Anda di halaman 1dari 10

KEKUATAN HUKUM AKTA PERIKATAN JUAL BELI TANAH YANG DIBUAT OLEH NOTARIS (Studi Kasus pada Kantor

Notaris Ferry Susanto Limbong, S.H.,M. HUM. di Medan) Lily Maryam Nasution, S.H., M.Hum. Jurusan Administrasi Niaga, Program Studi Administrasi Bisnis, Politeknik Negeri Medan ABSTRACT In the case of conducting deed of law to transfer a land right must be done before a Notary or Functionary of Marker of Act of land with aim to get stregth of valid veryfication and made with authentict act. Special for grounds which is have sales certificate or transfer of this right is conducted by before Functionary of Maker of Act of land, but sometimes execution of this sales is conducted before Notary, named whith Purchasing and Selling Agreement or expressed also with alliance of sales. As for becoming te problem of this research is : What things is just which cause implementation of alliance of constraints and sales what possible arise from alliance of sales, how legal force and weakness an act alliance of made sales before notary. This research will the character of Empirical Law conducted with field study (Field of Research). Field study done by perception and interview to execution of act legal force alliance of made by sales in notary, specially in Ferry Susanto Limbong SH of ofice notary in Medan. Hereinafter primary data and data of secondary obtained to be collected is then analyzed by using analysis qualitative. Approach of normative Juridial conducted whith stocktaking and check materials bibliography of law that related to problems. Incidence of this purchasing and selling agreement because of many factor, among other is disinclination of side to pay for lease, good in the form Building (BPHTB) as well as as other causes among others not yet by clean inspection of certificate at Body Land Office (BPN), and also not yet conducted of roya of the certificate which still encumbered by Rights Responsibility. Keyword: legal force, act alliance Latar Belakang Dalam hal melakukan perbuatan hukum untuk mengalihkan suatu hak atas tanah harus dilakukan dihadapan seorang Notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah yang bertujuan untuk memperoleh kekuatan pembuktian yang sah dan dibuatkan dengan akta otentik. Khusus untuk tanah-tanah yang bersertifikat jual beli atau pengalihan hak ini dilakukan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah, tetapi ada kalanya pelaksanaan jual beli ini dilakukan di hadapan notaris, yang dinamakan dengan perjanjian jual beli atau dinyatakan pula dengan hukum perikatan jual beli. Sehubungan dengan akta yang dibuat oleh Notaris, didalam Pasal 1868 Kitab Undangundang Hukum Perdata disebutkan : Suatu akta autentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya. Akta-akta yang dimaksudkan di atas dibuat oleh notaris, dimana pengertian notaris itu sendiri dapat dilihat dalam ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1 Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004 yang memberikan ketentuan tentang apa yang menjadi tugas notaris yaitu : Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. Dari Pasal 1 UndangUndang Jabatan Notaris tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa tugas pokok notaris adalah membuat akta-akta otentik yaitu suatu akta yang menurut Pasal 1870 Kitab Undang-undang Hukum Perdata akan memberikan kepada pihak-pihak yang membuatnya suatu pembuktian yang mutlak. Dan kalau dilihat pula pengertian jual beli yang dihubungkan dengan kekuatan akta yang dibuat oleh notaris, maka dapat dilihat dalam Pasal 1457 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang berbunyi : Jual Beli adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Hal itu dipertegas lagi dengan bunyi Pasal 1458 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa : Jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelahnya orang-orang ini mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan, maupun harganya belum dibayar. Ini berarti bahwa perikatan yang telah ada diantara kedua belah pihak menjadi dasar untuk tindakan selanjutnya di dalam pembuatan suatu perjanjian terutama dalam

hal perikatan jual beli yang akan dilaksanakan oleh para pihak. Jual beli yang dimaksud adalah jual beli dalam arti untuk tanah-tanah yang sudah besertifikat yang meliputi segala sesuatu yang ada/berada atau ditempatkan di atas tanah tersebut dan jual beli ini dilaksanakan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), namun untuk hal-hal tertentu pelaksanaan jual beli ini dapat juga dilakukan di hadapan notaris, dalam hal ini disebut dengan perikatan jual beli. Selanjutnya dalam Pasal 1 UndangUndang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004 antara lain menjelaskan bahwa notaris sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik. Maka peranan seorang notaris adalah sangat penting dalam pembuatan sebuah akta dan notaris tentunya akan dihadapkan kepada fungsinya yaitu agar dapat memberikan pelayanan kepada semua pihak yang datang menghadap kepadanya, sehingga para pihak bisa saling percaya dan dapat bekerja sama dalam mencegah terjadinya suatu persoalan antara para pihak di kemudian hari. Dalam hal ini notaris harus selalu bersikap netral dan berupaya untuk mencari jalan keluar bagi para pihak. Tinjauan Pustaka A. Tinjauan Umum Tentang Perikatan dan Perjanjian 1. Pengertian Perikatan dan Sumber Perikatan Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum, perikatan adalah hubungan yang terjadi antara dua orang atau lebih, yang terletak di dalam lapangan harta kekayaan, dimana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi itu. Menurut Vander Burght Gr : Perikatan adalah suatu hubungan hukum serta kekayaan antara dua orang atau lebih yang menurut ketentuan seseorang atau lebih berhak atas sesuatu sedangkan yang seorang lagi atau lebih berkewajiban untuk itu. Berdasarkan Pasal 1233 KUH Perdata bahwa sumber dari perikatan adalah : 1. Perjanjian, dimana perikatan yang dilahirkan dari perjanjian memang dikehendaki oleh para pihak yang membuat perjanjian. Melalui perjanjian itu para pihak-pihak mempunyai kebebasan untuk mengadakan segala jenis perikatan, dengan batasan yaitu tidak dilarang oleh Undang-undang, berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum.

