Anda di halaman 1dari 5

PENYAKIT DEFISIENSI MINERAL PADA TERNAK RUMINANSIA DAN UPAYA PENCEGAHANNYA

Darmono
Balai Besar Penelitian Veteriner, Jalan R.E. Martadinata No. 30, Bogor 16114

ABSTRAK
Unsur mineral esensial baik makro maupun mikro sangat dibutuhkan untuk proses fisiologis ternak, terutama ternak ruminansia yang hampir seluruh hidupnya bergantung pada pakan hijauan. Hijauan pakan ternak yang tumbuh di tanah yang miskin unsur mineral akan berkurang kandungan mineralnya, terutama jenis rumput. Akibatnya ternak yang hidup di daerah tersebut akan mengalami penyakit yang disebut penyakit defisiensi mineral. Penyakit ini dapat mengakibatkan penurunan bobot badan, kekurusan, serta penurunan daya tahan tubuh, daya produksi dan reproduksi. Kasus penyakit defisiensi mineral terutama ditemukan pada ternak di daerah kering beriklim kering, daerah yang sebagian besar tanahnya berpasir dan daerah lahan gambut, dan biasanya dimiliki oleh peternak kecil. Oleh karena itu, ternak di daerah tersebut kurang berkembang baik kualitas maupun kuantitasnya, seperti yang terjadi di daerah transmigrasi Kalimantan Tengah dan daerah pesisir Kalimantan Selatan. Pencegahan penyakit defisiensi mineral dapat dilakukan dengan pemberian pakan tambahan yang berupa mineral blok atau pakan konsentrat yang mengandung mineral yang mencukupi untuk memenuhi kebutuhan fisiologis ternak. Kata kunci: Ruminansia, pakan, mineral, defisiensi

ABSTRACT
Mineral deficiency disease in ruminants and its prevention Essential elements such as micro- and macrominerals have an important role in physiological processes in animals, especially for ruminants which are usually grassing in the field. Green grasses and plants for animals feed that grow in infertile land (lack of trace elements) generally have low mineral contents. As a consequence, animals that live in this area will suffer from mineral deficiency disease. The animals will be thin, sick and decrease their body weight and production and reproduction capability. Mineral deficiency disease has been reported in livestock in dry area, sandy and peat land and usually belong to the small farmers. Therefore, the quantity and quality of animals in this area is low as reported in Central Kalimantan and south coast of Kalimantan. These problems can be solved by feeding the livestock with feed suplemens on block minerals that contain sufficient mineral for the animals. Keywords: Ruminants, feed, minerals, deficiency

nsur mineral sangat penting dalam proses fisiologis baik hewan maupun manusia. Unsur mineral esensial makro seperti Ca, Mg, Na, K, dan P diperlukan untuk menyusun struktur tubuh seperti tulang dan gigi, sedangkan unsur mikro seperti Fe, Cu, Zn, Mo, dan I berfungsi untuk aktivitas sistem enzim dan hormon dalam tubuh. Kasus penyakit defisiensi unsur mineral esensial pada ternak telah dilaporkan baik di Jawa (Sutrisno et al. 1983) maupun luar Jawa (Darmono dan Stoltz 1988; Darmono dan Bahri 1989). Kasus defisiensi mineral juga dilaporkan di beberapa negara Afrika (Damir et al. 1988) dan Eropa (Sas 1989). 104

IkIim dan kondisi lingkungan sangat berpengaruh terhadap ketersediaan mineral dalam pakan hijauan. Di daerah yang kering dengan curah hujan rendah, kandungan mineral dalam pakan ternak pada musim kemarau lebih rendah dibandingkan pada musim hujan (Prabowo et al. 1984). Kondisi tanah yang asam atau berpasir akan melarutkan unsur mineral masuk ke dalam lapisan tanah yang lebih dalam, sehingga tanah menjadi miskin unsur hara termasuk mineral. Akibatnya, kandungan mineral pada tanaman pakan ternak ruminansia yang tumbuh di daerah tersebut juga rendah. Bila hijauan tersebut dikonsumsi oleh ternak ruminansia (sapi, kerbau, kambing, dan domba) maka ternak

akan mengalami penyakit yang disebut penyakit defisiensi mineral. Penyakit ini dapat mengakibatkan penurunan bobot badan, kekurusan, serta penurunan daya produksi dan reproduksi. Secara alami, mineral esensial makro dan mikro terdapat dalam tanaman hijauan atau rumput pakan ternak. Pertanyaannya adalah cukupkah kandungan mineral tersebut memenuhi kebutuhan fisiologi ternak. Kandungan mineral dalam hijauan pakan dan rumput ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu jenis tanah, kondisi tanah, jenis tanaman, dan adanya mineral lain yang memiliki efek antagonis terhadap mineral tertentu yang dibutuhkan oleh ternak.
Jurnal Litbang Pertanian, 26(3), 2007

