Anda di halaman 1dari 12

Refrat Onkologi I

MANAJEMEN KEMOTERAPI TERKINI PADA GESTATIONAL TROPHOBLASTIK NEOPLASIA

Oleh: Elsina Krisnawati Pietersz Pembimbing: Dr Heru Pradjatmo, M Kes. SpOG (K)

Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada/ RSUP dr. Sardjito 2012

MANAJEMEN KEMOTERAPI TERKINI PADA GESTATIONAL TROPHOBLASTIK NEOPLASIA

Pendahuluan Gestational trophoblastik neoplasia (GTN) menggambarkan kelompok lesi heterogen yang berasal dari proliferasi abnormal tropoblast plasenta. GTN seringkali timbul setelah kehamilan mola akan tetapi GTN dapat pula timbul setelah kehamilan normal atau abortus. Histologi lesi GTN khas, lesi maligna meliputi mola hidatidosa invasif, koriokarsinoma, Plasental site trophoblastik tumor (PSTT) dan tumor tropoblastik epiteloid (ETT). Tumor GTN sangat respon terhadap kemoterapi. Stadium awal GTN biasanya dapat diterapi dengan satu regimen kemoterapi. Sedangkan stadium lanjut GTN membutuhkan kombinasi regimen kemoterapi. Beberapa prosedur pembedahan dapat dijadikan pilihan sebagai terapi adjuvant. Setelah menyelesaikan terapi, pasien harus menjalani folowup secara teratur, dan apabila terjadi rekurensi sebaiknya diatasi secara agresif. Wanita dengan riwayat GTN mempunyai risiko yang lebih besar terjadinya GTN berulang, sehingga kehamilan berikutnya membutuhkan monitoring ketat untuk memastikan kehamilan berjalan normal.

Workup Pasien GTN Wanita yang baru didiagnosis dengan GTN membutuhkan penilaian derajat penyakit untuk menentukan terapi yang sesuai. Evaluasi meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan kadar hCG serum secara kuantitatif, darah lengkap, fungsi ginjal dan hepar. Ultrasound pelvis seringkali bermanfaat untuk mendeteksi besarnya keterlibatan uterus dan dapat mengidentifikasi pasien dengan risiko perforasi uterus atau pasien yang memerlukan histerektomi untuk mengurangi massa tumor. Foto dada perlu diperiksa untuk mengetahui adanya metastasis paru. Apabila tidak didapatkan metastasis paru pada pemeriksaan foto dada maka dapat dilakukan pemeriksaan CT scan dada yang mampu mendeteksi mikrometastasis pada 40% pasien dengan hasil foto dada negatif. Pada pasien asimptomatik dengan hasil CT scan dada tidak terdapat metastase maka pemeriksaan penunjang tambahan lainnya tidak perlu dilakukan karena metastase jauh jarang terjadi apabila tidak terdapat metastase paru. Akan tetapi, apabila terdapat metastase ke vagina dan paru pada pasien dengan diagnosis histologik koriokarsinoma maka perlu dilakukan pencitraan abdomen dan kepala. Peningkatan rasio cairan serebrospinal/hCG plasma mempunyai kecenderungan keterlibatan serebral. Pencitraan seperti 18-fluorodeoxyglucosa positron emission tomografi (FDG-PET) dapat menunjukkan tempat-tempat dengan metabolisme yang aktif atau merupakan ciri metastase

dan dapat menentukan batas tumor. Resisten obat kemoterapi dapat diketahui dengan scan PET yang menunjukkan gambaran radiografik persisten pada tumor yang aktif.

