Anda di halaman 1dari 17

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Kebutuhan minyak bumi yang semakin besar merupakan tantangan yang perlu diantisipasi dengan pencarian alternatif sumber energi. Minyak bumi merupakan sumber energi yang tak terbarukan, butuh waktu jutaan bahkan ratusan juta tahun untuk mengkonversi bahan baku minyak bumi menjadi minyak bumi, peningkatan jumlah konsumsi minyak bumi menyebabkan menipisnya jumlah minyak bumi. Dari berbagai produk olahan minyak bumi yang digunakan sebagai bahan bakar, yang paling banyak digunakan adalah bahan bakar diesel, karena kebanyakan alat transportasi, alat pertanian, peralatan berat dan penggerak generator pembangkit listrik menggunakan bahan bakar tersebut (Sibarani., dkk, 2007). Tanaman tebu di Indonesia banyak ditanam oleh para petani kecil baik atas usaha sendiri maupun atas usaha kerjasama dengan pabrik gula atau pabrik gula yang menyewa lahan pertanian penduduk dan sekaligus mengupah tenaganya dalam usaha mengembangkan tanaman tebu bagi keperluan memenuhi bahan baku bagi pabriknya. Ampas tebu adalah hasil samping dari proses ekstraksi (pemerahan) cairan tebu. Dari satu pabrik dapat dihasilkan ampas tebu sekitar 35 40% dari berat tebu yang digiling. Mengingat begitu banyak jumlahnya, maka ampas tebu akan memberikan nilai tambah untuk pabrik jika diberi perlakuan lebih lanjut. Ampas tebu sebagai limbah pabrik gula merupakan salah satu bahan lignoselulosa yang potensial untuk dikembangkan menjadi sumber energi seperti bioetanol. Konversi bahan lignoselulosa menjadi bioetanol mendapat perhatian penting karena bioetanol dapat digunakan sebagai bahan bakar. Penggunaan bioetanol sebagai bahan bakar terus dikembangkan .

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Kebutuhan Konsumsi Energi di Indonesia Kebutuhan energi di Indonesia dibedakan atas beberapa sektor pengguna energi seperti industri, rumah tangga, transportasi, pemerintahan, dan

komersial.Peranan energi sangat penting bagi akselerasi sektor industri, utamanya sebagai bahan bakar untuk proses produksi. Mesin produksi hanya dapat bekerja optimal jika energi yang tersedia mencukupi dan sesuai dengan karakteristik mesin. Selain sebagai bahan bakar, energi juga dapat dipakai sebagai bahan baku produk. Urgensi ini membuat upaya peningkatan pertumbuhan sektor industri tidak dapat lepas dari analisis penyediaan energi sektor industri. Kebutuhan energi akan terus meningkat seiring pertumbuhan ekonomi nasional yang dicirikan antara lain dengan perkembangan sektor industri dan peningkatan jumlah penduduk. Namun pemerintah mengalami kesulitan untuk mengimbangi kenaikan permintaan tersebut dengan penyediaan energi yang cukup dan tepat sasaran serta energi yang ekonomis. Untuk itu, pemerintah berupaya untuk menciptakan kebijakan yang ideal sedemikian agar kenaikan kebutuhan energi dapat diimbangi dengan kenaikan penyediaan energi yang akan menghasilkan tambahan output. Jika kondisi ini tercapai maka setiap energi yang dikonsumsi dalam proses produksi akan lebih efisien, karena sesuai dengan karakteristik mesin dan sesuai dengan kebutuhan produk. Ketidakefisienan pemakaian energi sangat merugikan sektor industri karena terkait dengan jumlah output yang dihasilkan serta keuntungan agregat industri. Dampak yang lebih besar lagi adalah inefisiensi energi dalam skala massif dan berkepanjangan dapat menyebabkan inefisiensi ekonomi melalui alokasi sumber daya yang tidak optimal. Indonesia perlu belajar dari negara-negara setara, yang mampu mengelola ketahanan energinya secara lebih baik. China dan India merupakan dua negara yang perekonomiannya sangat diperhitungkan oleh dunia saat ini. Industri yang tumbuh pesat di kedua negara tersebut tentunya memerlukan ketersediaan energi yang memadai dan berkelanjutan.

