Anda di halaman 1dari 157

1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Cita-cita Bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertibaan dunia yang berdasarkan kemerdakaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Kesehatan sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum harus diwujudkan melalui berbagai upaya kesehatan dalam rangka

pembangunan kesehatan secara menyeluruh dan terpadu yang didukung oleh suatu sistem kesehatan nasional.1 Sejalan dengan pasal 28 ayat (1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah ditegaskan bahwa setiap orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan, kemudian dalam pasal 34 ayat (3) dinyatakan Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. Rumah sakit sebagai salah satu fasilitas pelayanan kesehatan merupakan bagian dari sumber daya kesehatan yang sangat diperlukan dalam mendukung operasional upaya kesehatan.

Undang-undang No.44 tahun 2009 tentang Rumah sakit

Keberhasilan upaya pelayanan kesehatan bergantung pada ketersediaan sumber daya kesehatan berupa tenaga, sarana, dan prasarana dalam jumlah dan mutu yang memadai. Rumah sakit merupakan salah satu sarana kesehatan yang diselenggarakan baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Pelayanan kesehatan sebagai kegiatan utama rumah sakit menempatkan dokter dan perawat sebagai tenaga kesehatan yang dekat hubungannya dengan pasien dalam penanganan penyakit 2 Standar pelayanan rumah sakit berkaitan dengan kemampuan rumah sakit berkaitan memberikan layanan kesehatan sesuai dengan kualifikasinya. Konsekuensinya, terhadap penyakit pasien dengan penderitaan/penyakit yang termasuk dalam kompetensi kualifikasinya, wajib bagi rumah sakit untuk memberikan pelayanan kesehatan dengan sebaik-baiknya sesuai dengan hak pasien. Sebaliknya, apabila penyakit pasien diluar kemampuan rumah sakit untuk menangani, wajib bagi rumah sakit untuk merujuknya kerumah sakit yang mempunyai sarana dan prasarana yang diperlukan sesuai dengan kebutuhan berdasarkan penyakit pasien Sistem pelayanan kesehatan melalui Rumah Sakit adalah tatanan daripada tingkat pelayanan Rumah Sakit yang disusun menurut pola rujukan timbal antara masyarakat, puskesmas, rumah sakit dan

Amir Ilyas & Yuyun Widaningsih, 2010, Hukum Korporasi Rumah Sakit,Rangkang Education,

Yogyakarta. Hal. 28

sarana kesehatan lainnya, sehingga tercapai pelayanan yang bermutu, berdaya guna dan berhasil guna.3 . Rumah sakit adalah organisasi penyelenggara pelayanan publik. yang mempunyai tanggung jawab publik atas setiap pelayanan jasa publik kesehatan yang diselenggarakannya. Tanggung jawab publik rumah sakit yaitu menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau berdasarkan prinsip aman, menyeluruh, non diskriminatif, partisipatif dan memberikan perlindungan bagi masyarakat sebagai pengguna jasa pelayanan kesehatan ( health receiver) , juga bagi penyelenggara pelayanan kesehatan ( health receiver) demi untuk mewujukan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.4 Dalam kegiatan pelayanan medis yang dilakukan oleh rumah sakit tersebut tentunya terdapat kaidah-kaidah atau aturan-aturan yang mengatur, terutama sekali menyangkut tanggung jawab, baik

manajemen rumah sakit maupun tenaga personalia, dokter, tenaga perawat, dan hal lain yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh rumah sakit. Kaidah-kaidah dan aturan-aturan

Indar,2010, Etika dan Hukum Kesehatan, Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin,

Makassar. Hal. 166


4

Syahrul Mahmud, 2012, Penegakan Hukum dan Perlindungan Hukum Bagi dokter yang didugga

melakukan Malpraktek, Karya Putra Darwati, Bandung, hal. 161

tersebutlah yang dimaksudkan dengan hukum rumah sakit (hospital by lawas).5 Menurut UU No. 44 Tentang Rumah Sakit Tahun 2009. Rumah sakit sebagai salah satu fasilitas pelayanan kesehatan merupakan bagian dari sumber daya kesehatan yang sangat diperlukan dalam mendukung penyelenggaraan upaya kesehatan. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan di Rumah Sakit mempunyai karakteristik dan organisasi yang sangat komplek. Berbagai jenis tenaga kesehatan dengan perangkat keilmuannya masing-masing berinteraksi satu sama lain. Ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran yang berkembang sangat pesat yang harus diikuti oleh tenaga kesehatan dalam rangka pemberian pelayanan yang bermutu, membuat semakin kompleksnya permasalahan dalam Rumah Sakit.6 Peraturan Pemerintah no. 32 Tahun 1996 tentang tenaga kesehatan mengatakan Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya; tenaga kesehatan yang tergolong profesi sebagaimana suatu profesi ditandai dengan syarat utama yaitu diperkenankan melalui pelatihan

Endang kusuma Astuti, 2009, Transaksi terapeutik Dalam Upaya Pelayanan Medis di Rumah

Sakit, Citra Aditya Bakti, Bandung Hal. 86


6

Undang-undang no. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit

yang ekstensif, memiliki kompetensi ilmu dalam melakukan tugasnya, serta memberikan pelayanan untuk kepentingan umum. Disamping itu tiap profesi memiliki kode etik dan organisasi profesi, serta otonomi dalam menjalankan tugas profesinya.7 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHP) mengenal

perbuatan hukum tidak langsung. Pasal tersebut mengatakan, seseorang bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatan orang yang menjadi tanggungannya atau pengawasannya. Manajemen Rumah sakit pemerintah dapat dituntut. Menurut pasal 1365 KUHPerdata karena pegawai yang bekerja pada RS Pemerintah menjadi pegawai negeri dan negara sebagai suatu badan hukum dapat dituntut untuk membayar ganti rugi atas tindakan pegawai negeri yang dalam menjalankan tugasnya merugikan pihak lain.8

jika dokter bekerja untuk rumah sakit, maka seharusnya dokter tersebut berada di bawah pengawasan rumah sakit. Dan seorang tenaga medis yang bekerja atau melaksanankan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum hal ini diatur dalam Undang-undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pada pasal 50 yang berbunyi : dokter atau dokter gigi dalam melaksanankan praktik kedokteran mempunyai hak
7

Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan

Indra Bastian suryono, 2011, Penyelesaian Sengketa Kesehatan, salemba medika, Jakarta, hal. 87

memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanankan tugas seuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional.9

Tetapi pada kenyataannya ketika terjadi suatu kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh dokter maka pasien atau keluarganya mengajukan tuntutan ganti rugi atau pidana kepada dokter seperti pada kasus sepasang suami-istri, yakni Doddi Prayoga Dimas, 29 tahun, dan Indri Rudiyanti, 28 tahun yang melaporkan seorang dokter kandungan yang beroperasi di salah satu rumah sakit swasta terkemuka di Depok. Dokter berinisial RK tersebut dilaporkan karena diduga melakukan malpraktik.Kasus ini bermula ketika pada Oktober 2009 lalu, Indri memeriksakan kandungannya yang berusia dua bulan ke rumah sakit. Saat itu, dokter RK menjelaskan ada kelainan di kehamilan Indri. Dokter pun menyarankan agar dirinya disuntik cairan MTX sebesar 50 miligram. Hal tersebut dilakukan agar kehamilannya tidak pecah. Merasa tidak puas dengan hasil tersebut, Indri pun memeriksakan diri ke RS lainnya. Di rumah sakit yang kedua ini, dokter kandungan menyatakan tidak ada masalah dengan kandungan Indri. Bahkan, menurutnya saran RK merupakan keputusan medis yang keliru. Tak lama setelah itu, Indri keguguran dan kehilangan bayinya.Dengan kejadian ini, Indri dan

Undang-undang No.29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran

suaminya tidak terima. Lalu keduanya melaporkan dokter kandungan tersebut kepengadilan.10 Terdapat putusan peradilan pidana yang dapat dijadikan standar bagi aparat penegak hukum dalam menindak dokter bila diduga melakukan mal praktek. Kasus tersebut menyangkut dr. setianingrum yang didakwa oleh penuntut umum sebagai berikut :
11

dr. Setianingrum

binti Siswoko didakwa melanggar pasal 359 KUHP, karena kealpaannya atau kurang hati-hatinya pada waktu mengobati pasien bernama Rusmini. Selanjutnya Penuntut umum menuntut terdakwa dengan pidana 1 (tahun) penjara. Akhirnya Hakim Tingkat Pertama menjatuhkan putusan pidana percobaan 3 (tiga) bulan dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) bulan. Putusan tersebut dikuatkan oleh pengadilan Tinggi Semarang. Selanjutnya terdakwa melakukan upaya kasasi ke Mahkamah Agung, akhirnya Majelis Hakim Agung memutuskan membebaskan dr.

Setiningrum dari Dakwaan Penuntut Umum tersebut. Pertimbangan dibebaskannya dr. Setianingrum dari dakwaan penuntut umum tersebut adalah, sebagian besar saksi ahli menyatakan bahwa tindakan medis yang dilakukan oleh dr. Setianingrum telah sesuai dengan standar profesi. Sehingga tidak dipenuhinya unsur kealpaan yang dikehendaki oleh pasal 359 KUHP, mengakibatkan

10

www.tempo.co/.../Pasien-Operasi-Patah-Tulang-Diduga-Korban-Mal...10 Okt 2011 Pasien

Operasi Patah Tulang Diduga Korban Malpraktek. Besar Kecil Normal. TEMPO.CO, Jakarta
11

Syahrul Machmud, Op,cit. Hal.340

dibebaskannya

dr.

Setianingrum.

Sebagaimana

surat

edaran

Mahkamah Agung, maka sebelum Hakim meyakini dokter telah lalai atau bahkan telah sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan korban jiwa atau kerugian terhadap badan atau bagian badan pasien(medical malpractice), maka harus mendengarkan terlebih dahulu pendapat dari Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran

Indonesia (MKDKI). Walaupun pendapat ahli ini dalam sistem hukum pembuktian Indonesia tidak mengikat Hakim. Standar profesi yang dimaksudkan adalah kemampuan rata-rata dari keahlian kedokteran disesuaikan dengan tempat, saran dan prasarana pelayanan kesehatan tersebut. Tidak bisa dibandingkan kemampuan dokter spesialis dengan dokter umum, dokter senior dengan dokter yang baru lulus, serta tidak bisa pula disamakan standarisasi pelayanan kesehatan dirumah sakit karena rumah sakit memiliki klasifikasi yang berbeda, serta tidak bisa disamakan antara daerah/kota yang besar dengan daerah yang baru berkembang dan daerah terpencil dan terbatas peralatannya.12 Dr. Setianingrum adalah seoarang dokter baru yang bertugas di sebuah puskesmas yang terbatas peralatannya sehingga menurut Majelis Hakim Kasasi apa yang telah dilakukan dr. setianingrum telah sesuai dengan standar profesi kedokteran disesuaikan dengan kemampuan dokter baru serta tempat pelayanan kesehatan tersebut.

12

Ibid hal.342

Demikian pula dalam kasus dipengadilan Bengkulu dimana tertukarnya isi gas yang dipakai untuk pembiusan ternyata isinya berbeda, sehingga mengakibatkan matinya pasien. Dalam putusan tersebut dokter bedah dan dokter anastesi dibebaskan oleh hakim dan dinyatakan tidak bersalah, karena tanggung jawab atas kebenaran isi gas yang dipakai untuk pembiusan bukan menjadi tanggung jawab dokter tetapi bagian pengadaan.13 Bersalah tidaknya dokter diukur dari apakah tindakan medik itu telah memenuhi standar pelayanan medik, standar operasional Prosedur (SOP) dan apakah adanya contribution negligence dari pasien, juga apakah dokter tersebut tidak melanggar kode etik Kedokteran. Hal ini juga ditegaskan dalam Undang-undang no.36

tahun 2009 tentang kesehatan pasal 27 yang menyebutkan ayat (1) Tenaga kesehatan berhak mendapatkan imbalan dan pelindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya.
14

Berkaitan dengan hal tersebut, tanggung jawab rumah sakit selaku pelayanan medis, pertama, tanggung jawab terhadap

personalia, kedua, tanggung jawab professional terhadap mutu, ketiga, tanggung jawab terhadap sarana/peralatan dan keempat, tanggung jawab terhadap keamanan bangunan dan perawatannya.

13

Ibid hal 343

14

www.analisadaily.com/mobile/read/

10

suatu rumah sakit harus mempunyai standar pelayanan kesehatan yang merupakan pengaturan teknis klinis yang bersifat lebih detail dan berpedoman pada standar pelayanan medik, standar pelayanan keperawatan dan standar pelayanan rumah sakit itu sendiri sesuai dengan kondisi rumah sakit yang bersangkutan. Sementara standar operasional prosedur sebagai tolak ukur mengendalikan kualitas pelayanan medis. Standar opersional ini bertujuan untuk mengatur sampai sejauhmana batas-batas kewenangan dan

tanggungjawab etik

dan hukum tenaga kesehatan/dokter terhadap

pasien maupun tanggung jawab rumah sakit terhadap medical staff dan sebaliknya. Standar operasional ini juga akan mengatur hubungan antara tenaga kesehatan dengan teman sejawat dalam satu tim,serta merupakan alat ukur apakah tenaga kesehatan dan rumah sakit dapat dimintai pertanggungjawaban hukumnya jika terjadi kerugian bagi pasien.15 Dalam Pasal 58 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, menegaskan setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya. Dalam hubungan antara dokter atau tenaga kesehatan sering timbul masalah dengan adanya dugaan terjadinya kelalaian medis, hal

15

Amir Ilyas & Yuyun Widaningsih OP, Cit hal 85

11

itu dapat juga disebabkan karena kurangnya pemahaman atau persepsi yang sama atas hak dan kewajiban baik pemberi dan penerima pelayanan kesehatan. Masalah hukum yang timbul tersebut dapat diakibatkan karena kesalahan atau kelalaian para petugas di rumah sakit atau akibat kesalahan dalam menerapkan kebijakan atas peraturan dan juga diakibatkan kekurangan pengetahuan para petugas tentang hukum kesehatan atau peraturan perundang-undangan di bidang kesehatan. Hal yang sangat mendasar dalam pelayanan kesehatan yang selalu dipermasalahkan masyarakat, pasien adalah menyangkut keterbukaan, transparansi, mutu pelayanan, penerapan aturan,

kedisiplinan waktu, sehingga sering diduga melakukan kelalaian medis atau musibah klinis. Berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap tenaga

kesehatan (khususnya dokter), maraknya tuntutan hukum yang diajukan masyarakat dewasa ini seringkali diidentikkan dengan kegagalan upaya penyembuhan yang dilakukan dokter. Di sisi lain, kurangnya pemahaman komunitas medik (dokter, perawat, dan rumah sakit) seputar aspek-aspek hukum profesi mereka juga merupakan penyebab timbulnya sengketa medik.16

16

Laporan penelitian Hukum Tentang Hubungan tenaga medic, rumah sakit dan pasien oleh Noor

M Aziz, SH,MH,MM Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI 2010

12

Di dalam suatu rumah sakit terdapat banyak hal yang diputuskan dalam masing-masing tingkat (eselon) dan masing-masing bidang yang dapat dikatakan mempengaruhi berhasil tidaknya pemberian pelayanan perawatan/pengobatan. Secara umum dapat dikatakan terdapat suatu multi-management dan dalam memberikan pelayanan faktor itikad baik (goede trouw, good faith) dan unsur kepercayaan (trust,

vetrouwen) memegang peran yang menentukan. Di dalam rumah sakit segala sesuatu ini sangat bergantung kepada si pelakunya. Selain itu banyak pula terdapat pendelegasian wewenang dalam pelaksanaan tugasnya.17 Namun di dalam prakteknya tidak semudah dan sesederhana itu. Hal ini disebabkan karena di dalam kenyataannya ketiga kelompok tanggungjawab itu saling berkaitan dan saling berjalinan satu sama lain, Maka sering terjadi agak sukar untuk memilah-milahkan dan

memberikan batas tanggungjawab tegas, siapa yang harus diminta pertanggungjawabannya. Didalam suatu peristiwa harus dilihat secara kauistis. Berdasarkan permasalahan diatas bahwa terjadi kecenderungan rumah sakit belum secara maksimal melaksanakan tanggung jawabnya karena manajemen rumah sakit kurang memahami tugas mereka dan kurangnya pengetahuan para petugas tentang hukum kesehatan atau peraturan perundang-undangan di bidang kesehatan. Menjadi alasan

17

Ibid hal 36

13

penulis untuk meneliti tanggung jawab rumah sakit dalam memberikan perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan.

B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka permasalahan yang perlu mendapat pengkajian, yaitu : 1. Bagaimanakah pelaksanaan substansi hukum yang mengatur tanggung jawab rumah sakit dalam memberikan perlindungan hukum dirumah sakit ? 2. Faktor apakah yang mempengaruhi pelaksanaan tanggung jawab rumah sakit dalam memberikan perlindungan hukum di rumah sakit?

C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah 1. Untuk mengetahui pelaksanaan substansi hukum yang

mengatur tanggung jawab rumah sakit dalam memberikan perlindungan hukum. 2. Untuk mengetahui dan memberikan gambaran faktor yang mempengaruhi pelaksanaan tanggung jawab rumah sakit dalam memberikan perlindungan hukum

14

D. Kegunaan Penelitian 1. Hasil penelitian ini merupakan salah satu imformasi bagi rumah sakit sebagai lokasi tempat penelitian 2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dan merupakan salah satu referensi bagi peneliti 3. Merupakan pengalaman yang sangat berharga bagi peneliti dalam mengaplikasikan ilmunya 4. Sebagai bahan pertimbangan bagi mahasiswa ilmu hukum apabila berminat meneliti masalah yang berkaitan dengan rumah sakit.