2.

Undang-undang, perikatan yang lahir dari Undang-undang itu diadakan oleh Undang-undang diluar kemauan para pihak.

2. Pengertian Perjanjian Istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan dari istilah Overeenkomst dalam bahasa Belanda atau Agreement dalam bahasa Inggris. Defenisi suatu perjanjian terdapat dalam Pasal 1313 KUH Perdata, yaitu : Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Sedangkan menurut Abdul Kadir Muhammad : Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan sesuau hal dalam lapangan harta kekayaan. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa perjanjian merupakan salah satu sebab lahirnya suatu perikatan (disamping undang-undang) dalam hal harta benda/harta kekayaan dan oleh karenanya Hukum Perjanjian merupakan bagian dari Hukum Perikatan dan diatur di dalam Buku Ketiga Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang mengatur tentang Perikatan. Dalam bentuknya perjanjian berupa rangkaian perkataan yang mengandung janjijanji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.Disini dapat dilihat bahwa perikatan adalah pengertian abstrak, sedangkan perjanjian adalah suatu hal yang kongkrit atas suatu peristiwa. 1. Jenis-jenis Perjanjian Perjanjian dapat dibedakan menurut berbagai cara. Perbedaan tersebut adalah sebagai berikut : a. Perjanjian timbal balik Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak. 3. Perjanjian cuma-cuma dan perjanjian atas beban. Perjanjian cuma-cuma adalah perjanjian yang memberi keuntungan bagi salah satu pihak saja. Sedangkan perjanjian atas beban ialah perjanjian terhadap prestasi dari pihak yang satu dengan selalu terdapat kontra prestasi dari pihak yang lain, dimana antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum. b. Perjanjian bernama dan perjanjian tidak bernama. Perjanjian bernama (benoemd, specified, nominat) adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri, maksudnya

c.

d.

e.

f.

g. 1.

2.

perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang, berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi sehari-hari. Di luar perjanjian bernama tumbuh perjanjian tidak bernama (onbenomd, un specified, unnominat), yaitu perjanjian-perjanjian yang tidak diatur dalam KUH Perdata, tetapi terdapat dalam masyarakat. Perjanjian campuran (contractus sui generis). Perjanjian campuran adalah perjanjian yang mengandung berbagai unsur perjanjian, misalnya pemilik hotel yang tidak saja menyewakan kamar (sewamenyewa) tetapi juga menyajikan makanan (jual-beli) dan memberikan pelayanan lain diluar pelayanan yang lazim. Perjanjian Obligatoir. Yaitu perjanjian antara pihak-pihak yang mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan kepada pihak lain (perjanjian yang menimbulkan perikatan).Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) perjanjian jual beli saja belum mengakibatkan beralihnya hak milik dari penjual kepada pembeli. Untuk beralihnya hak mili tersebut masih diperlukan satu lembaga lain yaitu penyerahan (levering). Perjanjian jual beli itu sendiri dinamakan perjanjian obligator karena membebankan kewajiban kepada para pihak untuk melakukan penyerahan.Penyerahannya sendiri merupakan perjanjian kebendaan. Perjanjian kebendaan (zakelijke overeenkomst). Perjanjian kebendaan adalah perjanjian hak atas benda dialihkan/diserahkan kepada pihak lain (transfer of title). Perjanjian konsensual dan perjanjian riil. Perjanjian konsensual adalah perjanjian diantara kedua belah pihak yang telah mencapai kesesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan.Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) juga terdapat perjanjianperjanjian yang hanya berlaku sesudah terjadi penyerahan barang, perjanjian ini dinamakan perjanjian riil. Perjanjian-perjanjian yang istimewa sifatnya. Perjanjian liberatoir, yaitu perjanjian para pihak yang membebaskan diri dari kewajiban yang ada, misalnya perjanjian pembebasan hutang yang diatur dalam pasal 1438 KUH Perdata Perjanjian pembuktian, yaitu perjanjian antara para pihak untuk menentukan

3.

4.

pembuktian apakah yang berlaku diantara mereka ; Perjanjian untung-untungan, misalnya perjanjian asuransi Pasal 1774 KUH Perdata ; Perjanjian publik, yaitu perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai hukum publik karena salah satu pihak bertindak sebagai penguasa (pemerintah), misalnya perjanjian ikatan dinas dan perjanjian pengadaan barang pemerintah (Keputusan Presiden Nomor 29 tahun 1994).

2. Syarat-syarat Sah Perjanjian Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 (empat) syarat, dan syarat itu diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yaitu : 1. Kesepakatan para pihak. Pengertian sepakat diartikan sebagai pernyataan kehendak yang disetujui oleh para pihak (overeenstemende wilsverklaring) para pihak. Dan persetujuan kehendak itu sendiri adalah kesepakatan, seia sekata antara pihak-pihak mengenai pokok perjanjian yang dibuat. 2. Kecakapan untuk berbuat sesuatu Hal-hal yang berhubungan kecakapan dan kewenangan bertindak dalam rangka perbuatan untuk kepentingan diri pribadi orang perorangan ini diatur dalam Pasal 1329 sampai dengan Pasal 1331 KUH Perdata. 3. Suatu hal tertentu. Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian, merupakan prestasi yang perlu dipenuhi dalam suatu perjanjian, dan merupakan objek perjanjian.Prestasi itu haruslah tertentu atau sekurang-kurangnya dapat ditentukan.Apa yang menjadi prestasi harus jelas, ditentukan jenisnya, jumlahnya boleh tidak disebutkan asal dapat dihitung atau ditetapkan. 4. Suatu sebab yang halal. Suatu sebab yang halal sebagai syarat keempat untuk sahnya perjanjian sering juga disebut dengan oorzaak (bahasa Belanda) dan cause (bahasa latin). Sebab adalah suatu yang menyebabkan orang membuat perjanjian, yang mendorong orang membuat perjanjian. Tapi yang dimaksud dengan cause yang halal dalam Pasal 1320 KUH Perdata itu bukanlah sebab dalam arti yang menyebabkan atau yang mendorong orang membuat perjanjian, melainkan sebab dalam arti isi perjanjian itu sendiri yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh pihak-pihak.