GTN setelah kehamilan mola Risiko terjadi GTN setelah mola hidatidosa komplet (CHM ) dan mola hidatidosa parsial (PHM) berturut-turut sebesar 15-20%, dan 1-4%. Penegakkan diagnosis GTN setelah kehamilan mola menurut International Federation of Gynecology and Obstetrics (FIGO) adalah sebagai berikut: 1) Kadar hCG dalam 4 kali penilaian atau lebih minimal dalam 3 minggu (hari 1, 7, 14, dan 21) tidak menurun 2) Peningkatan kadar hCG sebesar 10% atau lebih pada 3 kali penilaian atau lebih minimal dalam 2 minggu (hari 1, 7 dan 14) 3) Gambaran histologik koriokarsinoma 4) Kadar hCG persisten dalam waktu 6 bulan setelah evakuasi. Mola hidatidosa komplet (CHM) berpotensi terjadi invasi local dan penyebaran jauh. Setelah evakuasi CHM dapat terjadi invasi lokal uteri dan metastasis berturut-turut sebesar 15% dan 4% kasus. GTN risiko tinggi terjadi pada 40-50% kasus CHM dengan pembesaran uterus yang berlebihan dan peningkatan kadar hCG yang bermakna (> 100.000 mIU/mL). Invasi local GTN setelah kehamilan mola biasanya datang dengan dengan keluhan perdarahan pervaginal ireguler. Pada beberapa kasus, tumor menginvasi pembuluh darah uterina yang menyebabkan perdarahan masif. Pada kasus lain, tumor dapat menginvasi miometrium yang menyebabkan perdarahan intraperitoneal. Tumor intrauterina yang mengalami nekrosis merupakan fokus infeksi.

Staging dan Skor Prognosis menurut FIGO Dalam pelaporan kasus GTN perlu dinilai staging anatomik dan skor prognosis menurut FIGO. GTN risiko rendah mempunyai skor 6, sedangkan GTN risiko tinggi mempunyai skor 7. GTN risiko tinggi mempunyai peningkatan risiko terjadinya resistensi terhadap regimen kemoterapi tunggal, rekurensi, dan membutuhkan kombinasi kemoterapi untuk mencapai remisi.

Tabel 1. Sistem Staging Tumor Gestational Trophoblastik FIGO


Parameter Stage I II III IV Definisi tumor terbatas pada uterus tumor menyebar keluar uterus tapi terbatas pada struktur genital (adneksa, vagina) tumor menyebar ke paru dengan atau tanpa penyebaran struktur genital tumor telah menyebar ke tempat lain

Tabel 2. Skoring Prognosis Gestational Trophoblastik Tumor FIGO


Parameter Skor 0 Usia (thn) Kehamilan sebelumnya Interval(bln) Kadar hCG (IU/L) Ukuran tumor(cm) Metastase Jumlah metastase Kegagalan kemoterapi Skor: < 6= risiko rendah 7 = risiko tinggi paru 39 mola <4 <103 1 40 aborsi 4-6 103-104 3-4 lien, ginjal 1-4 term 7-12 104-105 >5 GIT 5-8 single hati, otak >8 >2kombinasi terapi >12 >105 2 4

Metastase GTN Metastase GTN terjadi pada 4% kasus post evakuasi CHM dan jarang setelah kehamilan normal atau abortus. Lokasi metastase paling sering pada paru-paru (80%), vagina (30%), otak (10%), dan hepar (10%). Tumor tropoblas diperfusi oleh pembuluh darah yang rapuh akibatnya pada metastase mudah terjadi perdarahan. Biopsi metastase tidak diperlukan dan tidak direkomendasikan oleh karena risiko perdarahan. Pasien bisa mengalami keluhan perdarahan dari lokasi metastase seperti hemoptosis, perdarahan intraperitoneal, dan defisit neurologic akut. Metastase serebral dan hepar jarang terjadi kecuali bersamaan dengan metastase ke paru dan vagina.
4