E. Orisinalitas Penelitian 1. Wahyu Andrianto, Malpraktik Medis Rumah Sakit, Implikasi Pada Tangung Jawab Hukum dan Orientasi Bisnis Rumah Sakit, Tahun 2005, Universitas Indonesia, Kajian dan analisis hukum dalam tesis ini bertujuan untuk memahami dan mendalami definisi dan ruang lingkup malpraktik medis, tanggung jawab hukum rumah sakit, dan dampak malpraktik medis bagi bisnis rumah sakit. Semakin meningkatnya tuntutan malpraktik medis terhadap praktik kedokteran ternyata menimbulkan masalah yang besar bagi dokter dan rumah sakit. Pihak dokter dan rumah sakit merasa disudutkan karena jika.timbul akibat yang tidak diinginkan dari tindakan medis, seringkali diidentikkan dengan malpraktik medis. Kata "malpraktik medis" mempunyai konotasi negatif bagi profesi dokter dan bagi bisnis rumah sakit. Sebaliknya

15

pihak pasien merasa hak-haknya tidak dilindungi karena setiap terjadi kasus, rumah sakit maupun dokter seakan-akan saling melempar tanggung jawab. Tesis ini berusaha menjelaskan mengenai pengertian malpraktik medis. Ternyata, tidak setiap akibat negatif dari tindakan medis dapat digolongkan sebagai malpraktik medis. Untuk

membuktikan apakah akibat negatif dari suatu tindakan medis adalah malpraktik medis atau bukan, ada prosedur pembuktiannya. Selain itu tesis ini juga berusaha untuk membahas mengenai tanggung jawab hukum rumah sakit jika terjadi kasus malpraktikmedis. Ternyata, rumah sakit bertanggung jawab jika terjadi kelalaian yang dilakukan oleh personalianya selama menjalankan tugas dan kewenangannya. Pada saat ini dikenal Doktrin Central Responsibility (Tanggung Jawab Terpusat). Malpraktik medis juga mempunyai dampak positif bagi dokter dan rumah sakit yaitu akan semakin memacu mereka untuk memperbaiki manajemen kerja dan manajemen resiko 18 2. Indriyani Lindawaty, Perlindungan Hukum Terhadap Dokter di Rumah Sakit Umum Daerah Sele Be Solu Kota Sorong, tahun 2011, Universitas Gadjah Mada, Penelitian ini bertujuan untuk Memperoleh informasi tentang perlindungan hukum dan tanggung jawab Rumah Sakit terhadap dokter yang menjalankan tugas di Rumah Sakit Umum Daerah Sele Be Solu Kota Sorong sebagai implementasi UndangUndang rumah sakit Nomor 44 tahun 2009 Pasal 29 ayat (1) butir s dan

18

www.digilib.ui.ac.id

16

pasal 46. Jenis penelitian yuridis normatif dan empiris dengan menggunakan data primer dan sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, dan bahan hukum sekunder. Analisa dengan menggunakan analisis kualitatif, yaitu analisis data dengan menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Data yang diperoleh dalam penelitian dipilih berdasarkan dengan masalah yang diteliti,

dihubungkan dan dianalisis serta dikaitkan dengan teori-teori hukum dan kesehatan yang menyangkut permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini. Hasil penelitian adalah Undang-Undang Rumah Sakit No. 44 tahun 2009 Pasal 29 ayat (1) butir s dan Pasal 46 yang mengatur tentang tanggung jawab hukum rumah sakit dalam hal memberikan perlindungan dan bantuan hukum kepada dokter yang bekerja di rumah sakit belum dilaksanakan dengan baik di Rumah Sakit Umum Daerah Sele Be Solu Kota Sorong, hal ini disebabkan karena belum semua staf medis (dokter spesialis, dokter umum dan dokter gigi) maupun staf managemen rumah sakit mengetahui tentang Undang-Undang Rumah Sakit No. 44 Tahun 2009 sehingga belum ada pelaksanaan dari Undang-Undang tersebut yang mengakibatkan Semua dokter yang bekerja di Rumah Sakit Umum Daerah Sele Be Solu Kota sorong belum mendapatkan jaminan Perlindungan Hukum di rumah sakit dalam menjalankan profesinya menjadi seorang dokter.19

19

etd.ugm.ac.id

17

Berdasarkan penelusuran yang dilakukan peneliti di internet. Penelitian Tanggung Jawab Rumah Sakit Dalam Memberikan

Perlindungan Hukum Bagi Tenaga kesehatan Di Rumah Sakit .Judulnya hampir sama, secara umum terdapat kemiripan antara penelitian saudara Wahyu Andrianto dengan judul Malpraktik Medis Rumah Sakit, Implikasi Pada Tangung Jawab Hukum dan Orientasi Bisnis Rumah Sakit, Tahun 2005, Universitas Indonesia,dan Indriyani Lindawaty dengan judul

Perlindungan Hukum Terhadap Dokter di Rumah Sakit Umum Daerah Sele Be Solu Kota Sorong, tahun 2011, dengan penelitian yang saya teliti. Tetapi secara spesifik banyak terdapat perbedaan antara penelitian saudara Wahyu Andrianto dan Indriyani Lindawaty dengan penelitian yang saya teliti. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari tempat, waktu dan permasalahan yang diteliti dimana permasalahan yang saya teliti adalah bagaimana pelaksanaan substansi hukum yang mengatur tanggung jawab rumah sakit dalam memberikan perlindungan hukum dirumah sakit dan faktor apa yang mempengaruhi pelaksanaan tanggung jawab rumah sakit dalam memberikan perlindungan hukum. Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan terdapat perbedaan antara penelitian saudara Wahyu Andrianto dan Indriyani Lindawaty dengan penelitian yang saya teliti sehingga penelitian ini dapat dijamin dan dipertanggungjawabkan keaslian isinya.

18

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Hukum Pada umumnya pertanyaan pertama yang muncul bagi orang yang mulai mempelajari hukum adalah apakah hukum itu? Upaya untuk memberikan arti yang memadai tentang hukum sesungguhnya telah dilakukan sejak beribu-ribu tahun yang lalu namun belum pernah terdapat sesuatu rumusan yang memuaskan. Para ahli hukum pun sebagaian besar merumuskannya secara berlainan. Faktor ini disebabkan antara lain oleh karena hukum banyaknya seginya dan demikian luasnya sehingga seakan-akan tidak bertepi (Apeldoorn:1978, Rahardjo:1986). Ia

menjelajahi wilayah kebudayaan, ekonomi, sejarah, filsafat, manajemen, sosiologi dan lain-lain.20 Hukum memang tidak lepas dari kehidupan manusia. Setiap manusia mempunyai kepentingan, ada yang bersamaan dan ada yang berbeda kepentingannya. Kepentingan adalah suatu tuntutan perorangan atau kelompok yang diharapkan untuk dipenuhi. Setiap manusia adalah pendukung atau penyandang kepentingan. Manusia menginginkan agar kepentingan-kepentingannya terlindung dari bahaya yang

mengancamnya. Untuk itu ia memerlukan bantuan manusia lain. Dengan kerjasama dengan manusia lain akan lebih mudahlah keinginan tercapai atau kepentingan terlindungi.
20

Indar, Op,Cit, hal 67

19

Perlindungan kepentingan itu tercapai dengan terciptanya pedoman atau peraturan hidup yang menentukan bagaimana manusia harus bertingkah laku dalam masyarakat agar tidak merugikan orang lain dan dirinya sendiri. Pedoman atau patokan untuk bertingkah laku dalam kehidupan bersama ini disebut norma atau kaidah sosial. Untuk melindungi kepentingan manusia didalam masyarakat terdapat beberapa kaidah sosial. Tata kaidah tersebut terdiri dari kaidah kepercayaan atau keagamaan, kaidah kesusilaan, kaidah sopan santun dan kaidah hukum..21 Seorang ahli antropologi hukum Leopold Pospisil (Munir:1987, dalam Indar:2010) memberikan rumusan tentang hukum sebagai suatu aktifitas yang mempunyai fungsi pengawasan sosial. Untuk membedakan suatu aktivitas itu dari aktivitas- aktivitas kebudayaan lain yang mempunyai fungsi serupa dalam suatu masyarakat, seorang peneliti harus mencari akan adanya ciri dari hukum (attribute of Law).

B. Tujuan dan Fungsi Hukum Dalam literatur hukum terdapat beberapa teori tentang tujuan hukum antara lain yaitu:22 1. Teori Etis, menurut teori ini hukum bertujuan untuk menciptakan keadilan. Pendukung utama teori ini adalah Geny. Keadilan ini sendiri
21

Ibid hal 68

22

Ibid hal 71

20

menurut Aristoteles adalah keadilan distributif bahwa setiap orang mendapatkan apa yang menjadi haknya atau jatahnya, keadilan commutative yaitu memberikan kepada setiap orang sama banyaknya. 2. Teori Utilitis, menurut teori ini hukum ingin menjamin kebahagiaan yang terbesar bagi manusia dalam jumlah yang sebanyak-banyaknya. Pada hakekatnya teori ini tujuan hukum adalah manfaat dalam menghasilkan kesenangan atau kebahagiaan yang terbesar bagi jumlah orang terbanyak. Pendukung utama teori ini adalah Jeremy Bentham. 3. Teori Campuran, Van Apeldoorn mengatakan tujuan hukum adalah mengatur pergaulan hidup secara damai. Mochtar Kusumaatmadja menyatakan tujuan hukum adalah ketertiban. Dalam kaitan hukum dengan permasalahan kesehatan yaitu bagaimana hukum dapat berfungsi untuk menyelesaikan masalah kesehatan sesuai dengan tujuannya. Fungsi hukum dapat dilihat dari : 1. Sarana pengendalian sosial (social control) Sebagai suatu sarana pengendalian sosial yaitu dengan melihat hukum sebagai sarana untuk mempertahankan suatu tata tertib atau pola kehidupan yang telah ada. Hukum dalam posisi seperti ini sekedar menjaga agar setiap orang menjalankan peranannya sebagaimana diharapkan dari padanya.
23

23

Ibid hal 80

21

2. Sarana untuk melakukan perubahan sosial (social engineering) Dengan fungsi hukum sebagai saran untuk melakukan perubahan di dalam masyarakat, dari hukum diharapkan tidak hanya sekedar meneguhkan pola-pola yang memang telah ada di dalam masyarakat tetapi juga ia berusaha untuk menciptakan hal-hal atau hubunganhubungan baru. 3. Fungsi hukum sebagai alat pemersatu (social integration) yaitu mengatur dan menciptakan tatanan. Adanya hukum disini dimaksudkan untuk mengatur kehidupan bersama di dalam masyarakat. Menurut soekanto dan Abdullah,1980 (dalam Indar:2010), Agar suatu kaidah hukum atau peraturan tertulis benar-benar berfungsi, senantiasa dapat dikembalikan pada paling sedikit empat faktor yaitu:24 1. Kaidah hukum itu sendiri 2. Aparat penegak hukum 3. Fasilitas yang dapat mendukung penegakan hukum 4. Kesadaran hukum masyarakat yang terdiri dari ; a. Pengetahuan hukum masyarakat b. Penghayatan terhadap fungsi hukum c. Penerapan dari kaidah hukum itu sendiri.

24

Ibid hal 81

22

Dalam ilmu hukum, diajarkan tiga ketaatan terhadap hukum yaitu:25 1. Bersifat compliance, taat pada suatu ketentuan hukum hanya karena takut sanksi. Ini paling banyak dianut di Indonesia. ketaatan ini yang paling rendah kualitasnya. 2. Ketaatan yang bersifat identifikasi, menaati ketentuan hukum karena takut hubungan baiknya dengan orang lain menjadi rusak. 3. Ketaatan yang bersifat internalization yaitu ketaatan terhadap ketentuan hukum bukan karena takut sanksi melainkan karena nilai interensik kita. Sebagai tempat menemukan atau menggali hukum disebut sebagai sumber hukum. Apeldoorn membedakan 4 macam sumber hukum, yaitu :26 1. Dalam arti historis yaitu tempat menemukan hukum dalam sejarah, yang dibagi atas : a. Dikemukakan atau dikenal hukum secara histori:dokumen-dokumen kuno, lontar dsb b. Tempat pembentuk undang-undang mengambil bahannya. 2. Dalam arti sosiologis, merupakan faktor-faktor yang menentukan sisi positif, misalnya keadaan agama, pandangan agama,dsb. 3. Dalam arti filosofis yang terdiri atas

25

Ibid 81

26

Ibid hal 71

23

a. Sumber isi hukum menanyakan isi hukum itu asal darimana. Terdapat tiga pandangan yang mencoba menjawab pertanyaan ini, yakni: Pandangan teokratis, isi hukum berasal dari tuhan Pandangan hukum kodrat, isi hukum berasal dari akal manusia Pandangan mazhab historis, isi hukum berasal dari kesadaran hukum masyarakat b. Sumber kekuatan mengikat dari hukum, yakni bahwa kekuatan mengikat dari hukum bukan semata-mata didasarkan atas kekuatan yang bersifat memaksa, melainkan karena alasan kesusilaan atau kepercayaan. 4. Dalam arti formil yakni melihat sumber hukum dari cara terjadinya hukum positif yang merupakan fakta yang menimbulkan hukum yang berlaku dan mengikat hakim dan penduduk. Utrecht (1975) menyebut sumber hukum formil ini, adalah: a. Undang-undang b. Kebiasaan dan adaptasi c. Traktat d. Yurisprudensi Mengenai sumber hukum formil ini selanjutnya akan dibahas mengenai undang-undang. Undang-undang dapat dibagi atas : a. Undang-undang dalam arti materil yaitu Undang-undang yang merupakan keputusan atau ketetapan penguasa, yang dilihat dari

24

isinya disebut Undang-undang dan mengikat setiap orang secara umum. b. Undang-undang dalam arti formil ialah keputusan penguasa yang dilihat dari bentuk dan cara terjadinya disebut Undang-undang. Efektifitas hukum dalam masyarakat banyak dipengaruhi oleh

unsur-unsur dari sistem hukum yaitu, struktur hukum meliputi lembagalembaga hukum yang saling berkaitan dan berproses dalam hubungan timbal, substansi hukum mencakup kaidah-kaidah hukum dan sikap tindak hukum, dan terakhir kultur hukum yang mengandung nilai-nilai serta sikapsikap yang mempengaruhi bekerjanya hukum. Suatu sistem hukum terdiri unsur substansi hukum (substance of law), struktur hukum (structure of law), dan budaya hukum (culture of law). Unsur hukum yang terdapat pada semua jenis hukum baik tertulis (written law) maupun yang tidak tertulis (unwritten law) adalah:27 1. Asas -asas hukum sifat paling abstrak tetapi unsur inilah yang melahirkan norma-norma hukum, sekaligus menjaga konsistensi hukum. Misalnya jika terjadi pertentangan antara dua aturan hukum yang sederajat, suatu undang-undang dengan undang-undang lainnya dimana salah satunya bersifat khusus dan lainnya bersifat umum. Disini berlaku asas lex specialist derogate lege generale aturan khusus mengenyampingkan aturan umum. Atau contoh lainnya jika
27

Ibid hal 67-82

25

terjadi pertentangan antara dua aturan yang satu memiliki hirarki yang lebih tinggi dibanding yang lainnya contohnya antara UUD misalnya dengan suatu undang-undang. Disini berlaku asas lex superior derogate lege inferiori atau aturan yang lebih tinggi tingkatannya mengenyampingkan aturan yang lebih rendah tingkatannya. 2. Norma hukum adalah penetapan apa yang boleh dan apa yang tidak dilakukan berdasarkan hukum. Norma hukum dilahirkan dari asas hukum, dimana satu asas hukum dapat melahirkan lebih dari satu norma hukum contohnya asas hukum pengakuan terhadap hak milik individu dapat melahirkan jumlah norma hukum misalnya larangan mencuri barang milik orang lain dan larangan merusak barang orang lain.28 Aturan hukum dilahirkan dari satu norma hukum dimana satu norma hukum dapat melahirkan lebih dari satu aturan hukum, contohnya dilarang mencuri barang orang lain (norma hukum) melahirkan aturan hukum pasal 362 tentang pencurian. Contoh lain dilarang melakukan perbuatan melanggar hukum melahirkan pasal 1365 KUH Perdata tentang perbuatan melanggar hukum (Onrechtmatigedaad).

C. Bentuk dan jenis Hukum Dari segi isinya hukum dapat dibagi atas hukum umum yang merupakan dasar umum serta hukum khusus yang menyimpang dari

28

Ibid hal 72

26

hukum umum. Pembagian lain dari hukum yaitu hukum publik dan hukum privat. Hukum publik adalah keseluruhan hukum yang mengatur kepentingan umum dan mengatur kepentingan penguasa dan warga negaranya. Dalam hukum publik salah satu sifatnya adalah penguasa, sedangkan dalam hukum privat kedua belah pihak adalah perorangan tanpa menutup kemungkinan bahwa dalam hukum privat pun penguasa dapat juga menjadi pihak.29 Peraturan hukum publik sifatnya memaksa, sedangkan peraturan hukum privat sifatnya mengatur meskipun ada yang sifatnya memaksa. Yang termasuk hukum puklik adalah hukum tata Negara, hukum administrasi Negara dan hukum pidana. Hukum tata Negara adalah hukum yang mengatur bentuk, organisasi, tugas dan wewenang Negara. Hukum tata Negara melihat Negara dalam keadaan statis, tidak bergerak. Hukum administrasi Negara atau hukum tata usaha Negara adalah hukum yang mengatur Negara dalam keadaan bergerak. Hukum adminstrasi Negara mengatur hubungan antara lembaga-lembaga Negara, antara lembaga Negara dan masyarakat. Hukum pidana adalah hukum yang menentukan perbuatan-perbuatan mana atau siapa sajakah yang dapat dipidana serta sanksi-sanksi apa yang tersedia. Hukum privat atau hukum perdata itu mengatur hubungan dalam keluarga dan hubungan pergaulan didalam masyarakat. Hubungan dalam keluarga menimbulkan hukum orang dan hukum keluarga, sedangkan

29

Ibid hal 79

27

pergaulan didalam masyarakat menimbulkan hukum harta kekayaan yang dibagi lagi lebih lanjut menjadi hukum benda dan hukum perikatan. Disamping hukum keluarga, hukum orang, hukum benda dan hukum perikatan, termasuk dalam hukum perdata juga hukum waris. Hukum dagan adalah hukum khusus di samping hukum perdata. Akan tetapi hukum dagang tidaklah berdiri sendiri lepas dari hukum perdata, melainkan melengkapi hukum perdata.30 Pelanggaran terhadap hukum tidak selalu harus diselesaikan melalui pengadilan. Penyelesaian suatu perkara apakah dibawa atau tidak itu dipengaruhi budaya setempat.

D. Pengertian hukum Kesehatan Hukum Kesehatan (health law) merupakan suatu spesialisasi dari ilmu hukum yang ruang lingkupnya meliputi segala peraturan perundangundangan di sektor pemeliharaan kesehatan. Banyak istilah yang digunakan oleh para pakar ada yang menyebutnya hukum kedokteran dan hukum medik sebagai terjemahan dari medical law dan droit medical.31 Menurut pasal 1 Anggaran Dasar Perhimpunan Hukum Kesehatan Indonesia (Perhuki), hukum kesehatan adalah semua ketentuan hukum yang berhubungan dengan pemeliharaan/pelayanan kesehatan dan penerapannya serta hak dan kewajiban baik dari perorangan dan segenap
30

Ibid hal 79

31

Hendrik, 2012, Etika dan Hukum Kesehatan,EGC, Jakarta hal 24

28

lapisan masyarakat sebagai penerima pelayanan kesehatan maupun dari pihak penyelenggara pelayanan kesehatan dalam segala aspek

organisasi, sarana, pedoman-pedoman medis nasional/internasional, hukum di bidang kesehatan, jurisprudensi serta ilmu pengetahuan bidang kedokteran/kesehatan. Dengan demikian, hukum kesehatan meliputi seluruh aturan hukum yang berhubungan langsung dengan bidang pemeliharaan kesehatan yakni meliputi hukum medis/kedokteran, hukum keperawatan, hukum farmasi, hukum rumah sakit, hukum kesehatan lingkungan, hukum kesehatan Masyarakat,dan hukum lainnya disektor kesehatan. Hukum kesehatan mengandung makna pengertian yang luas, sedangkan hukum kedokteran mengandung makna yang lebih sempit, yakni hanya meliputi aturan-aturan hukum yang berkaitan dengan kegiatan pelayanan medik, yaitu hubungan hukum antara dokter dan pasien, antara dokter dan rumah sakit, serta antara rumah sakit dan pasien.