Pada tulisan ini akan diuraikan potensi terjadinya penyakil defisiensi mineral pada ternak ruminansia dan upaya pencegahannya. Tujuannya adalah agar para peternak yang memberi pakan ternaknya hanya rumput atau pakan hijauan menyadari bahwa pakan hijauan saja tidak akan mencukupi untuk mendapatkan ternak yang sehat dan berproduksi optimal.

PERAN MINERAL DALAM PROSES FISIOLOGIS TERNAK


Seperti unsur nutrisi pada manusia, mineral berperan penting dalam proses fisiologis ternak, baik untuk pertumbuhan maupun pemeliharaan kesehatan. Beberapa unsur mineral berperan penting dalam penyusunan struktur tubuh, baik untuk perkembangan jaringan keras seperti tulang dan gigi maupun jaringan lunak seperti hati, ginjal, dan otak. Unsur mineral makro seperi Ca, P, Mg, Na, dan K berperan penting dalam aktivitas fisiologis dan metabolisme tubuh, sedangkan unsur mineral mikro seperti besi (Fe), tembaga (Cu), seng (Zn), mangan (Mn), dan kobalt (Co) diperlukan dalam sistem enzim (McDowell 1985). Zat besi (Fe) dalam tubuh biasanya berikatan dengan protein dan ikatan Fe-S, menjadi residu sistein dalam protein ferodoksin dari bakteri dan tanaman. Dalam tubuh, sebagian Fe digunakan untuk proses metabolisme dan sebagian disimpan sebagai cadangan. Fe yang digunakan dalam proses metabolisme enzimatis dalam hemoglobin sekitar 55% dan dalam mioglobin 15%. Unsur Fe yang disimpan sebagai cadangan berbentuk feritin, yaitu protein kompleks yang mudah larut, sekitar 7080%, dan sebagai hemosiderin yang merupakan protein kompleks tidak mudah larut. Kedua bentuk ikatan Fe tersebut disimpan dalam organ hati, sumsum tulang, limpa, dan otot skeletal. Bila keseimbangan konsentrasi Fe dalam tubuh terganggu (Gambar 1) maka kandungan Fe pada lokasi penyimpanan, sebelum Fe digunakan dalam metabolisme, menurun (King 2006). Beberapa ikatan penting dari Fe pada sistem fisiologis ternak adalah sebagian Fe dalam tubuh terikat erat dengan protein lain, yang mengangkut Fe ke dalam jaringan dan menyimpannya sebagai bentuk ion Fe (III) yang stabil dan tidak terhidroksida. Bentuk Fe transferin berada dalam protein
Jurnal Litbang Pertanian, 26(3), 2007

Gambar 1. Gambaran sumsum tulang ternak sapi pada defisiensi Fe (kiri) dan sumsum tulang normal yang masih mengandung Fe, terlihat warna biru pada pewarnaan Prussian blue (kanan) (King 2006).