Di kawasan ASEAN, perekonomian Malaysia relatif setara dengan Indonesia, hanya saja Malaysia mampu menghindar dari ketergantungan sumber energi minyak yang harganya terus melambung saat ini. Overview singkat pengelolaan energi di beberapa negara akan dapat memberi gambaran bagi pengelolaan energi nasional yang lebih baik ke depan. Meskipun kebijakan masing-masing negara masih harus disesuaikan dengan karakteristik yang ada, namun dengan benchmark negara-negara yang relatif lebih baik pengelolaan energinya harapan akan perbaikan kebijakan ketahanan energi di Indonesia bukan hal mustahil (Kementerian Perindustrian,2012). Sampai saat ini masih terjadi simpang-siur informasi dari media, lembaga pemerintah maupun LSM mengenai kemampuan produksi nasional dibandingkan dengan kebutuhan BBM secara nasional. Tingkat kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia saat ini telah mencapai lebih dari 1,3 juta barrel per hari, padahal produksi BBM nasional hanya 950 barrel per hari, akibat kenaikan permintaan energi nasional yang terus melambung menyebabkan subsidi yang ditanggung pemerintah semakin tinggi. Oleh karena itu pemerintah

mengkampanyekan agar masyarakat dapat terus melakukan hemat terhadap pemakaian BBM. Pulau Jawa-Bali berada pada urutan pertama penggunaan BBM, yakni sebanyak 57 persen dari keseluruhan penggunaan BBM nasional sehingga menjadi dasar pemerintah untuk melaksanakan pencanangan Gerakan Hemat BBM Nasional. Konsumsi energi final Indonesia tahun 2006 (Statistik DJLPE, 2006) yang sebesar 526.142.000 SBM didominasi oleh sektor industri (40,6%), kemudian berturut-turut diikuti oleh sektor transportasi (38%) dan rumah tangga dan komersial (21,4%). Untuk Indonesia dengan konsumsi energi yang terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan perkembangan ekonomi, maka emisi karbon dari sektor energi akan terus meningkat. Strategi pengurangan emisi karbon dari sektor energi yang paling optimal adalah dengan menggunakan skenario Perpres No. 5/2006 yang meliputi diversifikasi dan konservasi energi. Dengan skenario ini, dihasilkan penurunan emisi sebesar 17% pada tahun 2025, dengan biaya kumulatif sebesar US$ 53 miliar atau 0,4% dari GDP kumulatif 2006 2025 (Draft Technology Need Assessment, 2008). Skenario lain telah dipertimbangkan dengan simulasi (Carbon Capture and Storage-CCS, maksimalisasi panas bumi dan nuklir),

namun dari sisi cost and benefit tampaknya sulit untuk direalisasikan. Energi alternatif biofuel yang dapat diperbarui dapat memperkuat ketersediaan bahan bakar, selain itu biofuel juga ramah lingkungan sehingga bisa meningkatkan kualitas udara di beberapa kota besar di Indonesia. Karenanya untuk mengembangkan bahan bakar tipe ini perlu kerja sama yang harmonis dari semua pihak, termasuk pemerintah, industri otomotif dan swasta (Kardono,2008).