B. Perjanjian Jual Beli 1. Jual Beli Tanah Jual beli tanah adalah perbuatan hukum yang berupa penyerahan tanah hak kepada pihak lain untuk selama-lamanya (hak atas tanah itu berpindah kepada yang menerima penyerahan. Pendapat dari Subekti tentang jual beli yang menyatakan bahwa : Jual beli adalah suatu perjanjian dengan perjanjian itu pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang dan pihak lain untuk membayar harga yang telah diperjanjikan. Dari pengertian jual beli tersebut diatas dapat diambil beberapa unsur dalam suatu perjanjian jual beli yaitu : 1. Adanya pihak-pihak sedikitnya dua orang. 2. Adanya persetujuan pihak-pihak. 3. Penyerahan hak milik atas suatu barang dan 4. Pembayaran harga yang diperjanjikan. Namun ada kalanya suatu akta jual beli yang akan dibuat oleh para pihak tanpa melalui Pejabat Pembuat Akta Tanah dan jual beli itu dilakukan secara tunai. Maka sehubungan dengan itu dibuatlah suatu akta yang dinamakan dengan akta perjanjian jual beli dan sering juga disebut orang dengan perikatan jual beli. Akta perjanjian jual beli ini merupakan akta yang dibuat oleh notaris, dan akta ini merupakan akta awal dari suatu akta jual beli yang nantinya akan dibuat di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berwenang. Akta perjanjian jual beli ini diperbuat oleh pihak-pihak dikarenakan oleh beberapa sebab antara lain : 1. Adanya syarat yang belum dipenuhi untuk melangsungkan jual beli dengan akte Pejabat Pembuat Akta Tanah. 2. Tidak ada syarat yang menghalangi dibuatnya akta Pejabat Pembuat Akta Tanah namun pihak-pihak senantiasa meminta dibuatkan akta Perikatan jual beli. Akta yang dibuat notaris adalah akta otentik dan otensitasnya itu bertahan terus, bahkan sampai sesudah ia meninggal dunia. Tanda tangannya pada waktu akta itu tetap mempunyai kekuatan, walaupun ia tidak dapat lagi menyampaikan keterangan mengenai kejadian-kejadian pada saat pembuatan akta itu. Apabila notaris untuk sementara waktu diberhentikan atau dipecat dari jabatannya, maka akta-akta tersebut tetap memiliki kekuatan sebagai akta otentik, tetapi akta-akta itu haruslah telah dibuat sebelum

pemberhentian atau pemecatan waktu itu dijatuhkan.

sementara

2. Lembaga Kuasa Satu hal penting yang harus diperhatikan di dalam suatu akta perjanjian jual beli yang dibuat oleh notaris adalah bahwa setelah akta itu dibuat harus diikuti dengan diterbitkannya suatu Surat Kuasa, dengan kata lain akta perjanjian jual beli tidak dapat dipisahkan dari surat kuasa. Pemberian kuasa (lastgeving) diatur di dalam Buku III Bab XVI mulai dari Pasal 1792 sampai Pasal 1819 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata), sedangkan kuasa (volmacht) tidak diatur secara khusus dalam KUH Perdata maupun di dalam perundang-undangan lainnya, akan tetapi diuraikan sebagai salah satu bagian dari pemberian kuasa. Surat pemberian kuasa pada umumnya merupakan suatu perjanjian sepihak, dimana kewajiban untuk melaksanakan prestasi hanya terdapat pada satu pihak saja yaitu pada penerima kuasa. Dari hal tersebut dapat dilihat, bahwa unsurunsur dari pemberian kuasa adalah : 1. Persetujuan. 2. Memberi kekuasaan kepada penerima kuasa. 3. Atas nama pemberi kuasa menyelenggarakan suatu urusan. 3. Blanco Volmacht Sebagai pengganti dari Kuasa Mutlak yang diberikan dengan akta tersendiri bila calon pembeli dapat juga dengan adanya blanko volmacht, artinya di dalam perjanjian jual beli yang telah dibuat di hadapan notaris, di dalam pasalnya ada beberapa baris yang dikosongkan dan hanya diisi dengan titik-titik dimana titik-titiknya ini dapat diisikan nama orang yang akan ditunjuk sebagai penerima kuasa. Orang yang akan diisikan namanya di dalam blanko volmacht disebut bisa saja pegawai notaris atau penerima kuasa itu sendiri. Pengaturan mengenai hal ini terdapat di dalam pasal 5 perjanjian jual beli, kuasa yang dimaksud tersebut merupakan bagian yang terpenting yang gunanya untuk mewakili sipemberi kuasa dalam hal mengurus dan menyelesaikan segala sesuatu yang berhubungan dengan akan dilakukannya jual beli guna melakukan segala sesuatu yang dianggap perlu dan berguna oleh pihak pembeli (penerima kuasa) untuk memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan terutama sekali Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.