Pasien dengan metastase paru biasanya mempunyai lesi asimptomatik pada gambaran foto dada atau datang dengan keluhan dyspnea, nyeri dada, batuk dan hemoptosis. Emboli tropoblastik dapat menyebabkan sumbatan arteri pulmonal sehingga mengakibatkan pembesaran jantung kanan dan hipertensi pulmonal. Dapat terjadi kesalahan diagnosis sebagai penyakit paru primer, terutama apabila jarak kehamilan sebelumnya cukup jauh dan gejala ginekologik minimal atau bahkan tidak ada. Oleh karena itu, perlu mempertimbangkan diagnosis GTN pada wanita usia reproduksi dengan gejala pulmonal yang tidak khas. Menariknya, 40% kasus dengan dugaan tidak terjadi metastase ternyata didapatkan nodul pada pemeriksaan CT scan paru. Sistem staging FIGO apabila didapatkan keterlibatan paru pada pemeriksaan foto dada tetapi bukan pemeriksaan CT scan maka pasien diklasifikasikan sebagai stage I; akan tetapi manajemen pasien dapat dipengaruhi oleh hasil pemeriksaan CT scan. Pasien dengan metastase ke vagina (30%) sering datang dengan keluhan perdarahan pervaginal ireguler atau keputihan yang purulen. Pemeriksaan vaginal sering menunjukkan lesi vaskuler, sebagian besar pada daerah suburethral atau forniks vagina. Adanya peningkatan vaskularisasi pada lesi tersebut merupakan kontraindikasi biopsi karena dapat menyebabkan perdarahan profuse. Pada sebagian kecil penderita GTN dapat terjadi metastase serebral. Keterlibatan serebral dapat meningkatkan tekanan intracranial dan perdarahan intraserebral yang sering mengakibatkan gejala neurologik seperti mual, muntah, sakit kepala, kejang, pelo, dan gangguan penglihatan, atau hemiparesis. Pada penderita GTN jarang terjadi metastase ke hepar. Hanya sebagian kecil penderita GTN dengan metastase ke hepar mengalami keluhan yang berhubungan dengan hepar seperti jaundice, perdarahan intrabdomen, dan nyeri epigastrium.

Terapi GTN risiko rendah Pasien stage I atau GTN stage II dan III risiko rendah (skor prognosis FIGO 6) biasanya berespon baik dengan regimen kemoterapi tunggal. Dilatasi dan kuretase tidak direkomendasikan karena dapat meningkatkan risiko perdarahan dan infeksi. Regimen yang biasanya dipakai pada GTN risiko rendah adalah methotrexate (MTX) dan actinomicin D (ACTD). Karena efek samping yang lebih rendah dibandingkan ACT-d, New England Trophoblastic Disease Center (NETDC) merekomendasikan MTX sebagai regimen lini petama. MTX lebih jarang menimbulkan keluhan mual, muntah, dan tidak terjadi kerontokkan rambut. ACT-D diberikan sebagai regimen lini pertama pada pasien dengan disfungsi hepar atau yang diketahui mengalami reaksi hebat dengan MTX.
5