E. Sumber hukum Kesehatan Dari berbagai definisi hukum kesehatan sebagaimana yang dikemukakan diatas, sumber hukum kesehatan adalah :32 1. Pedoman international. Konfrensi Helsinki (1964) merupakan

kesepakatan para dokter sedunia mengenai penelitian kedokteran,

32

Ibid hal 26

29

khususnya eksperimen pada manusia, yakni ditekankan pentingnya persetujuan tindakan medik (Informed Consent). 2. Hukum kebiasaan. Biasanya tidak tertulis dan tidak dijumpai dalam peraturan perundang-undangan. Kebiasaan tertentu telah dilakukan dan pada setiap operasi yang akan dilakukan di rumah sakit harus menandatangani izin operasi. Kebiasaan ini kemudian dituangkan kedalam peraturan tertulis dalam bentuk Informed Consent 3. Juriprudensi, keputusan hakim yang diikuti oleh para hakim dalam mengahadapi kasus yang sama 4. Hukum otonom. Suatu ketentuan yang berlaku untuk suatu daerah tertentu. Ketentuan yang dimaksud berlaku hanya bagi anggota profesi kesehatan, misalnya kode etik kedokteran, kode etik keperawatan, kode etik bidan, kode etik fisioterapi 5. Ilmu. Substansi ilmu pengetahuan dari masing-masing disiplin ilmu. Misalnya pemakaian sarung tangan bagi dokter dalam menangani pasien dimaksudkan untuk mencegah penularan penyakit dari pasien kepada dokter tersebut. 6. Literatur. Pendapat ahli hukum yang berwibawa menjadi sumber hukum kesehatan. Misalnya mengenai pertanggungjawaban hukum (liability) perawat tidak boleh melakukan tindakan medis kecuali atas tanggung jawab dokter (prolonged arm doctrine).

30

F. Latar Belakang Perlunya Hukum Kesehatan Kesehatan adalah salah satu modal pokok dalam rangka pertumbuhan dan kehidupan bangsa dan mempunyai peranan penting dalam pembentukan masyarakat adil, makmur dan sejahtera. Bahkan kesehatan sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam pembukaan UUD 1945 melalui pembangunan nasional yang berkesinambungan berdasarkan pancasila dan UUD 1945.33 Oleh sebab itu, upaya kesehatan merupakan setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah dan atau oleh masyarakat dengan mempergunakan jasa

tenaga. Kewenangan untuk melaksanakan upaya kesehatan itulah yang memerlukan peraturan hukum sebagai dasar pembenaran hukum wewenang kesehatan kesehatan saja tersebut. Peraturan hukum tentang upaya

belum

cukup

karena

upaya

kesehatan

penyelenggaraannya disertai pendukung berupa sumber daya kesehatan baik yang berupa perangkat keras maupun perangkat lunak. Bidang sumber daya kesehatan inilah yang dapat memasuki kegiatan pelayanan kesehatan. Untuk mencapai pelayanan kesehatan bagi seluruh lapisan masyarakat Indonesia yang jumlah penduduknya amat besar bukan pekerjaan mudah, oleh sebab itu diperlukan juga peraturan perlindungan hukum untuk melindungi pemberi dan penerima

33

Ibid hal.27

31

jasa pelayanan kesehatan. Perlindungan hukum tersebut diperlukan perangkat hukum kesehatan yang berpandangan maju untuk menjangkau perkembangan kesehatan yang semakinkompleks, sehingga pelaksanaan hukum kesehatan diberlakukan secara proporsional dan bertahap sebagai bidang hukum khusus.

G. Fungsi dan Tujuan Hukum Kesehatan menurut Vant kant (Veronica K, 1999 dalam Hendrik:2012) bahwa hukum bertujuan menjaga kepentingan tiap manusia agar kepentingan itu tidak terganggu. Dalam pelayanan kesehatan (health care), terdapat dua kelompok yang perlu dibedakan, yaitu :34 1. Health Receiver, yaitu penerima pelayanan kesehatan, misalnya pasien, orang yang ingin memelihara/meningkatkan kesehatannya. 2. Health provider, yaitu pemberi pelayanan kesehatan, mislanya dokter, perawat, bidan, fisioterapi dan tenaga kesehatan lainnya. Kedua kelompok tersebut menginginkan adanya kepastian dan

perlindungan hukum, sebagai contoh :35 1. Kepastian hukum untuk Health Receiver, misalnya adanya ijazah dan surat izin praktek, memberikan kepastian pada keahliannya

34

Ibid hal 29

35

Ibid hal 30

32

2. Perlindungan hukum untuk Health Receiver, misalnya ketentuan hukum (perdata) yang menjamin adanya ganti rugi 3. Bagi Health provider, misalnya jika terjadi hal yang diduga malpraktek medis seorang tenaga kesehatan tidak dapat langsung dihukum, tetapi harus melalui proses perkara dulu dipengadilan untuk membuktikan bersalah tidaknya tenaga kesehatan tersebut. Demikian pula doktrin hukum pidana telah mengakui standar profesi medis dalam mempertanggungjawabkan tugas perkara profesi jika terjadi hal-hal diluar kemampuannya sebagai suatu pekerjaan yang sudah dilakukan dengan seksama, sehingga dapat ditelusuri pengukuran tugas kewajiban profesi untuk memisahkan kesalahan (poernomo, 2000). Dengan demikian fungsi hukum (hukum kesehatan) adalah memberikan perlindungan hukum kepada pemberi dan penerima jasa kesehatan. H. Pelayanan Kesehatan Secara umum yang dimaksud dengan pelayanan kesehatan menurut Azwar, 1996 (dalam Indar:2010) adalah setiap pelayanan atau program yang ditujukan pada perorangan atau masyarakat dan

dilaksanakan secara perseorangan atau masyarakat dan dilaksanakan secara perseorangan atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi

33

dengan tujuan untuk memelihara atau meningkatkan derajat kesehatan yang dipunyai.36 Bila pengertian tersebut dikaitkan dengan sistem Kesehatan Nasional (SKN) 1982 sebagai suatu sistem, maka upaya kesehatan merupakan sub sistem dimana rumah sakit adalah salah satu bagian dari sub sistem ini. Sistem pelayanan kesehatan melalui rumah sakit adalah tatanan daripada tingkat pelayan rumah sakit yang disusun menurut pola rujukan timbal antara masyarakat, puskesmas, rumah sakit, dan sarana kesehatan lainnya, sehingga tercapai pelayanan yang bermutu, berdaya guna, dan berhasil guna. Berdasarkan hal tersebut, maka menurut I.G.M. Brata ranuh (kumpulan Makalah Kongres Persi II: 1982 dalam Indar: 2010) sistem pelayanan kesehatan melalui rumah sakit perlu dipahami dan akan merupakan pedoman bagi semua pihak yang berkepentingan dalam penyelenggaraan dan pembangunan rumah sakit, termasuk penyusunan kebijaksanaan dan penyempurnaan organisasi rumah sakit baik rumah sakit pemerintah maupun rumah sakit swata, dan sebagai petunjuk pokok pelaksanaan perumahsakitan.37 Di Indonesia pada umumnya ada 3 (tiga) kategori rumah sakit yang kriterianya didasarkan pada tujuan didirikannya, yaitu rumah sakit umum, rumah sakit sosial, dan rumah sakit swasta.
36

Indar, Op, Cit 166

37

Ibid hal. 167

34

Istilah hospital konon berakar dari kata latin hostel yang biasa digunakan di abad pertengahan sebagai tempat bagi para pengungsi yang sakit, menderita, dan miskin. Pendapat lain oleh Willan: 1990 (dalam Tjandra Yoga Aditama:2007) mengatakan bahwa kata hospital berasal dari bahasa latin hospitium, yang artinya suatu tempat/ruangan untuk menerima tamu. Sementara itu, Yu (1997) menyatakan bahwa istilah hospital berasal dari bahasa Prancis kuno dan medieval English, yang dalam kamus Inggris Oxford didefinisikan sebagai : 38

Tempat untuk istirahat dan hiburan. Institusi sosial untuk mereka yang membutuhkan akomodasi, lemah, dan sakit

Institusi sosial untuk pendidikan dan kaum muda Instistusi untuk merawat mereka yang sakit dan cedera.

Rumah Sakit menurut Angggaran Dasar Perhimpunan Rumah Sakit seluruh Indonesia (PERSI) Bab I pasal 1 adalah suatu lembaga dalam mata rantai sistem kesehatan nasional yang mengemban tugas pelayanan kesehatan untuk seluruh masyarakat. Rumah sakit adalah suatu sarana yang merupakan bagian dari sistem pelayanan kesehatan yang

38

Tjandra Yoga Aditama,2007, Manajemen Administrasi Rumah Sakit, Universitas Indonesia

(UIP), Jakarta. Hal. 3-4

35

menjalankan rawat inap, rawat jalan, dan rehabilitasi berikut segala penunjangnya.39

Tugas dan Fungsi Rumah Sakit. Berdasarkan Undang-undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah sakit menyatakan bahwa tugas rumah sakit adalah memberikan kesehatan perorangan secara paripurna. sedangkan fungsi rumah sakit adalah:40

a. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit b. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui

pelayanan kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis c. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan d. Penyelengaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.

39

Endang kusuma Astuti, Op. Cit Hal. 51

40

Undang-undang No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit

36

Menurut UU No. 44 tahun 2009 pasal 19, rumah sakit dapat dibagi berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan, rumah sakit dikategorikan dalam rumah sakit umum dan rumah sakit khusus. Rumah sakit umum yaitu rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan pada semua jenis bidang dan jenis penyakit. Rumah sakit khusus yaitu rumah sakit yang memberikan pelayanan utama pada satu bidang dan jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur, organ, jenis penyakit, atau kekhususan lainnya.41

Berdasarkan pengelolaannya rumah sakit dapat dibagi menjadi rumah sakit publik dan rumah sakit privat. Rumah sakit publik adalah rumah sakit yang dikelola oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan badan hukum yang bersifat nirlaba yaitu Badan Layanan Umum (BLU). Pengertian atau definisi BLU diatur dalam pasal 1 angka 23 UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, yaitu Badan Layanan Umum adalah instansi di lingkungan pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan

41

Undang-undang No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit

37

produktifitas. Hal ini berarti rumah sakit publik tidak bertujuan untuk mencari laba atau keuntungan42

Rumah sakit privat adalah rumah sakit yang dikelola oleh badan hukum dengan tujuan profit yang berbentuk perseroan terbatas atau persero. Menurut Astuti:2009 (dalam Cecep Triwibowo: 2012), rumah sakit swasta adalah rumah sakit yang didirikan oleh pihak swasta atau non pemerintah, yaitu beberapa orang (person) sepakat untuk mendirikan badan hukum (rechtpersoon) dan badan hukum ini melakukan kegiatan dalam menjalankan rumah sakit. Selain didirikan oleh person, sering juga terdapat rumah sakit yang didirikan oleh kelompok-kelompok, seperti kelompok agama. Adapun bentuk badan hukum rumah sakit yang didirikan oleh pihak swasta ini lazimnya digunakan oleh yayasan (stichting).

Rumah

sakit

juga

dapat

dikelompokkan

berdasarkan

kepemilikannya, yakni :43

a. Rumah sakit yang dikelola dan dimilki oleh Departemen Kesehatan b. Rumah sakit yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah (RSUD) yaitu RSUD Provinsi dan RSUD Kabupaten

42

Cecep Triwibowo,2012, Perizinan dan Akreditasi Rumah Sakit sebuah kajian Hukum, Nuha

Medika Yogyakarta. Hal. 35


43

Soekidjo Notoatmodjo,2010, Etika dan Hukum Kesehatan, Rineka Cipta Jakarta. Hal. 157

38

c. Rumah sakit yang dikelola oleh TNI dan POLRI, yaitu RS Angkatan Darat, RS Angkatan Laut, RS Angkatan Udara, dan RS Polri d. Rumah sakit yang dikelola oleh Departemen lain dan BUMN, yaitu RS Pertamina, RS PELNI dan RS Perkebunan e. Rumah sakit yang dikelola dan dimiliki oleh swasta yaitu, Rumah sakit Yayasan dan Rumah sakit Perusahaan.

Dalam rangka penyelenggaraan pelayanan kesehatan secara berjenjang dan fungsi rujukan, rumah sakit umum dan rumah sakit khusus diklasifikasikan berdasarkan fasilitas dan kemampuan pelayanan rumah sakit. Klasifikasi rumah sakit berdasarkan fungsi rujukan ini terdiri atas ;

a. Rumah sakit umum kelas A; b. Rumah sakit umum kelas B c. Rumah sakit umum kelas C d. Rumah sakit umum kelas D

Klasifikasi rumah sakit khusus berdasarkan fungsi rujukan, juga terdiri atas

a. Rumah sakit Khusus kelas A b. Rumah sakit Khusus kelas B c. Rumah sakit Khusus kelas C

39

I. Dasar Hukum Pelayanan Kesehatan 1. Undang-undang Dasar 1945 Dalam penjelasan UUD 1945 ditegaskan Indonesia adalah Negara yang berdasarkan hukum (rechtsstaat) tidak berdasarkan kekuasaan (machtsstaat). Selanjutnya dalam pembukaan UUD 1945 ditegaskan pula bahwa Negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,

mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdakaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.44 Dalam batang tubuh UUD 1945 pasal 27 ayat (2) menyebutkan bahwa tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, yang dapat diartikan termasuk berhak atas pelayanan kesehatan yang memungkinkan ia hidup layak, disamping ia berhak atas pekerjaan yang layak pula. Seyogyanya pelayanan kesehatan secara prinsip merupakan usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan (pasal 33 ayat 1), secara prinsipil bahwa pelayanan kesehatan adalah penting bagi Negara, karena menyangkut hajat hidup orang banyak, sehingga wajib diupayakan dan diatur oleh Negara (pasal 33 ayat 2), juga secara prinsipil bahwa pelayanan kesehatan harus bertujuan untuk mencapai kesejahteraan sebesar-besarnya

44

Indar,Op,Cit hal.168

40

Bertolak dari ketentuan tersebut diatas, jelas bahwa penyelenggara pelayanan kesehatan sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum seyogianya memberikan perlindungan hukum kepada pasien sebagai pengguna jasa pelayanan kesehatan dan kepada tenaga kesehatan sebagai pemberi pelayanan kesehatan.

2. Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Dalam penjelasan undang-undang No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan, tugas dan tanggung jawab pemerintah pada dasarnya mengatur, membina dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan ataupun sumber dayanya. Dilihat dari sumber yang ada, maka tenaga kesehatan merupakan sumber daya yang paling penting yang berperan dalam pelayanan kesehatan. Adapun pelayanan kesehatan tersebut dilakukan sebagai pelaksanaan suatu profesi yang merupakan pemberian pertolongan terhadap pasien berdasarkan keahlian, keterampilan,

ketelitian yang menimbulkan hubungan hukum.45 Terdapat asas hukum yang melandasi hubungan hukum itu antara lain: a. Asas legalitas, asas ini tersirat dari ketentuan pasal 23 UUK yang menyatakan bahwa tenaga kesehatan bertugas menyelenggarakan atau melakukan kegiatan kesehatan sesuai dengan bidang keahlian dan atau kewenangan tenaga kesehatan yang bersangkutan

45

Ibid hal. 170

41

b. Asas keseimbangan tersimpul dalam pasal 15 UUK yang bermakna penyelenggara kesehatan harus diselenggarakan secara seimbang antara kepentingan individu dan masyarakat, antara fisik dan mental, antar materil dan spiritual. c. Asas tepat waktu terkandung dalam pasal 58 UUK yakni bahwa setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan d. Asas itikad baik yakni merujuk ke pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Dengan asas ini dapat dikatakan bahwa dalam pelaksanaan kewajiban dokter dan tenaga kesehatan lainnya hendaknya mematuhi standar pelayanan kesehatan dan menghormati hak pasien sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 53 ayat (2) UUK. e. Asas kejujuran bermakna bahwa kejujuran hendaknya melandasi segala kewajiban dokter dan tenaga kesehatan lainnya terutama untuk mematuhi standar pelayanan dan penghormatan terhadap hak-hak pasien f. Asas kehati-hatian tersirat dari ketentuan pasal 54 ayat(1) UUK yakni bahwa dokter dan tenaga kesehatan lainnya bertanggung jawab atas kesalahan atau kelalaiannya dalam melaksanakan tugasnya. dan tenaga kesehatan berhak mendapat imbalan dan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya (pasal 27).

42

g. Asas keterbukaan terkandung dalam pasal 8 UUK yang bermakna perlunya setiap orang memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya termasuk tindakan pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan.

3. Undang-undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit Undang-undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit dibentuk Dalam rangka memberikan kepastian dan perlindungan hukum untuk meningkatkan, mengarahkan dan memberikan dasar bagi pengelolaan rumah sakit secara menyeluruh. Dalam pasal 3 disebutkan

penyelenggaraan rumah sakit bertujuan untuk mempermudah akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat, lingkungan rumah sakit dan sumber daya manusia di rumah sakit.46 Sejalan dengan itu tanggung jawab rumah sakit ditegaskan dalam pasal 46 yang mengatakan rumah sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dirumah sakit.

4. Peraturan Pemerintah No.32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan Tenaga kesehatan dirumuskan dalam pasal 1 butir tiga yang menyatakan tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan

46

Undang-undang No.44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit

43

diri dalam bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan dalam melakukan upaya kesehatan.sejalan dengan

ketentuan ini, dalam pasal 32 ayat (4) dinyatakan bahwa pelaksanaan pengobatan dan perawatan hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang berwenang untuk itu.47 Dalam melaksanakan pelayanan kesehatan maka tenaga kesehatan berkewajiban untuk mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien. Dalam hal tenaga kesehatan tersebut melanggar standar profesi maka yang bersangkutan dapat dikenai tindakan disiplin, dimana penentuan ada tidaknya kesalahan tersebut akan ditentukan oleh suatu majelis yang diatur dengan keputusan Presiden No.56 Tahun1995 tentang Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK). Bila dalam pelayanan kesehatan yang diberikan kepada pasien, mengakibatkan terganggunya kesehatan, cacat atau kematian pasien tersebut, yang terjadi karena kesalahan atau kelalaian tenaga kesehatan, maka pasien dan atau keluarga berhak atas tuntutan ganti rugi atas kejadian tersebut (pasal 23). Sebaliknya perlindungan hukum diberikan kepada tenaga kesehatan yang melakukan tugasnya sesuai dengan standar profesi tenaga kesehatan (pasal 24).

47

Indar, Op,Cit hal. 174

44

5. Permenkes RI, Nomor 290/Menkes/Per/III/2008 tentang persetujuan tindakan kedokteran, Pengaturan tentang informed consent ini terdapat pada pasal 39, 45 dari UU Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktek kedokteran, UU Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan, pasal 37 dari UU Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit, 290/Menkes/Per/III/2008 Peraturan Menteri Kesehatan RI, Nomor tentang persetujuan tindakan kedokteran,

Peraturan Menteri Kesehatan RI, Nomor 269/Menkes/Per/III/2008 tentang Rekam Medis dan fatwa Pengurus IDI Nomor 319/PB/A.4/888 tentang informed consent.48 Persetujuan ini dapat diberikan dalam bentuk tertulis maupun lisan (expression consent) dan untuk tindakan medis yang mengandung resiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis, yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujan. Namun dalam keadaan gawat darurat atau emergency atau pada tindakan yang biasa dilakukan atau sudah diketahui umum persetujuan ini tidak diperlukan. Persetujuan pasien atau keluarganya ini merupakan pelaksanaan dari hak dasar pasien atas pelayanan kesehatan (the righ to health care) dan hak untuk menentukan nasib sendiri (the right of self determination) yang harus diakui dan dihormati. Setelah pasien menyetujui atau consent atas tindakan medik (kepentingan dokter/tenaga kesehatan) berdasarkan informasi yang jelas

48

Amir Iyas dan Yuyun Widaningsih,OP,Cit hal 86-87

45

dan terang tersebut (kepentingan pasien), serta tindak medik itu telah sesuai dengan standar pelayanan medik, maka dokter tidak dapat disalahkan apabila terjadi kegagalan dalam upayanya tersebut.

