Anda di halaman 1dari 12

A.

RASIONAL Landasan hukum pendidikan merupakan asumsi-asumsi yang bersumber dari peraturan perundangan yang dijadikan titik tolak dalam pendidikan. (Syaripudin, 2012: 10). Mastur (2010) mengartikan landasan hukum pendidikan sebagai seperangkat konsep peraturan perundang-undangan yang berlaku yang menjadi titik tolak sistem pendidikan. Berdasarkan dua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa landasan hukum pendidikan merupakan dasar perundangundangan yang menjadi pijakan dan pegangan dalam pelaksanaan pendidikan di suatu negara. Landasan hukum pendidikan memiliki fungsi sebagai dasar pijakan atau titik tolak dalam pelaksanaan pendidikan. Syaripudin (2012: 13) menyebutkan fungsi landasan tersebut sebagai titik tolak atau acuan bagi para pendidik (guru) dalam rangka melaksanakan praktek pendidikan dan atau studi pendidikan. Oleh karena itu, landasan hukum pendidikan memiliki sifat mengikat setiap rakyat di dalamnya dalam menjalankan pendidikan. Karena memiliki sifat yang mengikat, maka pelaksanaan pendidikan harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan di dalam landasan hukum. Bagi para pelanggar akan mendapatkan sanksi tegas sesuai dengan ketentuan yang berlaku sehingga dalam pelaksanaan pendidikan dapat dihindari berbagai penyimpangan dalam pendidikan. Oleh karena itu, landasan hukum pendidikan juga memiliki kegunaan untuk menghindari terjadinya berbagai kesalahan, baik dalam rangka praktek pendidikan maupun dalam memahami dan membangun wawasan kependidikan serta memberikan sanksi bagi yang melanggar sesuai dengan peraturan yang berlaku. Landasan hukum pendidikan di Indonesia terdapat dalam Undang-Undang Dasar, peraturan perundang-undangan dan peraturan pemerintah. Salah satunya termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 sampai 5. Dalam pasal tersebut telah di atur hak dan kewajiban warga negara serta peran pemerintah dalam memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pendidikan di Indonesia diharapkan sesuai dengan landasan tersebut sehingga dalam pelaksanaannya tidak terjadi penyimpangan dan pelanggaran.

Kenyataannya, pendidikan di Indonesia masih belum sesuai dengan landasan tersebut. Hal ini karena selama ini telah terjadi berbagai penyimpangan dalam pelaksanaan pendidikan, antara lain: belum meratanya pendidikan di Indonesia, belum adanya sanksi yang tegas bagi masyarakat yang tidak melaksanakan pendidikan dasar, dan anggaran pendidikan 20% masih belum digunakan secara maksimal. Berangkat dari permasalahan tersebut, berikut ini akan dibahas mengenai pendidikan ideal sesuai landasan hukum pendidikan, kondisi pendidikan di Indonesia dan permasalahannya, serta solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut.

B. PENDIDIKAN YANG IDEAL Pendidikan yang ideal merupakan pendidikan yang merata bagi seluruh rakyat. Setiap warga miskin dan kaya mendapatkan hak yang sama dalam memperoleh pendidikan yang berkualitas. Pendidikan tidak hanya pada wilayah perkotaaan maupun pedesaan, namun merata sampai ke wilayah pelosok atau pedalaman. Sedangkan warga yang belum memiliki kesempatan dalam pendidikan memiliki hak untuk menuntut pemerintah (Pidarta, 2009). Selain warga negara memiliki hak dalam pendidikan juga memiliki kewajiban untuk mengikuti pendidikan dasar, yaitu wajib belajar dua belas tahun. Oleh karena itu, warga yang melanggar seharusnya mendapatkan sanksi tegas dari pemerintah. Sedangkan bagi masyarakat tidak atau kurang mampu dalam membiayai pendidikan menjadi tanggung jawab pemerintah untuk membiayai pendidikan mereka melalui beasiswa maupun bantuan operasional sekolah. Pendidikan yang ideal selain dapat memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada peserta didik, juga dapat meningkatkan keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan. Oleh karena itu, diperlukan peran serta pemerintah untuk mendukung pendidikan, seperti menyediakan fasilitas pendidikan dan tenaga pendidik secara merata di seluruh pelosok daerah. Selain itu, masyarakat juga ikut mendukung pelaksanaan pendidikan dengan ikut memberikan bimbingan dan motivasi kepada anak-anak didik di lingkungan keluarga dan masyarakat. Disamping itu, pendidikan yang ideal tidak terlepas dari kebutuhan dana. Oleh karena itu, dibutuhkan peran pemerintah untuk membiayai pendidikan di