2.2 Potensi Pengembangan Bioetanol Sebagai Bahan Bakar Indonesia sedang giat-giatnya mengembangkan industri biofuel dengan memproduksi biodiesel dan bioethanol. Peranan industri ini semakin penting mengingat kondisi saat ini harga minyak mentah berfluktuasi dan cenderung naik dan ketersediaannya semakin terbatas. Kondisi dan kelangkaan BBM yang kini terjadi hendaknya dijadikan momentum bagi pemerintah untuk menyiapkan kebijakan yang mendukung penggunaan biodiesel dan bioetanol. Sedangkan bioetanol dibuat dari bahan-bahan bergula atau berpati seperti tetes tebu, nira sorgum, nira nipah, singkong, ganyong, ubi jalar, dan tumbuhan lainnya. Peranan kedua jenis bahan bakar alternatif itu ke depan akan sangat penting dalam mengatasi masalah krisis energi di Indonesia. Selain mendukung mekanisme pembangunan bersih, sebagaimana dicanangkan dalam Protokol Kyoto, pemanfaatan kedua bahan bakar hayati itu juga akan meningkatkan perekonomian Indonesia. Jika 2 persen konsumsi premium disubsitusi dengan bioetanol, maka akan dibutuhkan sekira 420 ribu kiloliter bioetanol. Ini akan membutuhkan sekira 2,5 juta singkong yang dihasilkan dari 90 ribu hektare kebun dan akan menyerap tenaga kerja sebanyak 650 ribu orang di perkebunan dan seribu orang di pabrik. Jadi, devisa sebesar 126 juta dolar AS (Rp 1,16 triliun) akan bisa dihemat dari pengurangan impor premium, dengan asumsi harga premium impor 30 sen dolar AS per liter. Bioetanol merupakan salah satu jenis biofuel (bahan bakar cair dari pengolahan tumbuhan) di samping Biodiesel. Bio-etanol adalah etanol yang dihasilkan dari fermentasi glukosa (gula) yang dilanjutkan dengan proses destilasi. Proses destilasi dapat menghasilkan etanol dengan kadar 95% volume, untuk

digunakan sebagai bahan bakar (biofuel) perlu lebih dimurnikan lagi hingga mencapai 99% yang lazim disebut fuel grade ethanol (FGE). Proses pemurnian dengan prinsip dehidrasi umumnya dilakukan dengan metode Molecular Sieve, untuk memisahkan air dari senyawa etanol. Bahan baku bio-etanol yang dapat digunakan antara lain ubi kayu, tebu, sagu, jagung dll. Indonesia sebagai negara yang memiliki beragam kekayaan alam terbarukan sangat berpotensi menghasilkan bioenergi. Namun, dalam pengembangannya, bahan bakar hayati yang dihasilkan menggunakan banyak biomassa yang dapat digunakan sebagai bahan pangan. Bioetanol, misalnya, masih dibuat dari bahan berpati dan bergula yang merupakan bahan pangan. Hal ini akan berdampak buruk bagi penyediaan pangan. Jika BBN terus menerus dibuat dari bahan pangan, akan terjadi persaingan frontal antara penyediaan pangan dan energi (Kardono,2008). Untuk menghindari persaingan tersebut, telah dikembangkan teknologi Bahan Bakar Nabati (BBN) generasi kedua. Teknologi BBN generasi kedua adalah teknologi yang mampu memproduksi BBN, seperti biodiesel atau bioetanol, dari bahan lignoselulosa. Jika kita membudidayakan tanaman apapun, termasuk tanaman pangan (untuk menghasilkan gula, pati, minyak-lemak, dan sebagainya), bahan yang diproduksi terbesar oleh tanaman adalah lignoselulosa. Jika hasil-hasil pertanian dan perkebunan dipanen, bahan lignoselulosa akan tertinggal sebagai limbah pertanian atau sisa penggunaan tanaman dan biasanya kurang termanfaatkan. Hal ini menyebabkan lignoselulosa berpotensi digunakan sebagai bahan mentah produksi BBN.

2.3 Tebu Tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan salah satu jenis tanaman yang hanya dapat ditanam didaerah yang memiliki iklim tropis. Di Indonesia, perkebunan tebu menempati luas areal 321 ribu hektar yang 64,74% diantaranya terdapat di Plau Jawa (Departemen Pertanian, 2004b). Perkebunan tersebut tersebar di Medan, Lampung, Semarang, Solo, dan Makassar. Dari seluruh perkebunan tebu yang ada di Indonesia, 50% di antaranya adalah perkebunan rakyat, 30% perkebunan swasta, dan hanya 20% perkebunan negara. Pada tahun 2002 produksi tebu Indonesia mencapai 2 juta ton (J.A. Witono, 2003).