6. Peraturan Menteri Kesehatan RI, Nomor 269/Menkes/Per/III/2008 tentang Rekam Medis Berdasarkan permenkes nomor. 269/Menkes/Per/III/2008, rekam medis adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan, dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien.49 Dalil hukum dan konstruksi hukum yang rasional kritis tentang penyelenggaraan rekam medis tidak boleh tumpang tindih dan berlanjut menjadi hambatan utama dalam memperlancar pelayanan kesehatan yang bersifat universal. Mata rantai hukum rekam medis yang

mengandung isi kerahaiaan diri pasien itupun milik pasien yang oleh tenaga kesehatan itu harus terbuka bagi hak pasien dan dapat tertutup terhadap pihak ketiga yang tidak berkepentingan/berwenang menurut hukum untuk mengetahui kerahasiaan didalam rekam medis. Oleh sebab itu, rekam medis mempunyai nilai hukum karena isinya menyangkut masalah adanya jaminan kepastian hukum atas Dasar keadilan dalam rangka usaha menegakkan hukum serta penyediaan bahan tanda bukti untuk menegakkan keadilan.

49

Hendrik, Op,Cit hal. 82

46

Berkas rekam medis adalah milik sarana pelayanan kesehatan/rumah sakit (pasal 12 ayat (1) Permenkes RI Nomor 269/Menkes/Per/III/2008 sehingga sarana pelayanan kesehatan/rumah sakit tersebut mempunyai kewajiban untuk menyimpan dan menjaga tersebut (pasal 13 ayat (2) kerahasiaan rekam medis Permenkes RI Nomor

269/Menkes/Per/III/2008). Dengan demikian pengungkapan rekam medis pasien hanya dapat dilakukan dengan persetujuan pasien atau ahli warisnya kecuali pemanfataan rekam medis untuk keperluan pendidikan dan penelitian demi kepentingan Negara dan undnag-undang yang mengkehendaki (pasal 13 ayat (3) Permenkes RI Nomor

269/Menkes/Per/III/2008).50 Rekam medis mempunyai posisi sentral dalam pelayanan medis baik untuk kepentingan tugas profesi maupun kepentingan pasien serta kemungkinan sebagai dokumen medis jika terjadi konflik hukum di pengadilan profesi dan/atau dipengadilan negeri. Dengan demikian, diperadilan, rekam medis dapat menjadi defence (alat pembelaan) dan keterangan alibi yang tertulis terhadap adanya tugas profesi yang dijalankan dengan baik, tidak ada kelalaian tugas serta sesuai dengan standar profesi yang sudah mendapat persetujuan pasien atau keluarga. Berkas rekam medis juga dapat digunakan oleh pasien atau keluarga atas hukum sebagai dasar untuk melakukan gugatan hukum atau penuntutan perkara di pengadilan dengan tata cara hukum yang berlaku.

50

Ibid hal 93

47

J. Tanggung Jawab Hukum Rumah sakit Menurut Indar, tanggung jawab adalah kesediaan dan

kesanggupan untuk menerima dan menanggung segala konsekuensi hukum dari segala tindakan dan akibat tindakan yang dilakukan. Dengan demikian tanggung jawab itu muncul sejak tindakan itu dimulai sampai selesainya tindakan. Dalam hubungan dengan ketentuan pelaksanaan tugas pelayanan kesehatan membawa konsekuensi hukum dari tindakan yang telah dilakukan baik oleh tenaga kesehatan maupun pihak lain yang bukan tenaga kesehatan berlandaskan pada keahlian dan

kewenangannya.51 Suwoto menyebutkan (dalam Ridwan HR:2006) bahwa pengertian tanggung jawab mengandung dua aspek, yaitu aspek internal dan aspek eksternal. Pertanggungjawaban yang mengandung apek internal hanya diwujudkan dalam bentuk dengan laporan aspek pelaksanaan eksternal kekuasaan. merupakan

Pertanggungjawaban

pertanggungjawaban terhadap pihak ketiga apabila dalam melaksanakan kekuasaan itu menimbulkan suatu derita atau kerugian.52 Memperhatikan pertanggungjawaban uraian tersirat diatas suatu pada kegiatan hakikatnya pelayanan, dalam karena

sesungguhnya yang dipertanggungjawabkan itu adalah pelaksanaan

51

Indar Op, cit, hal 126-127

52

Ridwan HR,2006, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada,Jakarta hal. 353

48

tugas

pemerintah

dalam

rangka

pelayanan

kepada

masyarakat,

pelayanan pemerintah dipertanggungjawabkan kepada publik yang dilayani. Dalam kaitannya dengan tanggung jawab rumah sakit, pada prinsipnya rumah sakit bertanggung jawab secara perdata terhadap semua kegiatan yang dilakukan oleh tenaga kesehatannya. Tanggung jawab dalam pertanggungjawaban tenaga kesehatan adalah tanggung jawab yang timbul sebagai akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan sehingga terjadi kerusakan atau kerugian kepada orang lain (pasien). Dengan demikian, unsur kesalahan dan unsur kerugian/kerusakan adalah unsur penting dalam istilah tanggung jawab. Tuntutan yuridis yang dapat diajukan oleh mereka yang mengalami kerugian secara perdata, pidana dan administrasi.53 Ketika membahas perlindungan hukum dalam bidang perdata, disinggung tentang konsep onrechtmatige daad. Konsep ini terdapat dalam hukum perdata, yang secara yurudis formal diatur dalam pasal 1365,1366, dan 1367 KUH Perdata. Dalam perspektif ilmu hukum, prinsip bahwa setiap tindakan onrechtmatige subjek hukum yang menimbulkan kerugian bagi pihak lain mengharuskan adanya pertanggungjawaban bagi subjek hukum yang bersangkutan merupakan prinsip yang telah diakui dan diterima secara umum dalam pergaulan hukum. Bahwa siapapun yang melakukan perbuatan hukum dan menimbulkan kerugian bagi pihak

53

Hendrik,2012, Etika & Hukum Kesehatan, EGC, Jakarta. Hal. 39

49

lain harus mempertanggungjawabkan perbuatannya, tidak peduli apakah seseorang, badan hukum, maupun pemerintah.54 Dalam hukum, setiap tuntutan pertanggungjawaban harus

mempunyai dasar, yaitu hal yang meyebabkan seseorang harus (wajib) bertanggungjawab. Dasar pertanggungjawaban ini menurut hukum perdata adalah kesalahan dan risiko yang ada dalam setiap peristiwa hukum. Keduanya menimbulkan akibat dan konsekuensi hukum. yang jauh berbeda di dalam pemenuhan tanggung jawab berikut hal-hal yang berkaitan dengan prosedur penuntutannya. Secara teoritis

pertanggungjawaban terkait dengan hubungan hukum yang timbul antara pihak yang menuntut pertanggungjawaban dengan pihak yang dituntut untuk bertanggungjawab. Oleh karena itu, berdasarkan jenis hubungan hukum atau peristiwa hukum yang ada, maka dapat dibedakan :55 a. Pertanggungjawaban atas dasar kesalahan, yang dapat lahir karena terjadinya wanprestasi, timbulnya perbuatan melawan hukum,

tindakan yang kurang hati-hati b. Pertanggungjawaban atas dasar risiko, yaitu tanggung jawab yang harus dipikul sebagai risiko yang harus diambil oleh seorang pengusaha atau kegiatan usahanya. Tanggung jawab hukum rumah sakit diatur dalam pasal 46 Undangundang rumah sakit No.44 Tahun 2009 yang menyebutkan Rumah Sakit
54

Ridwan HR,Op.Cit. hal.339

55

Janus Sidabalok,2010,Op,Cit. Hal 101

50

bertanggungjawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan oleh kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di rumah sakit. Kalau dicermati pasal ini menunjukkan bahwa semua kerugian yang ditanggung rumah sakit karena tindakan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan karena kelalaiannya. Tindakan tenaga kesehatan yang dapat dipertanggungjawabkan oleh rumah sakit adalah semua tindakan tenaga kesehatan yang baik yang memperatasnamakan maupun tanpa

memperatasnamakan rumah sakit.56 Dari segi yuridis, pertanggungjawaban perdata atas kerugian yang diderita pasien dapat mengajukan tuntutan kepada tenaga kesehatan atau rumah sakit. Hal ini bergantung pada status hubungan kerja tenaga kesehatan tersebut dengan rumah sakit dan jenis kasus yang terjadi. Selain itu rumah sakit juga bertanggung jawab atas wanprestasi (melanggar/mengingkari kontrak) dan perbuatan melawan hukum (pasal 1234,1370,1371,dan 1365 KUH Perdata bila tindakan itu dilakukan pegawainya. (Fred Ameln,1999). Dalam Undang-undang Kesehatan pasal 14 jo pasal 16 disebutkan pemerintah bertanggungjawab untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Tanggung jawab pemerintah ini meliputi tugas mengatur, membina dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan. Sesuai

56

Indar,Op., cit, hal. 190-197

51

dengan ketentuan tersebut, pemerintah mengatur upaya kesehatan maupun sumber daya kesehatan. Rumah sakit secara institusional bertanggung jawab terhadap segala konsekuensi yang timbul berkenaan dengan pelanggaran terhadap kewajibannya dalam melaksanakan pelayanan kesehatan. Merupakan suatu kewajiban rumah sakit untuk tersedianya sarana dan fasilitas pelayanan kesehatan serta siap pakai. Selain itu rumah sakit bertanggung jawab atas pemeliharaan segala sarana dan fasilitas pelayanan kesehatan. Dalam hal ini tanggung jawab rumah sakit dapat didasarkan pada (miller:1996:326:327, dalam Indar:2010) :57 1. pada pelanggaran kewajiban oleh tenaga kesehatan ( a vilation by an employee of the employees duities, 2. Pelanggaran kewajiban rumah sakit (a vilation of hospitals duities) rumah sakit bertanggung jawab untuk melengkapi segala peralatan yang diperlukan untuk penegakan diagnosis dan terapi terhadap pasien. Dengan demikian pelanggaran kewajiban oleh tenaga kesehatan akan melahirkan tanggung jawab tenaga kesehatan, sedang pelanggaran kewajiban rumah sakit akan melahirkan tanggung jawab rumah sakit dalam penyediaan sarana dan fasilitas. Atas dasar ini maka tanggung

57

Ibid hal 185

52

jawab hukum dalam pelayanan kesehatan pada asasnya dibebankan kepada tenaga kesehatan dan kepada rumah sakit. Menurut undang-undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit pasal 29 menyebutkan kewajiban rumah sakit yaitu :58

a) Memberikan informasi yang benar tentang pelayanan rumah sakit kepada masyarakat b) Memberi pelayanan yang aman, bermutu, anti diskriminasi, dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit c) Memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai dengan kemampuan pelayanannya d) Berperan aktif dalam memberikan pelayanan kesehatan pada bencana sesuai dengan kemampuan pelayanannya e) Menyediakan sarana dan pelayanan sesuai bagi masyarakat tidak mampu atau miskin f) Melaksanakan fungsi sosial antara lain dengan memberikan fasilitas pelayanan pasien mampu/miskin, pelayanan gawat darurat tanpa uang muka, ambulans gratis, pelayanan korban bencana dan kejadian luar biasa, atau bakti sosial bagi misi kemanusiaan g) Membuat, melaksanakan dan menjaga standar mutu pelayanan kesehatan dirumah sakit sebagai acuan dalam melayani pasien

58

Undang-undang No.44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit

53

h) Menyelenggarakan Rekam Medis i) Menyediakan sarana dan prasarana umum yang layak antara lain sarana ibadah, parkir, ruang tunggu, sarana untuk orang cacat, wanita menyusui, lanjut usia j) Melaksanakan sistem Rujukan k) Menolak Keinginan Pasien yang bertentangan dengan standar profesi dan etika serta peraturan perundang-undangan l) Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai hak dan kewajiban pasien m)Menghormati dan melindungi hak-hak pasien n) Melaksanakan Etika rumah sakit o) Memiliki sistem pencegahan kecelakaan dan penanggulangan bahaya p) Melaksanakan program pemerintah di bidang Kesehatan baik secara regional maupun nasional q) Membuat daftar tenaga medis yang melakukan praktik kedokteran atau kedokteran gigi dan tenaga kesehatan lainnya r) Menyusun dan melaksanakan peraturan Internal Rumah Sakit (Hospital By Laws) s) Melindungi dan memberikan bantuan hukum bagi semua petugas rumah sakit dalam melaksanakan tugas dan t) Memberlakukan seluruh lingkungan rumah sakit sebagai kawasan tanpa rokok

54

Rumah sakit merupakan organ yang mempunyai kemandirian untuk melakukan perbuatan hukum. Oleh karena itu rumah sakit yang dipandang sebagai recht person juga dibebani hak. Pasal 30 Undang undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah sakit menyebutkan setiap rumah sakit berhak :59

a) Menentukan jumlah, jenis dan kualifikasi sumber daya manusia sesuai dengan klasifikasi rumah sakit b) Menerima imbalan jasa pelayanan serta menentukan renumerasi, insentif, dan penghargaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan c) Melakukan kerjasama dengan pihak lain dalam rangka

mengembangkan pelayanan d) Menerima bantuan dari pihak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan e) Menggugat pihak yang mengakibatkan kerugian f) Mendapatkan perlindungan hukum dalam melaksanakan pelayanan kesehatan g) Mempromosikan pelayanan kesehatan yang ada dirumah sakit sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan h) Mendapatkan insentif pajak bagi rumah sakit publik dan rumah sakit yang ditetapkan sebagai rumah sakit pendidikan

59

Undang-undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit

55

Dari hubungan hukum yang terjadi antara pasien, dokter/tenaga kesehatan dan rumah sakit lalu melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak sebagaimana yang diatur dalam UU No. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit bagian keempat pasal 32 yang menentukan setiap pasien mempunyai hak :60

a. Memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di rumah sakit b. Memperoleh informasi tentang hak dan kewajiban pasien c. Memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa diskriminasi d. Memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional e. Memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar dari kerugian fisik dan materi f. Mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang didapatkan g. Memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan peraturan yang berlaku dirumah sakit h. Meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter lain yang mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) baik didalam maupun diluar rumah sakit i. Mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-data medisnya.
60

Undang-undang No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah sakit

56

j.

Mendapatkan informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis, alternatif tindakan, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan

k. Memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya l. Didampingi keluarganya dalam keadaan kritis

m. Menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang dianutnya selama hal itu tidak mengganggu pasien lainnya n. Memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan dirumah sakit o. Mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan rumah sakit terhadap dirinya p. Menolak pelayanan bimbingan rohani yang tidak sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya q. Menggugat dan atau menuntut rumah sakit apabila rumah sakit diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata ataupun pidana r. Mengeluhkan pelayanan rumah sakit yang tidak sesuai dengan standar pelayan melalui media cetak dan elektronik sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

57

Disamping hak, pasien juga mendapatkan kewajiban yang lahir dari hubungan hukum yang dilakukannya, yaitu:

a. Memberikan informasi yang lengkap b. Melaksanankan nasihat dokter atau tenaga kesehatan c. Berterus terang apabila timbul masalah dalam hubungannya dengan dokter/tenaga kesehatan atau rumah sakit d. Memberikan imbalan jasa e. Memberikan ganti rugi apabila tindakannya merugikan dokter atau tenaga kesehatan lain atau rumah sakit61

Berdasarkan pada perjanjian terapeutik yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak, tenaga kesehatan juga mempunyai hak dan kewajiban sebagai pengemban profesi. Hak tenaga kesehatan adalah:62

a. Hak untuk bekerja menurut standar medis b. Hak menolak melaksanakan tindakan medis karena secara

professional tidak dapat mempertanggungjawabkannya c. Hak untuk menolak suatu tindakan medis yang menurut hati nuraninya (conscience) tidak baik, dengan demikian tenaga kesehatan

mempunyai kewajiban untuk merujuk ketenaga kesehatan lain

61

Bahder Johan Nasution,.2005,Hukum Kesehatan Pertanggung jawaban dokter, rineka

cipta,jakarta hal. 34
62

Hendrik, Op, Cit Hal 47-48

58

d. Hak mengakhiri hubungan dengan pasien jika tenaga kesehatan menilai bahwa kerja sama pasien dengannya tidak ada lagi gunanya (geen zinvolle samenwerking) e. Hak atas privasi tenaga kesehatan/dokter. Pasien harus menghargai dan menghormati hal yang menyangkut privasi tenaga

kesehatan/dokter yang ia ketahui sewaktu mendapatkan pengobatan f. Hak atas informasi/ pemberitahuan pertama dalam menghadapi pasien yang tidak puas terhadapnya g. Hak atas pemberian penjelasan lengkap oleh pasien tentang penyakit yang dideritanya , misalnya agar tenaga kesehatan dapat

mendiagnosis dengan baik, pasien harus pula bekerja sama sebaik mungkin h. Hak atas balas jasa i. j. Hak untuk membela diri Hak memilih pasien. Hak ini sama sekali tidak merupakan hak yang mutlak. Lingkungan sosial merupakam hal yang sangat

mempengaruhinya

Disamping itu tenaga kesehatan juga mempunyai kewajiban, yaitu:

a. Kewajiban yang berhubungan dengan fungsi sosial pemeliharaan kesehatan (health care). Pada kelompok ini, kepentingan masyarakat menonjol dan bukan kepentingan pasien saja. Karena itu dalam

59

melakukan

kewajiban,

seorang

tenaga

kesehatan

harus

memperhitungkan factor kepentingan masyarakat b. Kewajiban yang berhubungan dengan standar profesi dan kewajiban yang timbul dari standar profesi. c. Kewajiban yang berhubungan dengan prinsip keseimbangan. Tenaga kesehatan harus menjaga keseimbangan antara tindakan yang dilakukan dengan tujuan yang ingin dicapai, misalnya melakukan suatu tindakan diagnosis yang berat terhadap suatu penyakit yang relatif ringan (tidak memenuhi prinsip keseimbangan).

Dalam lalu lintas perhubungan hukum yang terjadi dalam masyarakat sebagai suatu sistem sosial, rumah sakit merupakan organ yang mempunyai kemandirian untuk melakukan perbuatan hukum (rechtshandeling). Rumah sakit bukan manusia, dalam arti person yang dapat berbuat dalam lalu lintas hukum dalam masyarakat sebagai manusia (natuurlijk person), melainkan ia (rumah sakit) diberi

kedudukan menurut hukum sebagai person dan oleh karenanya merupakan rechtspersoon. Hukumlah yang telah menjadikan rumah sakit sebagai rechtspersoon dan oleh karena itu pula rumah sakit dibebani hak dan kewajiban hukum atas tindakan yang dilakukannya.63

Dalam kemandiriannya untuk berbuat hukum sebagai subjek hukum inilah rumah sakit melibatkan orang-orang yang menyandang
63

Endang kusuma Astuti, Opt, Cit, Hal. 79-81

60

profesi kedokteran atau tenaga kesehatan yang tidak hanya terdiri atas para dokter dan dokter gigi, tetapi juga semua jenis tenaga kesehatan sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah No.32 tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan. Tenaga kesehatan tersebut melakukan pekerjaannya dirumah sakit dan menjalankan tugasnya sesuai denga keahlian (bidang ilmunya) serta diikat oleh etik profesinya masingmasing, bekerja berdasarkan arbeids overeenkomst.