Indonesia. Pemerintah bertanggung jawab atas pendanaan pendidikan dengan mengalokasikan anggaran pendidikan pada APBN maupun APBD. Pemerintah juga harus melakukan pengawasan terhadap penggunaan dana sehingga dapat dihindari penyimpangan penggunaan dana seperti terjadinya korupsi. Di samping itu, pemerintah memiliki peran dalam mendukung dan menyokong para akademis untuk dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan melakukan pengawasan terhadap akademika sehingga apa yang dihasilkan dalam pendidikan tidak menyimpang dari nilai-nilai budaya bangsa dan agama, seperti: membiayai pengembangan teknologi, memberikan beasiswa bagi siswa berprestasi, mendukung dan membiayai penemuan-penemuan baru para siswa atau mahasiswa.

C. KONDISI PENDIDIKAN DI INDONESIA Pendidikan di Indonesia belum merata. Terdapat banyak anak usia sekolah yang belum memperoleh pendidikan khususnya kelompok usia SMP dan SMA. Hal ini dapat dilihat dari APM maupun APK di tiap wilayah di Indonesia. APM merupakan persentase jumlah siswa pada jenjang pendidikan tertentu dibandingkan dengan penduduk kelompok usia sekolah. Idealnya semakin tinggi nilai atau mendekati 100% maka semakin baik pemerataan pendidikan. Berdasarkan tabel di atas diketahui, angka APM tingkat SD lebih besar dibanding tingkat SMP (65,67%) dan SMA (48,83%) sehingga disimpulkan pemerataan pendidikan di Indonesia masih rendah pada tingkat SMP dan SMA. Sesuai dengan amanat pada pasal 31 ayat 2 tentang kewajiban warga negara dalam mengikuti pendidikan dasar, pemerintah telah membuat ketentuan dalam pendidikan yang dikenal dengan pendidikan wajib belajar sembilan tahun. Namun, usaha tersebut belum mencapai target yang diharapkan karena belum adanya aturan tegas tentang penindakan bagi warga yang belum mengikuti pendidikan dasar. Hal ini karena tidak diimbangi dengan pemerataan fasilitas pendidikan di berbagai pelosok wilayah di Indonesia, sehingga warga yang berada pada daerah pinggiran atau pedalaman kesulitan dalam memperoleh pendidikan dasar, antara lain: kurang sarana gedung sekolah, jauhnya tempat sekolah dengan permukiman penduduk, dan biaya pendidikan yang mahal.

Salah satu pemanfaatan dana pendidikan 20% yaitu diberikan dalam bentuk dana BOS (Biaya Operasional Sekolah). Pada teknis pelaksanaannya pemerintah telah menetapkan kriteria-kriteria dan standar kelayakan bagi lembaga penerima serta membuat teknis pendistribusian dana. Karena beratnya standar dan persyaratan yang telah ditetapkan pemerintah, maka tindakan penyimpangan dan manipulasi pun terjadi. Hal itu sebagai upaya agar sekolah yang bersangkutan memperolah dana bantuan tersebut. Hal ini diperparah dengan pelaksanaan pemanfaatan dana, pihak-pihak yang telah menerima amanah sering melakukan tindakan dan kebijakan yang tidak sesuai ketentuan yang ditetapkan pemerintah, misalnya manipulasi atau penyimpangan penggunaan dana.

D. PERMASALAHAN PENDIDIKAN DI INDONESIA Berdasarkan perbandingan antara kondisi ideal pendidikan dan kondisi pendidikan di Indonesia ditemukan beberapa. Permasalahan tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Pendidikan Di Indonesia Belum Merata Belum meratanya pendidikan di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: 1) sarana pendidikan dan guru belum merata di seluruh wilayah Indonesia, 2) adanya perbedaan tingkat ekonomi masyarakat, dan 3) adanya perbedaan pendidikan kota dan desa. Sarana pendidikan yang belum merata disebabkan oleh pembangunan sekolah masih terkonsentrasi di wilayah perkotaan dan desa yang telah maju, sedikit dari wilayah terpencil yang memulai pembangunan sekolah. Hal ini dikarenakan pemerintah kurang memperhatikan daerah-daerah yang jauh dari kota. Tidak adanya kebijakan bersama juga mempersulit dalam hal pembangunan pendidikan. Selain itu, pemerataan tenaga pendidik juga belum berjalan dengan baik. Sekolah yang berada di daerah terpencil pada umumnya memiliki kualitas sarana fisik yang rendah. Misalnya: kondisi gedung yang rusak, tidak memiliki laboratorium, gedung perpustakaan, dan sarana teknologi informasi yang kurang memadai, bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri.

