Anda di halaman 1dari 9

1.

Tonsil Tonsil merupakan suatu akumulasi dari limfonoduli permanen yang letaknya di bawah epitel yang telah terorganisir sebagai suatu organ. Pada tonsil terdapat epitel permukaan yang ditunjang oleh jaringan ikat retikuler dan kapsel jaringan ikat serta kriptus di dalamnya. Berdasarkan lokasinya, tonsil dibagi menjadi sebagai berikut : y y Tonsilla lingualis, terletak pada radix linguae. Tonsilla palatina (tonsil), terletak pada isthmus faucium antara arcus glossopalatinus dan arcus glossopharingicus. y y Tonsilla pharingica (adenoid), terletak pada dinding dorsal dari nasofaring. Tonsilla tubaria, terletak pada bagian lateral nasofaring di sekitar ostium tuba auditiva. y Plaques dari peyer (tonsil perut), terletak pada ileum.

Dari kelima macam tonsil tersebut, Tonsilla lingualis, Tonsilla palatina, Tonsilla pharingica, dan Tonsilla tubaria membentuk cincin jaringan limfe pada pintu masuk saluran nafas dan saluran pencernaan. Cincin ini dikenal dengan nama cincin waldeyer. Kumpulan jaringan ini melindungi anak terhadap infeksi melalui udara dan makanan. Jaringan limfe pada cincin waldeyer menjadi hipertrofi fisiologis pada masa kanak-kanak, adenoid pada umur 3 tahun dan tonsil pada umur 5 tahun dan kemudian menjadi atrofi pada masa pubertas. Jaringan limfoid pada cincin waldeyer berperan penting pada awal kehidupan, yaitu sebagai daya pertahanan local yang setiap saat berhubungan dengan agen dari luar (makan, minum, bernafas) dan sebagai surveilens imun. Fungsi ini didukung secara anatomis dimana didaerah faring terjadi tikungan jalannya material yang melewatinya disamping itu bentuknya tidak datar, sehingga terjadi turbulensi khususnya udara pernafasan. Dengan demikian kesempatan kontak berbagai agen yang ikut dalam proses fisiologis tersebut pada permukaan penyusun cincin waldeyer itu semakin besar.

2. Anatomi Tonsil Palatina Tonsil palatina dan adenoid (tonsil faringeal) merupakan bagian terpenting dari cincin waldeyer. Tonsil palatina adalah masa jaringan limfoid yang terletak di dalam fossa tonsil pada kedua sudut orofaring dan dibatasi oleh pilar anterior (otot palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Palatoglosus mempunyai origo seperti kipas dipermukaan oral palatum mole dan berakhir pada sisi lateral lidah. Palatofaringeus merupakan otot yang tersusun vertical dan di atas melekat pada palatum mole, tuba eustachius dan dasar tengkorak. Otot ini meluas ke bawah sampai ke dinding atas esophagus. Otot ini lebih penting daripada palatoglosus dan harus diperhatikan pada operasi tonsil agar tidak melukai otot ini. Kedua pilar bertemu diatas untuk bergabung dengan palatum mole. Di inferior akan berpisah dan memasuki jaringan pada dasar lidah dan leteral dinding faring. Adapun struktur yang terdapat disekitar tonsila palatina adalah : y y y y y y Anterior : arcus palatoglossus Posterior : arcus palatopharyngeus Superior : palatum mole Inferior Medial Lateral : 1/3 posterior lidah : ruang orofaring : kapsul dipisahkan oleh m. constrictor pharyngis superior oleh

jaringan areolar longgar. A. carotis interna terletak 2,5 cm di belakang dan lateral tonsila. Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 1030 kriptus yang meluas kedalam jaringan tonsil. Tonsil tidak mengisi seluruh fosa tonsilaris, daerah yang kosong di atasnya dikenal sebagai fossa supratonsilaris. Bagian luar tonsil terikat longgar pada muskulus konstriktor faring superior, sehingga tertekan setiap kali makan. Walaupun tonsil terletak di orofaring karena perkembangan yang berlebih tonsil dapat meluas ke arah nasofaring sehingga dapat menimbulkan insufisiensi velofaring atau obstruksi hidung walau jarang ditemukan. Arah perkembangan tonsil tersering adalah ke arah hipofaring, sehingga sering menyebabkan terjaganya anak saat tidur karena gangguan pada jalan nafas. Secara mikroskopik mengandung 3 unsur utama yaitu :