Secara umum persetujuan untuk melakukan pekerjaan ini diatur dalam pasal 1601 BW berdasarkan syarat-syarat tertentu dengan menerima upah. Syarat-syarat yang dimaksud dapat dituangkan dalam deskripsi tugas (job description) yang dibuat rumah sakit sebagai badan hukum selaku pihak yang memberI pekerjaan dan tenaga kesehatan yang terlibat sebagai penerima kerja (werknemer). Dalam kaitannya dengan rumah sakit, para tenaga kesehatan yang terdiri atas, diantaranya, dari para dokter, dokter gigi, apoteker, bidan, perawat dan sebagainya yang bekerja dibidang perawatan kesehatan itu berada dalam hubungan pekerjaan dengan rumah sakit sebagai tempat untuk menyelenggarakan tugas profesinya.64

64

Ibid hal 79-81

61

Secara umum kesalahan/kelalaian dapat dipersalahkan kepada rumah sakit sabagai badan hukum yakni:

a. Bila terdapat keputusan/instruksi dari pengurus, memberikan tugastugasnya dan sebagai akibat dari keputusan mengakibatkan terjadinya kasus. b. Bila tidak ada keputusan/instruksi dari pengurus, maka

kesalahan/kelalaian tersebut dapat dipersalahkan kepada direktur rumah sakit, asalkan dapat dibuktikan bahwa ia telah melampaui batas wewenang yang diberikan kepadanya. Atau bahwa ia telah melakukan suatu kesalahan kasar yang seharusnya diketahui dan tidak dilakukannya. c. Pengurus juga dapat dipersalahkan apabila ia mengetahui namun tidak mencegahnya, bahkan telah menerima baik tindakan yang mengandung unsur kesalahan/kelalaian tersebut. d. Apabila sebuah rumah sakit melakukan percobaan-percobaan yang bertentangan dengan hukum maka rumah sakit dapat dimintai pertanggungjawabannya secara pidana. e. Rumah sakit (Direktur) dalam hal-hal tertentu dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana apabila ia dalam memerintahkan sesuatu tahu atau seharusnya mengetahui bahwa instruksi tersebut mengandung suatu risiko yang serius bagi pihak ketiga. Namun tentunya kesemuanya ini harus diteliti kasusnya.

62

Secara garis besarnya tanggung jawab rumah sakit jika dilihat dari sudut pelakunya dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu:65 1) Tanggung jawab bidang rumah sakit, penanggungjawabnya adalah kepala rumah sakit 2) Tanggung jawab bidang medik penanggungjawabnya adalah masingmasing tenaga medik di rumah sakit tersebut 3) Tanggung jawab bidang keperawatan, penanggungjawabnya adalah masing-masing perawat, bidan dan para medik non perawatan rumah sakit tersebut. Namun dalam suatu rumah sakit pucuk pimpinan dan tanggung jawab terletak pada kepala rumah sakit yang melakukan manajemen, sehingga sesuatu yang terjadi menimbulkan kerugian pada pasien yang dilakukan oleh tenaga kesehatan, maka yang bertanggungjawab adalah pihak rumah sakit. Dari sudut rumah sakit, maka tanggungjawab rumah sakit meliputi tiga hal sebagai berikut ; a) Tanggung jawab berkaitan dengan personalia b) Tanggung jawab yang menyangkut sarana dan peralatan c) Tanggung jawab yang menyangkut kewajiban memberikan pelayanan kesehatan

65

Ibid hal 191-201

63

Tanggung jawab rumah sakit yang berkaitan denagn personalia dimana rumah sakit mempekerjakan tenaga kesehatan baik berupa tenaga tetap maupun tenaga tidak tetap untuk menghasilkan jasa pelayanan kesehatan sehingga terjalin hubungan majikan bawahan. Dari tanggung jawab rumah sakit berkaitan dengan personalia melahirkan doktrin tanggungjawab. Tanggung jawab rumah sakit yang menyangkut sarana dan peralatan dapat dibedakan atas tanggung jawab penyediaan sarana perhotelan seperti penyediaan kamar-kamar lengkap dengan tempat tidur, kasur, seprei, bantal, penerangan, air, fasilitas pencucian, dapur penyediaan makan pasien dan lain-lain. Selain itu tanggung jawab penyediaan peralatan perumahsakitan seperti kamar bedah lengkap dengan peralatannya, peralatan rongten, kamar bersalin, poliklinik, UGD dan lain-lain dan peralatan lainnya sesuai dengan tipe atau kelas rumah sakit tersebut.66 Jadi selain tanggungjawab rumah sakit dalam hal sarana dan fasilitas adalah melengkapi sesuai tipe atau kelas rumah sakit juga peralatan tersebut harus dalam keadaan siap pakai. Karena setiap keterlambatan dalam penyediaannya pada detik-detik kritis akan bisa membawa akibat fatal dan bahkan sampai pada penuntutan hukum.

66

Ibid hal. 191-201

64

Dengan demikian jika dalam suatu tindakan operasi terjadi pemadaman lampu PLN, misalnya maka rumah sakit bertanggung jawab semua kemampuan dan ketersediaan peralatan perumahsakitan.

Sehingga kejadian ini tidak dikatakan sebagai suatu kecelakaan medik belaka jika terjadi sesuatu pada pasien akibat pemadaman lampu tersebut.67 Tanggung jawab rumah sakit berkaitan dengan kewajiban

memberikan perawatan (duty of care) disini hukum menuntut agar semua orang menjalankan urusan pribadi dan melakukan kegiatan profesinya harus dengan wajar. Harus dijaga agar orang lain tidak sampai menderita kerugian atau cedera yang tidak perlu. Seorang dokter dianggap bertanggungjawab terhadap kesalahan profesi apabila sikap dan

tindakannya tidak menurut standar profesi sehingga pasien sampai menderita cedera atau meninggal dunia. Demikian pula rumah sakit dianggap bertanggung jawab apabila kewajiban memberikan pelayanan yang baik tidak sesuai dengan standar pelayanan medis rumah sakit tersebut.68

67

Ibid hal 196 Ibid hal 197

68

65

Sehubungan dengan tanggung jawab rumah sakit dari segi personalia dikenal beberapa doktrin pertanggungjawaban dari segi hukum perdata:69 1. Vicarious liability. Dalam hubungan vertikal yakni hubungan antara rumah sakit sebagai atasan dan tenaga kesehatan sebagai pegawai tetap atau bawahan. Jika terjadi kesalahan, kerugian, atau kelalaian yang menimbulkan suatu hukum maka yang bertanggung jawab adalah atasan. Apabila hubungan antara tenaga kesehatan dan rumah sakit adalah hubungan horizontal maka tenaga kesehatan tamu itu yang harus bertanggung jawab. Agar pertanggungjawaban itu rasional, maka harus diteliti secara kasuistik. Doktrin ini sering disebut sebagai respondent superior (let the master answer), yang intinya seorang atasan bertanggungjawab secara perdata atas kerugian yang ditimbulkan karyawannya. Penerapan doktrin ini dimaksud untuk tujuan pokok (a) adanya jaminan ganti rugi yang harus didapatkan oleh pasien (b) terciptanya kontrol dan kehati-hatian dirumah sakit. 2. Coorporate Liability. Dasar pemeliharaan doktrin terletak pada asumsi bahwa pihak pasien tidak mengetahui hubungan antara tenaga kesehatan dan rumah sakit. Apakah sebagai tenaga kesehatan tetap atau sebagai tenaga kesehatan tamu. Dalam hukum kesehatan, doktrin ini sering disebut sebagai hospital liability, yaitu rumah sakit yang bertanggungjawab untuk setiap peristiwa yang terjadi yang
69

Hendrik,Op, Cit Hal 80

66

dilakukan oleh karyawannya, baik tenaga kesehatan tetap maupun tenaga kesehatan tamu. Doktrin ini berkembang sebagai enterprise liability yang juga disebut sebagai channeling. 3. Ostensible liability. Doktrin ini mirip dengan corporate liability yang intinya adalah meletakkan tanggung jawab kepada rumah sakit. Dalam doktrin ini dianut bahwa jika rumah sakit telah memperlakukan tenaga kesehatan sedemikian rupa sehingga menimbulkan kesan bahwa ia adalah tenaga kesehatan tetap rumah sakit, rumah sakit dianggap ikut bertanggung jawab atas perbuatan tenaga kesehatan tersebut. 4. Strict liability. Dalam doktrin ini dianut bahwa rumah sakit bertanggung jawab atas semua kejadian terlepas dari kesalahan rumah sakit tersebut. Dalam doktrin ini belaku asas res ipsa laquitor yaitu fakta telah berbicara sendiri. Dari keempat jenis tanggung jawab rumah sakit diatas maka tanggung jawab yang dianut di Indonesia yaitu jenis tanggung jawab rumah sakit corporate Liability sebagaimana pasal 46 Undang-undang No. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit pasal 46. Kalau dicermati pasal ini menunjukkan bahwa semua kerugian yang ditanggung rumah sakit karena tindakan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan karena kelalainnya. Hal ini mengingat Kode Etik Perumahsakitan Indonesia Kepmenkes RI.No. 924/Menkes/SK/Per/XII/1986 tentang berlakunya Kode Etik Rumah sakit Indonesia (KODERSI) bagi rumah sakit di seluruh Indonesia. Bab I

67

kepmekes ini menetapkan bahwa rumah sakit sebagai suatu institusi harus mentaati KODERSI, dapat mengawasi serta bertanggung jawab terhadap semua kejadian dirumah sakit, memberikan pelayanan yang baik, memberikan pertolongan emergency, memelihara peralatan dengan baik dan merujuk kerumah sakit lain jika teidak tersedia peralatan atau tenaga spesialis yang dibutuhkan oleh pasien. Bab III menyatakan bahwa rumah sakit harus mengindahkan hakhak pasien, memberikan penjelasan apa yang diderita pasien dan tindakan apa yang hendak dilakukan, meminta persetujuan pasien (Informed consent) sebelum melakukan tindakan medik70, mengindahkan hak pribadi pasien dan menjaga rahasia pasien. Pelayanan kesehatan/rumah sakit diharuskan memenuhi wajib hukum yang berisiko tinggi mengalami konflik hukum yang berkaitan dengan : 1. Wajib hukum akreditasi terhadap sumber daya tenaga profesi dan sumber daya upaya kesehatan. 2. Wajib hukum untuk memenuhi hak asasi pasien yang terdiri atas hak informasi, hak untuk memberikan persetujuan, hak atas rahasia kedokteran, dan hak atas pendapat kedua. 3. Wajib hukum untuk melaksanakan doktrin kesehatan yaitu pengadaan rekam medis, pengadaan hak persetujuan tindakan medis dan penertiban rahasia kedokteran.
70

Ibid hal.40-42

68

Ketiga wajib hukum itu sangat erat hubungannya dengan tanggung jawab rumah sakit, baik secara langsung menjadi tanggung jawabnya dengan respondent liability maupun secara tidak langsung menjadi tanggung jawabnya secara corporate liability.

Yang merupakan tanggung jawab umum rumah sakit adalah kewajiban pimpinan rumah sakit untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai permasalahan, peristiwa, kejadian dan keadaan di rumah sakit. Sedangkan tanggung jawab khusus muncul jika ada anggapan bahwa rumah sakit telah melanggar kaidah-kaidah, baik dalam bidang hukum, etik, maupun tata tertib atau disiplin. 71

K. Hubungan Hukum Rumah Sakit dengan Tenaga Kesehatan dan Pasien Dalam sebuah rumah sakit yang merupakan tempat bekerja para pelaksana profesi melibatkan semua tenaga kesehatan. Jenis tenaga kesehatan yang dimaksud menurut Peraturan Pemerintah N0.32 tahun 1996 tentang tenaga kesehatan diatur dalam pasal 2 ayat (1), yaitu yang terdiri atas tenaga medis, tenaga keperawatan, tenaga kesehatan masyarakat, tenaga gizi, tenaga keterampilan fisik, dan tehaga teknis medis.sehingga terjalin suatu hubungan kerja. Menurut pasal 2 ayat (2) PP N0.32 Tahun 1996 tersebut tenaga medis meliputi dokter dan dokter gigi. Rumah sakit sebagai tempat untuk
71

Ending Kusuma, op, Cit Hal 64

69

bekerja bagi tenaga kesehatan akan melibatkan semua jenis tenaga kesehatan sebagaimana yang dirinci dalam pasal 2 ayat (1) PP N0.32 Tahun 1996 sehingga terjalin suatu hubungan kerja antara rumah sakit dan tenaga kesehatan. Ini berarti bahwa juga tenaga medis akan berhubungan dengan tenaga kesehatan lainnya dalam melakukan profesinya di rumah sakit.

Transaksi terapeutik merupakan perjanjian antara pasien dengan dokter(tenaga kesehatan) dan/atau rumah sakit, transaksi ini berupa hubungan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak. Berbeda dengan transaksi yang biasa dilakukan oleh masyarakat, transaksi terapeutik memiliki sifat atau ciri khusus yang membedakannya dengan perjanjian pada umumnya. Kekhususannnya terletak pada atau mengenai objek yang diperjanjikan.

Objek yang diperjanjikan ini adalah berupa upaya atau terapi untuk penyembuhan pasien. Jadi perjanjian atau transaksi terapeutik adalah transaksi untuk menentukan atau upaya mencari terapi yang paling tepat bagi pasien yang dilakukan oleh dokter (tenaga kesehatan). Jadi menurut hukum, objek perjanjian ini bukan kesembuhan pasien, melainkan mencari upaya yang tepat untuk kesembuhan pasien.72

72

Bahder Johan, Op.,Cit hal. 11

70

Sebagaimana

umumnya

suatu

perikatan,

dalam

transaksi

terapeutik juga terdapat para pihak yang mengikatkan diri dalam suatu perikatan atau perjanjian. Yaitu rumah sakit/dokter (tenaga kesehatan lainnya) sebagai pihak yang memberikan atau melaksanakan pelayanan medis dan pasien sebagai pihak yang menerima pelayanan medis. Jadi secara umum, apa yang diatur dalam perjanjian menurut Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata, berlaku pula dalam perjanjian terapeutik. Hanya saja dalam perjanjian terapeutik, ada kekhususan tertentu, yaitu tentang ikrar atau cara mereka mengadakan perjanjian. Sebab dalam perjanjian terapeutik dijelaskan bahwa dengan kedatangan pasien kerumah sakit tempat dokter (tenaga kesehatan) bekerja, dengan tujuan untuk memeriksakan kesehatannya atau untuk berobat, telah dianggap adanya suatu perjanjian terapeutik.73

Hubungan hukum dalam transaksi terapeutik bersumber pada kepercayaan pasien terhadap dokter, sehingga pasien bersedia

memberikan persetujuan tindakan medik (informed consent), yaitu suatu persetujuan pasien untuk menerima upaya medis yang akan dilakukan terhadapnya. Hal ini dilakukannya setelah mendapat informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya,

73

Ibid , ., hal. 12

71

termasuk memperoleh informasi mengenai segala resiko yang mungkin terjadi.74

Namun ada kondisi lain yang memungkinkan adanya hubungan hukum antara dokter dan pasien adalah karena keadaan pasien yang sangat mendesak untuk segera mendapatkan pertolongan dari dokter. Misalnya dalam kecelakaan lalu lintas, terjadi bencana alam maupun karena adanya situasi lain yang menyebabkan keadaan pasien sudah gawat, sehingga menyulitkan bagi dokter untuk mengetahui dengan pasti kehendak pasien. Dalam keadaan seperti ini dokter (tenaga kesehatan) langsung melakukan apa yang disebut dengan zaakwaarneming

sebagaimana diatur dalam pasal 1354 KUHPerdata, yaitu suatu bentuk hubungan hukum yang timbul bukan karena adanya persetujuan tindakan medik terlebih dahulu, melainkan karena adanya keadaan yang memaksa atau keadaan darurat.75

Dalam hal pasien/keluarganya menyetujui advis dokter untuk menjalani perawatan dirumah sakit dan rumah sakit bersedia untuk memberikan pelayanan kesehatan yang diperlukan pasien, maka hak dan kewajiban pasien dan dokter (tenaga kesehatan) serta rumah sakit timbul

74

Ibid., hal. 28 Ibid., hal. 30

75

72

sejak pasien masuk kerumah sakit untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.76

Selanjutnya apabila dilihat dari hubungan hukum yang timbul antara pasien dan rumah sakit dapat dibedakan pada dua perjanjian yaitu :

a) Perjanjian perawatan dimana terdapat kesepakatan antara rumah sakit dan pasien bahwa pihak rumah sakit menyediakan kamar perawatan dan dimana tenaga perawatan melakukan tindakan keperawatan. b) Perjanjian pelayanan medis dimana terdapat kesepakatan antara rumah sakit dan pasien bahwa tenaga medis pada rumah sakit akan berupaya secara maksimal untuk menyembuhkan pasien melalui tindakan medis Inspannings Verbintenis.

Hubungan hukum yang terjadi antara pasien dan rumah sakit termasuk dalam perjanjian pada umumnya yang dalam pasal 1234 BW ditentukan tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu. Dalam perjanjian ini kewajiban rumah sakit adalah untuk melakukan sesuatu sehingga pasien mendapatkan kesembuhan. Tindakan utamanya memberikan pelayanan kesehatan yang antara lain dilakukan oleh dokter, bidan dan perawat serta tenaga kesehatan lainnya.

76

Amir Ilyas & Yuyun Widaningsih, Op. Cit, hal.30-31

73

Sebagai suatu perjanjian, maka hubungan pasien dengan rumah sakit harus memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian yang ditentukan dalam pasal 1320 BW, yaitu:

1. Kesepakatan para pihak yang mengikat dirinya; 2. Kecakapan kesepakatan; 3. Suatu hal tertentu; 4. Suatu sebab yang halal. para pihak untuk membuat perikatan/melakukan

Dengan adanya ketentuan diatas maka proses terhadap kepastian perlindungan hukum bagi pasien dan rumah sakit terjadi dengan lahirnya kata sepakat yang disertai dengan kecakapan untuk bertindak dalam perjanjian, diantara pasien dengan dokter/tenaga kesehatan dan rumah sakit. Pasien dapat mengajukan gugatan pertanggungjawaban

berdasarkan pada wanprestasi (contractual liability) sebagaimana diatur dalam pasal 1239 KUHPerdata, juga berdasarkan pada perbuatan mela;wan hukum (onrechtmatigedaad) sesuai dengan ketentuan pasal 1365 KUHPerdata.