Untungnya, regimen kemoterapi tunggal efektif dalam mengobati GTN risiko rendah. Pada NETDC melaporkan 632 penderita GTN risiko rendah dari tahun 1965 sampai dengan 2006 yang mendapatkan kemoterapi tunggal dan didapatkan remisi sempurna pada 419 dari 502 pasien stage I ( 83,5%), 16 dari 20 pasien stage II GTN risiko rendah (80%), 90 dari 110 pasien stage III GTN risiko rendah (81,8%). Setelah pemberian kemoterapi yang pertama perlu dilakukan monitoring kadar hCG. Kemoterapi diberikan kembali apabila kadar hCG tidak menurun sebesar 1 log dalam 18 hari setelah kemoterapi yang pertama, atau jika kadar hCG pada 3 minggu berturut turut plateu, atau jika kadar hCG meningkat. Pada NETDC, MTX dengan dosis 1 mg/kg diberikan 4 kali diselingi dengan pemberian asam folat 0,1 mg/kg. Protokol lain, MTX diberikan secara bolus dengan dosis 100 mg/m2 dilanjutkan dengan drip 200 mg/m2 MTX selama 12 jam diikuti dengan pemberian asam folat. Protokol yang pertama menghasilkan angka remisi yang lebih tinggi pada GTN risiko rendah. Gynecologic Oncology Group (GOG) mempublikasikan Randomized trial fase III yang membandingkan efektifitas MTX dan ACT-D pada kasus GTN risiko rendah. Dua ratus enam belas pasien secara acak mendapatkan terapi ACT-D 1,25 mg/m2 IV 2x seminggu atau terapi MTX 30 mg/m2 IM per minggu. Angka remisi pada kelompok MTX dan ACT-D berturut-turut 58% dan 73%. Akan tetapi sebelum merekomendasikan pemberian ACT-D sebagai modalitas lini pertama pada terapi GTN risiko rendah perlu mempertimbangkan risiko toksisitas ACT-D dibandingkan MTX. Akan tetapi, menurut Osborne series pemberian regimen regimen MTX selama 5 hari atau 8 hari menghasilkan remisi yang lebih tinggi dengan toksisitas minimal dibandingkan ACT-D 2 x seminggu. Pada wanita yang tidak menginginkan fungsi fertilitas dapat dipertimbangkan pilihan histerektomi pada GTN stage I untuk menurunkan paparan berulang regimen kemoterapi. Pada strategi pembedahan, pasien diberikan 1 x regimen kemoterapi tunggal saat pembedahan. Kemoterapi tersebut penting untuk mengurangi kecenderungan penyebaran sel tumor aktif saat operasi, dan juga untuk meningkatkan kemampuan sitotoksik kemoterapi pada darah dan jaringan apabila terjadi penyebaran sel tumor selama operasi. Pada NETDC, 23 pasien GTN stage I diterapi dengan histerektomi dan kemoterapi perioperatif. Tidak terdapat komplikasi intraoperatif dan perioperatif, tidak diperlukan terapi adjuvan, dan semua pasien mencapai remisi sempurna. Sehingga disimpulkan pemberian kemoterapi saat histerektomi aman dan merupakan strategi yang efektif pada kasus GTN risiko rendah. Walaupun MTX dan ACT-D mempunyai efektifitas yang tinggi dalam menangani GTN risiko rendah akan tetapi beberapa pasien resisten terhadap 2 regimen tersebut. Charing Cross Hospital menyebutkan indikasi kombinasi kemoterapi pada kasus GTN risiko rendah dengan kadar hCG melebihi 100.000 mIU/ml. Biasanya diberikan regimen MAC (MTX, ACT-D dan Cyclophosphamid), atau EMACO (Etoposide, MTX, ACT-D, Cyclophosphamid, dan Vincristine).
6

MAC lebih disukai sebagai regimen kemoterapi kombinasi yang pertama mengingat etoposide sebagai komponen EMACO berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya malignansi sekunder. Penelitian menunjukkan pasien yang diterapi dengan etoposide lebih dari 2 g/m 2 mempunyai risiko relatif 16.5 terjadinya leukemia, 5.8 kanker payudara, 4.6 kanker kolon, 3.4 melanoma. Selain terapi medis, manajemen pembedahan efektif terhadap kasus GTN yang resisten terhadap kemoterapi kombinasi. Pemeriksaan penunjang seperti, ultrasound, MRI, arteriografi, PET scan dapat menunjukkan tempat residu tumor dan memfasilitasi rencana pembedahan. Apabila diketahui besarnya tumor pada uterus maka histerektomi dapat dipilih untuk membuang fokus resistensi obat. Apabila pasien masih menginginkan fungsi fertilitas maka reseksi massa tumor di uterus dapat dilakukan. Pasien harus diinformasikan mengenai risiko prosedur reseksi terhadap risiko obstetrik di kemudian hari seperti ruptur uteri. Dua pasien yang diterapi dengan reseksi massa tumor, satu pasien berhasil hamil kembali dan persalinan dilakukan secara seksio secarean. Allison et al melaporkan satu pasien dengan GTN persisten yang diterapi dengan reseksi massa tumor yang kemudian dapat hamil kembali. Behtash et al melaporkan pasien dengan koriokarsinoma dan perforasi uterus yang diterapi dengan reseksi lokal yang kemudian mengalami kehamilan tanpa komplikasi.