Tabel berikut menyajikan komponen-komponen yang terdapat dalam batang tebu. Tabel 1. Komponen-komponen dalam batang tebu Komponen Monosakarida Sukrosa Zat-zat organik Zat-zat anorganik Sabut Air Bahan lain Jumlah (%) 0,5- 1,5 11-19 0,5-1,5 0,15 11-19 65-75 12

Tebu-tebu dari perkebunan diolah menjadi gula di pabrik-pabrik gula (PG). Dalam proses produksi di pabrik gula, ampas tebu (bagasse) dihasilkan sebesar 35-40% dari setiap tebu yang diproses, gula yang termanfaatkan hanya 5%, sisanya berupa tetes tebu (molase), blotong, dan air. Selama ini, produk utama yang dihasilkan dari tebu adalah gula; sementara buangan atau hasil samping yang lain tidak begitu diperhatikan. Kecuali tetes tebu yang sudah lama dimanfaatkan untuk pembuatan etanol dan bahan pembuatan monosodium glutamate (MSG, salah satu bahan untuk membuat bumbu masak), atau ampas tebu yang dimanfaatkan untuk makanan ternak; bahan baku pembuatan pupuk, pulp, particle board; dan untuk bahan bakar boiler dipabrik gula.namun penggunaannya terbatas dan nilai ekonomi yang diperoleh juga belum tinggi. Sedangkan beraneka limbah dalam proses produksi gula seperti blotong dan abu terbuang percuma. Bahkan untuk buangan limbahnya pun menimbulkan pencemaran lingkungan sehingga menambah pengeluaran PG. Padahal limbah-limbah itu dapat diolah menjadi bahan yang dapat dipakai lagi, seperti halnya ampas tebu yang bisa di olah menjadi bioetanol (Riyanti, 2009). Ampas Tebu Ampas tebu merupakan limbah selulosik yang banyak sekali potensi

pemanfaatannya. Selain yang telah disebutkan di atas, yaitu untuk makanan ternak; bahan baku pembuatan pupuk, pulp, particle board; dan untuk bahan bakar boiler di pabrik gula, masih banyak lagi pemanfaatnya yang lain. Ampas tebu dapat

dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan kanvas rem, furfural, sirup glukosa, etanol, CMC (carboxymetil cellulose), dan bahan penyerap (adsorben) zat warna. Bahkan di Kuba, ampas tebu telah pula dimanfaatkan sebagai sumber energi listrik yang dapat memenuhi 30 persen kebutuhan listrik di Kuba . Pabrik yang dimanfaatkan ampas tebu sebagai bahan baku pembuatan particle board dan kanvas rem, telah beroperasi di Indonesia. Tetapi untuk pembuatan furfural belum ada; selama ini Indonesia masih mengimpor furfural dari Cina (J. A. Witono, 2003). Sedangkan untuk pembuatan etanol, CMC, dan adsorben masih dalam taraf penelitian. Cairan sukrosa dalam tebu dapat diekstrak dengan pengepresan batang yang kenudian difermentasi lebih lanjut untuk menghasilkan etanol. Proses ini biasanya membutuhkan lima tahap, yaitu penggilingan, pengepresan, fermentasi, distilasi, dan dehidrasi. Negara penghasil etanol terbesar, Brasil, mengadopsi proses ini. Limbah pengepresan yang biasanya disebut bagase dimanfaatkan untuk memproduksi panas untuk proses distilasi cairan fermentasi melalui pembakaran. Teknologi ini sudah sangat lanjut, tidak seperti teknologi produksi etanol dari biomassa (materi berbahan lignoselulosa). Sekarang ini hampir semua etanol diproduksi melalui fermentasi sukrosa dari tebu (di Brasil) (Marris 2006; Sanderson 2006; Goldemberg 2007). Ampas tebu (bagasse) mengandung sellulosa dan hemi selulosa yang dapat dikonversi menjadi bioetanol. Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan 5,3 bagasse bisa menghasilkan 1 liter etanol. Ampas tebu sebagian besar mengandung ligno-cellulose. Berikut ini komposisi kimia ampas tebu: Tabel 2. Komposisi kimia ampas tebu Kandungan Abu Lignin Selulosa Sari Pentosan SiO2 Kadar (%) 3,82 22,09 37,65 1,81 27,97