4. Subjek dan Objek Perjanjian Jual Beli a. Subjek Hukum Perjanjian Jual Beli Di dalam perjanjian jual beli ini terdapat dua subjek yaitu penjual dan pembeli.Dan kedua subjek ini terbagi juga atas manusia dan badan hukum. Badan Hukum yang dimaksudkan adalah seperti Peseroan Terbatas (PT), Yayasan, Koperasi atau badan hukum lain. Namun tidak semua badan hukum dapat membeli segala jenis hak atas tanah, misalnya suatu Perseroan Terbatas (PT) yang ingin membeli suatu tanah dengan sertipikat hak milik, sertipikat tanah tersebut harus diturunkan haknya dulu menjadi hak guna bangunan, barulah kemudian dilakukan transaksi atas tanah tersebut, begitu juga halnya terhadap subjek manusia, tidak semua pribadi dapat memiliki semua jenis hak, dimana orang asing tidak dapat memiliki hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, orang asing hanya boleh memiliki hak pakai (Pasal 12 UUPA). Subjek yang berupa manusia harus memenuhi syarat umum untuk dapat melakukan suatu perbuatan hukum secara sah, yaitu harus sudah dewasa, sehat pikirannya. Sedangkan bagi Badan Hukum, siapa yang berhak untuk bertindak melakukan perbuatan hukum tertentu harus dilihat dari anggaran dasar badan hukum tersebut. Di dalam anggaran dasar dari badan hukum itu akan dapat dilihat siapa saja yang berwenang untuk bertindak mewakili perusahaan apakah itu dalam hal jual, menggadaikan, meminjam dan lain-lain tindakan sehubungan dengan pembuatan hukum yang dimaksud di dalam anggaran dasar itu. b. Objek Perjanjian Jual Beli Di dalam praktek notaris, barang yang menjadi objek dari perjanjian jual beli ini adalah barang tidak bergerak yaitu berupa tanah yang telah bersertifikat, berikut segala sesuatu yang berada diatasnya baik dengan bangunan permanen atau tidak, pabrik, perkantoran dan tanaman yang ada di atasnya. Di dalam suatu perjanjian jual beli tanah yang dapat dijadikan objek perjanjian jual beli adalah tanah-tanah yang telah jelas statusnya haknya yaitu tanah bersertipikat hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai atas tanah negara dan hak pengelolaan. Kesemua itu adalah tanah-tanah yang merupakan objek dari suatu perjanjian jual beli, sedangkan terhadap tanah-tanah diluar dari yang telah disebutkan di atas, juga menjadi wewenang dari notaris dalam

pembuatan aktanya, hanya saja nama aktanya bukanlah akta perjanjian jual beli, tetapi dengan akta Pelepasan Hak dengan Ganti Rugi. Sehubungan dengan perjanjian jual beli tersebut di atas, para pihak biasanya mengadakan perjanjian jual beli tersebut disebabkan oleh beberapa faktor-faktor antara lain : a. Keengganan para pihak untuk membayar pajak, karena dengan adanya akta perjanjian jual beli yang dilengkapi surat kuasa maka pihak pembeli (selanjutnya dia dapat bertindak sebagai penjual) dapat lagi untuk menjual objek tersebut kepada pihak lain tanpa harus mengeluarkan uang untuk membayar pajak. b. Karena pihak penjual membutuhkan uang dalam jangka waktu yang cepat, berarti dengan ditanda tanganinya akta perjanjian jual beli, dia akan mendapat uang tunai secara langsung dan cepat, sedangkan kalau jual beli itu dilakukan secara defenitif melalui PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) akan memakan waktu yang lama. c. Karena salah satu pihak (pihak penjual) akan pergi atau pindah ke tempat yang baru, sehingga dengan dibuatnya akta perjanjian jual beli yang disertai dengan surat kuasa, maka pihak pembeli (selanjutnya akan bertindak sebagai pihak penjual) dapat melakukan proses balik nama atau melakukan lagi perjanjian jual beli dengan pihak yang baru. Tapi semua itu terjadi setelah notaris dan para pihak memahami dan mengakui sertipikat tanah tersebut tidak bermasalah. Namun dalam pembuatan akta perjanjian jual beli ini, kalau sekiranya di antara para pihak terus menerus melakukan perjanjian jual beli, tanpa melakukan jual beli melalui PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah), maka bagi pembeli terakhir yang berkeinginan untuk melakukan proses balik nama di Kantor Pertanahan, akan merugikan pihak pembeli terakhir tersebut, yaitu dalam hal pembayaran pajak. Misalnya proses perjanjian jual beli itu terjadi sebanyak empat kali, yaitu dari pihak A kepada Pihak B, kemudian dari pihak B kepada pihak C, dan terakhir dari pihak C kepada pihak D, maka pihak D akan dibebankan membayar pajak yaitu Pajak Penghasilan (PPH) dan Bea Perolehan hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dia harus membayar sejak terjadinya transaksi antara pihak A dan pihak B.