Tabel 3. Protokol Terapi GTN Stage I (New England Trophoblastic Disease Center)
Initial Sekuensial MTX/ACT-D Histerektomi (dengan adjuvant single agen kemoterapi) Resisten dengan terapi tunggal MTX/ACT-D MAC EMACO jika MAC tidak berhasil Histerektomi (dengan adjuvant kombinasi kemoterapi) Reseksi uterus local (bagi yang masih menginginkan fungsi fertilitas)

Follow up

selama 12 bulan kadar hCG normal kontrasepsi wajib 12 bulan

ACT-D: Actinomicin D, EMACO: etopuside, methotrexate, actinomycine D, cytoxan, oncovin; MAC: methotrexate, actinomycin D, cytoxan; MTX: methotrexate

Terapi GTN stage II dan stage III risiko tinggi Pasien GTN stage II dan stage III dengan skor prognostik 7 termasuk dalam risiko tinggi dan tidak dapat diobati dengan regimen kemoterapi tunggal. Sehingga harus diterapi dengan kemoterapi kombinasi. MAC tidak cukup diberikan sebagai terapi primer untuk GTN risiko tinggi dengan metastase, dengan angka remisi sebesar 50%. Pada NETDC, EMACO merupakan regimen lini pertama untuk menangani GTN risiko tinggi karena EMACO mempunyai rasio efektifitas/toksisitas terbaik. Kemoterapi kombinasi memberikan remisi sempurna pada 6 dari 6 pasien GTN stage II risiko tinggi (100%), 36 dari 37 pasien GTN stage III risiko tinggi (97,3%). Bower et al dan Bolis et al melaporkan angka remisi pasien GTN risiko tinggi dengan metastase berturut-turut sebesar 86% dan 76%. Selain EMACO, ada pula kombinasi kemoterapi yang digunakan untuk menangani GTN risiko tinggi. Kim et al membandingkan angka remisi MFA (MTX, asam folat, ACT-D), MAC, CHAMOCA (Cyclophosphamide, hydroxycarbamide, doxorubicine, ACT-D, MTX, melphalan, dan vincristine) dan EMACO berturut-turut 63%, 68%, 71%, dan 91%. Penelitian ini menegaskan efektifitas EMACO sebagai terapi primer untuk pasien dengan risiko tinggi. Kemoterapi kombinasi sering diberikan dengan interval 2- 3 minggu dan pemberian secara tepat waktu sangatlah penting. Penundaan terapi dan pengurangan dosis sebaiknya dihindari karena dapat meningkatkan risiko resistensi dan kegagalan terapi. Pasien yang diterapi dengan kemoterapi kombinasi sebaiknya dilakukan evaluasi hCG serial. Perlu diberikan tambahan 2-4 kali kemoterapi setelah kadar hCG tidak terdeteksi lagi untuk mengurangi risiko relaps. Pasien yang mengalami resistensi EMACO dapat diterapi dengan EMAEP- regimen cyclophosphamide dan vincristine pada hari ke 8 diganti dengan cisplatin dan etoposide. Pada 21 pasien yang resisten terhadap EMACO, 16 pasien (76%) berhasil diterapi dengan EMAEP, baik terapi kemoterapi saja atau dengan adjuvant terapi pembedahan. Regimen lain terbukti efektif mengatasi GTN berulang seperti BEP (belomycin, etoposide, cisplatin), ICE (ifosfamide, Carboplatin, Etoposide), VIP (etoposide, ifosfamide, cisplatin). Wilemse et al melaporkan seorang wanita berusia 53 tahun dengan GTN metastatse yang tidak berespon dengan kemoterapi kombinasi MTX, ACT-D, dan chlorambucil, yang kemudian diterapi dengan BEP. Remisi sempurna tercapai akan tetapi pasien mengalami pneumonitis transient akibat bleomycin. Lurain dan Nejad mengevaluasi 26 pasien dengan GTN relaps untuk membandingkan kombinasi regimen kemoterapi. Enam belas pasien yang awalnya diterapi dengan MTX atau ACT-D, 10 diantaranya (63%) mendapatkan remisi sempurna dengan terapi lini kedua yang terdiri dari kombinasi platinum dan etopuside (8 pasien dengan BEP, 1 pasien dengan VIP, 1 dengan ICE ).
8