Perbedaan tingkat ekonomi masyarakat menyebabkan hanya siswa dari keluarga mampu yang dapat masuk ke sekolah favorit. Pendidikan sekolah favorit yang dibiayai oleh anggaran negara dengan fasilitas penunjang yang lengkap, membuat biaya pendidikan di sekolah mahal sehingga cenderung orang kaya yang mampu menyekolahkan anak-anaknya di sekolah tersebut. Sedangkan masyarakat miskin tidak bisa mendapatkan fasilitas karena kurangnya dana. Perbedaan pendidikan kota dan desa dapat dilihat dari perbedaan fasilitas sekolah. Sekolah di kota lebih maju dan lengkap dibanding di desa. Dilihat dari cara mengajarnya di kota sudah banyak yang menggunakan laptop dan proyektor, sehingga lebih mudah guru menerangkan pelajaran. Sedangkan di desa masih banyak yang menggunakan papan tulis dan kapur untuk alat bantu guru menjelaskan pelajaran di kelas. Hal ini menyebabkan standar atau metode pengajaran yang berbeda sehingga hasil yang didapat akan berbeda pula.

2. Peraturan Pemerintah yang Belum Sempurna Berdasarkan pasal 31 ayat 2 menjelaskan bahwa setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah membiayainya. Penerapan landasan tersebut terlaksana dengan adanya program pendidikan wajib belajar sembilan tahun dan didukung pemerintah untuk membiayai pendidikan tersebut. Warga negara yang belum melaksanakan pendidikan dasar seharusnya dapat dikenai sanksi. Namun dalam kenyataannya sanksi tersebut belum berjalan di Indonesia. Hal ini disebabkan belum adanya ketentuan yang mengatur tentang sanksi bagi warga negara yang melanggar. Akibatnya masih banyak terdapat warga yang belum melaksanakan pendidikan dasar.

3. Penggunaan Anggaran Pendidikan Belum Maksimal Pemerintah bertanggung jawab atas pendanaan pendidikan dengan mengalokasikan anggaran pendidikan pada APBN maupun APBD (Pidarta, 2009). Salah satu implementasi penggunaan dana 20% adalah pemberian dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) yang bertujuan meringankan beban masyarakat terhadap biaya pendidikan dalam rangka wajib belajar 9 tahun, sehingga dana

tersebut menjadi hak setiap siswa yang disalurkan melalui sekolah untuk mendanai biaya operasional. Penggunaan dana BOS antara lain: 1) biaya penerimaan siswa baru, 2) membeli buku referensi untuk perpustakaan, 3) membeli/penggandaan buku teks pelajaran, 4) biaya pembelajaran tambahan dan ekstrakurikuler, dan 5) biaya ulangan dan ujian (Buku Pedoman BOS, 2010). Namun dalam pelaksanaannnya ditemukan berbagai penyimpangan yang dilakukan oleh pihak sekolah. Berdasarkan hasil pemeriksaan BPK RI tahun 20072008 ditemukan penyelewengan dana BOS, yaitu sebesar Rp 28,14 miliar digunakan tidak sesuai peruntukannya. Penyimpangan tersebut antara lain: 1) dana BOS digunakan untuk biaya transportasi kegiatan rekreasi kepala sekolah dan guru; 2) sebagai uang lelah kepala sekolah; 3) sebagai biaya pertemuan hari ulang tahun yayasan (biasa terjadi di sekolah swasta yang dikelola yayasan); 4) digunakan untuk membeli laptop, PC desktop, flash disk, dan peripheral komputer lainnya yang tidak terkait langsung dengan murid; 5) untuk membeli peralatan yang tidak berkaitan langsung dengan murid seperti dispenser, TV, antena parabola, kursi tamu di ruang kepala sekolah, lemari, dan lain-lain; 6) untuk pembelian voucher hand phone, pemberian uang duka dan karangan bunga acara pisah sambut kepala dinas, pembelian note book dan PC desktop; 7) untuk biaya rehab gedung sekolah yang termasuk dalam rehab sedang atau berat; dan 8) untuk biaya honor dan transportasi guru.