darah dan mempunyai dua ikatan kuat dalam bentuk Fe (III), terdiri atas dua kelompok (tirosinat dan fenolat) di mana bila tempat ikatan tersebut mengikat Fe (II) maka ikatannya menjadi lemah. Transferin merupakan kelompok gliko-protein yang termasuk laktoferin (dalam air susu), konalbumin atau ovotransferin (dalam putih telur) dan transferin serum, di mana semua protein tersebut mengikat Fe (Brown et al. 2004). Tembaga (Cu) sangat penting dalam proses metabolisme energi dalam sel, sistem transmisi impuls saraf, sistem kardiovaskuler, dan sistem kekebalan. Cu juga berperan penting dalam proses metabolisme estrogen yang diperlukan untuk menjaga kesuburan ternak betina dan proses kehamilan. Mineral esensial lainnya yaitu Zn diperlukan dalam sistem enzim sebagai metaloenzim. Lebih dari 100 jenis metaloenzim mengikat Zn, termasuk enzim nicotinamid adenine dinucleotid dehydrogenase (NADH), RNA dan DNA polymerase, alkalin fosfatase, superoksid dismutase , dan carbonic anhidrase (Hougland et al. 2005). Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa semua mineral esensial, baik mikro maupun makro, sangat penting untuk kehidupan ternak. Kekurangan salah satu atau lebih mineral tersebut akan mengganggu sistem fisiologis ternak dan menyebabkan penyakit yang disebut defisiensi mineral. Fe dan Cu mempunyai sifat yang sama dalam sistem pembentukan darah, yaitu Fe sebagai pembentuk hemoglobin dan Cu sebagai pembentuk seruloplasmin. Bila ternak mengalami defisiensi Fe maka absorpsi Cu dan Pb, yang merupakan mineral non-esensial, meningkat sehingga

ternak akan mengalami gejala toksisitas Cu atau Pb (Chung et al. 2004).

PENYAKIT DEFISIENSI MINERAL


Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya penyakit defisiensi mineral, dan hal tersebut berkaitan erat dengan sistem pemeliharaan. Ternak sapi atau kambing banyak yang dipelihara dengan dilepas di padang penggembalaan. Pada pagi hari ternak dilepas ke padang rumput dan pada sore hari dimasukkan ke dalam kandang. Pakan yang diberikan kepada ternak hanya seadanya. Dalam kondisi seperti itu, kualitas nutrisi pakan sangat bergantung pada rumput dan hijauan yang tumbuh di padang penggembalaan. Gartenberg et al. (1990) melaporkan bahwa bila tanah tempat hijauan tersebut tumbuh miskin unsur mineral maka ternak yang mengkonsumsi hijauan tersebut akan menunjukkan gejala penyakit defisiensi mineral. Gejala awal berupa penurunan reproduksi sekitar 2075%, retensi plasenta, anak yang lahir menjadi lemah, dan angka kematian anak tinggi. Penyakit lain yang timbul adalah pneumonia, diare, stomatitis, anoreksia, dan penurunan produksi susu pada sapi perah. Gejala lain yang lebih parah ialah patah tulang, kulit kering dan bersisik, serta kekurusan yang hebat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyakit defisiensi mineral disebabkan oleh faktor kondisi tanah dan jenis tanaman. Pada tanah berpasir yang sangat miskin unsur mineral, kondisi tanah yang dipupuk, tidak dipupuk, dan ditanami terus-menerus akan mempengaruhi kan105

dungan mineral tanaman yang tumbuh di tanah tersebut (Soepardi 1982). Tingkat kemasaman (pH) tanah juga mempengaruhi kandungan hara. Pada tanah alkalis dengan pH 8 akan terjadi defisiensi Fe, Mn, dan Zn, sebaliknya pada pH 5 terjadi defisiensi Cu (Gartenberg et al. 1990). Hadirnya mineral lain yang berinteraksi dengan mineral esensial juga mengakibatkan berkurangnya ketersediaan mineral esensial. Pada kondisi tanah masam (pH sekitar 5), kandungan molibdenum (Mo) dan selenium (Se) cukup tinggi, tetapi kadar Cu sangat rendah sehingga tanaman hijauan pakan yang tumbuh di tanah tersebut menjadi kekurangan Cu. Bila hijauan tersebut dikonsumsi ternak maka ternak akan menderita penyakit defisiensi Cu (Gartenberg et al. 1990). Berdasarkan informasi di atas dapat dinyatakan bahwa kecukupan mineral secara alami sangat bergantung pada kondisi daerah tempat ternak dipelihara dan pakan yang cukup mengandung mineral. Bila ternak dipelihara secara tradisional dengan digembalakan dan hanya memperoleh pakan dari padang rumput maka ketersediaan mineral dalam tanah dan rumput pakan ternak perlu diperhatikan. Pemberian mineral tambahan pada ternak ruminansia yang hidup di daerah yang tanahnya miskin unsur mineral perlu dilakukan. Tanaman legume mempunyai kandungan mineral yang cukup tinggi (Prabowo et al. 1984; Montalvo et al. 1987; Harricharan et al. 1988). Beberapa spesies rumput seperti Brachiaria humidicola mengandung Fe sampai 48% atau 480.766 mg/kg bobot kering (Mansjur et al. 2006), dan kandungan tersebut bervariasi bergantung pada interval pemotongan. Penyakit defisiensi mineral terutama diakibatkan oleh kurangnya kandungan mineral tertentu pada pakan ternak, tetapi tidak menutup kemungkinan akibat terjadinya interaksi unsur-unsur mineral dalam pakan tersebut. Timbulnya penyakit juga disebabkan oleh kondisi daerah, yaitu lahan kering marginal dengan curah hujan rendah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada daerah yang kering dengan curah hujan rendah, kandungan mineral dalam tanah dan tanaman umumnya sangat rendah (Soepardi 1982; Prabowo et al. 1984). Dengan demikian, penyakit