Maka untuk menghindari hal tersebut, semua akta dan surat kuasa yang sebelumnya digunakan dibatalkan, dan terakhir diadakan jual beli antara pihak A dan pihak D saja. Hal ini terjadi bila A, B, C dan D masih ada dan dapat dicari. Sedangkan kalau bagi pihak pemerintah akan menimbulkan suatu dampak, kerugian yang akan timbul dikarenakan tidak adanya pajak yang masuk ke kas negara, sebab para pihak melakukan transaksi perjanjian jual beli, tanpa melakukan jual beli melalui PPAT yang harus membayar pajak terlebih dahulu sebelum penanda tanganan akta jual beli. Namun demikian hal itu tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku dikarenakan notaris itu diperbolehkan untuk membuat suatu akta perjanjian jual beli dan mungkin untuk beberapa kali pembuatan akta perjanjian jual beli terhadap suatu objek yang sama, yang kemudian diikuti dengan akta jual beli PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) untuk syarat administrasi balik nama di Kantor Badan Pertanahan Nasional. C. Peran Notaris dalam Pembuatan Akta 1. Pengertian Notaris Notaris di Indonesia mulai dikenal pada zaman permulaan abad ke 17 yaitu dengan didirikannya Oost Ind. Compagnie. Pertama sekali Notaris yang diangkat di Indonesia adalah MelchiorKerchem (dia adalah Sekretaris College Schepenen). Setelah pengangkatannya tersebut jumlah notaris terus bertambah sesuai dengan kebutuhan pada waktu itu. Dalam Pasal 1 Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004 adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam UU ini. Dari apa yang dikemukakan pasal tersebut terlihatlah dengan jelas bahwa tugas jabatan Notaris adalah membuat akte otentik. Adapun yang dimaksud dengan akta otentik adalah Suatu akte yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akte dibuatnya (Pasal 1868 KUH Perdata). Selain itu Pasal 1 Undang-Undang Jabatan Notaris yang dikutip oleh Suhrawardi dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan pejabat umum adalah : Seorang yang dengan kedinasannya dengan korporasi umum yaitu Propinsi Daerah Kotapraja dan lain-lain. Daerah Otonom, mewakili badan-badan tersebut dalam melaksanakan tugas-tugas yang ada pada kedinasannya.

Notaris sebagai pejabat umum diangkat oleh negara, bekerja juga untuk kepentingan negara, namun demikian Notaris bukanlah pegawai sebagaimana yang dimaksud dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, sebab ia tidak menerima gaji, dia hanya menerima honorium atau fee dari klien. Dan dapat dikatakan bahwa notaris adalah pegawai pemerintah tanpa menerima suatu gaji dari pihak pemerintah. Notaris dipensiunkan oleh pemerintah akan tetapi tidak menerima pensiun dari pemerintah. Karena peran notaris dalam gerak pembangunan nasional yang semakin komplek, jabatan notaris selain sebagai jabatan yang menggeluti masalah-masalah teknis hukum, juga harus turut berpartisipasi aktif dalam pembangunan hukum nasional.Oleh karena itu notaris harus selalu menghayati idealisme perjuangan bangsa secara menyeluruh sehingga notaris mau tidak mau harus mengikuti perkembangan hukum nasional yang semakin dinamis, agar notaris mampu melaksanakan profesinya secara proporsional. 2. Kedudukan Notaris dalam Peraturan Jabatan Notaris Peranan peraturan perundang-undang dalam suatu negara sangat tergantung pada sistem hukum yang dianut oleh negara yang bersangkutan. Namun secara tradisional terdapat dua kelompok tradisi hukum anglo saxon. Perbedaan keduanya terletak pada peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi.Negara-negara yang tergolong ke dalam faham tradisi hukum kontinental biasanya menempatkan peraturan perundangundangan sebagai akar utama sistem hukumnya.Sebaliknya negara-negara yang tergolong ke dalam faham tradisi Anglo Saxon menempatkan yurisprudensi sebagai akar utama dalam sistem hukumnya. Bagi negara Indonesia sendiri, sistem hukum yang dianut sesuai dengan asas konkordansi adalah sistem hukum Eropa Kontinental, sehingga Peraturan hukum yang mengatur tentang jabatan notaris dipengaruhi oleh hukum negeri Belanda. Peraturan Notaris yang dipakai sebelumnya adalah Stb Nomor 3 yang mulai diberlakukan tanggal 1 Juli Tahun 1860, yang kemudian diundangkan sebagai Notaris Reglement (Peraturan-peraturan Jabatan Notaris) yang diletakkan sebagai fundamen landasan kelembagaan Notaris di Indonesia. Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 30 tahun 2004 yang diundangkan pada tanggal 6 Oktober Tahun 2004 menyatakan bahwa :

Notaris merupakan pejabat umum yang berwenang membuat akte otentik. Selain membuat akta-akta otentik yang merupakan tugas pokok/utama sehari-hari notaris dapat melakukan hal-hal : a. Bertindak sebagai penasehat hukum, terutama yang menyangkut masalah hukum perdata khususnya bertalian dengan akta yang akan, sedang dan telah dibuat dihadapannya. b. Mendaftarkan akta-akta surat-surat di bawah tangan. c. Melegalisir tanda tangan. d. Membuat dan mengesahkan salinan turunan berbagai dokumen. e. Mengusahakan disahkannya badan-badan seperti Perseroan Terbatas dan perkumpulan, agar memperoleh persetujuan/ pengesahan sebagai badan hukum dari Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. f. Membuat keterangan hak waris (di bawah tangan). g. Pekerjaan-pekerjaan lain yang bertalian dengan lapangan yuridis dan perpajakan, seperti urusan bea materai dan sebagainya. Hasil dan Pembahasan Persyaratan tersebut tentunya dapat bersifat macam-macam.Sebagaimana diketahui untuk terjadinya jual beli tanah hak dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) harus telah dilunasi harganya. Mungkin pula adanya keadaan dimana penjual yang sertifikat tanah haknya sedang dalam balik nama pada kantor Badan Pertanahan Nasional, akan tetapi penjual bermaksud untuk menjual tanah tersebut. Guna mengatasi hal itu maka dibuatlah perikatan jual beli. Perikatan jual beli dimaksud adalah sebagai suatu perikatan pendahuluan, yakni untuk sementara menantikan dipenuhinya syarat untuk perjanjian pokoknya yaitu jual beli dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berwenang membuatnya. Oleh karena perikatan jual beli ini merupakan perjanjian pendahuluan, maka biasanya di dalam perjanjian tersebut memuat janji-janji yang mengandung ketentuan-ketentuan manakala syaratsyarat untuk jual beli di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) telah terpenuhi.Setelah syarat untuk jual beli telah dipenuhi, para pihak dapat hadir kembali kehadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah(PPAT) untuk melaksanakan jual beli. Akan tetapi ada kemungkinan, bahwa calon penjualnya berhalangan untuk hadir kembali, sehingga untuk pelaksanaan penandatanganan akta jual belinya pembeli bertindak sendiri baik mewakili calon penjual maupun dirinya sendiri selaku calon pembeli. Maka dalam hal ini diperlukan kuasa, selain kuasa tersebut biasanya