Sedangkan 10 kasus GTN relaps akibat resisten terhadap regimen EMACO, 9 pasien (90%) mengalami remisi sempurna dengan kemoterapi lini kedua (3 pasien dengan EMAEP, 6 pasien dengan BEP). Oleh karena itu pada kasus GTN rekuren atau persisten disarankan pemberian kombinasi regimen platinum dan etopuside dengan atau tanpa bleomicin atau ifosfamid. Pada beberapa kasus, kemoterapi saja tidak cukup, sehingga dibutuhkan terapi adjuvant berupa terapi pembedahan. Clark et al melaporkan 25 dari 33 kasus GTN dengan kemoresisten (76%) memperoleh remisi sempurna dengan histerektomi. Keuntungan terapi pembedahan adalah pengurangan massa tumor dan dapat memperpendek durasi kemoterapi dan mengurangi dosis kemoterapi. Reseksi pulmonal merupakan terapi kuratif pada pasien dengan nodul metastase paru yang resisten terhadap kemoterapi. Tomoda et al melaporkan keberhasilan reseksi paru berdasarkan kriteria: Pasien memenuhi syarat untuk menjalani pembedahan Keganasan primer terkontrol Tidak ditemukan metastase di tempat lain Metastase tumor hanya didapatkan di satu paru Kadar hCG <1000 mIU/mL

Empat belas dari 15 pasien (93%) yang memenuhi kelima kriteria tersebut mencapai remisi sempurna. Sedangkan 4 pasien yang hanya memenuhi 4 kriteria atau kurang tidak yang mencapai remisi sempurna. Kadar hCG yang tidak terdeteksi lagi dalam 2 minggu merupakan faktor prediktif keberhasilan reseksi paru. Walaupun reseksi paru dapat bermanfaat pada beberapa kasus akan tetapi perlu diingat bahwa sebagian besar lesi paru berhasil diterapi dengan kemoterapi. Tabel 4. Protokol Terapi GTN Stage II dan III (New England Trophoblastic Disease Center)
Risiko rendah Terapi initial Resisten terapi Sekuensial MTX/ACT-D MAC atau EMA/CO Pembedahan sesuai dengan indikasi Risiko tinggi Terapi initial EMACO EMAEP Resisten terapi VBP Pembedahan sesuai dengan indikasi

Follow up

selama 12 bulan kadar hCG normal kontrasepsi wajib selama 12 bulan

ACT-D: Actinomicin D, EMACO: etopuside, methotrexate, actinomycine D, cytoxan, oncovin; EMAEP: etopuside, methotrexate, actinomicin D, carboplatin, MAC: methotrexate, actinomycin D, cytoxan; MTX: methotrexate; VBP: vinblastine, bleomycin, carboplatin

Terapi GTN Stage IV Sebelum tahun 1975 angka harapan hidup pasien dengan GTN Stage IV hanya sebesar 30%, sedangkan setelah tahun 1975 angka tersebut meningkat secara drastis sebesar 80%. Hal itu dikarenakan oleh penggunaan multiagen kemoterapi secara dini dan intensif. Kombinasi kemoterapi yang paling sering digunakan adalah EMACO. Sering pula diberikan terapi adjuvant berupa terapi radiasi dan intervensi pembedahan. Pada kasus metastase serebral, diberikan kombinasi EMACO dengan meningkatkan dosis MTX pada hari pertama menjadi 1 gm/m2 yang bertujuan untuk mendapatkan dosis yang cukup pada jaringan otak. Apabila resisten terhadap EMACO, maka EMAEP merupakan substitusi yang efektif. Adjuvant radiasi masih controversial. Yordan et al melaporkan angka mortalitas pada metastase serebral yang mendapatkan kemoterapi sebesar 44% , sedangkan pasien dengan kombinasi kemoterapi dan adjuvan radiasi serebral angka mortalitas sebesar 0%. Sebaliknya Charing Cross Hospital melaporkan 30 dari 35 pasien (86%) dengan lesi serebral mendapatkan remisi dengan kombinasi kemoterapi dosis tinggi intravena dan intratekal MTX, dengan atau tanpa ajuvan radiasi. Pada NETDC, semua kasus metastase serebral diberikan ajuvan radiasi. Sedangkan lesi serebral soliter dapat dilakukan reseksi. Evans et al melaporkan 3 dari 4 pasien (75%) yang menjalani craniotomy mendapatkan remisi sempurna. Wong et al melaporkan 9 dari 10 pasien (90%) GTN Stage IV dengan metastase hepar mengalami remisi dengan kemoterapi saja. Tabel 5. Protokol Terapi GTN Stage IV (New England Trophoblastic Disease Center)
Initial EMACO Dengan metastase serebral: Radiasi Kraniotomi untuk lesi perifer