1) Jaringan ikat/trabekula sebagai rangka penunjang pembuluh darah, saraf dan limfa. 2) Folikel germinativum dan sebagai pusat pembentukan sel limfoid muda. 3) Jaringan interfolikuler yang terdiri dari jaringan limfoid dalam berbagai stadium. 3. Vaskularisasi dan Aliran Getah Bening Tonsil mendapat vaskularisasi dari cabang-cabang a. karotis eksterna yaitu: a. maksilaris eksterna (a. fasialis) yang mempunyai cabang a. tonsilaris dan a. palatina asenden, a. maksilaris interna dengan cabangnya yaitu a.palatina desenden, a. lingualis dengan cabangnya yaitu a. lingualis dorsal dan a. faringeal asenden. a. tonsilaris berjalan ke atas di bagian luar m. konstriktor superior dan memberikan cabang untuk tonsil dan palatum mole. Arteri palatina asenden, mengirim cabang-cabangnya melalui m. konstriktor posterior menuju tonsil. Arteri faringeal asenden juga memberikan cabangnya ke tonsil melalui bagian luar m. konstriktor superior. Arteri lingualis dorsal naik ke pangkal lidah dan mengirim cabangnya ke tonsil, plika anterior dan plika posterior. Arteri palatina desenden atau a. palatina posterior atau lesser palatina artery member vaskularisasi tonsil dan palatum mole dari atas dan membentuk anastomosis dengan a. palatina asenden. vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring. Aliran getah bening dari daerah tonsil menuju ke rangkaian getah bening servikal profunda (deep jugular node) bagian posterior di bawah m. sternokleidomastoideus. Selanjutnya ke kelenjar thoraks dan akhirnya menuju duktuli thorasikus. Infeksi dapat menuju ke semua bagian tubuh melalui perjalanan aliran getah bening. 4. Innervasi Inervasi tonsil bagian atas berasal dari serabut saraf v melalui ganglion sphenopalatina dan bagian bawah dari saraf glossofaringeus (N. IX). Pemotongan pada n. IX menyebabkan anastesia pada semua bagian tonsil. 5. Imunologi tonsil Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit, 0,1-0,2 % dari keseluruhan limfosit tubuh pada orang dewasa. Proporsi limfosit B dan T pada tonsil adalah 50%:50%, sedangkan di darah 55-57%:15-30%. Pada tonsil terdapat system imun kompleks yang terdiri atas sel M (sel membrane), makrofag, sel dendrite dan APCs (antigen presenting

cells) yang berperan dalam proses transportasi antigen ke sel limfosit sehingga terjadi sintesis immunoglobulin spesifik. Juga terdapat sel limfosit B, limfosit T, sel plasma dan sel pembawa IgG. Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu 1.) menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif; 2.) sebagai organ utama produksi antibody dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik. 6. Tonsillitis kronis Tonsillitis kronis adalah peradangan kronis yang mengenai seluruh jaringan tonsil yang umumnya didahului oleh suatu keradangan di bagian tubuh lain, seperti misalnya sinusitis, rhinitis, infeksi umum seperti morbili dan sebagainya. Tonsillitis berulang terutama terjadi pada anak-anak dan diantara serangan tidak jarang tonsil tampak sehat. Tapi tidak jarang keadaan tonsil diluar serangan membesar disertai dengan hiperemi ringan yang mengenai pilar anterior dan bila tonsil ditekan keluar detritus. 6.1. Etiologi dan Faktor Predisposisi Organisme penyebab tonsillitis kronis sama dengan tonsillitis akut yaitu beta hemolitikus streptokokus. Infeksi yang berulang-ulang bias menyebabkan terjadinya pembesaran tonsil melalui parenchyma atau degenerasi fibroid. Tetapi kadang-kadang kuman dapat berubah menjadi kuman golongan gram negative. Selain itu, yang harus menjadi perhatian adalah factor predisposisi timbulnya tonsillitis kronis adalah rangsangan menahun dari rokok, beberapa jenis makanan, hygine mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik dan pengobatan tonsillitis akut yang tidak adekuat. 6.2. Patologi Terjadinya proses peradangan yang berulang sehingga selain epitel mukosa juga jaringan limfoid mengalami pengikisan maka pada proses penyembuhan jaringan limfoid akan diganti oleh jaringan parut yang akan mengalami pengerutan sehingga kriptus menjadi lebar. Secara klinis, kriptus ini tampak diisi oleh detritus. Jika proses berjalan terus yang dapat menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan dengan