defisiensi mineral pada ternak ruminansia bervariasi, bergantung pada kondisi daerah dan jenis pakan yang dikonsumsi ternak. Namun, hasil penelitian menunjukkan bahwa defisiensi Cu adalah yang paling sering ditemukan (Stoltz et al. 1985). Di daerah Yogyakarta dan Gunung Kidul, kandungan mineral iodium dalam tanah dalam status rendah dan hal itu menyebabkan kandungan hormon triiodo tironin pada kambing di daerah tersebut lebih rendah dibandingkan dengan di daerah lain (Bahri dan Suwarsono 1986). Kondisi demikian selanjutnya akan menghambat pertumbuhan ternak. Perkembangbiakan ternak ruminansia di Indonesia masih memprihatinkan, seperti di beberapa daerah di Kalimantan, Sumatera, dan daerah marginal lainnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran nutrisi mineral sangat penting pada sapi karena dapat menyebabkan infertilitas pada ternak yang bersangkutan. Ternak sapi di beberapa daerah transmigrasi Kalimantan menunjukkan gejala lambat berkembang, pertumbuhan ternak sangat buruk, ternak menjadi kurus, mandul bahkan mati. Setelah dilakukan pemeriksaan darah, pada sekitar 47% ternak ditemukan kandungan Cu dan Zn di bawah normal (< 0,50 g Cu/ml dan < 0,4 0 g Zn/ml) (Darmono dan Bahri 1989), 41,70% memiliki kandungan mineral Ca di bawah normal (< 8 mg/100 ml), 59% rasio Na/K dalam saliva < 1 (Darmono dan Bahri 1990a ). Di beberapa daerah di Jawa terutama pesisir pantai utara Jawa Tengah dan Jawa Timur, kandungan Zn dalam tanah rendah (Soepardi 1982). Di Cirebon, kandungan unsur P dan Na pada tanaman pakan pada musim kemarau sangat rendah (Prabowo et al. 1984). Dari hasil penelitian tersebut terlihat bahwa penyakit defisiensi mineral pada ternak ruminansia merupakan salah satu pennghambat perkembangan ternak di beberapa lokasi di Indonesia. Oleh karena itu, upaya penanggulangan penyakit tersebut adalah dengan pemberian mineral tambahan pada pakan, baik dalam bentuk konsentrat maupun mineral blok. Namun sebelum dilakukan pemberian pakan tambahan, perlu dievaluasi terlebih dahulu kandungan mineral dalam tubuh ternak (serum) dan pakan tambahan yang akan diberikan, agar pemberian mineral tersebut sesuai dengan yang dibutuhkan ternak.