74

L. Standar

Profesi,

Standar

Pelayanan

Medik

dan

Standar

Opersaional Prosedur

1. Standar Profesi

Untuk

memberikan

batasan

pertanggungjawaban

seorang

profesional dipandang perlu adanya standarisasi profesi, sedangkan untuk standar profesi di bidang kesehatan sebagaimana diterangkan dalam penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan.77

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan Pasal 21 ayat (1) disebutkan Setiap tenaga

kesehatan dalam melakukan tugasnya ber-kewajiban untuk mematuhi standar profesi tenaga kesehatan.(2) Standar profesi tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Menteri. Dan Pasal 24 ayat (1) mengatakan: Perlindungan hukum diberikan kepada tenaga kesehatan yang melakukan tugasnya sesuai dengan standar profesi tenaga kesehatan.78

Selanjutnya undang-undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan didalam pasal 24 ayat (1) menyebutkan : tenaga kesehatan sebagaimana

77

Mudakir Iskandarsyah, 2010, Tuntutan Pidana dan Perdata Malpraktik, Permata Aksara, Jakarta.

Hal. 3
78

Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan.

75

dimaksud dalam pasal 23 harus memenuhi ketentuan kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional.79 Dan dalam Undang-undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran pasal 50, dalam penjelasan pasal tersebut dinyatakan bahwa, apabila dokter atau doter gigi yang melaksanakan praktek kedokteran atau kedokteran gigi telah sesuai dengan standar profesi dan standar operasional prosedur, maka dokter atau dokter gigi tersebut berhak mendapatkan perlindungan hukum.80

Dengan demikian standar profesi medis adalah sebuah ukuran atau pedoman yang telah ditentukan sebelumnya oleh organisasi profesi yang bersangkutan. Standar inilah yang harus semaksimal mungkin diupayakan untuk dipenuhi dalam melaksanakan tugas profesinya.

Pengaturan tentang standar profesi medis yang berlaku umum belum ada. Pengaturan yang ada masih terbatas pada bidang spesialisasi tertentu, sebagai contoh misalnya Standar Profesi dibidang keahlian Anastesiilogi yang disusun oleh sub Dierektorat Jendral Pelayanan medik Depkes RI No. HK.00.06.3.3.321 bersama dengan Ikatan Profesi (Ikatan Dokter Ahli Anestesiologi ).81

79

Undang-undang No. 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan Undang-undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktek Kdeokteran Anny Isfandryarie, 2006,Tanggung Jawab Hukum dan sanksi Bagi Dokter Buku I, Perpustakaan

80

81

Nasional Katalog Dalam Terbitan, Jakarta hal 205

76

Veronica

komalawati

(dalam

Amir

Ilyas

dan

Yuyun

Widaningsih:2010) memberi batasan tentang apa yang dimaksud dengan standar profesi, yaitu : pedoman yang harus digunakan dalam menjalankan profesi secara baik. Berkenaan dengan pelayanan medik yang terutama dititik beratkan pada proses tindakan medik82.

Safitri Hariyani memberikan penjelasan lebih terperinci dari definisi standar profesi yang telah dikemukakan oleh Leenen (pakar hukum Kesehatan dari Belanda dalam Amir Ilyas dan Yuyun Widaningsih:2010) sebagai berikut :83

a. Berbuat secara teliti/seksama (zorgvuldig handelen) dikaitkan dengan culpa/kelalaian. Bila dokter bertindak tidak teliti, tidak berhatihati, maka ia memenuhi unsur kelalaian, dan bila tindakannya sangat tidak berhati-hati atau ceroboh, maka ia memenuhi culpa Lata b. Sesuai ukuran ilmu medik (volgens de medische standard) c. Kemampuan rata-rata (average) disbanding kategori keahlian medik yang sama (gemiddelde bewaamheid van gelijke medische

categorie) d. Situasi dan kondisi yang sama (gelijke omstandigheden)

82

Amir Ilyas dan Yuyun Widaningsih, Opt, Cit. hal 72

83

Ibid hal 73

77

e. Sarana

upaya

(middelen)

yang

sebanding/proporsional

(asas

proportionalitas) sebagai terjemahan dari met middelen die in redelijke verhocrdirtg staan dengan tujuan konkrit tindakan/perbuatan tersebut (tot het Concrete handelingsdoed).

Apa sebenarnya manfaat diadakannya standarisasi ini baik bagi pasien atau masyarakat luas maupun bagi dokter atau dokter gigi (tenaga kesehatan). Veronica Komalawati (dalam Amir Ilyas dan Yuyun

Widaningsih:2010) mengatakan bahwa tujuan ditetapkannya standar pelayanan medis atau standar profesi medis antara lain adalah :84

a) Untuk melindungi masyarakat (pasien) dari praktek yang tidak sesuai dengan standar profesi medis b) Untuk melindungi profesi dari tuntutan masyarakat yang tidak wajar c) Sebagai pedoman dalam pengawasan, pembinaan dan peningkatan mutu pelayanan kedokteran d) Sebagai pedoman untuk menjalankan pelayanan kesehatan yang efektif dan efisien.

Anny Isfandyarie (dalam Amir Ilyas dan Yuyun Widaningsih:2010) seorang dokter anestesi memberikan contoh kasus standar profesi dokter sebagai berikut, bila ada seorang pasien yang mengeluh sakit panas 5 (lima) hari terus menerus. Maka setiap dokter tentu akan melakukan

84

Ibid hal 77

78

diagnosa banding beberapa kemungkinan penyakit dari pasien tersebut, baik dari yang ringan sampai yang berat. Untuk menegakkan diagnosa tersebut dokter akan melakukan pemeriksaan laboratorium. Dokter yang melakukan pemeriksaan semacam ini yang tidak berbeda dengan teman sejawat lainnya, dapat dikatakan telah melakukan tindakan medis sesuai standar profesi medis. 85

2. Standar Pelayanan Medis atau Kesehatan

Pengaturan tentang standar pelayanan medis atau kesehatan diatur dalam pasal 44 UU N0. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, penjelasan pasal tersebut, standar pelayanan medik adalah suatu pedoman yang harus diikuti oleh dokter atau dokter gigi dalam menyelenggarakan praktek kedokterannya, sedangkan yang dimaksud dengan strata sarana pelayanan adalah tindakan pelayanan yang standar tenaga dan peralatannya sesuai dengan kemampuan yang diberikan.

Standar pelayanan medik ini sebagai pedoman dalam pengawasan praktek dokter, pembinaan serta upaya peningkatan mutu pelayanan medis. Selain itu dimaksudkan juga untuk melindungi tenaga kesehatan dari tuntutan yang tidak wajar dari masyarakat luas. Juga dimaksudkan

85

Ibid hal 78

79

untuk melindungi masyarakat dari praktek-praktek kedokteran yang tidak sesuai dengan standar profesi kedokteran.86

Cakupan dari standar pelayanan medik tersusun menjadi 2(dua) bagian yaitu pertama standar pelayanan medik yang terdiri dari 17 (tujuh belas) bidang spesialisasi, kedua, standar pelayanan penunjang yang terdiri dari 3 (tiga) bidang spesialisasi. Mengingat kondisi masing-masing rumah sakit tidak sama karena ada dokter spesialisasinya lengkap dengan peralatan mutakhir dan modern, sementara masih kita dapati kondisi rumah sakit seadanya dengan tenaga dokter yang terbatas. Maka masingmasing rumah sakit memiliki standar pelayanan yang berbeda-beda, tergantung pada kondisi rumah sakit dan latar belakang pendidikan para staf medisnya. Standar pelayanan atau standar prosedur opersional suatu rumah sakit disusun dan diorganisir oleh Komite Medis. 87

3. Standar Operasional Prosedur (SOP)

Standar Operasional Prosedur adalah suatu perangkat instruksi atau langkah-langkah yang dibakukan untuk menyelesaikan suatu proses kerja rutin tertentu. Standar Operasional Prosedur memberikan langkah yang benar dan terbaik berdasarkan konsensus bersama untuk

86

Ibid hal 78 Ibid hal 82

87

80

melaksanakan berbagai kegiatan dan fungsi pelayanan yang dibuat oleh sarana pelayanan kesehatan berdasarkan standar profesi.88

Veronica

Komalawati

(dalam

Amir

Ilyas

dan

Yuyun

Widaningsih:2010) menyebutkan bahwa, Standar Operasional Prosedur sebagai prosedur yang diuraikan oleh pemberi pelayanan kesehatan dari setiap spesialisasi, yang dalam aplikasinya disesuaikan dengan fasilitas dan sumber daya yang ada. Standar Operasional Prosedur ini merupakan acuan atau pelengkap bagi rumah sakit karena dapat mengikuti kondisi rumah sakit dimana prosedur tersebut ditetapkan.

Standar Operasional Prosedur yang dimaksud dapat berupa tindakan yang meliputi :89

- Anamnesa, yaitu kegiatan Tanya jawab dokter atau dokter gigi kepada pasien mengenai penyakit atau keluhan yang dirasakan pasien. - Physic diagnostic, yaitu berupa pemeriksaan jasmani pasien. - Pemeriksaan tambahan bila dipandang perlu, berupa pemeriksaan laboratorium, rontgen, dan sebagainya. - Terakhir adalah tindakan medis.

Pelaksanaan pelayanan kesehatan di rumah sakit dipengaruhi oleh kesiapan dan ketersediaan tenaga kesehatan. Dokter dan perawat yang

88

Ibid hal 85 Ibid hal 86

89

81

bekerja di rumah sakit pemerintah sebagaimana telah dikemukakan merupakan karyawan yang digaji oleh suatu rumah sakit tersebut adalah pegawai negeri. Pegawai negeri yang merupakan aparat Negara yang melaksanakan hak dan kewajiban, bukan hak dan kewajiban aparat melainkan hak dan kewajiban Negara sebagai subjek hukum hak dan kewajiban tersebut bukanlah hak dan kewajiban aparat melainkan hak dan kewajiban Negara sebagai badan hukum publik90

Oleh sebab itu dokter, perawat dan tenaga kesehatan lainnya yang bekerja pada rumah sakit pemerintah melaksanakan hak dan kewajiban bukanlah hak dan kewajiban aparat melainkan hak dan kewajiban rumah sakit sebagai badan hukum publik. Karena itu tanggungjawab dari semua tindakan yang bersumber dari hak dan kewajiban menjadi tanggung jawab rumah sakit.

M. Komite Medik dan Audit Medik

Pemerintah telah mengeluarkan keputusan Menteri Kesehatan RI. No. 755/Menkes/Per/IV/2011 tentang penyelenggaraan Komite Medik dirumah sakit. Menurut Permenkes ini komite medik adalah perangkat rumah sakit untuk menerapkan tata kelola klinis (clinical governance) agar staf medis dirumah sakit terjaga profesionalismenya melalui mekanisme

90

Indar, op,cit hal 191-201

82

kredensial, penjagaan mutu profesi medis, dan pemeliharaan etika dan disiplin profesi medis. 91

Peraturan Menteri Kesehatan ini bertujuan untuk mengatur tata kelola klinis (clinical governance) yang baik agar mutu pelayanan medis dan keselamatan pasien di rumah sakit lebih terjamin dan terlindungi

serta mengatur penyelenggaraan komite medik di setiap rumah sakit dalam rangka peningkatan profesionalisme staf medis.

Didalam permenkes ini juga diatur tentang peraturan internal staf medis (medical staff bylaws) adalah aturan yang mengatur tata kelola klinis (clinical governance) untuk menjaga profesionalisme staf medis di rumah sakit. Pasal 15 dari permenkes menjelaskan bahwa (1) rumah sakit wajib menyusun mengacu pada Setiap

peraturan internal staf medis dengan (corporate bylaws) dan Peraturan internal

peraturan internal korporasi

peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2)

staf medis disusun oleh komite medik dan disahkan oleh kepala/direktur rumah sakit. (3) Peraturan internal staf medis berfungsi sebagai aturan

yang digunakan oleh komite medik dan staf medis dalam melaksanakan tata kelola klinis yang baik (good clinical governance) di rumah sakit. (4) Tata cara penyusunan peraturan internal staf medis dilaksanakan

dengan berpedoman pada lampiran Peraturan Menteri Kesehatan ini.

91

Peraturan Menteri Kesehatan No. 755/Menkes/Per/Iv/2011 Tentang Penyelenggaraan Komite

Medik Di Rumah Sakit

83

Komite medis mempunyai tugas membantu direktur rumah sakit menyusun standar pelayanan dan membantu pelaksanaannya,

melaksanakan pembinaan etika profesi, mengatur kewenangan profesi anggota medis fungsional serta mengembangkan program pelayanan, pendidikan, dan pelatihan serta pengembangan. Mereka berkewajiban untuk melakukan medical audit.

Audit medik tersebut tidak lain bertujuan supaya kepada pasien diberikan perawatan pelayanan kesehatan dan pelayanan medik yang sebaik-baiknya dengan menggunakan teknik dan tata cara (prosedur) berdasarkan ilmu pengetahuan kedokteran (dan kesehatan lainnya) serta etika dalam rangka tanggung jawab rumah sakit sebagai salah satu bentuk sarana kesehatan.92

Dengan demikian, Audit medik berfungsi sebagai sarana organisasi rumah sakit untuk:

1. Mengevaluasi tindakan medik dari dokter dan tenaga kesehatan lainnya 2. Mengarahkan tindakan medis tertentu yang harus diambil; dan 3. Memberikan anjuran, peringatan, serta menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan tindakan medis tertentu sebagai salah satu bentuk terapi yang ditawarkan kepada pasien demi

92

Hermien Hadiati Koeswadji, Op, Cit. hal. 97

84

kepentingan/kesembuhan kesehatan.

pasien

dan

perawatan

pelayanan

Dari aspek hukumnya, Audit medik yang dilakukan oleh komite medis yang secara struktural berada dibawah direktur rumah sakit yang menangani urusan keperawatan bertujuan untuk memberikan

perlindungan hukum, baik bagi pasien maupun dokter dan tenaga kesehatan lainnya. Disinilah peran dan fungsi hukum pada umumnya dan hukum kesehatan-kedokteran pada khususnya dalam organisasi rumah sakit sebagai badan hukum. Yaitu disatu pihak mengatur batas-batas tanggung jawab etik rumah sakit terhadap pasien dan tenaga kesehatan lainnya, dan dilain pihak tanggung jawab hukum rumah sakit terhadap masyarakat pada umumnya dan pasien pada khusunya. Untuk itu diperlukan adanya tolak ukur atau kriteria, standar untuk mengukur baik buruknya perawatan pelayanan kesehatan suatu rumah sakit sebagai salah satu bentuk sarana kesehatan. Keadaan inilah yang dalam kenyataannya membawa konsekuensi, baik positif maupun negatif terhadap tanggung gugat secara perdata rumah sakit dalam perawatan pelayanan kesehatan.93

93

Ibid hal. 98

85

N. Rekam Medis

Menurut Bambang Poernomo(2000) (dalam hendrick, 2012), rekam Medis adalah catatan yang mencerminkan segala informasi menyangkut seorang pasien yang akan dijadikan dasar yang dalam

menentukan tindakan lebih lanjut dalam upaya pelayanan medis lainnya yang diberikan kepada pasien.94

Menurut Mc. Gibony, Jhon R (dalam Siswati, 2000 : dalam hendrick, 2012), berkas rekam medis yang terisi dengan baik serta semua informasi yang cukup akan mempunyai kegunaan yang mencakup aspekaspek administrasi, hukum, keuangan, penelitian, pendidikan, dan dokumentasi. Secara umum kegunaan yang analog dengan tujuan rekam medis tersebut adalah ;

1. Sebagai alat komunikasi antara tenaga kesehatan ahli lainnya yang ikut ambil bagian dalam upaya memberikan pelayanan, pengobatan dan perawtan kepada pasien. 2. Sebagai dasar untuk merencanakan pengobatan/perawatan yang harus diberikan kepada pasien. 3. Sebagai bukti tertulis tentang perkembangan penyakit dan

pengobatan selama seorang pasien berkunjung/dirawat di rumah sakit.

94

Hendrick Op. Cit. hal 85

86

4. Sebagai bahan yang berguna untuk analisis, penelitian, dan evaluasi terhadap kualitas pelayanan statistic kesehatan). 5. Melindungi kepentingan hukum bagi pasien, rumah sakit maupun tenaga kesehatan, karena isi rekam medis menyangkut masalah adanya jaminan kepastian hukum atas dasar keadilan dalam rangka usaha penegakan hukum serta penyediaan bahan tanda bukti untuk menegakkan keadilan. 6. Menyediakan data-data khusus yang sangat berguna untuk keperluan penelitian dan pendidikan. 7. Sebagai dasar dalam perhitungan biaya pembayaran pelayanan medis pasien, serta dapat dipakai sebagai sumber perencanaan keuangan rumah sakit dimasa yang akan dating. 8. Menjadi sumber ingatan yang harus didokumentasikan, serta sebagai bahan pertanggungjawaban dan pelaporan. yang diberikan kepada pasien (data

Berkas rekam medis adalah milik rumah sakit, namun pasien mempunyai hak milik atas informasi yang terkandung didalamnya. Pasien atau orang lain yang dikuasakan dengan syarat persetujuan tertulis dari pasien boleh mencatat atau menyalin. Tenaga kesehatan berkewajiban untuk menghormati hak pasien, menjaga kerahasiaan identitas, dan data kesehatan pribadi pasien, memberikan informasi yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang akan dilakukan. Rekam medis harus dibuat dan dipelihara dengan baik yang mencerminkan profil pasien dan kualitas

87

pelayanan medis. Pelanggaran terhadap wajib hukum rekam medis akan mendapat sanksi hukum berupa sanksi administratif. 95

O. Persetujuan Tindakan Kedokteran (Informed Consent)

Persetujuan Tindakan Kedokteran (informed consent) adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien (oran tua/wali/suami/istri/orang yang berhak mewaikilinya) kepada tenaga kesehatan untuk dilakukan suatu tindakan medis yang bertujuan untuk kesembuhan penyakit yang dideritanya. Dalam hal ini tenaga kesehatan telah memberikan informasi yang cukup yang diperlukan pasien mengenai tindakan yang harus dilakukan.96

Persetujuan pasien atau keluarganya ini merupakan hak dasar pasien atas pelayanan kesehatan (the right To health care) dan hak untuk menentukan nasib sendiri (the right of self determination) diakui dan dihormati. 97 yang harus

Setelah

pasien

setuju

atau

consent

atas

tindakan

medik

(kepentingan dokter) berdasarkan informasi yang jelas dan terang (kepentingan pasien), serta tindak medik tersebut sudah sesuai dengan

95

Ibid. hal.92 Ibid. Hal. 57 Amir Iyas dan Yuyun Widaningsih, op, Cit, hal. 87

96

97

88

standar pelayanan medik, maka dokter tidak dapat disalahkan apabila terjadi kegagalan dalam upayanya tersebut. 98

Akhirnya

perlu

disadari

bahwa

informed

consent

berfunsi

melindungi pasien dari tindakan tenaga kesehatan yang tidak bertanggung jawab, namun juga melindungi tenaga kesehatan dari tuntutan-tuntutan yang tidak proporsional dari pihak pasien. Dengan perkataan lain. Informed consent merupakan perwujudan disiplin dalam hukum

kesehatan.99

98

Ibid hal 87 Hendrick , Op, Cit, hal.65

99

89

P. Bagan Kerangka Pikir

Tanggung

jawab

Rumah

Sakit

dalam

memberikan

perlindungan Hukum bagi tenaga kesehatan di Rumah Sakit Undang-undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit Teori tanggung jawab Menurut Suwoto

Substansi Hukum yang mengatur Tanggung Jawab Rumah Sakit : 1. Pasal 46 Undang-undang No. 44 tahun 2009 Tentang Rumah Sakit 2. 1367 KUH Perdata ayat (3) 3. Pasal 27 Undang-undang No. 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan 4. Pasal 50 Undang-undang No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran 5. Pasal 24 PP. No. 32 Tahun 1996 tentang tenaga Kesehatan

Faktor Yang Mempengaruhi Pelaksanaan Tanggung jawab Rumah Sakit : a. Faktor Internal Rumah Sakit : - Standar Operasional Prosedur ,standar Pelayanan Medik dan standar profesi - Persetujuan Tindakan Kedokteran (Informed Consent) - Rekam Medis b. Faktor Eksternal Rumah Sakit : - Hak dan kewajiban pasien

Terwujudnya perlindungan Tenaga Kesehatan dan Pasien Di Rumah Sakit sesuai dengan peraturan perundang- undangan

90

Q. Definisi Operasional a. Tanggung jawab adalah berkewajiban menanggung, Tanggung jawab dalam pertanggungjawaban tenaga kesehatan adalah

tanggung jawab yang timbul sebagai akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan sehingga terjadi kerusakan atau kerugian kepada orang lain (pasien). b. Komite Medik adalah perangkat rumah sakit untuk menerapkan tata kelola klinis (clinical governance) agar terjaga profesionalismenya melalui staf medis dirumah sakit mekanisme kredensial,

penjagaan mutu profesi medis, dan pemeliharaan etika dan disiplin profesi medis. c. Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan dibidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. d. Perlindungan hukum adalah segala sesuatu yang mengatur dan menentukan hak dan kewajiban masing-masing pihak yang

melakukan hubungan hukum. e. Faktor Internal Rumah sakit adalah pertanggungjawaban dalam bentuk laporan pelaksanaan kekuasaan - Standar Operasional Prosedur adalah suatu perangkat instruksi atau langkah-langkah yang dibakukan untuk menyelesaikan suatu proses kerja rutin tertentu.