Lignoselulosa dalam ampas tebu dipecah menjadi selulosa lignin dan hemiselulosa. Selulosa diuraikan menjadi glukosa terus menjadi etanol. Selulosa didegradasi menjadi silosa yang bisa diubah lebih lanjut silitol (silitol merupakan pemanis alternatif yang baik bagi kesehatan karena berkalori rendah dan tidak merusak gigi). Dengan cara ini, produksi etanol per ha tebu akan meningkat 2-3 kali lipat.dengan konversi ampas dan trash akan dihasilkan 2.500 liter etanol per ha (Riyanti, 2009).

2.4 Pembuatan Bioetanol dari Tebu Cara paling mudah membuat bioetanol adalah dengan bahan yang banyak mengandung gula, contohnya adalah tetes tebu atau molases. Tetes tebu merupakan produk samping dari pabrik tebu yang memiliki kadar gula sangat tinggi (>50%). Pembuatan bioetanol dari tetes tebu hanya melewati dua tahap utama saja.

Gambar 1. Tahapah utama pembuatan bioetanol dari tetes tebu BAHAN-BAHAN Bahan-bahan yang diperlukan untuk pembuatan bioetanol dari tetes/molasses antara lain adalah: 1. tetes tebu/molasses (kadar gula 50%) 2. urea 3. NPK 4. Fermipan (ragi roti) 5. Air Langkah-Langkah Pembuatan Bioetanol 1. Pengenceran Tetes Tebu Kadar gula dalam tetes tebu terlalu tinggi untuk proses fermentasi, oleh karena itu perlu diencerkan terlebih dahulu. Kadar gula yang diinginkan kurang lebih adalah 14 %. Misal: larutkan 28 kg (atau 22.5 liter) molasses dengan 72 liter air. Aduk hingga tercampur merata. Volume airnya kurang lebih 94.5 L. Masukkan ke dalam fermentor.

Catatan: jika kandungan gula dalam tetes kurang dari 50%, penambahan air harus disesuaikan dengan kadar gula awalnya. Yang penting adalah kadar gula akhirnya kurang lebih 14%. 2. Penambahan Urea dan NPK Urea dan NPK berfungsi sebagai nutrisi ragi. Kebutuhan hara tersebut adalah sebagai berikut: a. Urea sebanyak 0.5% dari kadar gula dalam larutan fermentasi. b. NPK sebanyak 0.1% dari kadar gula dalam larutan fermentasi. Untuk contoh di atas, kebutuhan urea adalah sebanyak 70 gr dan NPK sebanyak 14 gr. Gerus urea dan NPK ini sampai halus, kemudian ditambahkan ke dalam larutan molasses dan diaduk. 3. Penambahan Ragi Bahan aktif ragi roti adalah khamir Saccharomyces cereviseae yang dapat memfermentasi gula menjadi etanol. Ragi roti mudah dibeli di toko-toko bahanbahan kue atau di supermarket. Sebaiknya tidak menggunakan ragi tape, karena ragi tape terdiri dari beberapa mikroba. Kebutuhan ragi roti adalah sebanyak 0.2% dari kadar gula dalam larutan molasses. Untuk contoh di atas kebutuhan raginya adalah sebanyak 28 gr. Ragi roti diberi air hangat-hangat kuku secukupnya. Kemudian diaduk-aduk perlahan hingga tempak sedikit berbusa. Setelah itu baru dimasukkan ke dalam fermentor. Fermentor ditutup rapat. 4. Fermentasi Proses fermentasi akan berjalan beberapa jam setelah semua bahan dimasukkan ke dalam fermentor. Kalau anda menggunakan fermentor yang tembus padang (dari kaca misalnya), maka akan tampak gelembung-gelembung udara kecilkecil dari dalam fermentor. Gelembung-gelembung udara ini adalah gas CO2 yang dihasilkan selama proses fermentasi. Kadang-kadang terdengar suara gemuruh selama proses fermentasi ini. Selama proses fermentasi ini usahakan agar suhu tidak melebihi 36oC dan pH nya dipertahankan 4.5 5. Proses fermentasi berjalan kurang lebih selama 66 jam atau kira-kira 2.5 hari. Salah satu tanda bahwa fermentasi sudah selesai adalah tidak terlihat lagi adanya gelembung-gelembung udara. Kadar etanol di dalam cairan fermentasi kurang lebih 7% 10 %.