STATUS MINERAL PADA TERNAK RUMINANSIA DI INDONESIA


Kasus penyakit defisiensi mineral dapat didiagnosis berdasarkan gejala yang terlihat, seperti kekurusan, hilang nafsu makan, kemandulan, dan keguguran pada ternak yang bunting. Penyakit tersebut terjadi secara kronis, sehingga untuk memastikan diagnosis perlu dilakukan pemeriksaan kandungan mineral dalam darah agar penyakitnya dapat diketahui lebih awal. Hasil penelitian pada ternak domba di Cirebon menunjukkan, pada akhir musim kemarau, 30% ternak memiliki kandungan Ca dalam darah di bawah normal atau defisien (< 8 mg/dl), dan untuk P (< 4 mg/ dl) ada 30%, Mg (1,80 mg/dl) 4%, dan Cu (< 0,05mg/dl) 39%. Pada pengambilan serum pada pertengahan musim hujan, domba yang mengalami defisiensi mineral tersebut menurun drastis hingga 0% untuk mineral P dan Mg. Hal tersebut menunjukkan bahwa defisiensi mineral pada domba di Cirebon umumnya terjadi pada musim kemarau (Darmono 1989a). Status mineral pada sapi telah banyak dilaporkan. Di beberapa daerah transmigrasi Kalimantan, kondisi sapi cukup memprihatinkan dan status mineralnya mengalami defisiensi. Namun di beberapa daerah lain di Kalimantan menunjukkan hal yang sebaliknya, karena meningkatnya perkembangbiakan ternak sapi yang dikirim dari Jawa yang status mineralnya lebih baik (Darmono dan Bahri 1990b). Kedua daerah tersebut memiliki kondisi tanah yang sangat berbeda. Pada daerah yang mengalami defisiensi, tanahnya berpasir sehingga tanaman yang tumbuh di atasnya tidak dapat menyerap unsur mineral karena mineral langsung merembes ke dalam tanah yang lebih dalam. Akibatnya, tanaman yang tumbuh di atasnya miskin akan unsur mineral.

USAHA MENGATASI PENYAKIT DEFISIENSI MINERAL


Pengobatan penyakit defisiensi mineral dapat dilakukan dengan penambahan mineral dalam pakan serta mengurangi

106

Jurnal Litbang Pertanian, 26(3), 2007

interaksi antara unsur nutrisi lain dengan unsur nutrisi mineral. Untuk mencegah interaksi tersebut perlu dilakukan diagnosis kandungan mineral darah pada ternak (Tabel 1). Di samping itu, perlu diketahui kandungan mineral dalam pakan. Tabel 2 dan 3 menyajikan jumlah pemberian mineral tambahan untuk pencegahan penyakit defisiensi mineral pada ternak. Secara fisiologis, kandungan normal suatu mineral dalam serum adalah konstan, misalnya kandungan Ca dalam serum normal sapi adalah 8 12 mg%. Bila kandungannya berada di bawah 8 mg% maka sapi akan mengalami defisiensi Ca. Walaupun gejala kekurangan Ca belum terlihat, pemberian mineral tambahan perlu segera dilakukan. Hal demikian berlaku untuk mineral esensial lainnya (Tabel 1). Pemberian mineral tambahan berupa konsentrat maupun mineral blok dilakukan dengan takaran dua kali dari pemberian pada ternak normal (McDowell 1985). Pemberian pakan tambahan yang mengandung mineral yang cukup untuk ternak ruminansia telah banyak dilakukan (Prabowo et al. 1984; Little 1986). Di samping itu juga telah diproduksi pakan berbentuk blok yang mengandung mineral (Tabel 2 dan 3), tetapi kandungan mineralnya bervariasi dan bahkan beberapa jenis mineral tidak mencukupi kebutuhan fisiologis ternak (Darmono 1989b). Kandungan mineral dalam pakan maupun dalam darah dianalisis dengan menggunakan spektrofotometer serapan atom (SSA). Dengan demikian, pembuatan pakan tambahan baik berupa mineral blok maupun konsentrat perlu memperhatikan kebutuhan ternak, yaitu untuk ternak normal atau ternak defisiensi. Tabel 2 dan 3 memperlihatkan bahwa kandungan mineral pakan tambahan blok A dan B kurang sesuai dengan kebutuhan ternak ruminansia. Hal tersebut mungkin disebabkan produsen pakan tidak melakukan analisis mineral setelah pakan tersebut dibuat serta tidak melakukan pemantauan kondisi ternak yang akan diberi pakan mineral tambahan tersebut. Pemberian mineral blok pada sapi dapat meningkatkan bobot badan sampai 370 g/hari dibanding ternak kontrol yang hanya meningkat 203 g/hari. Pada domba, bobot badan ternak yang diberi mineral blok meningkat 95 g/hari dan yang tidak diberi mineral blok hanya 73 g/hari. Di samping itu, ternak yang mendapat mineral blok lebih sehat daripada ternak kontrol (Liu et al. 1995).
Jurnal Litbang Pertanian, 26(3), 2007