E. SOLUSI Berdasarkan perbandingan kondisi ideal pendidikan dan kondisi nyata di lapangan ditemukan berbagai kesenjangan. Hal tersebut menjadi masalah dalam pelaksanaan pendidikan di Indonesia. Oleh karena itu diperlukan solusi pemecahan untuk mengatasi permasalahan tersebut sehingga diharapkan memiliki perubahan yang positif sesuai dengan landasan hukum pendidikan di Indonesia. Solusi tersebut antara lain: 1. Pemetaan Pendidikan Untuk memudahkan penanganan pemerataan pendidikan di Indonesia diperlukan data yang valid. Data yang diperoleh selanjutnya diolah untuk memberikan informasi yang sahih bagi pembuat kebijakan. Selama ini pemerintah

masih belum mengoptimalkan penelitian sebagai dasar perumusan kebijakan. Hal ini akui juga oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Tidak bisa dipungkiri bahwa selama ini banyak kebijakan pendidikan yang kurang tepat sehingga sulit dalam pelaksanaannya. Salah satu sebab dari kondisi tersebut adalah kurang kuatnya suatu kebijakan yang dibuat atas dukungan hasil-hasil penelitian (Balitbangdikbud, 2011). Oleh karena itu untuk mengatasi hal tersebut diperlukan pemetaan pendidikan. Pemetaan pendidikan dilakukan sebagai penyuplai informasi yang berguna sebagai dasar dalam pengambilan kebijakan pendidikan. Kegiatan yang dilakukan meliputi pemetaan persebaran sekolah, pemetaan kondisi sarana dan prasarana sekolah, mengetahui angka partisipasi murni (APM) dan angka partisipasi khusus (APK) tiap wilayah, dan data persebaran guru. Hasil yang diperoleh dapat menggambarkan kondisi pendidikan di suatu wilayah, sehingga diketahui mana wilayah yang masih membutuhkan sarana pendidikan atau tidak. Dengan diketahuinya data kondisi pendidikan pada suatu wilayah, rencana pembangunan sarana pendidikan seperti gedung sekolah, ruang kelas baru, perpustakaan, ataupun renovasi gedung akan berjalan sesuai dengan kebutuhan nyata di lapangan. Demikian pula dengan adanya data persebaran guru maka dapat dijadikan acuan kebijakan pemerintah dalam penempatan guru baru pada wilayah yang benar-benar membutuhkan.

2. Membangun Sarana dan Prasarana Pendidikan Sampai Ke Daerah Terpencil Untuk mengatasi tidak meratanya sarana pendidikan di Indonesia, dilakukan dengan pembangunan sarana dan prasarana sampai ke daerah terpencil. Pembangunan tersebut didukung oleh hasil pemetaan pendidikan sebagai acuan dalam menentukan lokasi pembangunan, jenis sarana dan prasarana yang dibutuhkan, serta kebutuhan guru dengan melibatkan masyarakat setempat. Pembangunan yang dilakukan meliputi pembangunan gedung sekolah baru ataupun renovasi gedung sekolah. Gedung sekolah yang dibangun meliputi SD, SMP, dan SMA. Untuk daerah terpencil, pembangunan gedung sekolah baru dari jenjang SD sampai SMP dapat dilakukan dalam satu lokasi yang dinamakan SD

SMP satu atap. Pembangunan tersebut juga harus memperhatikan tingkat keterjangkauan. Hal ini dilakukan agar lokasi sekolah dapat dijangkau dengan mudah oleh siswa serta memudahkan siswa untuk melanjutkan studinya dari SD ke SMP. Renovasi dilakukan pada gedung sekolah yang sudah ada tetapi dengan kondisi yang rusak pada beberapa bagiannya.

