serapan pada bilangan gelombang 3419,79 cm-1 menunjukkan adanya gugus fungsi hidroksil (-OH). Pita serapan pada bilangan gelombang 2920,23 cm-1 menunjukkan ikatan C-H rentangan. Pita serapan pada bilangan gelombang 1788,01 cm-1 menunjukkan C=O rentangan dari COOH.
105
%T
2850,79
75
3419,79
1174,65
60
2920,23
2358,94 2322,29
90
2619,33
1788,01
45
1082,07
30
711,73
700,16
15
1506,41
-15
Setelah mengadsorpsi ion Cu2+ ada beberapa pita serapan yang mengalami pergeseran bilangan gelombang paling besar. Pita serapan pada bilangan gelombang 1531,48 cm-1 bergeser cukup jauh ke bilangan gelombang yang lebih kecil (1506,41 cm-1). Hal ini mengindikasikan adanya interaksi ion Cu2+ dengan gugus N-H yang menyebabkan perpanjangan ikatan N-H dimana ion Cu2+ menjadi jembatan elektron antara senyawa-senyawa N-H. Perpanjangan ikatan N-H mengakibatkan ikatan ini diperlemah (tetapan gayanya dikurangi) sehingga frekuensi rentangan diturunkan. Pita serapan lain yang bergesar cukup besar adalah pita serapan untuk gugus S=O (sulfonat), terjadi pergeseran pada bilangan gelombang 1398,39 cm-1 bergeser ke bilangan gelombang yang lebih besar (1456,26 cm-1). Berdasarkan teori asam basa keras lunak Pearson,s, ion Cu2+ termasuk asam madya lewis yang cenderung membentuk ikatan koordinasi dengan gugus S=O (sulfonat) sebagai basa madya lewis. Tabel 2. + Perbandingan spektra infra merah (FTIR) biomassa karang Heliofungia actiniformis sebelum dan sesudah adsorpsi ion Cu2
4400 Karang- Cu
4000
3600
3200
2800
2400
2000
1800
1600
1456,26
Gambar 6. Spektrum IR biomassa karang Heliofungia actiniformis setelah mengadsorpsi ion Cu2+
0 1400 1200 1000
856,39
800
600
400 1/cm
Selain itu karena komposisi biomassa karang Heliofungia actiformis sebagian besar bahan anorganik, kemungkinan juga terjadi reaksi pertukaran ion antara ion Cu2+ dengan ion ion lain yang terdapat dalam massa karang Heliofungia actiformis.
362,62 347,19
20 16 12 8 4 0
11.55
14.02
14.71
100
150
200
250
300
oleh biomassa karang Heliofungia actiniformis berdasarkan variasi konsentrasi. (pH 3, biomassa 0,2g, waktu
kontak 80 menit) Tabel 3 menunjukkan kapasitas adsorpsi ion Cu2+ pada biomassa karang cukup tinggi bila dibandingkan dengan biosorben lain.
Tabel 3 Perbandingan kapasitas adsorpsi ion Cu2+ pada beberapa biosorben
Untuk mengetahui apakah adsorpsi sesuai dengan Isotermal Langmuir atau Freundlich maka dibuat grafik yang menunjukkan hubungan antara Ce/q vs Ce . Grafik isotermal Langmuir ditunjukkan pada Gambar 8. Dengan membandingkan nilai garis kuadran terkecil R2 maka akan diperoleh nilai isotermal adsorpsi yang sesuai. Nilai qmaks 15,27 mg.g-1 (lampiran 26) dan b 0,18 L.mg-1 ditentukan melalui kurva linear yang diperoleh dengan koefisien korelasi (R2) sebesar 0,98. Nilai qmaks yang diperoleh dari isotermal Langmuir tidak berbeda jauh dengan nilai qmaks yang diperoleh dari eksperimen yakni 17,85 mg.g-1.
18.0000 16.0000 14.0000 12.0000 10.0000 8.0000 6.0000 4.0000 2.0000 0.0000 0.00 50.00 100.00 150.00
Ce/qe
200.00
250.00
Ce
Gambar 8. Isotermal langmuir biosorpsi ion Cu2+ oleh biomassa karang Heliofungia actiniformis (waktu kontak 80 menit, biomassa 0,2g, pH 3) Karakteristik penting dari isotermal Langmuir dapat dinyatakan dengan istilah konstanta pemisahan atau parameter kesetimbangan (RL) yang dituliskan dengan rumus:
RL
dimana b adalah konstanta Langmuir dan Co adalah konsentrasi awal ion Cu2+. Dari hasil eksperimen nilai RL yang diperoleh berada antara 0,02 0,97 pada konsentrasi antara 300 10 ppm. Menurut McKay dkk (1982), nilai RL antara 0 1, mengindikasikan adsorpsi cukup baik. Grafik isotermal Freundlich (log qe vs log Ce) ditunjukkan pada Gambar 9.
