Anda di halaman 1dari 5

Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PEI dan PFI XVIII Komda Sul-Sel, 2007

PENGARUH APLIKASI ZAT PENGATUR TUMBUH TERHADAP PEMECAHAN DORMANSI BENIH KENTANG (Solanum tuberosum L.) DAN TINGKAT KERUSAKAN AKIBAT PENYAKIT BUSUK UMBI (Erwinia carotovora subsp.carotovora)
Irma Ningsih, Andi Nasruddin dan Baharuddin
Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan UNHAS

ABSTRAK
Penelitin ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian zat pengatur tumbuh (Hormon dalam mematahkan masa dormansi benih kentang dan tingkat kerusakan akibat penyakit busuk umbi. Penelitian ini dilaksanakan di Pusat Kegiatan Penelitian (PKP)-Universitas Hasanuddin, Makassar, yang berlangsung dari bulan Februari 2007 sampai Oktober 2007. Rancangan Acak Lengkap (RAL) digunakan pada penelitian ini yang terdiri atas 4 perlakuan yaitu pemberian hidrogen sianamida 2%, GH 81 R 0,02% ,GA3 2 ppm dan aquades sebagai kontrol dengan masing-masing 4 ulangan. Pengamatan terbentuknya tunas dilakukan pada pada hari ke-10 hingga ke- 50 setelah aplikasi. Selanjutnya pengamatan intensitas serangan patogen dilakukan pada akhir pengamatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aplikasi zat pengatur tumbuh GA3 memberikan hasil yang terbaik dengan persentase perkecambahan benih kentang tertinggi 79% pada hari ke 50 HSA dengan intensitas penyakit 7,5%, sedangkan perlakuan H2CN2 dengan tingkat perkecambahan sebesar 70,9% dan tidak ditemukan serangan penyakit busuk umbi (0%). Kata kunci: Pengatur tumbuh, benih kentang, dormansi

PENDAHULUAN
Umbi kentang yang baru di panen tidak dapat segera mengeluarkan mata tunas, dan diperlukan satu periode waktu agar mata tunas dapat berkembang. Masa itu disebut masa istirahat atau masa dormansi (Hemberg, 1985). Lama masa dormansi tergantung pada kultivarnya, ukuran umbi, panjang hari penanaman dan terinfeksi tidaknya oleh penyakit saat pemberian N (Van Ittersum, 1992), elevasi penanaman (Simatupang dan Napitupulu, 1997), temperatur penyimpanan umbi (Van Ittersum, 1992; Kumari dan Mukherjee, 1982). Di dataran tinggi Indonesia, masa dormansi rata-rata umbi kentang berlangsung empat sampai lima bulan. Keterbatasan luas lahan petani, perlunya rotasi tanam, serta mengejar musim tanam yang sesuai membuat petani kadang-kadang perlu untuk mempersingkat masa dormansi umbi kentang. Rata-rata masa tanam sayuran semusim dataran tinggi , tiga sampai tiga setengah bulan, seperti tanaman kubis, kubis bunga, petsai, wortel dan ercis. Hal ini menunjukkan adanya selang sebulan tanah menganggur bila menunggu patahnya waktu dormansi kentang secara alami. Hal ini sangat tidak efisien, terutama untuk petani sayuran dataran tinggi, yang memperhitungkan efisiensi pemanfaatan lahannya. Demikian juga bila musim tanam kentang jatuh sebulan lebih cepat dari masa dormansi umbi bibit kentang, ini juga akan menjadi kendala. Agar umbi bibit kentang yang sudah bertunas tersedia pada saat musim tanam, pemecahan masa dormansi umbi kentang kadang-kadang perlu dipercepat (Anonim, 2007). Gangguan patogen tidak hanya terhenti sampai masa panen, tetapi masih dilanjutkan pada hasil tanaman sampai hasil tersebut di konsumsi (pasca panen), penyakit yang timbul disebut penyakit lepas panen. Kerusakan umbi kentang hingga ke tahap pemilihan bisa mencapai 33% dan masih akan bertambah lagi sebesar 12% pada

110

Irma Ningsih et al.: Pengaruh Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh Terhadap Pemecahan Dormansi Benih Kentang

saat pengangkutan dari petani ke tempat penjualan (Martoredjo, 1984). Selama masa panen sampai penyimpanan, umbi kentang mengalami kerusakan mekanis, perubahan kimia karbohidrat (zat pati menjadi zat gula) yang dapat mengakibatkan umbi cepat menjadi busuk dan mudah terserang hama dan penyakit, sehingga perlu mengontrol masa dormansi umbi tersebut dan memperpanjang daya simpan. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan hormon pengatur perkecambahan, untuk mempersingkat masa dormansi. Berdasarkan hal di atas maka dianggap perlu untuk melihat pengaruh pemberian zat pengatur tumbuh, untuk mengatur masa dormansi dan menghindarkan umbi dari serangan penyakit busuk umbi yang disebabkan oleh patogen Erwinia carotovora .