3. Pemerataan Guru Ke Seluruh Pelosok Wilayah Selain pembangunan sarana pendidikan, juga dilakukan pemerataan tenaga pendidik sampai ke pelosok daerah. Kegiatan tersebut didasarkan pada hasil dari pemetaan pendidikan yang telah dilakukan sehingga diketahui mana daerah yang kekurangan ataupun yang kelebihan tenaga pendidik, kemudian data tersebut dijadikan acuan untuk pendistribusian tenaga pendidik pada wilayah yang benarbenar membutuhkan. Daerah yang kekurangan guru dilakukan penambahan baik dengan cara mengangkat guru baru maupun dengan sistem mutasi guru dari sekolah lain yang kelebihan guru. Penambahan guru khususnya dilakukan pada wilayah yang masih minim tenaga pendidiknya seperti di daerah-daerah terpencil. Di samping usaha pemerataan guru, juga perlu memperhatikan kesejahteraan guru. Selama ini, guru merasa enggan jika ditempatkan pada daerah terpencil dengan medan yang sulit dan sarana dan prasarana yang masih terbatas serta dengan gaji yang relatif kecil. Oleh karena itu, diperlukan peran dukungan pemerintah untuk merubah kondisi tersebut, dengan memberikan gaji yang sesuai pada guru yang mengabdikan diri di daerah terpencil, serta melakukan perbaikan ataupun pembangunan sarana dan prasarana wilayah. Melalui cara tersebut akan menjadikan daya tarik bagi guru untuk menjadi tenaga pendidik secara tetap di daerah-daerah terpencil di seluruh wilayah Indonesia.

4. Membuat dan Menjalankan Peraturan Perundangan Tentang Sanksi Bagi Pelanggar Program Wajib Belajar Sembilan Tahun Setiap kewajiban memerlukan penanganan apabila hal tersebut dilanggar agar dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Demikian pula kewajiban warga negara dalam pendidikan pendidikan dasar memerlukan penanganan bagi warga yang melanggar agar tujuan wajib belajar sembilan tahun tercapai. Penanganan

tersebut dapat berupa peringatan maupun sanksi tegas. Oleh karena itu, dibutuhkan peraturan perundangan yang mengatur sanksi bagi warga negara yang tidak melaksanakan pendidikan dasar. Hal ini merupakan tugas pemerintah untuk menyusun peraturan tersebut dan merumuskannya dalam peraturan perundangundangan. Permasalahannya adalah bagaimana teknis penerapan sanksi tersebut sehingga dapat berjalan dan diterima oleh masyarakat. Kondisi sarana pendidikan dan berbagai latar budaya yang berbeda di berbagai wilayah menyebabkan sulitnya menerapkan peraturan secara langsung di masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan kesiapan masyarakat maupun pemerintah dalam pemberlakuan peraturan. Alternatif solusi yang dapat diberikan adalah dengan menyusun rencana yang meliputi tahap sosialisasi dan tahap pemberlakuan sanksi kepada masyarakat. Tahap sosialisasi dilakukan dengan cara mensosialisasikan rencana pemerintah untuk mengeluarkan peraturan tentang sanksi pelanggaran kewajiban wajar dikdas. Proses sosialisasi dilakukan sampai pada batas tertentu sampai diperoleh kesiapan baik warga maupun pemerataan sarana pendidikan. Oleh karena itu, dalam proses ini juga diikuti dengan pemerataan pembangunan sarana dan biaya pendidikan serta pemerataan guru ke seluruh pelosok wilayah sehingga pada pelaksanaannya nanti dapat dihindari berbagai alasan masyarakat yang melanggar karena kurangnya sarana pendidikan maupun biaya pendidikan. Tahap berikutnya adalah tahap pemberlakuan peraturan kepada masyarakat. Tahap ini dilakukan setelah diperoleh kesiapan masyarakat maupun sarana dan prasarana pendidikan di seluruh wilayah. Sanksi diberlakukan bagi warga usia sekolah yang tidak melaksanakan kewajiban pendidikan dasar. Bentuk sanksi yang berlakukan dapat berupa peringatan maupun denda. Peringatan dilakukan agar pelanggar mendapatkan kesempatan untuk memenuhi kewajiban sekolah. Sanksi denda baru diberikan jika setelah peringatan dalam batas waktu tertentu belum di laksanakan oleh pelanggar. Oleh kerena itu, keberhasilan pelaksanaan peraturan tersebut memerlukan kerjasama baik dari pemerintah maupun warga negara.