1.4000 1.2000 1.0000
Log qe
0.8000 0.6000 0.4000 0.2000 0.0000 0.0000 0.5000 1.0000 1.5000 2.0000 2.5000 y = 0.340x + 0.462 R = 0.836
Log Ce
Gambar 9.
Isotermal Freundlich biosorpsi ion Cu2+ oleh biomassa karang Heliofungia actiniformis (waktu kontak 80 menit, biomassa 0,2g, pH 3)
Dari hasil perhitungan didapat nilai n = 2,93 (lampiran 26) , nilai kf = 2,90 (lampiran 26). Nilai kf menunjukkan kemampuan proses biosorpsi dan 1/n menunjukkan dependensi konsentrasi biosorpsi, semakin tinggi nilai ini semakin besar efektif proses penyerapan (Soeprijanto., dkk, 2009). Adapun perbandingan nilai nilai yang didapatkan dari kedua persamaan isotermal tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Koefisien isotermal Langmuir dan Freundlich penyerapan ion Cu2+ pada biomassa karang Heliofungia actiniformis
Desorpsi
Desorpsi merupakan kebalikan dari proses adsorpsi. Desorpsi adalah proses pelepasan kembali adsorbat dari adsorben ke dalam suatu larutan (Triani.L, 2006). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa biomassa dapat dielusi dan diregenerasi dengan beberapa pelarut organik seperti metanol, etanol (Aksu, 2005) atau dengan pelarut anorganik seperti HCl, H2SO4, HNO3, EDTA (Saeed dan Iqbal, 2003). Pada penelitian ini digunakan delapan agen pengdesorpsi yakni HCl, H2SO4, HNO3, EDTA, Na2CO3, NaHCO3, KCl, dan Natrium Sitrat dengan konsentrasi 0,1 M. Gambar 12 memperlihatkan hasil desorpsi masing masing agen pengdesorpsi yang digunakan.
100.0000 90.0000 80.0000 70.0000 60.0000 50.0000 40.0000 30.0000 20.0000 10.0000 0.0000
KCl HNO3 HCl H2SO4 Sodium bikarbonat EDTA Sodium Karbonat Sodium Sitrat
Larutan Pengdesorpsi
Gambar 10.
Desorpsi ion Cu2+ dari kompleks biomassa-Cu pada delapan variasi larutan pengdesorpsi.
Dari gambar 10 dapat dilihat larutan pengdesorpsi yang paling banyak melepaskan kembali adsorbat dari adsorben adalah HNO3 0,1 M sebanyak 99,5564%. Dapat dilihat bahwa larutan elektrolit konsentrasi rendah adalah agen pengdesorpsi yang baik yakni HNO3, HCl dan H2SO4. Begitu juga EDTA, Sodium Sitrat, Sodium Karbonat dan Sodium bikarbonat memberikan hasil desorpsi yang baik diatas 80%. Sedangkan KCl kurang baik dengan hasil desorpsi 66,3074%. Hal ini dimungkinkan karena sifatnya yang alkali. Tidak efisiennya larutan alkali sebagai pengdesorpsi dihubungkan dengan terjadinya pengendapan logam pada pH yang terlalu tinggi dan atau pembentukan kompleks logam alkali yang tertahan dalam biomassa (Puranik dan Paknikar, 1997).
Tabel 5 menunjukkan terjadi penurunan kemampuan biomassa karang untuk mengadsorpsi ion Cu2+. Hal ini dikarenakan mulai rusaknya biomassa karang yang ditandai dengan perubahan warna biomassa
Gambar 11.
Kurva biosorpsi ion Cu2+ dalam kolom bioreaktor pada biomassa karang dengan pengulangan siklus 3 kali
Hasil ion Cu2+ yang teradsorpsi pada tiap siklus masing masing adalah 8,91%, 6,30% dan 4,71% seperti terlihat pada gambar 11. Sedangkan proses desorpsi dilakukan dengan melewatkan larutan pengdesorpsi HNO3 0,1M sebanyak 600 ml. Setiap 50 ml efluen dikumpulkan secara manual. ion Cu2+ yang terdesorpsi pada masing masing siklus adalah 9,88%, 6,57% dan 3,54% seperti terlihat pada Gambar 12. .