calon penjual memberikan secara umum hak-hak kepengurusan (daden van beheer) atas tanah tersebut selama belum dilakukan jual beli dihadapan pejabat yang dimaksud. Hal ini diperlukan mengingat, bahwa adanya kemungkinan calon penjual tidak berada ditempat untuk melakukan tindakan hukum yang masih merupakan kewajiban tersebut. Apabila perikatan jual beli yang dibuat dihadapan notaris, maka notaris seyogianya telah mengantisipasi keadaan itu dengan mencantumkan kuasa-kuasa (blanco volmacht) yang dimaksud di dalam aktanya agar calon pembeli tidak dirugikan haknya mengingat telah dipenuhi semua persyaratan untuk jual beli dihadapan pejabat yang berwenang yakni Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Tujuan dari dibuatnya akta perikatan jual beli tersebut salah satunya adalah agar pihak yang satu (calon penjual) dapat memperoleh sebagian atau seluruhnya dari harga jual beli tersebut dan pihak yang satu (calon pembeli) dapat memperoleh hak atas tanah tersebut walaupun secara riel belum terjadi. Menurut keterangan dari Notaris Ferry Susanto Limbong, sebab pihak-pihak mengadakan persetujuan jual beli ini adalah antara lain : 1. Apabila sertifikat tanah tersebut masih dalam proses penerbitan di kantor Badan Pertanahan Nasional. 2. Apabila transaksi jual beli dibayar secara bertahap atau cara mencicil. 3. Apabila objek sedang ditempati atau sedang disewa oleh pihak lain. 4. Apabila objek sedang dalam proses royal. Akan tetapi menurut keterangan dari Notaris Ferry Susanto Limbong, timbulnya perikatan jual beli ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain yaitu karena jual beli belum lunas serta sertifikat induk belum di pecah dan sertifikat belum dilakukan pengecekan di Kantor Pertanahan. Kemungkinan lain yang menyebabkan dilakukannya atau dilaksanakannya pembuatan aktaperikatan jualbeli menurut responden adalah kalau sertifikat atas tanah tersebut masih ada nama pewaris atau pemilik awal, sedangkan para ahli waris akan menjual cepat tanah tersebut karena membutuhkan uang. Untuk itu agar mereka mendapatkan uang dalam jangka waktu yang cepat maka mereka melakukan transaksi dengan membuat akta perikatan jual beli dihadapan notaris. Hal serupa dikemukakan oleh ibu Elfi Gusnita sebagai seorang penjual yang dengan memakai akta perikatan jual beli, menurutnya, dia melakukan transaksi perikatan jual beli karena prosesnya cepat sebab dia membutuhkan uang segera mungkin dan dia juga terhindar dari membayar pajak, karena transaksi tersebut tidak

sampai dilakukan pendaftaran di Kantor Pertanahan. Keterangan dari responden Elfi Gusnita tersebut di atas juga dibenarkan oleh responden Dodi.Dodi adalah sebagai pembeli dari tanah yang dijual oleh ibu Elfi Gusnita tersebut di atas.Menurut responden Dodi dia mau memakai transaksi jual beli dengan memakai perikatan jual beli karena dia berencana akan menjual kembali tanah tersebut dengan harapan akan mendapat untung yang lebih, karena responden merasa beberapa tahun mendatang harga tanah itu pasti akan naik. Dalam hal tindakan yang harus diambil notaris berupa pembuatan akta perikatan jual beli, harus memperhatikan antara hak dan kewajiban antara kedua belah pihak (calon pembeli dan calon penjual), peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta memenuhi syarat-syarat dan pertimbangan-pertimbangan lain. Dengan telah selesainya para pihak membuat akta perikatan jual beli dihadapan notaris, seorang notaris disamping sebagai pejabat umum juga berfungsi sebagai penasehat hukum bagi pihakpihak yang datang menghadap kepadanya, sepanjang hal itu berkaitan dengan akta yang dibuatnya. Maka sebagai penasehat hukum notaris dapat memberikan alternatif-alternatif tindakan yang dapat ditempuh sebagai berikut : 1. Agar segera melunasi pembayarannya atau melunasi utangnya yang nantinya diperhitungkan sebagai harga jual tanah tersebut. Setelah sertipikat diperoleh, keduanya datang menghadap kepada PPAT-Notaris untuk melakukan transaksi jual beli. 2. Agar menunggu sertipikat keluar atas nama pihak penjual kemudian keduanya menghadap ke PPAT-Notaris untuk melakukan transaksi jual beli. Peranan notaris dalam pembuatan akta perikatan jual beli yang dimaksudkan di atas sangat besar sekali, karena notaris harus mengakomodir kepentingan pihak-pihak, sehingga secara hukum adanya kepastian, khususnya pihak pembeli (calon pembeli) sampai dengan terealisasinya jual beli secara defenitif. Kendala yang dihadapi dalam perikatan jual beli tanah dihadapan notaris Berdasarkan keterangan dari Notaris Ferry Susanto Limbong, menyatakan bahwa tidak semua kemauan para pihak dapat direspon untuk dimasukkan di dalam pembuatan sebuah akta, karena mungkin saja keinginan pihak yang satu belum tentu diterima oleh pihak yang lain. Tapi dalam hal itu notaris akan berperan untuk menyatukan dan mengakomodasi keinginan mereka itu sehingga masing-masing pihak merasa tidak ada kepentingannya yang terabaikan. .