5. Pengawasan Secara Langsung Terhadap Pemberian Dana Bantuan Sekolah Salah satu upaya pemerintah untuk mengatasi mahalnya pendidikan adalah dengan adanya program Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Program ini bertujuan untuk membebaskan biaya pendidikan bagi siswa tidak mampu dan meringankan siswa lain, agar mereka memperoleh layanan pendidikan yang lebih bermutu sampai tamat dalam rangka penuntasan wajib belajar 9 tahun. Akan tetapi pada pelaksanaannya masih dijumpai bentuk penyelewengan yang dilakukan oleh pihak sekolah maupun Dinas Pendidikan setempat. Pada umumnya, pelanggaran dana BOS lebih disebabkan kurangnya pengawasan pemerintah. Terjadinya kelemahan dan kerugian atas adanya dana BOS bukan karena program tersebut, melainkan karena kelalaian dan lemahnya pengawasan dan tanggung jawab masing-masing pihak (BPK RI, 2008). Oleh karena itu diperlukan solusi pemecahan untuk mengatasi masalah tersebut. Salah satu alternatif solusi adalah dengan mengadakan pengawasan langsung terhadap pelaksanaan penggunaan dana BOS. Pengawasan tersebut meliputi transparansi dan akuntabilitas penggunaan dana BOS masing-masing sekolah. Oleh karena itu, pemerintah pusat perlu mengadakan kegiatan turun langsung ke lapangan untuk melihat pelaksanaan penggunaan dana sehingga perlu dibentuk tim supervisi yang terjun langsung ke lapangan dan mengadakan pemeriksaan terhadap penggunaan dana BOS, sehingga berbagai penyelewengan terhadap penggunaan dana dapat segera diketahui dan ditindak tegas sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Hal ini juga sebagai cara untuk mengetahui kondisi real sekolah yang selama ini hanya diberitahukan dalam bentuk laporan. Hasil pengamatan tersebut dapat dijadikan sebagai dasar penentuan kebijakan pemerintah selanjutnya.,

10

F. KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Landasan hukum pendidikan di Indonesia termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 sampai 5. 2. Pendidikan yang ideal memiliki gambaran sebagai berikut, antara lain: 1) merata bagi seluruh rakyat; 2) wajib bagi seluruh rakyat dan dibiayai oleh pemerintah; 3) dapat meningkatkan keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia serta menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa; dan 4) didukung penuh oleh pemerintah. 3. Berdasarkan perbandingan antara kondisi ideal dan kondisi real pendidikan di Indonesia terdapat kesenjangan yang menjadi permasalahan, antara lain: 1) pendidikan di Indonesia belum merata, 2) peraturan pemerintah yang belum sempurna, dan 3) penggunaan anggaran pendidikan belum maksimal. 4. Solusi pemecahan sebagai alternatif untuk mengatasi permasalahan tersebut antara lain: 1) pemetaan pendidikan, 2) membangun sarana dan prasarana pendidikan sampai ke daerah terpencil, 3) pemerataan guru ke seluruh pelosok wilayah, 4) membuat dan menjalankan peraturan perundangan mengenai sanksi bagi pelanggar program wajib belajar sembilan tahun, dan 5) pengawasan secara langsung terhadap pemberian dana bantuan sekolah.

G. SARAN Saran berikut ditujukan kepada pemerintah, antara lain: 1. Disarankan melakukan pemetaan pendidikan sebagai dasar acuan dalam penentuan kebijakan dalam pemerataan sarana dan prasarana pendidikan. 2. Disarankan membuat peraturan perundangan mengenai sanksi bagi pelanggar dalam pelaksanaan wajib belajar duabelas tahun.

11

DAFTAR RUJUKAN

Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2011). Jaringan Penelitian Pendidikan. (Online), (http://litbang.kemdikbud.go.id/detail.php?id=4), diakses 17 Mei 2012. BPS. 2011. Angka Partisipasi Murni (APM) Menurut Provinsi Tahun 2003 2011. (Online), (http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php? tabel=1&daftar=1&id_subyek=28), diakses 18 Mei 2013 Buku Pedoman BOS, 2010. Penggunaan Dana BOS. (Online), (http://www.gurukelas.com/2011/12/pos-penggunaan-dana-bos.html), diakses 25 Mei 2013 BPK RI, 2008. Fakta Penyelewengan Dana Bos. (Online), (http://kabarmadiun.wordpress.com /2012/ 11/04/5-fakta-penyelewengandana-bos-ironi-sekolah-gratis), diakses 23 Mei 2013 Mastur. 2012. Landasan Pendidikan. (Online), (http://wadzifah.blogspot.com/ 2012/12/mahalnya-pendidikan-di-indonesia.html), diakses 18 Mei 2013. Pidarta, Made. 2009. Landasan Kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta Rahmad, Noviar. 2012. Pendanaan Pendidikan. (Online), (http://birohukum.jogjaprov.go.id/ index.php/berita/provinsi-diy/469pendanaan-pendidikan), diakses 5 Juni 2013 Syaripudin, Tatang. 2012. Landasan Pendidikan. Jakarta Pusat: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Jakarta: Palito Media

12

Anda mungkin juga menyukai