Dengan metastase hepar Embolisasi Reseksi untuk mengatasi komplikasi

10

Resisten

kemoterapi salvage: EMAEP VBP Protocol eksperimental Pembedahan sesuai indikasi Embolisasi arteri hepatica, sesuai indikasi

Folow up

pemantauan kadar hCG per minggu sampai tidak terdeteksi selama 3 minggu, selanjutnya setiap bulan selama 24 bulan kontrasepsi wajib selama 24 bulan

EMACO: etopuside, methotrexate, actinomycine D, cytoxan, oncovin; EMAEP: etopuside, methotrexate, actinomicin D, carboplatin; VBP: vinblastine, bleomycin, carboplatin

Terapi PSTT dan ETT PSTT dan ETT relatif kemoresisten oleh karena itu sebaiknya dipertimbangkan pilihan histerektomi sebagai terapi lini pertama pada kasus tersebut. Pada kasus PSTT dan ETT Stage I biasanya efektif dengan terapi pembedahan saja, akan tetapi apabila sudah terjadi metastase maka pemberian kombinasi kemoterapi yang intensif dapat memberikan remisi sempurna.

Managemen komplikasi GTN Pada komplikasi berupa perdarahan profuse yang berasal dari uterus atau rupture uteri maka dapat dipertimbangkan pilihan histerektomi. Sedangkan pada pasien dengan hemodinamik yang stabil dan masih menginginkan fungsi fertilitas maka dapat dilakukan embolisasi arteri uterina. Sedangkan pada kasus metastase vaginal dengan perdarahan banyak dapat dilakukan kontrol perdarahan dengan packing vagina, atau eksisi lokal, atau embolisasi pembuluh darah hipogastrik. Metastase hepar dengan komplikasi perdarahan dapat dilakukan tindakan reseksi hepar, oklusi arteri hepatica secara selektif, disertai dengan kombinasi kemoterapi.

11

Kesimpulan Progresi yang cukup signifikan dalam diagnosis dan managemen GTN telah terjadi dalam beberapa dekade terakhir. GTN merupakan keganasan yang dapat disembuhkan dengan kemoterapi tunggal maupun kombinasi. Akan tetapi GTN dapat pula sulit diterapi oleh karena keterlambatan pasien untuk berobat atau dalam penegakkan diagnosis maupun pada kasus rekurensi dan resistensi terhadap kemoterapi. Oleh karena itu penting bagi tenaga kesehatan untuk mengetahui gejala dan tanda GTN sehingga dapat diterapi sedini mungkin, dan follow up harus dilakukan secara teratur sehingga adanya rekurensi dapat dideteksi dengan cepat. Selain itu, penemuan obat-obat kemoterapi yang baru diharapkan dapat mengurangi komplikasi toksisitas obat, meningkatkan efikasi terapi, dan memperbaiki managemen kasus kemoresisten. Dalam penanganan kasus GTN diperlukan pula kolaborasi dengan berbagai disiplin ilmu oleh karena aspek psikologis pasien dan keluarga tidak dapat diabaikan.

12

Anda mungkin juga menyukai