jaringan di sekitar fossa tonsilaris. Pada anak-anak proses ini dapat disertai dengan pembesaran kelenjar limfe submandibula. 6.3. Manifestasi klinik Pasien mengeluh ada penghalang/mengganjal di tenggorokan, tenggorokan terasa kering dan pernafasan berbau. Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak rata, kriptus membesar, dan kriptus berisi detritus. Gejala tonsillitis kronis menurut Mawson (1977), dibagi menjadi : 1.) gejala local, yang bervariasi dari rasa tidak enak di tenggorok, sakit tenggorok, sulit sampai sakit menelan, 2.) gejala sistemik, rasa tidak enak badan atau malaise, nyeri kepala, demam subfebris, nyeri otot dan persendian, 3.) gejala klinis tonsil dengan debris di kriptenya (tonsillitis folikularis kronis), udema atau hipertrofi tonsil (tonsillitis parenkimatosa kronis), tonsil fibrotic dan kecil (tonsillitis fibrotic kronis), plika tonsilaris anterior hiperemis dan pembengkakan kelenjar limfe regional. Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan mengukur jarak antara kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak permukaan medial kedua tonsil, maka gradasi pembesaran tonsil dapat dibagi menjadi : y y y y y TO : tonsil masuk di dalam fossa atau sudah diangkat T1 : <25% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring T2 : 25-50% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring T3 : 50-75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring T4 : > 75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk memperkuat diagnose tonsilofaringitis akut adalah pemeriksaan laboratorium meliputi : 1. Leukosit 2. Hemoglobin 3. Usap tonsil untuk pemeriksaan kultur bakteri dan tes sensitifitas.

6.4. Diagnosis Banding Diagnosis banding dari tonsillitis kronik adalah :

1. Penyakit-penyakit yang disertai dengan pembentukan pseudomembran yang menutupi tonsil (tonsillitis membranosa) a. Tonsillitis difteri Disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae. Tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman ini akan sakit. Keadaan ini tergantung pada titer antitoksin dalam darah. Titer antitoksin sebesar 0,03 sat/cc darah dapat dianggap cukup memberikan dasar imunitas. Gejalanya terbagi menjadi 3 golongan besar, umum, local dan gejala akibat eksotoksin. Gejala umum sama seperti gejala infeksi lain, yaitu demam subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat dan keluhan nyeri menelan. Gejala local yang tampak berupa tonsi membengkak ditutupi bercak putih kotor yang makin lama makin meluas dan membentuk pseudomembran yang melekat erat pada dasarnya sehingga bila diangkat akan mudah berdarah. Gejala akibat eksotoksin dapat menimbulkan kerusakan jaringan tubuh, misalnya pada jantung dapat terjadi miokarditis sampai dekompensasi kordis, pada saraf cranial dapat menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot pernafasan serta pada ginjal dapat menimbulkan albuminuria. b. Angina Plaut Vincent (Stomatitis ulseromembranosa) Gejala yang timbul adalah demam tinggi (39C), nyeri di mulut, gigi dan kepala, sakit tenggorok, badan lemah, gusi mudah berdarah dan hipersalivasi. Pada pemeriksaan tampak membrane putih keabuan di tonsil, uvula, dinding faring, gusi dan prosesus alveolaris. Mukosa mulut dan faring hiperemis. Mulut berbau (foetor ex ore) dan kelenjar submandibula membesar. c. Mononucleosis infeksiosa Terjadi tonsilofaringitis ulseromembranosa bilateral. Membrane semu yang menutup ulkus mudah diangkat tanpa timbul perdarahan, terdapat pembesaran kelenjar limfe leher, ketiak dan region inguinal. Gambaran darah khas yaitu terdapat leukosit mononucleosis dalam jumlah besar. Tanda khas yang lain adalah kesanggupan serum pasien untuk beraglutinasi terhadap sel darah merah domba (Reaksi Paul Bunnel).