91

- Standar Pelayanan Medik adalah ukuran atau kriteria dari tindakan pelayanan yang diberikan kepada pasien. - Informed Consent adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien (orang tua/wali/suami/isteri/orang yang berhak mewakilinya)

kepada tenaga kesehatan/dokter untuk dilakukan suatu tindakan medis yang bertujuan Dalam hal untuk ini kesembuhan penyakit yang telah pasien

dideritanya. memberikan

tenaga

kesehatan/dokter yang diperlukan

informasi yang cukup

mengenai tindakan yang harus dilakukan. - Rekam Medis adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan, dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien. f. Faktor Eksternal Rumah Sakit : pertanggungjawaban terhadap pihak ketiga apabila dalam melaksanakan kekuasaan itu

menimbulkan suatu derita atau ganti rugi. g. Hak adalah tuntutan seseorang terhadap sesuatu yang merupakan kebutuhan pribadinya sesuai dengan keadilan, moralitas dan legalitas. h. kewajiban adalah seperangkat tanggung jawab seseorang untuk melakukan sesuatu yang memang harus dilakukan, agar dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan haknya.

92

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis dan Pendekatan Penelitian Jenis penelitian ini merupakan penelitian normatif dan empiris karena penelitian ini menggunakan sumber data sekunder atau data yang diperoleh dari kepustakaan dan memperoleh data dari data primer atau data yang diperoleh langsung dari

masyarakat.100 yang menggunakan pendekatan kualitatif analisis untuk memberikan gambaran secara rinci, sitematis dan menyeluruh mengenai segala sesuatu yang diteliti sedangkan analitis, berarti mengelompokkan, menghubungkan dan memberi makna terhadap data yang berkaitan dengan tanggung jawab rumah sakit dalam memberikan perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan.

B. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di kabupaten Mamuju Propinsi Sulawesi Barat, dengan dasar pertimbangan peneliti memilih obyek maupun tempat peneltian karena Provinsi Sulawesi Barat adalah Provinsi termuda pemekaran dari Sulawesi Selatan pada Tahun 2004, dengan

100

Mukti fajar & Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,

Pustaka pelajar, Yogyakarta. Hal153-154

93

jumlah dan kualitas sarana yang masih terbatas begitupun dengan sarana dan prasarananya. C. Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh komunitas yang ada di rumah sakit sampelnya adalah : 1. Tenaga kesehatan diruang rawat inap rumah sakit provinsi Sulawesi barat terdiri dari : Dokter 4 orang Perawat 10 orang Bidan 10 orang dengan mempergunakan purposive sampel. dan

dan tenaga kesehatan diruang rawat inap rumah sakit kabupaten mamuju : dokter 8 orang perawat 10 orang bidan 10 orang jumlah keseluruhan sampel tenaga kesehatan : 52 orang 2. Manajemen Rumah sakit yaitu, yang bertugas dalam pelaksanaan tanggung jawab rumah sakit. Direktur : 2 orang Seksi penunjang Medik : 2 orang Seksi Perawatan : 2 orang

94

Komite medik : 2 orang Jumlah keseluruhan sampel Manajemen Rumah sakit : 8 orang 3. Pasien penerima pelayanan dan tidakan kedokteran diruang rawat inap rumah sakit provinsi Sulawesi barat dan pasien diruang rawat inap rumah sakit kabupaten mamuju : 20 orang

D. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan sebagai dasar untuk mendukung penelitian adalah : 1. Data Primer adalah data yang diperoleh langsung dari sampel

penelitian. Sumbernya dari sampel penelitian. 2. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari hasil penelaahan kepustakaan atau penelaahan terhadap berbagai literatur atau bahan pustaka yang berkaitan dengan masalah atau materi penelitian yang sering disebut sebagai bahan hukum. Bahan hukum ini terdiri dari : a. Bahan hukum primer, yaitu : 1. Undang-undang No.36 tahun 2009 Tentang Kesehatan 2. Undang-undang No.44 Tahun 2009 Tentang Rumah sakit 3. Undang-undang No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran 4. Kode Etik Rumah Sakit Indonesia (KODERSI). 5. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan. dll

95

b. Bahan

Hukum

sekunder

yaitu

bahan

hukum

yang

dapat

memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer seperti: hasil penelitian, buku-buku teks, jurnal ilmiah, surat kabar, pamphlet, leatfet, brosur yang relevan dengan masalah penelitian. c. Bahan hukum tersier yaitu Buku-buku hukum perjanjian dan perikatan, serta buku- buku hukum kesehatan atau kedokteran, majalah, makalah dan lain-lain yang berkaitan dengan tanngung jawab rumah sakit. Dan data yang sudah ada dirumah sakit.

E. Tekhnik Pengumpulan Data Jenis data yang digunakan sebagai dasar untuk mendukung penelitian ini adalah : 1. Data primer yaitu pengumpulan data yang dilakukan dengan cara intensive interview yaitu wawancara langsung yang mendalam dengan teknik triangulasi data dan triangulasi metode (observasi dan telaah dokumen) serta mengunakan alat bantu berupa panduan lembaran pertanyaan dan kamera. 2. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari rumah sakit atau instansi terkait yang berhubungan dengan penelitian.

96

F. Analisa Data Analisa data merupakan kegiatan dalam penelitian yang berupa melakukan kajian atau telaah terhadap hasil pengolahan data yang dibantu dengan teori-teori yang telah didapatkan sebelumnya. 101 Data dianalisis secara kualitatif kemudian disajikan secara deskriptif yang menggambarkan, menguraikan dan menjelaskan sesuai dengan permasalahan yang erat kaitannya. Penggunaan teknik analisis kualitatif mencakup semua data melalui instrument yang digunakan dalam penelitian ini. Adapun rumus yang digunakan dalam analisis dekskriptif kualitatif yaitu : P = F/N X 100 % Keterangan : P : Persentasi F : Frekuensi N: Jumlah Frekuensi

101

Ibid., hal. 183

97

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dalam penelitian ini peneliti melihat bagaimana pelaksanaan dari substansi hukum yang mengatur tanggung jawab rumah sakit dan faktor yang mempengaruhi pelaksanaan tanggung jawab rumah sakit dalam memberikan perlindungan hukum. untuk menemukan informasi yang diharapkan sesuai dengan makna dari tujuan penelitian maka peneliti mengambil informan Manajemen rumah sakit dan tenaga kesehatan dari 2 rumah sakit di provinsi Sulawesi Barat. Tabel 1. Karakteristik Pendidikan Informan
INSTITUSI RSUD RSU Prov. Mamuju Sulbar

No

Pendidikan

Jumlah

1 2 3 4 5 6 7

D3 Kebidanan D 3 Keperawatan S 1 Kebidanan S 1 Keperawatan S 1 Kedokteran S 2 Kedokteran S 2 Kesehatan Total


Sumber : data primer 2013

8 6 2 4 6 2 4 32

9 5 1 5 3 2 2 28

17 11 10 3 4 6 9 60

28 % 18 % 17 % 5% 7% 10 % 15 % 100 %

Dari latar belakang pendidikan informan terlihat bahwa seluruh informan dianggap cukup cakap untuk memahami, mengerti dan berperanan dalam penelitian ini. serta dengan latar belakang profesi dan unit kerja dari rumah sakit Kab. Mamuju dan Rumah Sakit Provinsi Sulbar.

98

Jumlah informan didasarkan atas kecukupan data/informasi yang dibutuhkan oleh peneliti dan disesuaikan dengan kondisi dilapangan.

A. Pelaksanaan

substansi hukum yang mengatur tanggung jawab

rumah sakit dalam memberikan perlindungan hukum

1. Pasal 46 Undang-undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit Dalam sebuah rumah sakit yang merupakan tempat untuk bekerja para tenaga kesehatan sesuai dengan tugas dan profesi masing-masing. Menurut pasal 1 dari Undang-undang Nomor 36 tahun 2009 Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.102 Dengan demikian dirumah sakit akan melibatkan seluruh tenaga kesehatan yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya dalam melakukan tugas profesinya. Profesi dokter atau dokter gigi, perawat dan bidan merupakan kelompok fungsional yang bekerja atas dasar profesionalismenya, tetapi secara adminstratif mereka adalah pegawai rumah sakit. Mereka dalam melakukan tugasnya digaji oleh pemerintah untuk keahlian profesionalismenya.
102

Syahrul Machmud, Op, Cit Hal. 188

99

Untuk

mendapatkan

data

tentang

bagaimana

pelaksanaan

substansi hukum dirumah sakit, maka peneliti mencari data tentang apakah rumah sakit tersebut sudah mempunyai peraturan internal staff medis dan sudah melaksanakan peraturan tersebut, apakah komite mediknya cukup aktif, adakah upaya-upaya yang ditempuh oleh pihak manajemen untuk menciptakan kondisi sadar hukum dan taat hukum yang akan memberikan perlindungan secara tidak langsung kepada tenaga kesehatan tersebut.

Tabel 2 Gambaran data dari jawaban informan tentang keberadaan hospital By laws No 1 2 Indikator Frekuensi 1 59 60 Persentasi 2% 98% 100%

Ya Belum Jumlah Sumber : data primer 2013

Kriteria penilaian Ya adalah rumah sakit sudah membuat Peraturan internal rumah sakit (hospital bylaws) dan peraturan itu sudah

dilaksanakan dan diterapkan dilingkungan rumah sakit, Kriteria belum adalah rumah sakit belum membuat Peraturan internal rumah sakit

(hospital bylaws), dan tenaga kesehatan belum mengetahui rumah sakit sudah membuat Peraturan internal rumah sakit (hospital bylaws) dan belum tahu tentang Peraturan internal rumah sakit (hospital bylaws).

100

Pada tabel 2 menggambarkan bahwa diantara 2 rumah sakit baru satu rumah sakit yang mempunyai Peraturan Internal Rumah Sakit (hospital by laws) dengan penjelasan, (1) Ya, dengan penjelasan dari direktur rumah sakit Kab. Mamuju yang mengatakan bahwa rumah sakit sudah membuat Peraturan Internal Rumah Sakit (hospital by laws) dan itu merupakan salah satu persyaratan untuk akreditasi kemudian peneliti menanyakan apakah komite medik dan tenaga kesehatan sudah mengetahui Peraturan Internal Rumah Sakit (hospital by laws) tersebut?, maka informan menjawab belum karena dirumah sakit baru saja ada pergantian pengurusan komite medik sehingga komite medik belum berfungsi secara maksimal. (2) Belum dengan penjelasan,(a) saya belum tahu aturan apa yang terkandung didalamnya dan pihak manajemen belum memberitahukan atau mensosialisasikannya, kemarin dibuat hanya untuk melengkapi keperluan akreditasi (b) penjelasan dari pihak manajemen RS Prov. Sulbar, Rumah sakit belum mempunyai Peraturan Internal Rumah Sakit (hospital by laws) karena rumah sakit ini masih baru dan untuk menyusun suatu aturan perlu tenaga-tenaga yang berkompeten dalam hal tersebut. (c) saya tidak tahu tentang Peraturan Internal Rumah Sakit (hospital by laws) dan saya juga tidak tahu apakah rumah sakit sudah membuat Peraturan Internal Rumah Sakit (hospital by laws)

101

karena tidak ada pemberitahuan atau sosialisasi dari manajemen rumah sakit. Jawaban senada sebanyak 59 informan (98 %). Dalam tabel 2 dijelaskan bahwa dari seluruh sampel yang diambil dari dua rumah sakit yang mempunyai peraturan Internal Staff medis/hospital By Laws baru rumah Sakit Kab. Mamuju tetapi hal itu hanya diketahui oleh pihak manajemen Rumah Sakit sementara pengurus komite medik yang lama dan Tenaga kesehatannya belum Tahu tentang hal tersebut. Tabel 3 Keaktifan medical staf By Laws pada komite medic No Indikator 1 Ya 2 Tidak 3 tidak tahu Jumlah Sumber : data primer 2013 Kriteria Frekuensi 0 20 0 20 Persentasi 0% 100% 0% 100%

ya, adalah komite medik sudah terbentuk dan telah

melaksanakan kegiatan/tugasnya sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan, Kriteria tidak adalah komite Medik sudah terbentuk tetapi belum optimal Melaksanakan Tugasnya, dan Kriteria Tidak tahu adalah staf medis tidak bisa menilai/mengetahui apakah komite medik sudah melaksanakan tugas atau belum. Pada tabel 3 menjelaskan bahwa komite medik belum optimal melaksanakan tugasnya sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan jawaban yang diberikan oleh informan yaitu ketua komite medik RS. Prov. Sulbar, hal itu disebabkan antara lain karena: (1) kurangnya koordinasi

102

dan komunikasi antara direktur dengan komite medik yang disebabkan karena imbalan jasa tenaga medis dan tenaga kesehatan lainnya dirumah sakit belum terselesaikan oleh pihak manajemen Rumah sakit, (2) faktor internal pengelolaan manajemen rumah sakit yang belum berjalan optimal/efektif, (3) faktor otonomi daerah dimana kemampuan daerah untuk memenuhi biaya operasional rumah sakit belum maksimal.(4) jumlah tenaga medis masih kurang dalam data tampak banyak namun kenyataannya tidak karena banyak tenaga medis yang melanjutkan pendidikan untuk profesi spesialis dan hal itu didukung oleh pemerintah provinsi dengan alasan sulawesi Barat sangat membutuhkan tenaga medis spesialis. Peneliti kemudian bertanya kepada informan yang lain dengan pertanyaan apakah secara umum komite medik sudah

melaksanakan tugas sesuai dengan peraturan? Dijawab oleh informan tidak memang sudah ada pengurus tapi belum berjalan efektif, belum ada struktur organisasi komite medik baru sampai pada pemilihan ketua dan sekertaris setelah itu tidak ada lagi kegiatan yang dilakukan dan manajemen rumah sakit kurang peduli dengan hal tersebut. Dari data yang peneliti peroleh tenaga medis dirumah sakit juga belum mempunyai rekomendasi kewenangan klinis itu menunjukkan bahwa komite medik belum melaksanakan tugas secara optimal.

103

Tabel 4 Pelaksanaan Audit medik di rumah sakit No Indikator 1 Ya 2 tidak 3 tidak tahu Jumlah Frekuensi 0 15 5 20 Persentasi 0% 75% 25% 100%

Sumber : data Primer 2013 Pada tabel 4 menggambarkan belum ada yang melaksanakan audit medik yaitu sebesar 75 % dan tidak tahu apakah komite medik sudah melaksanakan audit medik sebesar 25%. Tanggung jawab publik rumah sakit sebagai penyelenggara pelayanan kesehatan diatur dalam ketentuan pasal 15 Undang-undang Nomor 25 tahun 2009, tentang pelayanan publik, antara lain:
103

a. Terwujudnya batasan dan hubungan yang jelas tentang hak, tanggung jawab, kewajiban, dan kewenangan seluruh pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik. b. Terwujudnya sistem penyelenggaraan pelayanan yang layak sesuai dengan asas-asas pemerintahan dan korporasi yang baik. c. Terpenuhinya penyelenggara pelayanan publik sesuai dengan peraturan perundang-undangan. d. Terwujudnya perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dalam penyelenggaraan publik.

103

Ibid hal.165

104

Selain pengaturan tanggung jawab rumah sakit dalam UU Nomor 25 tahun 2009, Tanggung jawab rumah sakit terhadap tindakan tenaga kesehatan yang dianggap merugikan pasien, diatur dalam pasal 46

UNdang-undang Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit yang mengatakan bahwa : Rumah Sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di rumah sakit.
104

Namun demikian kemandirian tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya di rumah sakit perlu dikendalikan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Karena itu rumah sakit harus membentuk komite medik sesuai peraturan pemerintah yaitu keputusan menteri kesehatan Republik Indonesia Nomor 631/ menkes/SK/IV/2005 yang telah diubah keputusan Menteri Kesehatan RI. No. 755/Menkes/Per/IV/2011 tentang

penyelenggaraan Komite Medik dirumah sakit. Menurut Permenkes ini komite medik adalah perangkat rumah sakit untuk menerapkan tata kelola klinis (clinical governance) agar staf medis dirumah sakit terjaga

profesionalismenya melalui mekanisme kredensial, penjagaan mutu profesi medis, dan pemeliharaan etika dan disiplin profesi medis.

104

Undang-undang No. 44 tahun 2009 Tentang rumah Sakit

105

105

Didalam permenkes ini diatur Peraturan internal rumah sakit (hospital

bylaws).