5. Distilasi dan Dehidrasi Setelah proses fermentasi selesai, masukkan cairan fermentasi ke dalam evaporator atau boiler. Panaskan evaporator dan suhunya dipertahankan antara 79 81oC. Pada suhu ini etanol sudah menguap, tetapi air tidak menguap. Uap etanol dialirkan ke distilator. Bioetanol akan keluar dari pipa pengeluaran distilator. Distilasi pertama, biasanya kadar etanol masih di bawah 95%. Apabila kadar etanol masih di bawah 95%, distilasi perlu diulangi lagi (reflux) hingga kadar etanolnya 95%. Apabila kadar etanolnya sudah 95% dilakukan dehidrasi atau penghilangan air. Untuk menghilangkan air bisa menggunakan kapur tohor atau zeolit sintetis. Tambahkan kapur tohor pada etanol. Biarkan semalam. Setelah itu didistilasi lagi hingga kadar airnya kurang lebih 99.5%. Bioetanol Dari Gula Pasir Jika anda kesulitasn mendapatkan tetes/molasses, bioetanol dapat juga dibuat dengan menggunakan gula pasir. Prosedur umumnya sama seperti yang sudah dijelaskan di atas, hanya mengganti tetes dengan gula pasir. Yang perlu diperhatikan adalah kadar gulanya kurang lebih 14%. Jadi untuk setiap 1 kg gula pasir dapat ditambahkan kurang lebih 7.1 liter air. Pencampuran Bioetanol Dengan Bensin Bioetanol yang bisa digunakan sebagai bahan bakar adalah bioetanol dengan kadar air 99.5%. Bioetanol ini bisa dicampurkan dengan bensin dengan perbandingan bietanol : bensin sebesar 1 : 9 atau 2 : 8 (Riyanti, 2009). 2.5 Sifat, Kelebihan dan Kekurangan Bioetanol Etanol memiliki banyak manfaat bagi masyarakat karena memiliki sifat yang tidak beracun. Selain itu etanol juga memiliki banyak sifat-sifat, baik secara fisika maupun kimia. Sifat-Sifat Fisika Etanol : Berat Molekul 46,07 gr/grmol Titik Lebur -112 oC Titik didih 78,4 oC Densitas 0,7893 gr/ml Indeks bias 1,36143 cP

Viskositas 200C 1,17 cP Panas penguapan 200,6 kal/gr Merupakan cairan tidak berwarna Dapat larut dalam air dan eter Memiliki bau yang khas