2+
dalam kolom bioreaktor pada biomassa karang dengan pengulangan siklus 3 kali
Bila dibandingkan dengan kemampuan desorpsi dari larutan pengdesorpsi asam nitrat pada sistem batch ternyata tidak sama pada sistem kolom. Pada sistem kolom kemampuan desorpsi asam nitrat hanya 9,88%, nilai ini jauh dari kemampuan desorpsi asam nitrat pada metode batch yakni 99,56%. Hal ini dimungkinkan karena penggunaan asam nitrat secara berulang sebagai agen pengdesorpsi pada sistem kolom dimana larutan terus berkontak dengan biosorben sehingga dapat merusak sifat kimia biosorben juga merusak sifat/kekuatan mekanik struktur biosorben. Perlakuan biomassa dengan menggunakan asam telah dilaporkan oleh Saeed dan Iqbal (2003) dapat merusak struktur biosorben. Penggunaan asam klorida sebagai desorben pada proses biosorpsi-desorpsi ion kadmium menggunakan black gram husk menyebabkan berkurangnya kemampuan adsorpsi biomassa sebesar 42,74% (Saeed dan Iqbal, 2003). Hal tersebut juga dimungkinkan karena laju alir yang digunakan pada metode kolom terlalu cepat yakni 7 ml/menit sehingga kontak biomassa dengan logam terlalu cepat sehingga logam yang diabsorpsi dan didesorpsi lebih sedikit daripada metode batch. Sedangkan pada metode batch waktu kontak yang digunakan adalah waktu kontak optimum yakni 80 menit. Faktor lain yang patut diperhitungkan adalah berat biosorben yang sebenarnya pada setiap siklus sehingga perhitungan efisiensi adsorpsi dan desorpsi lebih akurat. Selain itu menurut Nur dan Danarto (2007) untuk mendapatkan hasil biosorpsi dan desorpsi yang lebih akurat pada sistem kolom diperlukan perancangan kolom adsorpsi yang membutuhkan data-data penelitian yang dilakukan secara dinamik dan kontinyu dalam kolom bioreaktor.
Kesimpulan
Biomassa karang Heliofungia actiniformis berpotensi menghilangkan ion tembaga dengan waktu kontak optimum 80 menit, pH 3 dengan kapasitas biosorpsi 17,85 mg.g-1. Proses biosorpsi ion tembaga ini mengikuti model reaksi orde dua (k2ads 1,70 g.mg-1.menit-1) dengan nilai kesetimbangan adsorpsi mendekati nilai kesetimbangan eksperimen. Proses biosorpsi ini mengikuti isotermal Langmuir dan Freundlich. Gugus fungsi N-H (amina) dan S=O (sulfonat) yang berperan dalam pengikatan ion Cu2+. Efektifitas desorpsi tertinggi (99,56%) didapatkan dengan menggunakan larutan pengdesorpsi HNO3 0,1M. Metode kolom dilakukan pada 3 siklus. Jumlah Cu2+ terdesorpsi pada tiap siklus adalah 9,88%, 6,57% dan 3,54%.
Daftar Pustaka
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. Aksu, Z. 2005. Application of biosorption for the removal of organic pollutants: a review. Process Biochem 40: 9971026. Ahalya ,N ., Ramachandra , T.V ., dan Kanamadi ,R.D ., 2003, Biosorption of Heavy Metal, Res. J. Chem. Environ. 7(4): 71-79. Babarinde, N. A. et. al., 2008. Kinetic, isotherm and thermodynamic studies of the biosorption of zinc (II) from solution by maize wrapper. Intr. J. of Phys. Sci Vol. 3 (2), pp. 050-055. Bina,B., Kermani,M ., Movahedian,H ., dan Khazaei, Z ., 2006, Biosorption of Copper and Zinc from Aqueous Solutions by Non Living Biomass Marine Brown Algae Sargassum sp, Pakistan J. Biol. Sci. 9(8): 1525-153. Diantariani, N.P., Sudiarta, I.W., Elantiani, N.K., 2008, Proses Biosorpsi dan Desorpsi Cr(IV) Pada Biosorben Rumput Laut Eucheuma spinosum , J.Kimia 2(1): 45-52. Esmaeili, A ., Soufi ,S ., Rustaiyan, A ., Safaiyan, S ., Mirian ,S ., Fallahe ,G ., dan Moazami.N ., 2007 Biosorption of Copper, Cobalt and Nickel by Marine Brown Alga Sargassum sp in Fixed-Bed Column, Pakistan J. Biol. Sci. 10(21): 3919-3922. Hawari, A. H. and Catherine N. Mulligan. 