Anda di halaman 1dari 3

Kejernihan Pikiran

Sepasang muda mudi yang baru menikah, menempati rumah di sebuah komplek perumahan. Suatu pagi, sewaktu sarapan, melalui jendela kacanya si istri melihat tetangganya sedang menjemur kain. Cuciannya kelihatan kurang bersih ya Pah, kata sang istri. Sepertinya dia tidak tahu cara mencuci pakaian dengan benar. Mungkin dia perlu sabun cuci yang lebih bagus, lanjut si istri berkomentar. Suaminya menoleh, tetapi hanya diam dan tidak memberi komentar apapun. Sejak hari itu setiap tetangganya menjemur pakaian, selalu saja sang istri memberikan komentar yang sama mengenai si tetangga yang dinilai kurang bersih mencuci pakaian. Dan seperti biasa sang suami diam dan tidak berkata apapun. Seminggu berlalu, sang istri heran melihat pakaian-pakaian yang dijemur oleh tetangganya bersih cemerlang dan terlihat tanpa noda, dan dia pun berkata kepada suaminya: Pah, lihat, sepertinya dia telah belajar bagaimana mencuci dengan benar. Siapa ya kira-kira yang sudah mengajarinya? Mungkin suaminya memarahi dia sehingga dia akhirnya belajar bagaimana caranya mencuci baju dengan benar. Sang suami berkata, Saya bangun pagi-pagi sekali hari ini dan membersihkan jendela kaca kita, Mah. Kita seringkali tidak sadar akan apa yang terjadi pada diri kita sendiri. Lebih parahnya lagi kita menggunakan hal tersebut untuk menilai orang lain. Bisa diibaratkan kita masing-masing menggunakan sebuah kaca mata. Jika kita menggunakan kaca mata hitam maka semua yang kita lihat menjadi tampak hitam. Sebelum kita mengganti kaca mata kita maka semuanya akan tampak hitam. Hal ini terjadi saat kita memandang bawahan kita negatif. Selama kita berpandangan negatif terhadapnya maka sebaik-baiknya dia melakukan sesuatu tetap saja kita tak akan mampu melihat perbuatan baiknya. Hal yang sama terjadi pada saat kita memandang anak kita lemah, susah konsentrasi, pemalas atau kurang bertanggung jawab. Selama kita menggunakan kaca mata tersebut maka sebaik-baiknya anak kita berperilaku kita akan susah melihat perbaikannya. Apa yang kita lihat pada saat menilai orang lain tergantung pada kejernihan pikiran (jendela) yang kita pakai untuk melihat. Kejernihan pikiran (yang diibaratkan kaca jendela atau kaca mata) ini adalah sistem pengalaman yang kita miliki dan tersimpan dalam memori kita yang mengkristal membentuk sebuah keyakinan dan akhirnya membentuk cara pandang kita terhadap sesuatu. Segala peristiwa di luar diri kita adalah netral adanya. Kitalah yang memberikan makna atas peristiwa tersebut sesuai dengan persepsi yang tersusun dari seperangkat sistem keyakinan yang kita miliki. Kita bisa memandang sebuah peristiwa negatif dan sebentar kemudian kita bisa memandangnya positif. Padahal peristiwanya tetap saja.