Sifat-Sifat Kimia Etanol : Merupakan pelarut yang baik untuk senyawa organik Mudah menguap dan mudah terbakar Bila direaksikan dengan asam halida akan membentuk alkyl halida dan air CH3CH2OH + HC=CH CH3CH2OCH=CH2 Bila direaksikan dengan asam karboksilat akan membentuk ester dan air CH3CH2OH + CH3COOH CH3COOCH2CH3 + H2O Dehidrogenasi etanol menghasilkan asetaldehid Mudah terbakar diudara sehingga menghasilkan lidah api (flame) yang berwarna biru muda dan transparan, dan membentuk H2O dan CO2. Dalam proses pembuatan etanol, ada beberapa bahan baku yang digunakan, yaitu : air, glukosa, dan sukrosa. (Perry, 2008) Seperti semua bahan bakar lainnya, bahan bakar etanol juga memiliki keunggulan dan kelemahan yang akan dibahas di artikel ini. Salah satu keunggulan bahan bakar etanol yang paling jelas adalah bahan bakar etanol merupakan sumber energi terbarukan, yang berarti bahwa bahan bakar etanol tidak terbatas seperti bahan bakar fosil. Negara yang menggunakan etanol akan mengurangi ketergantungannya pada impor minyak asing, dan juga mengurangi efek harga minyak yang tak stabil. Produksi etanol dalam jumlah besar di dalam negeri akan memastikan bahwa uang akan tetap berputar di dalam negeri dan bukannya dibelanjakan pada minyak asing yang mahal. Tentu saja peningkatan produksi etanol dalam negeri juga akan menciptakan lebih banyak pekerjaan, dan juga sangat mungkin akan menurunkan harga bahan bakar.

Pembakran etanol lebih bersih daripada bahan bakar fosil yang berarti mengurangi emisi gas rumah kaca. Hal ini merupakan keuntungan etanol yang paling signifikan bagi lingkungan dibandingkan dengan bahan bakar fosil. Bahan bakar etanol juga memiliki kelemahan dan fakta bahwa sebagian besar produksi etanol berasal dari tanaman pangan memiliki potensi untuk meningkatkan harga pangan dan bahkan menyebabkan kekurangan pangan. Isu bahan bakar vs makanan adalah bahan perdebatan utama, karena dengan adanya peningkatan penggunaan etanol maka banyak lahan yang akan dipergunakan untuk memproduksi etanol, bukan untuk menghasilkan makanan, dan ini akan menyebabkan kekurangan jumlah pangan yang diikuti dengan peningkatan harga pangan, dan kemungkinan akan menghasilkan lebih banyak masalah kelaparan di dunia. Etanol menghasilkan energi per satuan volume lebih rendah dibandingkan dengan bensin. Etanol juga cenderung sangat korosif karena dapat dengan mudah menyerap air dan kotoran. Tanpa sistem penyaringan yang tepat, etanol dapat menyebabkan korosi di dalam blok mesin terjadi dengan cepat.

Saat kompresi, mesin yang didesain untuk etanol murni memiliki efisiensi bahan bakar 20-30% lebih rendah dibandingkan mesin yang didesain untuk bensin murni. Mesin yang menggunakan campuran etanol tinggi akan menjadi masalah saat cuaca dingin (musim dingin) (Indoenergi, 2012).

BAB III PEMBAHASAN

Pada dasarnya unit prosesing pembuatan etanol dari tebu terdiri dari 4 bagian, yaitu: 1. unit gilingan 2. unit preparasi bahan baku 3. unit fermentasi 4. unit destilasi. Unit gilingan berfungsi untuk menghasilkan nira mentah dari tebu. Komponen unit gilingan terdiri dari pisau pencacah dan tandem gilingan. Sebelum masuk gilingan, tebu dipotong-potong terlebih dulu dengan pisau pencacah. Cacahan tebu selanjutnya masuk kedalam tandem gilingan 3 rol yang biasanya terdiri atas 4 atau 5 unit gilingan yang disusun secara seri. Pada unit gilingan pertama, tebu diperah menghasilkan nira perahan pertama (npp). Ampas tebu yang dihasilkan diberi imbibisi, kemudian digiling oleh unit gilingan kedua. Nira yang terperah ditampung, ampasnya kembali ditambah air imbibisi dan digiling lebih lanjut oleh unit gilingan ketiga, dan demikian seterusnya. Semua nira yang keluar dari setiap unit gilingan dijadikan satu dan disebut nira mentah. Unit preparasi berfungsi untuk menjernihkan dan memekatkan nira mentah yang dihasilkan unit gilingan. Klarifikasi bisa dilakukan secara fisik dengan penyaringan atau secara kimiawi. Klarifikasi terutama bertujuan untuk