Tabel 1. Kebutuhan mineral sapi per hari pada kondisi normal dan kondisi defisiensi.
Mineral dalam pakan Ca (g/kg) Mg (g/kg) P (g/kg) Cu (mg/kg) Zn (mg/kg) Kandungan dalam darah normal (mg/100 ml) 8 12 1,80 3,10 0,40 0,60 0,06 0,08 Pemberian pakan kondisi normal 15 0,40 10 5 25 Kandungan dalam darah defisiensi (mg/100 ml) < < < < < 8 1,80 0,40 0,05 0,04 Pemberian pakan kondisi defisiensi 30 0,80 20 10 50

Sumber: McDowell (1985).

Tabel 2. Kandungan beberapa mineral dalam blok A (mineral + molases + phenotiazin) dan hasil analisis di laboratorium.
Mineral Konsentrasi (label) (mg/kg) 19.660 7.200 5.670 15.000 100 Konsentrasi (mg/kg berat basah) Analisis lab. rata-rata (n=15) 246.446 13.733 1.310 10.151 86 51 Keperluan % dari diet diet/hari tersedia dalam blok 1.400 4.300 2.400 1.500 5 35 123,20 22,30 3,80 47,40 120 10,20

Na Ca P Mg Cu Zn

Sumber: Darmono (1989b).

Tabel 3. Kandungan beberapa mineral dalam blok B (mineral + konsentrat) dan hasil analisis di laboratorium.
Mineral Konsentrasi (label) (mg/kg) 24.000 270.000 189.000 12.000 357 357 Konsentrasi (mg/kg berat basah) Analisis lab. rata-rata (n=15) 300 80.000 18.600 3.200 90 8 Keperluan diet/hari 1.400 4.300 2.400 1.500 5 35 % dari diet tersedia dalam blok 15 130 54,20 14,90 126 1,60

Na Ca P Mg Cu Zn

Sumber: Darmono (1989b).

KESIMPULAN DAN SARAN


Penyakit defisiensi mineral pada ternak ruminansia, baik ruminansia kecil maupun ruminansia besar, merupakan salah satu kendala dalam pengembangan ternak di Indonesia. Penyakit tersebut terjadi terutama pada daerah marginal atau lahan kering dengan curah hujan rendah. Pemberian mineral tambahan untuk pengobatan penyakit defisiensi mineral perlu mempertimbangkan unsur mineral yang kurang berdasarkan hasil pemeriksaan serum darah ternak. Dengan diketahuinya mineral yang kurang maka pemberian jenis mineral dalam pakan

tambahan akan sesuai dengan yang dibutuhkan ternak. Penambahan jumlah mineral dalam konsentrat maupun mineral blok perlu disesuaikan dengan tujuan, yaitu untuk ternak normal atau ternak yang mengalami penyakit defisiensi mineral. Untuk mencegah timbulnya penyakit defisiensi mineral, disarankan dapat dilakukan pemetaan daerah marginal yang berpotensi menyebabkan terjadinya kandungan mineral yang rendah dalam tanaman pakan ternak. Selanjutnya dilakukan identifikasi jenis mineral yang defisien dan pemberian mineral tambahan sesuai dengan jenis mineral yang dibutuhkan ternak. 107