2006. Biosorption of lead(II), cadmium(II), copper(II) and nickel(II) by anaerobic granular biomass. Bioresource Tech. 97: 692700. Kresnawaty ,I ., dan Tripanji ., 2007, Biosorpsi logam Zn oleh biomassa Saccharomyces cerevisiae, Menara Perkebunan 75(2): 8092. Nur, A dan Danarto, Y.C., 2007, Adsorpsi Kadmium Dengan Biomassa Bekas Fermentasi Pabrik Alkohol, Gema Teknik, 1, X Onundi ,Y.B ., Mamun, A. A ., Al Khatib ,M . F ., dan Ahmed ,Y . M ., 2010, Adsorption of copper, nickel and lead ions from synthetic semiconductor industrial wastewater by palm shell activated carbon, Int. J. Environ. Sci. Tech. 7(4): 751-758. Pavasant,P ., Apiratikul ., Sungkhum,V ., Suthiparinyanont,P ., Wattanachira, S ., Marhaba,T.F ., 2005, Biosorption of Cu2+, Cd2+, P2+ and Zn2+ using Dried Marine Green Macroalga Caulerpa letilifera, Bioresource Tech. 30: 30-30.. Puranik PR, Paknikar KM. 1997. Biosorption of lead and zinc from solutions using Streptoverticillium cinnamoneum waste biomass. J. Biotech, 55:1 13-24 . Qaddafi, M., 2008, Pemanfaatan Ampas Tahu Sebagai Biosorben Ion Timbal (Pb2+), Tesis tidak diterbitkan, Program Pasca Sarjana, Universitas Hasanuddin, Makassar. Ramadhan, B., Handayani, M., 2008, Biosorpsi Logam Berat Cr(VI) dengan Menggunakan Biomassa Saccharomyces cerevisiae Program Studi Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, ITB, Bandung. Saeed, A., Muhammed Iqbal. 2003. Bioremoval of cadmium from aqueous solution by black gram Husk ( Cicer arientinum). Water Research. 37: 34723480 Sembiring,Z., Suharso., Regina., Marta, F ., Murniyarti., 2008, Studi Proses Adsorpsi-Desorpsi Ion Logam Pb(II), Cu(II) dan Cd(II) Terhadap Pengaruh Waktu dan Konsentrasi Pada Biomassa Nannochloropsis sp.Yang Terenkapsulasi Aqua-Gel Silika Dengan Metode Kontiyu, Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008 Universitas Lampung. Septiany, I ., 2008, Pemanfaatan Biomassa Rhizoma Lamun Thalassia hemprichii Yang Terdapat Di Pulau Barang Lompo Sebagai Biosorben Ion Cu(II), Skripsi tidak diterbitkan, Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Hasanuddin, Makassar. Silverstein, R.M., Webster, F.X., Kiemle ,D.J., Spectrometric identification of organic compounds, Jhon wiley and sons, inc, New York. Shah, B.S., 2008, Study of Heavy Metal Accumulation in Scleratinian Coral of Viti Levu, Fiji Islands, School of Biological, Chemical and Environmental Sciences Faculty of Science and Technology, Fiji Island, Noumea Cedex New Caledonia. Soeprijanto., dkk, 2009 Biosorpsi Ion Logam Berat Cu(II) dalam Larutan Menggunakan Biomassa Phanerochaete chrysosporium Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya Suhendrayatna, 2001, Bioremoval Logam Berat Dengan Menggunakan Mikroorganisme : Suatu Kajian Kepustakaan (Heavy Metal Bioremoval By Microorganisms: A Literature Study, makalah tidak diterbitkan,(http://wwwstd.ryu.titech.ac.jp/~indonesia/zoa/paper/html/papersuhendryatna.htmldiakses. Svehla, G., 1990 , Vogel: Buku Teks Analisis Anorganik Kualitatif Makro dan Semimikro Bagian I. PT Kalman Media Pusaka. Jakarta. Teker ,M ., dan Imamoglu , M ., 1998, Adsorption of Copper and Cadmium lons by Activated Carbon From Rice Hulls, Turk. J. Chem. 23: 185 - 191. Triani, L., 2006, Desorpsi Ion Logam Tembaga (II) dari Biomassa Chorella sp yang terimobilisasi dalam silica gel, Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Semarang, Semarang.
25. 26.
Veglio, F ., dan F. Beolchini. 1997. Removal of metals by biosorption: a review, Hydrometallurgy 44: 301 -316. Veron, J.E.N. 1995. Corals in space and time: biogeography and evolution of the Scleractinia. UNSW Press, Sydney, Australia: xiii + 321 pp