BAHAN DAN METODE


Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh zat pengatur tumbuh dalam pemecahan dormansi benih kentang dan intensitas kerusakan penyakit busuk umbi. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Racangan Acak Lengkap dengan empat ulangan. Perlakuan yang diuji cobakan adalah: 1. Perendaman benih kentang dengan hormon H2CN2 2. Perendaman benih kentang dengan hormon GH81R 3. Perendaman benih kentang dengan hormon GA3 Parameter Pengamatan Parameter yang digunakan dalam pengamatan ini adalah : a. Waktu pemecahan masa dormansi yang diamati pada 10, 20, 30, 40, dan 50 HSP . b. Persentase kuncup bertunas, perhitungan dimulai 10 hari setelah perlakuan. Persentase kuncup bertunas dihitung dengan menggunakan rumus : % kuncup bertunas =

JumlahKuncupBertunas 100% JumlahMataTunas

c. Intensitas kerusakan (%) Intensitas serangan dihitung dengan menggunakan rumus : I= Dimana : I ni vi N Nilai skala 0 1 2 3 4

(ni vi) 100%


ZN
= = = = Intensitas kerusakan Umbi ke-i yang menunjukkan gejala Nilai skala pada tiap umbi ke-i Nilai skala tertinggi yang digunakan

yang digunakan: = Tidak ada gejala = < 25% bagian umbi busuk = 26-50 % bagian umbi busuk = > 50-75% bagian umbi busuk = >75-100% bagian umbi busuk

111

Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PEI dan PFI XVIII Komda Sul-Sel, 2007

Pengamatan dilakukan setiap 10 hari, untuk melihat kecepatan berkecambah setiap perlakuan, pengamatan dihentikan apabila benih kentang pada kontrol menunjukkan busuk lunak pada semua bagian umbi.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil pengamatan masa dormansi benih kentang setelah aplikasi hormon, menunjukkan hasil yang berbeda nyata dengan kontrol pada setiap perlakuan. Rata-rata persentase perkecambahan umbi kentang pada setiap umur pengamatan disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Rata-rata persentase Perkecambahan umbi kentang pada setiap perlakuan. Perlakuan kontrol H2CN2 GH 81 R GA3 Rata-rata persentase perkecambahan (%) pada HSP 10 0,00a 0,00a 12,60b 16,00b 20 0,00a 4,70a 21,95b 27,15b 30 0,00a 18,30b 30,35b 42,15b 40 0,00a 35,55b 46,85b 45,00b 50 0,00a 70,90b 64,45b 79,00b

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut Uji Duncan pada taraf 5% HSP : Hari setelah perendaman

Hasil pengamatan terhadap persentase perkecambahan benih kentang, menunjukkan bahwa semua perlakuan hormon (Hidrogen sianamida, GH 81 R dan GA3) mempunyai nilai rata-rata persentase mata tunas yang pecah lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol pada pengamatan terakhir (50 HSP), masing-masing 70,90%, 64,45% dan 79,00%. Persentase perkecambahan pada perlakuan asam giberelin (GA3) lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya, hal ini menunjukkan bahwa GA3 memiliki kemampuan untuk memecahkan dormansi umbi kentang. Leopold dan Kriedemann (1977) dan Coleman (1987) mengemukakan bahwa aplikasi asam giberelin (GA3) dari luar (exogenous giberelin) umumnya mengakhiri dormansi kentang dan meningkatkan endegenous giberelin, sehingga cadangan makanan (pati) dihidrolisis oleh enzim amilase menjadi gula dalam waktu singkat yang menyebabkan pertumbuhan tunas berlangsung. Pada pengamatan laju perkecambahan, menunjukkan bahwa perlakuan GH 81 R dan GA3 mampu untuk memecahkan dormansi umbi kentang pada pengamatan 10 HSP sedangkan perlakuan H2CN2 baru berkecambah pada 20 HSP, seperti yang dikemukakan oleh Nurman (1997) bahwa perlakuan H2CN2 dapat meningkatkan persentase mata tunas yang tumbuh pada umur 30, 40, dan 50 hari setelah perlakuan. Pada pengamatan 30-50 HSP, umbi kentang yang diberi perlakuan hidrogen sianamida dengan konsentrasi 2% mempunyai nilai rata-rata persentase perkecambahan lebih tinggi di bandingkan pada kontrol yaitu sebesar 70.9%. hal ini disebabkan karena hidrogen sianamida dapat menurunkan aktifitas enzim katalase dan laju respirasi meningkat sehingga menyebabkan pecahnya mata tunas umbi kentang (Nurman, 1997). Selanjutnya SKW Trostberg (1993) melaporkan bahwa sifat biologi hidrogen sianamida adalah memecahkan mata tunas dorman pada tanaman holtikultura seperti umbi kentang.