DAFTAR PUSTAKA
Bahri, S. dan Suwarsono. 1986. Kadar hormone tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3) kambing di daerah kekurangan iodium. Penyakit Hewan 18(31): 68 70. Brown, J.X., P.D Buckett, and M. WesslingResnick. 2004. Identification of small molecule inhibitors that distinguish between non-transferrin bound iron uptake and transferrin-mediated iron transport. Chem. Biol. 11: 407416. Chung, J., D.J. Haile, and M. Wessling-Resnick. 2004. Ferroportin-l is not upregulated in copper-deficient mice. J. Nutr. 134: 517 521. Damir, H.A., M.E.S. Barri, S.M. El Hassan, M.H. Tageldin, A. Wahbi, and O.F. Idris. 1988. Clinical zinc and copper deficiencies in cattle of Western Sudan. Trop. Anim. Hlth. Prod. 20: 52 56. Darmono. 1989a. Status mineral pada domba di Cirebon dan hubungannya dengan penyakit defisiensi. Bulletin Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada (2): 16 18. Darmono. 1989b. Kandungan mineral pada pakan tambahan untuk mencegah penyakit defisiensi pada ternak ruminansia. Bulletin Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada. 9(2): 1315. Darmono and D.R. Stoltz. 1988. Potential mineral deficiency diseases of Indonesian ruminant livestock: zink. Penyakit Hewan. 20(35): 42 46. Darmono dan S. Bahri. 1989. Status beberapa mineral makro (Na, K, Ca, Mg, dan P) dalam saliva dan serum sapi di Kalimantan Selatan. Penyakit Hewan 22(40): 138 142. Darmono dan S. Bahri. 1990a. Defisiensi tembaga dan seng pada sapi di daerah transmigrasi Kalimantan Selatan. Penyakit Hewan 21 (39): 121 126. Darmono dan S. Bahri. 1990b. Defisiensi mineral pada ternak ruminansia di Indonesia: natrium. Penyakit Hewan 22(40): 128132. Gartenberg, P.K., L.R. McDowell, D. Rodriguez, N. Wilkiinson, J.H. Conrad, and F.G. Martin. 1990. Evaluation of trace mineral status of ruminants in northeast Mexico. Livestock Res. For Rural Development 3(2): 16. Harricharan, H., J. Morris, and C. Devers. 1988. Mineral content of some tropical forage legumes. Trop. Agric. (Trinidad) 65(2): 132 136. Hougland, J.L., A.V. Kravchuk, D. Herschlag, and J.A. Piccirilli. 2005. Functional identification of catalytic metal ion binding sites within RNA. PLoS Biol. 3(9): e277. King, M.W. 2006. Clinical aspect of iron metabolism. J. Med. Biochem. 15(9): 14. Little, D.A. 1986. The mineral content of ruminant feeds and the potential of mineral supplementation in South East Asia with particular reference to Indonesia. p. 7786. In Dixon (Ed.). Ruminant Feeding Fibrous Agriculture Residues. Res. Network, Canberra, Australia, Liu, J.X., Y.M. Wu, X.M. Dai, J. Yao, Y.Y. Zhou, and Y.J. Chen. 1995. The effecs of ureamineral blocks on the liveweight gain of local yellow cattle and goats in grazing conditions. Livestock Res. For Rural Development 7(2): 1 7. Mansjur, H. Djuned, T. Dhalika, dan L. Abdullah. 2006. Konsentrasi K, Mg, dan Fe hijauan rumput Brachiaria humidicola (Rende Schweich) pada metode penanaman dan berbagai interval pemotongan. Jurnal Produksi Ternak 8: 3443. McDowell, L.R. 1985. Nutrition of Grazing Ruminants in Warm Climates. Academic Press, Inc. Orlando, Florida. 756 pp. Montalvo, M.I., J.V. Veiga, L.R. McDowell, WR. Acumpaugh, and G.O. Mott. 1987. Mineral content of drawf Penisetium purpureum under grazing conditions. Nut. Rep. Int. 35(1): 157 169. Prabowo, A., J.E. Van Eys, I.W. Matheus, M. Rangkuti, and W.L. Johnson. 1984. Studies on the mineral nutrition on sheep in West Java. Balai Penelitian Ternak, Bogor. 25 pp. Sas, B. 1989. Secondary copper deficiency in cattle by molybdenum contamination of fodder: a case history. Vet. Hum. Toxicol. 31(1): 29 33. Soepardi, G. 1982. The zinc status in Indonesian agriculture. Contr. Centr. Res. Inst. Food Crops, Bogor. No. 68: 1031. Stoltz, D.R, Darmono, Ismawan, Gunawan, dan R.B. Marshall. 1985. Bovine copper deficiency in Indonesia. Proc. 3 rd Animal Science Congress. Asian-Australian Assoc. Animal Prod. Soc. Seoul I: 531533. Sutrisno, C.I., T. Sutardi, dan H.S. Sulistyono. 1983. Status mineral sapi potong di Jawa Tengah. Prosiding Pertemuan Ilmiah Ruminansia Besar. hlm. 4550.

108

Jurnal Litbang Pertanian, 26(3), 2007

Anda mungkin juga menyukai