Berkaitan dengan kendala yang dihadapi di atas, yaitu dalam hal objek yang akan dijual tersebut belum bersertifikat, menurut keterangan dari Notaris Ferry Susanto Limbong, jalan keluarnya adalah dengan tetap mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yaitu jual beli tanah itu baru dapat diproses apabila telah mempunyai sertifikat. Disamping itu juga meminta kepada penjual agar mengurus suratsurat pernyataan keterangan dari lurah setempat. Notaris Nurleli juga menyatakan jalan keluar yang dapat ditempuh kalau sekiranya seorang notaris meragukan keabsahan atau karena kurangnya bukti-bukti kepemilikan atas suatu objek tertentu, supaya lebih aman cukup melakukan legalisasi atau pencatatan (waarmerking) atas suatu surat jual beli yang diajukan kepadanya, artinya notaris janganlah mengambil resiko terhadap suatu hal yang belum pasti, dan dia cukup menyarankan untuk membuat perjanjian jual beli secara dibawah tangan, kemudian notaris turut mengesahkan dengan jalan legalisasi atau pencatatan (waarmerking). Berdasarkan dari keterangan-keterangan yang diberikan oleh responden di bagian sebelumnya penulis memberikan analisis yaitu mengenai kelanjutan dari tindakan yang akan dilakukan oleh pembeli (calon pembeli) setelah terjadinya penandatanganan akta perikatan jual beli (lunas), dimana setelah semua surat-surat yang dibutuhkan oleh notaris telah dilengkapi oleh para pihak untuk pembuatan suatu akta perikatan jual beli, maka dibuatlah akta tersebut secara notaril dihadapan notaris. Berdasarkan hal tersebut, bagi pihak pembeli (calon pembeli) untuk waktu nantinya pada saat penanda tangan akta jual beli di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah dan pada saat akan mendaftarkan peralihan haknya di kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) tidak perlu lagi meminta persetujuan dari pihak penjual (calon penjual), karena di dalam akta perikatan jual beli di salah satu pasalnya ada disediakan blanco volmacht (pada bagian sebelumnya telah diuraikan tentang blanco volmacht). C. Kekuatan Hukum dan Kelemahan dari Akta Perikatan Jual Beli Tanah Yang Dibuat Oleh Notaris Dari hasil penelitian yang dilakukan di lapangan dan Library research, maka dapat disimpulkan kekuatan dari Akta Perikatan Jual Beli Tanah tersebut adalah : 1. Pasal 1 Undang-Undang Jabatan Notaris yang berbunyi : Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang ini.

Dari defenisi di atas dapat diketahui bahwa : Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik. Aktaakta yang berkaitan dengan perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau dikehendaki oleh yang berkepentingan supaya dinyatakan dalam suatu akta otentik. 2. Akta Perikatan Jual Beli adalah akta otentik dan bukti atas tanah yang dapat dipertanggung jawabkan baik bagi pembeli dan penjual juga terhadap pihakpihak lain merupakan alat bukti yang kuat. 3. Akta Perikatan Jual Beli tidak pernah ditolak oleh BPN dan terbukti dengan akta perikatan jual beli dapat dilaksanakan jual beli di hadapan PPAT dan balik nama ke atas nama pembeli. 4. Akta Perikatan Jual Beli tidak pernah dilarang oleh undang-undang dan merupakan akta awal dari peralihan hak atas tanah yang sudah bersertifikat. Lebih cepat dan lebih mudah pelaksanaannya, segera dapat dijual lagi karena jual belinya kontan (tunai).

5.

Pengadilan dari tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung mengakui eksistensi akta perikatan jual beli ini dan merupakan alat bukti yang kuat dalam persidangan dan memenangkan perkata berdasar akta perikatan jual beli tersebut. Kelemahan-kelemahan dari Akta Perikatan Jual Beli adalah : 1. Akta perikatan jual beli itu dibuat tanpa pembayaran pajak yang terhutang seperti pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), tentu mengurangi pemasukan uang ke kas negara. Bila dengan Akta PPAT, PPAT terlebih dahulu harus melihat bukti pembayaran PPh dan BPHTB baru dilaksanakan jual beli. Jual beli dihadapan PPAT telah diakui sebagai salah pintu gerbang pemasukan uang ke kas negara. 2. Akta perikatan jual beli yang berulangulang kali dilaksanakan tanpa melakukan jual beli dihadapan PPAT menyebabkan pembeli terakhir yang berniat untuk membalik namakan ke atas namanya sendiri akan tertimpa beban menanggung pembayaran PPH dan BPHTB berkali-kali. Akta Perikatan Jual Beli yang dibuat berulang kali akan menyebabkan pembeli terakhir akan menanggung pembayaran akta jual beli dihadapan PPAT. Akta perikataan jual beli yang dibuat berkali-kali akan menyebabkan