menghilangkan beberapa impurities yang bisa mengganggu proses fermentasi. Nira yang dihasilkan dari proses ini disebut nira jernih. Unit fermentasi berfungsi untuk mengubah nira jernih menjadi etanol, melalui aktivitas fermentasi ragi. Jumlah unit fermentasi biasanya terdiri dari beberapa unit (batch) atau system kontinyu tergantung kepada kondisi dan kapasitas pabrik. Beberapa nutrisi ditambahkan untuk optimalisasi proses. Etanol yang terbentuk dibawa ke dalam unit destilasi. Unit destilasi berfungsi untuk memisahkan etanol dari cairan lain khususnya air. Unit ini juga terdiri dari beberapa kolom destilasi. Etanol yang dihasilkan biasanya memiliki kemurnian sekitar 95-96%. Proses pemurnian lebih lanjut akan

menghasilkan etanol dengan tingkat kemurnian lebih tinggi (99%/ethanol nhydrous), yang biasanya digunakan sebagai campuran .unleaded gasoline. Menjadi gasohol. Selain dari nira, ampas yang dihasilkan sebagai hasil ikutan dari unit gilingan bisa diproses lebih lanjut menjadi etanol, dengan menambah unit pretreatment dan sakarifikasi. Unit pretreatment berfungsi untuk mendegradasi ampas menjadi komponen selulosa, lignin, dan hemiselulosa. Dalam unit sakarifikasi, selulosa dihidrolisa menjadi gula (glukosa) yang akan menjadi bahan baku fermentasi, selanjutnya didestilasi menghasilkan etanol (Kurniawan, 2005).

Gambar 1. Skema sederhana proses pembuatan etanol dari tebu (Kurniawan, 2005) Namun demikian, proses pembuatan etanol dari ampas hingga saat ini belum bisa diterapkan secara komersial. Kendala utamanya adalah proses delignifikasi ampas relatif sulit dan mahal serta mengeluarkan limbah yang cukup banyak. Selain itu, penggunaan ampas untuk etanol berkompetisi dengan pemanfaatan ampas untuk

penggunaan lain khususnya sebagai sumber energi, baik energi untuk proses di pabrik maupun sebagai tenaga listrik (Kurniawan, 2005).

KESIMPULAN DAN SARAN


4.1 Kesimpulan 1. Potensi pengembangan bioetanol dari tebu sebagai bahan bakar sedang

berkembang di Indonesia maupun di luar Indonesia. 2. Proses pembuatan bioetanol dari tebu dilakukuan dengan cara fermentasi 3. Pemanfaatan tebu sebagai bahan bakar dan dapat juga mengurangi gas efek rumah kaca.

4.2 Saran 1. Meningkatkan kemampuan sumber daya manusia yang ada di Indonesia, sehingga perkembangan bioetanol sebagai energi alternatif terjalankan dengan baik. 2. Menggunakan alat-alat yang lebih sederhana, yang lebih dikenal masyarakat awam

Daftar Pustaka
Indoenergi. 2012. Keunggulan dan Kekurangan Bahan Bakar Etanol. www.indoenergi.com. Kardono. 2008. Potensi Pengembangan Biofuel Sebagai Bahan Bakar Alternatif. Institut Pertanian Bogor. Bogor Kementerian Perindustrian. 2012. Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi. Jakarta. Kurniawan. 2005. Potensi Pengembangan Industri Gula Sebagai Penghasil Energi Di Indonesia. Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia. Pasuruan. Perry, Robert H. 2008. Perrys Chemical Engineering Handbook. 7th ed. New York : McGraw-Hill Company. Riyanti. 2009. Biomassa Sebagai Bahan Baku Bioetanol. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian. Bogor.

Anda mungkin juga menyukai