Ambil contoh seseorang ditipu rekan kerjanya Rp 100 juta maka ia akan cenderung marah dan merasa diperdaya. Tetapi jika saat itu ada seseorang yang juga kebetulan tahu strategi si penipu dan mengatakan rahasia si penipu yang akan menipu Rp 2 milyar dan sudah menyusun strategi yang rapi namun gagal maka orang tersebut akan merasa bersyukur bahwa ia hanya ditipu Rp100 juta. Peristiwanya sama dan tidak berubah namun cara pandang kita bisa langsung berganti dari merasa diperdaya menjadi bersyukur. Itulah bagaimana persepsi mempermainkan diri kita. Contoh lain adalah tentang kasus nyata Ibu Sinta berusia sekitar 30 tahun saat menjadi salah satu peserta Core Transformation Camp yang saya adakan di Surabaya. Beliau maju menjadi klien sukarelawan saat saya meminta peserta untuk mengajukan sebuah masalah yang akan saya jadikan contoh kasus untuk diterapi di depan kelas. Masalahnya adalah omzet perusahaannya bidang makanan seakan berhenti tak ada peningkatan dan mendapatkan order adalah sesuatu yang membutuhkan perjuangan berat. Dulunya mulai dari produksi sampai penjualan semuanya berjalan lancar. Namun beberapa waktu terakhir ada saja hambatan yang muncul. Karyawan keluar, pencurian, salah produksi dan yang lebih parah adalah seretnya penjualan baik langsung maupun pesanan. Singkat cerita saya lakukan sedikit wawancara seputar permasalahannya dengan teknik wawancara tertentu untuk mencari tahu makna apa yang terkandung dalam setiap pilihan kata-katanya lalu setelah itu pemaknaan ulang melalui teknik terapi ICT (Instant Change Technique). Hasilnya ibu Sinta merasa plong dan lega. Namun terapi belum selesai sampai di sana. Karena waktu seminar yang terbatas maka beliau saya minta untuk melakukan sesi terapi personal sebagai lanjutannya. Pada saat sesi terapi personal ternyata terungkap sebuah masalah yang lebih dalam lagi tentang mengapa beliau mengalami kejadian-kejadian buruk dalam usahanya. Beliau memiliki kepercayaan yang kurang mendukung berkaitan dengan uang. Beliau menganggap punya uang banyak bisa menimbulkan masalah besar dalam kehidupan. Lebih baik punya uang cukupan saja yang penting nyaman, sehat dan bahagia. Nah masalahnya adalah uang yang jumlahnya cukupan membuat ibu Sinta memiliki batas atas tertentu terhadap jumlah uang yang layak dimilikinya. Jika batas atas tersebut terlewati maka dengan satu atau lain cara uang akan keluar dari pundi-pundinya dengan alasan yang tampak logis sehingga jumlah uangnya akan berada di batas atas yang telah di-setting oleh pikiran bawah sadarnya. Permasalahan berikutnya adalah dari mana ibu Sinta punya kepercayaan seperti itu. Setelah melalui proses penggalian didapatkan sebuah fakta bahwa ibu Sinta merasa kurang berharga. Level harga dirinya tidak mendukung untuk memiliki uang dalam jumlah lebih banyak lagi. Hal ini bermula dari sikap orangtuanya yang sering meremehkan ibu Sinta. Sejak kecil ibu Sinta sering dianggap tak mampu karena sering sakit. Bahkan hingga dewasa pun kalau ibu Sinta cerita tentang keinginannya maka ibunda dari ibu Sinta akan mengatakan sudahlah kamu itu mimpi mau bisa begitu, mana mungkin kamu mampu. Syukuri saja keadaanmu sekarang dan kerjakan yang kamu bisa Kalimat sejenis di atas seringkali didengar ibu Sinta dari ibundanya dan akhirnya ibu Sinta merasa bahwa mungkin saja ibundanya benar karena selama ini prestasinya juga pas-pasan.

Nah perasaan hanya sebagai orang biasa-biasa inilah yang membayang terus dalam diri ibu Sinta ketika dipercaya memegang kendali perusahaan yang mendadak ditinggalkan oleh orangtuanya yang sakit parah. Dalam proses terapi yang sangat seru akhirnya ibu Sinta berhasil memaknai ulang semua perjalanan hidupnya termasuk semua keyakinan tentang dirinya dan tentang segala aspek hidup. Cerita setelahnya adalah sebuah keajaiban yang muncul berulang kali. Berbagai kebetulan positif datang bertubi-tubi dalam hidup ibu Sinta. Sampai akhirnya beliau mengatakan bahwa Tuhan itu ternyata masih baik terhadap dirinya. Inilah saat dimana ibu Sinta mengganti kaca matanya. Pesanan meningkat drastis bahkan sampai beberapa bulan ke depan order sudah penuh dan produksi sampai kewalahan. Uang datang dari berbagai sumber tak terduga. Perasaannya jauh lebih nyaman dan plong dalam menangani segala sesuatu. Hal tersebut terjadi karena sekarang ibu Sinta telah memandang dunia dengan cara berbeda dari sebelumnya sehingga dunia pun merespon berbeda. Itulah hukum aksi reaksi yang berlaku untuk semua orang. Saat pikiran kita jernih dan mampu memandang segala peristiwa dengan persepsi yang menguntungkan maka kita akan menarik hal-hal positif dalam hidup kita. Salam hebat

Anda mungkin juga menyukai