pembeli terakhir akan menanggung resiko berkali-kali membayar biaya balik nama di Badan Pertanahan Nasional (BPN). Berkaitan dengan pelaksanaan pendaftaran tanah dengan dasar akta perikatan jual beli, pada bagian awal dari penelitian ini telah penulis uraikan bahwa akta perikatan jual beli merupakan tahap awal sebelum dilakukannya perbuatan hukum jual beli. Untuk memenuhi ketentuan Pasal 37 dari Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, maka akta perikatan jual beli tersebut harus ditindak lanjuti dengan pembuatan hukum jual beli yang dilakukan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berwenang dengan membuat apa yang disebut dengan Akta Jual Beli, yang formulirnya telah ditetapkan oleh Menteri. Demikian dengan dibuatnya Akta Jual Beli, maka perbuatan hukum peralihan hak tersebut dapat didaftarkan di kantor pertanahan setempat. Permasalahan sekarang apakah kuasa mutlak yang pada hakekatnya merupakan pengalihan hak atas tanah dalam akta perjanjian jual beli tersebut bertentangan dengan Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, hal ini dapat penulis jelaskan, bahwa kuasa yang terdapat di dalam akta perikatan jual beli merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pengikatan jual beli atau dari perjanjian pokok, yang mana apabila perjanjian pokok tersebut telah terpenuhi sesuai dengan ketentuan, dimana tinggal kepentingan yang menerima kuasa, atau syarat formal telah terpenuhi akan ditindak lanjuti dengan perbuatan hukum jual beli yang dilakukan di hadapan Pejabat Pembuat Akta yang berwenang. Dengan demikian, tidak bertentangan dengan Pasal 37 PP Nomor 24 Tahun 1997, yang menentukan bahwa pengalihan hak atas tanah harus dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang. Dan juga dapat ditegaskan bahwa kuasa yang demikian tidaklah merupakan kuasa mutlak yang dilarang sebagaimana dinyatakan dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tentang Larangan menggunakan Kuasa Mutlak Sebagai Pemindahan Hak Atas tanah. Sedangkan ketentuan Pasal 38 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 mengenai para pihak yang harus hadir dalam pembuatan Akta Perikatan Jual Beli, maka dalam pembuatan akta jual beli oleh Pejabat Pembuat Akta Jual Beli oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah dengan dasar akta perikatan jual beli tersebut pihak pembeli (calon pembeli) dapat bertindak dalam 2 (dua) kapasitas yaitu pertama sebagai penjual dan yang kedua sebagai pembeli sendiri. Mengapa hal itu dapat dilakukan, karena dalam akta perikatan jual beli telah ditegaskan bahwa pihak pembeli telah diberi kuasa oleh pihak penjual, apabila pihak penjual tidak dapat membantu pengurusan untuk dapat sesegera sertifikat hak atas tanah tersebut dibalik nama atas nama pihak pembeli, maka pihak

pembeli mempunyai hak untuk dapat melakukan sendiri segala tindakan yang berkenaan atas tanah tersebut atau blanko kuasa itu diisi atas nama pegawai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) bersangkutan. Demikian pula, hal tersebut dinyatakan berdasarkan Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 16 Desember 1976 Nomor 731 K/Sip/1976 yang berbunyi : dengan demikian maka akta jual beli tersebut di atas meskipun dilakukan oleh yang diberi kuasa tersebut selaku penjual dengan ia sendiri sebagai pembeli adalah sah menurut hukum (rechtsgelding) dan tidak batal. Sehingga tindakan yang dilakukan oleh pihak pembeli atas nama pihak penjual dalam pembuatan akta jual beli di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang berwenang, dalam hal ini tidaklah bertentangan dengan Pasal 38 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, karena para pihak yang dimaksud disini dapat berbentuk pihak penjual hadir atau untuk menanda tangani akta jual beli atau pihak penjual diwakili oleh pihak pembeli atas nama pihak penjual dengan kekuatan pemberian kuasa. Sedangkan klausul pemberian kuasa mutlak berkaitan dengan ketentuan Pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, mengenai kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam menolak pembuatan akta jual beli, dimana dalam ayat (1) huruf c yang menyatakan bahwa Pejabat Pembuat Akta Tanah menolak untuk membuat akta jika salah satu pihak atau para pihak bertindak atas dasar suatu surat kuasa mutlak yang pada hakekatnya berisikan perbuatan hukum pemindahan/peralihan hak, maka dapat penulis terangkan bahwa apa yang dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 adalah pemberian kuasa mutlak yang dilarang sebagaimana dinyatakan dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak sebagai pemindahan hak atas tanah. Dengan demikian pemberian kuasa mutlak itu tidak berdiri sendiri, artinya tindakan hukum pengalihan hak atas tanah tersebut harus dilakukan atau diproses berdasarkan ketentuan dalam Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan Peraturan perundangundangan agraria yang berlaku. Daftar Pustaka Abdul Kadir Muhammad, 1982, Hukum Perikatan, Alumni Bandung. Ahmad Yani dan Gunawan Widjaya, 2001, Hukum Perusahaan Terbatas, Rajawali Press, Jakarta. Chairani Bustami, Aspek-aspek Hukum Yang Terkait Dalam Akta Perikatan Jual Beli Yang

Dibuat Oleh Notaris di Kota Medan, USU, Medan, 2002. Djoko Prakoso dan Bambang Riyaldi lany, Dasar Hukum Persetujuan Tertentu di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hal. 6. Gunawan Widjaja, Kartini Muljadi, Seri Hukum Perikatan Jual Beli, PT. Radja Grafindo, Jakarta, 1997. Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasannya, Alumni, Bandung, 1996. ------------------- dan dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001. Nico, Tanggung Jawab Notaris Selaku Pejabat Umum, Center For Documentation Studies Of Business (CDSBL), Yogyakarta, 2003. Parangin-angin Efendi, Hukum Agraria Indonesia Suatu Telaah Dari Pandang Praktisi Hukum, Rajawali Persada, Jakarta, 1986. Subekti R, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1996. dan R. Tjitrosudibio, Kitab UndangUndang Hukum Perdata, Pradnya Paramitha, Jakarta, Cet. XIV, 1981. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia Suatu Penjelasan, Edisi Pertama, Rajawali, Jakarta, 1982. Sri Kastini, Peraturan Jabatan Notaris, USU Press, 1997, Medan. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. Vander Burght, Guru Tentang Perikatan Dalam Teori dan Yurisprudensi, Mandar Maju, Bandung, 1999.

Anda mungkin juga menyukai