2.

Penyakit Kronik Faring Granulomatus a. Faringitis Tuberkulosa Merupakan proses sekunder dari TBC paru. Keadaan umum pasien buruk karena anoreksi dan odinofagi. Pasien mengeluh nyeri hebat di tenggorok, nyeri di telinga (Otalgia) dan pembesaran kelenjar limfa leher. b. Faringitis Luetika Gambaran klinis tergantung dari stadium penyakit primer, sekunder atau tersier. Pada penyakit ini dapat terjadi ulserasi superficial yang sembuh disertai pembentukan jaringan ikat. Sekuele dari gumma bisa

mengakibatkan perforasi palatum mole dan pilar tonsil. c. Lepra Penyakit ini dapat menimbulkan nodul atau ulserasi pada faring kemudian menyembuh dan disertai dengan kehilangan jaringan yang luas dan timbulnya jaringan ikat. d. Aktinomikosis Faring Terjadi akibat pembengkakan mukosa yang tidak luas, tidak nyeri, bisa mengalami ulserasi dan proses supuratif. Blastomikosis dapat

mengakibatkan ulserasi faring yang ireguler, superficial, dengan dasar jaringan granulasi yang lunak. Penyakit-penyakit diatas, keluhan umumnya berhubungan dengan nyeri tenggorok dan kesulitan menelan. Diagnosa pasti berdasarkan pada pemeriksaan serologi, hapusan jaringan atau kultur, X-ray dan biopsy. 6.5. Penatalaksanaan Pengobatan pasti untuk tonsillitis kronis adalah pembedahan dengan

pengangkatan tonsil. Tindakan ini dilakukan pada kasus-kasus dimana penatalaksanaan medis atau yang konservatif gagal untuk meringankan gejala-gejala. Penatalaksanaan medis termasuk pemberian penisilin yang lama, irigasi tenggorokan sehari-hari dan usaha untuk membersihkan kripte tonsil dengan alat irigasi gigi (oral). Ukuran jaringan tonsil tidak mempunyai hubungan dengan infeksi kronis maupun berulang.

Indikasi tonsilektomi menurut American Academy of Otolaryngology Head and Neck Surgery Clinical Indicators Compendium tahun 1995 menetapkan : 1. Serangan tonsillitis lebih dari 3 kali pertahun walaupun telah mendapatkan terapi yang adekuat. 2. Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan gangguan pertumbuhan orofacial. 3. Sumbatan jalan nafas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan jalan nafas, sleep apneu, gangguan menelan, gangguan berbicara, dan cor pulmonale. 4. Rhinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang tidak hilang dengan pengobatan. 5. Nafas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan. 6. Tonsillitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grub A streptokokus beta hemolitikus. 7. Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan. 8. Otitis media efusi atau otitis media supuratif.

6.6. Komplikasi Komplikasi tonsillitis kronis meliputi komplikasi local dan sistemik. a. Komplikasi Lokal y y y y y Peritonsilitis Abses pertonsiler (Quinsy) Abses Parafaringeal Kista tonsil Tonsilolith

b. Komplikasi Sistemik yang dapat menyebar secara hematogen dan limfogen. y y y y y y Demam reumatik dan penyakit jantung reumatik Glomerulonefritisarthritis Nefritis Iridosiklitis Dermatitis Pruritus

y y

Urtikaria Furunkulosis

Anda mungkin juga menyukai