112

Irma Ningsih et al.: Pengaruh Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh Terhadap Pemecahan Dormansi Benih Kentang

Persentase Kerusakan Busuk Umbi (Erwinia carotovora) Hasil pengamatan terhadap intensitas serangan busuk umbi, setelah perlakuan hormon menunjukkan bahwa kerusakan tertinggi akibat serangan busuk umbi terdapat pada perlakuan kontrol dan berbeda nyata dengan dengan perlakuan H2CN2 sampai pada pengamatan 50 HSP. Perbandingan antara jenis perlakuan, menunjukkan bahwa perlakuan hormon GH 81 R lebih rentan terserang busuk umbi dibanding perlakuan GA3 Rata-rata intensitas serangan busuk umbi pada berbagai perlakuan, pada pengamatan terakhir, di sajikan pada grafik di bawah ini.
% kerusakan akibat busuk umbi
50

% kerusakan

40 30
% kerusakan

20 10 0 P0 P1 P2 P3 perlakuan hormon

Keterangan : P0 : Kontrol P1 : Perlakuan H2CN2 (Hidrogen sianamida) P2 : Perlakuan GH 81R P3 : Perlakuan GA3

Hasil pengamatan terhadap intensitas kerusakan penyakit busuk umbi, menunjukkan bahwa pada perlakuan GH 81 R benih mulai terserang busuk umbi pada umur 20 HSP, pada perlakuan GA3 benih mulai terserang busuk umbi pada umur 50 HSP, sedangkan pada perlakuan H2CN2 benih tidak terserang busuk umbi. Sifat kerja hormon perkecambahan adalah mempercepat pemasakan umbi dengan cara meningkatkan laju respirasi, jika laju respirasi meningkat menyebabkan pori-pori sel terbuka dan hal ini dapat menjadi pintu masuk bagi patogen. Pada perlakuan H2CN2 tidak terdapat adanya serangan penyakit, karena kerja dari hormon ini hanya mempengaruhi pecahnya dormansi mata tunas umbi kentang selama 48 jam setelah aplikasi, setelah itu hidrogen sianamida terurai menjadi NH4 yang akan ikut dalam metabolisme tanaman, hal ini memperkecil kesempatan bagi patogen untuk masuk ke dalam umbi, selain itu berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Nurman (1997), H2CN2 tidak mempengaruhi terhadap rasa, kekerasan, aroma dan warna umbi. Selanjutnya Amberger (1984) menunjukkan bahwa hidrogen sianamida adalah senyawa terurai, pada saat panen tidak ditemukan senyawa hidrogen sianamida sehingga hormon ini tidak mempengaruhi rasa, kekerasan, aroma dan warna umbi kentang.

KESIMPULAN
Perlakuan umbi kentang dengan hormon GA3 memberikan hasil yang terbaik dengan persentase perkecambahan tertinggi 79% dan berbeda nyata dengan kontrol, sedangkan intensitas serangan busuk umbi (Erwinia carotovora) terendah, terdapat pada perlakuan H2CN2 yaitu 0% yang berbeda nyata dengan kontrol.

113

Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PEI dan PFI XVIII Komda Sul-Sel, 2007

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2007. Pengaruh Penggunaan Daun Gliricidia, Albizia, Sekam, Padi, dan Serbuk Gergaji sebagai Bahan Pemacu Pertunasan Umbi Bibit Kentang. Http:// www.deptan.go.id/ infoekserkutif/horti/Ip-produksi kentang.htm.. online Mei. 2007 Hemberg. 1985. Potato Pest. In Potato Physiology. Paul HI (ed). Academic Press : 354 388. Kumari, Nirmala and D. Mukherjee. 1986. The effect of storage temperature and humidity on the internal qualities of potatoes. The Indian J. Hort. 43 (182) :112-117. Leopold, A.C. and P.E. Kriedeman. 1975. Plant Growth and Development. Sec. Ed. Mc. Graw Hill Book Company, New York. p. 169-181. Martoredjo T, 1984. Ilmu Penyakit Lepas Panen. Ghalia Indonesia, Jakarta Timur. Nurman.1997. Pengaruh Pemberian Zat Pengatur Tumbuh Hidrogen Sianamida atau Ethrel Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Kentang (Solanum tuberosum L.) Program Pasca Sarjana, Universitas Brawijaya. Malang Simatupang, Sortha dan Napitupulu. 1997. Pengaruh asal elevasi dan kultivar pada umbi bibit kentang di penyimpanan dan hasilnya di lapangan. Kultura Edisi Khusus (1) : 41 - 45. Van Ittersum, M.K. 1992. Relation Between Growth Condition and Dormancy of Seed Potatoes 1. Effect Of Nitrogen Potato Research 35:355-364

114

Anda mungkin juga menyukai