Sejalan dengan hal itu kepala/direktur rumah sakit berkewajiban menyediakan segala sumber daya antara lain meliputi waktu, tenaga, biaya, sarana, dan prasarana agar tata kelola klinis dapat terselenggara dengan baik. Untuk menjamin agar komite medik berfungsi dengan baik, organisasi dan tata laksana komite medik dituangkan dalam peraturan internal staff medis (medical staff bylaws) yang disusun dengan berpedoman pada Peraturan Menteri Kesehatan ini. Pada prinsipnya peraturan internal staff medis merupakan dasar normatif bagi setiap staf medis agar tercipta budaya profesi yang baik dan akuntabel.106 Komite medik menjalankan fungsi untuk menegakkan

profesionalisme dengan mengendalikan staf medis yang melakukan pelayanan medis dirumah sakit. Pengendalian tersebut dilakukan dengan mengatur secara rinci kewenangan melakukan pelayanan medis

(delitenation of clinical privileges). Pengendalian ini dilakukan secara bersama oleh kepala/direktur rumah sakit dan komite medik. Komite medik melakukan kredensial, meningkatkan mutu profesi, dan menegakkan disiplin profesi serta

105

Peraturan Menteri Kesehatan No. 755/Menkes/Per/Iv/2011 Tentang Penyelenggaraan Komite

Medik Di Rumah Sakit


106

Ibid hal 14

106

merekomendasikan tindak lanjutnya kepada kepala/direktur rumah sakit; sedangkan kepala/direktur rumah sakit menindaklanjuti rekomendasi komite medik dengan mengerahkan semua sumber daya agar

profesionalisme para staf medis dapat diterapkan dirumah sakit.107 Dalam melaksanakan penelitian dilapangan, terlihat bahwa hanya 1(satu) rumah sakit yang sudah mempunyai peraturan internal rumah sakit (hospital bylaws) yang meliputi peraturan internal korporasi dan peraturan internal staf medis. dan yang mengetahui adanya peraturan tersebut adalah manajemen Rumah Sakit Kab. Mamuju , sementara tenaga kesehatan (tenaga medis) belum mengetahui Rumah sakit sudah membuat Peraturan Internal Rumah Sakit (hospital by laws), bahkan ada tenaga kesehatan yang belum tahu apa itu Peraturan Internal Rumah Sakit (hospital by laws) karena format Peraturan Internal Rumah Sakit (hospital by laws) belum tersosialisasikan dengan baik sementara data yang diperoleh dari rumah sakit Prov. Sulbar, rumah sakit belum membuat Peraturan Internal Rumah Sakit (hospital by laws) dan masih banyak tenaga kesehatan yang belum tahu apa itu Peraturan Internal Rumah Sakit (hospital by laws). Seperti yang terlihat pada tabel 2 dan tabel 3, Dilapangan ditemukan belum ada tenaga medik yang memiliki rekomendasi kewenangan klinis pelayanan medis yang
107

sebagai syarat untuk melakukan

merupakan salah satu tugas komite medik.

Ibid hal 15

107

Kewajiban rumah sakit untuk menetapkan kewenangan klinis tersebut telah diatur dengan tegas dalam peraturan perundang-undangan tentang rumah sakit bahwa setiap rumah sakit wajib menyusun dan melaksanakan hospital bylaws, yang dalam penjelasan peraturan perundang-undangan tersebut ditetapkan bahwa setiap rumah sakit wajib melaksanakan tata kelola klinis yang baik (good clinical governance). Hal ini harus dirumuskan oleh setiap rumah sakit dalam peraturan staff medis antara lain diatur kewenangan klinis. Dari penjelasan diatas peneliti menyimpulkan bahwa pelaksanaan substansi hukum belum berjalan dengan baik/efektif. Kelemahan rumah sakit dalam menjalankan fungsi kredensial akan menimbulkan tanggung jawab hukum bagi rumah sakit dalam hal terjadi kecelakaan pelayanan medis. Demikian pula halnya dengan pelaksanaan audit medik sebagai evaluasi bagi seluruh tenaga medis. kedepannya perlu menjadi bagian kegiatan manajemen rumah sakit karena kepala/direktur rumah sakit bertanggungjawab atas tersedianya sumber daya yang dibutuhkan agar kegiatan tersebut dapat terselenggara dengan baik. Hal ini juga sudah diatur dalam keputusan Menteri Kesehatan RI. No. 755/Menkes/Per/IV/2011 tentang penyelenggaraan Komite Medik dirumah sakit.Pasal 19 yang menyebutkan Rumah sakit wajib

menyesuaikan organisasi komite medik sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Kesehatan ini dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak diundangkannya Peraturan Menteri Kesehatan ini.

108

2. Pasal 1367 KUH Perdata

Berdasarkan

pasal

1367

KUH

Perdata

seseorang

harus

memberikan pertanggungjawaban tidak hanya atas kerugian yang ditimbulkan dari tindakannya sendiri, tetapi juga atas kerugian yang ditimbulkan dari tindakan orang lain yang berada dibawah

pengawasannya. Dengan demikian maka pada pokoknya ketentuan pasal 1367 BW mengatur mengenai pembayaran ganti rugi oleh pihak yang menyuruh atau memerintahkan sesuatu pekerjaan yang mengakibatkan kerugian pada pihak lain.108 Dalam hal rumah sakit pemerintah, maka dokter dan

perawat/tenaga kesehatan yang bekerja pada rumah sakit tersebut tidak menjalankan hak dan kewajibannya sebagai aparat melainkan hak dan kewajiban rumah sakit sebagai badan hukum publik. Sebab itu tanggung jawab dari semua tindakan yang bersumber dari hak dan kewajiban menjadi tanggung jawab rumah sakit.109 Karena itu kemandirian tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya dirumah sakit perlu dikendalikan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Untuk itu rumah sakit harus

mempunyai standar atau prosedur operasional dan diorganisasikan melalui suatu kelompok yang dapat mengarahkan dan mengkoordinasikan

108

Syahrul machmud, Op, Cit hal.149 Amir Ilyas dan Yuyun Widaningsih, Op, Cit. hal. 33

109

109

kegiatan seluruh tenaga kesehatan. Kelompok inilah yang dinamakan Komite Medik. 110

Pasal 1367 KUH Perdata dapat dipakai sebagai acuan dalam menarik pertanggungjawaban rumah sakit atas tindakan bawahannya , karena klausa pasal tersebut menyebutkan bahwa pertanggungjawaban karena kesalahan dalam gugatan perbuatan melawan hukum termasuk perbuatan orang-orang yang berada dibawah pengawasannya. Hal ini dikenal dengan teori atau doktrin respondeat superior, dimana antara tenaga kesehatan dengan rumah sakit terdapat hubungan kerja sesuai dengan tugas yang diberikan kepadanya.111

Menurut bahder Johan Nasution dotrin respondent superior ini mengandung makna, bahwa seorang majikan adalah orang yang berhak untuk memberikan instruksi dan mengontrol tindakan bawahannya, baik atas hasil yang dicapai maupun tentang cara yang digunakan. Disamping itu dengan perkembangan hukum kesehatan dan kecanggihan teknologi kedokteran, rumah sakit tidak dapat melepaskan diri dari tanggung jawab pekerjaan yang dilakukan oleh pegawainya atas perintahnya, termasuk apa yang diperbuat oleh tenaga medis sepanjang merupakan tugasnya.112

110

Syahrul Machmud, Op,Cit. Hal. 189 Syahrul Machmud, Op, Cit Hal 190 Ibid hal. 190

111

112

110

Oleh karena itu penerapan dari doktrin respondent superior ini dimaksudkan untuk adanya jaminan bahwa ganti rugi dibayar kepada pasien yang menderita kerugian akibat tindakan medis dokter (tenaga kesehatan) hukum dan keadilan menghendaki sikap kehati-hatian dari tenaga kesehatan Sebab rumah sakit juga bertanggung jawab sendiri

atas kerugian yang diakibatkan oleh kebijakan, peraturan dan fasilitas rumah sakit. Tanggung jawab ini tidak hanya terbatas pada tanggung jawab dibidang medikolegal, melainkan juga dibidang publik Liability.
113

Data dilapangan ditemukan Komite medik dirumah sakit belum melaksanakan tugas/fungsinya sebagaimana mestinya seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Sehingga pelaksanaan standar atau prosedur operasional belum maksimal dilakukan oleh tenaga kesehatan dirumah sakit yang menyebabkan pelayanan kesehatan belum terselenggara dengan baik.

113

Ibid hal 191

111

3. Undang-undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, Undang-undang No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran dan Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan

Perlindungan hukum adalah segala sesuatu yang mengatur dan menentukan hak dan kewajiban masing-masing pihak yang melakukan hubungan hukum, sehingga kepentingannya terlindungi.

Penelitian dilapangan diarahkan untuk mencari data dari berbagai sumber yang akan memberikan Hukum informasi tentang bagaimana

pelaksanaan Substansi

Yang mengatur perlindungan hukum

terhadap tenaga kesehatan. Peneliti memulai pencarian data untuk mendapatkan informasi sejauhmana pemahaman informan tentang hukum normatif yang ada dinegara ini Yang mengatur perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan Jawaban yang diberikan informan bahwa perangkat per undang-undangan yang ada saat ini, (1) ya, (2) tidak (3) pendapat Lain. Data kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif dan ditampilkan pada tabel, jawaban informan dikelompokkan oleh peneliti dan diuraikan sebagai berikut :

112

Tabel 5 Jawaban informan tentang pemahaman hukum normatif yang berfungsi memberikan perlindungan terhadap tenaga kesehatan dalam menjalankan tugas profesinya No Indikator Frekuensi ya 11 tidak 32 pendapat lain 17 Jumlah 60 Sumber : data primer 2013 Persentasi 18% 53% 28% 100%

(1) Ya dengan penjelasan, (a) karena peraturan perundang-undangan yang ada telah mengatur batasan-batasan bagi tenaga kesehatan dalam menjalankan tugas profesinya sehingga memberi kenyamanan dan perlindungan dalam bekerja. (b) Ada juga yang menjawab ya, karena undang-undang tersebut sudah cukup mengakomidir segala hal yang bersinggungan dengan tindakan medis ataupun tindakan keperawatan tetapi undang-undang tersebut harus simultan artinya terus menerus dikondisikan dengan keadaan karena dunia kesehatan khususnya medis tidak statis tetapi dinamis keilmuannya. (2) Tidak dengan penjelasan (a) segala sesuatu yang ada dirumah sakit seperti tindakan kedokteran menjadi tanggung jawab rumah sakit setelah adanya Undang-undang tentang rumah sakit tetapi rumah sakit tidak menjalankan isi dari peraturan perundang-undangan tersebut sehingga tidak memberikan perlindungan baik bagi pasien maupun tenaga kesehatan. (b) karena dalam peraturan perundang -

113

undangan hanya mengatur secara garis besarnya saja belum diatur secara spesifik didalam peraturan belum diatur semua tenaga kesehatannya hanya medis dalam hal ini dokter dan dokter gigi saja sementara tindakan keperawatan belum diatur dan menurut saya sebagian besar tenaga kesehatan tidak tahu tentang UU perlindungan tenaga kesehatan dalam menjalankan tugas profesinya. (3) Pendapat lain dengan penjelasan (a) mengenai hal tersebut, dalam hal peraturan perundang-undangan akan dipantau dan diperbaiki bila terdapat kekurangan dikemudian hari menurut pendapat saya ada halhal kecil yang cukup mengganggu misalnya yang berbunyi setiap tenaga kesehatan tidak boleh membuka dokumen rekam medis tanpa izin dari pasien seharusnya juga tercantum pengecualian yaitu kecuali saat pasien tersebut sedang sakit dan sedang dalam pelayanan medis saat itu, oleh tenaga medis (kesehatan) yang menanganinya, jadi penerapan UU seharusnya mempertimbangkan juga efisiensi waktu untuk menunjang efektifitas tindakan terhadap pasien. (b) saya tidak tahu atau kurang tahu tentang peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perlindungan hukum terhadap tenaga kesehatan dan mengenai imbalan jasa sudah hampir setahun jasa medik kami belum dibayarkan oleh pihak manajemen rumah sakit

Dalam Undang-Undang No.36 Tahun 2009 pasal 27 dijelaskan tenaga kesehatan berhak mendapatkan imbalan dan perlindungan hukum

114

dalam melaksanakan tugas sesuai profesinya. Sedangkan dalam pasal 24 (3) dan (4), Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan, dijelaskan bahwa : perlindungan hukum diberikan kepada tenaga kesehatan yang melakukan tugasnya sesuai dengan standar profesi.

Dalam Undang-Undang Praktek Kedokteran No. 29 Tahun 2004 hak tenaga medis tercantum dalam pasal 50 yang menyatakan apabila dokter atau dokter gigi yang melaksanakan praktek kedokteran atau praktek kedokteran gigi telah sesuai dengan standar profesi dan standar operasional prosedur, maka dokter atau dokter gigi tersebut berhak mendapatkan perlindungan hukum.

Perlindungan hukum yang merupakan hak dari tenaga kesehatan seperti yang dijelaskan dalam peraturan tersebut diatas masih bersifat umum sehingga belum dapat dijadikan acuan yang lebih bersifat prosedural, sehingga untuk memenuhi sistematika hukum maka substansi tersebut perlu dijabarkan lebih lanjut kedalam peraturan pemerintah yang bersifat peraturan pelaksana.

115

Didalam perjanjian terapeutik disebutkan hak-hak tenaga kesehatan adalah114 :

1. hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya, 2. hak untuk menolak keinginan pasien yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, profesi dan etika, 3. hak untuk informasi yang singkat dan jujur dari pasien tentang keluhan yang diderita, 4. hak atas imbalan jasa dari pelayanan kesehatan yang diberikan, 5. hak untuk mengakhiri hubungan dengan pasien, jika pasien tidak mau menuruti nasehat yang diberikannya 6. hak atas itikad baik dari pasien dalam pelaksanaan transaksi terapeutik, dan 7. hak atas privasi.

Sebagai Undang-undang yang bersifat lex specialist adalah UU Kesehatan dan UU Praktek Kedokteran terdapat beberapa permasalahan yang ditimbulkan dalam memberikan perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugas profesinya yaitu ;115

114

Hendrick, Op, Cit, hal.48 Agnes Anastasia, Perlindungan Hukum Tenaga Kesehatan Dalam Menjalankan Tugas Profesi,

115

2009 Universitas Hasanuddin.

116

1. bahwa sistem hukum yang baik jika hukum materiil juga dilengkapi dengan hukum prosedural. Demikian juga halnya dengan substansi tersebut belum dijabarkan dalam peraturan pelaksana 2. belum dituangkannya seperti berbagai batasan pemahaman tentang yang bersifat sistem

implementatif

malpraktek,

penyelesaian sengketa medik atau aduan yang memperhatikan asas praduga tak bersalah dan keadilan sosial. 3. belum dituangkannya keterlibatan sarana layanan kesehatan dan organisasi profesi dalam menciptakan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan praktek kedokteran yang baik dan aman.

Dalam melaksanakan penelitian dilapangan diperoleh data dari informan yang menyadari bahwa perangkat peraturan yang ada (hukum positif) yang mengatur perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan masih belum mampu memberikan perlindungan hukum sepenuhnya bagi tenaga kesehatan dalam menjalankan tugas profesinya dan belum semua tenaga kesehatan maupun staf managemen rumah sakit yang mengetahui tentang peraturan perundang-undangan tersebut (lihat tabel 5 ), adanya keadaan seperti itu dapat menimbulkan kerawanan terhadap tenaga kesehatan dalam menjalankan tugas profesinya. Bentuk kerawanan tersebut ditimbulkan oleh faktor, yaitu:

1. Belum jelasnya hukum normatif tentang sistem perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan dalam menjalankan tugas profesinya.

117

2. Faktor sadar hukum dan taat hukum tenaga kesehatan yang masih kurang 3. Faktor pasien atau masyarakat yang semakin kritis dan 4. Adanya konspirasi dari pihak ketiga yang memanfaatkan kondisi.

Adanya harapan dan pemikiran untuk menghadirkan sistem peradilan khusus yang berlatar belakang kemampuan/kompetensi yang sesuai dibidang tersebut sehingga penanganan kasus sengketa medik diharapkan lebih tepat sasaran dan memberikan kepastian hukum bagi pasien, tenaga kesehatan dan seluruh komponen yang terkait didalamnya.

B. Faktor yang Mempengaruhi Pelaksanaan Tanggung Jawab Rumah Sakit Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Suwoto menyebutkan bahwa pengertian tanggung jawab

mengandung dua aspek, yaitu aspek internal dan aspek eksternal. Pertanggung jawaban yang mengandung aspek internal hanya

diwujudkan dalam bentuk laporan pelaksanaa kekuasaan. Pertanggung jawaban dengan aspek eksternal merupakan pertanggung jawaban terhadap pihak ketiga apabila dalam melaksanakan kekuasaan itu menimbulkan suatu derita atau kerugian.116 Aspek internal rumah sakit sangat terkait dengan Pengembangan Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia (SDM) rumah sakit yang mengatur peran dan fungsi masing-masing jenis tenaga kesehatan yang
116

Ridwan HR, Op, Cit, hal 353

118

ada dirumah sakit . kebijakan-kebijakan atau ketentuan-ketentuan tersebut merupakan syarat adminstrasi pelayanan kesehatan yang harus dipenuhi dalam rangka penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang bermutu. Kebijakan atau ketentuan hukum administrasi tersebut mengatur tata cara penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang layak dan pantas sesuai dengan standar Pelayanan Rumah sakit, Standar Operasional Prosedur dan standar profesi, serta Rekam Medik dan Persetujuan Tindakan Kedokteran. 117 Pelanggaran terhadap kebijakan atau ketentuan hukum adminstrasi tersebut dapat menimbulkan kerugian kepada pasien yang

mengakibatkan adanya tuntutan ganti rugi (aspek eksternal). 1. Faktor Internal a. Standar Profesi, Standar pelayanan Medik dan Standar Opersional Prosedur Standar opersional prosedur memberikan langkah yang benar dan terbaik berdasarkan konsensus bersama untuk melaksanakan berbagai kegiatan dan fungsi pelayanan yang dibuat oleh sarana pelayanan

kesehatan berdasarkan standar profesi. Karena itu rumah sakit harus mempunyai standar operasinal prosedur. 118

117

Syahrul Machmud, Op, Cit, Hal. 162 Amir Iyas dan Yuyun WidiaNingsih, Op, Cit, Hal. 85

118

119

Peneliti mengawali pencarian data ke informan yaitu kepada pihak manajemen Rumah sakit kemudian dilanjutkan keinforman yang mewakili tenaga kesehatan yaitu dokter, perawat dan bidan.. Data yang diperoleh dari informan kemudian dikelompokkan, dianalisis dan diuraikan sebagai berikut. (1) ya, (2) belum, (3) pendapat lain. Tabel 6 Gambaran jawaban informan tentang digunakannya SOP,Standar Pelayanan medik dan Standar Profesi dalam melaksanakan tindakan

No Indikator 1 Ya 2 Belum 3 pendapat lain Jumlah Sumber : data primer 2013

Frekuensi 17 38 5 60

Persentasi 28% 63% 8% 100%

(1) Ya, peneliti bertanya kepada informan apakah tenaga kesehatan ditempat ini sudah mempunyai Standar Operasional Prosedur (SOP) dan Standar Pelayanan Medik (SPM) ? Kemudian dijawab oleh informan iya kami sudah mempunyai SOP dan SPM, peneliti lanjut bertanya dimanakah dimanakah diletakkan standar tersebut? lalu dijawab oleh informan di ruang perawatan (ruangan untuk tenaga kesehatan), kemudian peneliti bertanya lagi apakah anda yakin

bahwa apa yang anda kerjakan sudah sesuai dengan SOP dan SPM? Dijawab oleh informan semua petugas harus menjalankan tugas sesuai dengan SOP dan standar profesi. kemudian peneliti bertanya, apakah itu berarti anda sudah melaksanakan tugas profesi anda

120

sesuai dengan SOP dan standar profesi? Dijawab oleh informan, saya kira demikian, selama ini tenaga kesehatan yang bertugas berusaha melaksanakan SOP dengan baik. Peneliti lanjut bertanya kepada informan yang lain dengan pertanyaan yang sama dan dijawab oleh informan, ya kami sudah mempunyai SOP kemudian peneliti lanjut bertanya dimana SOP tersebut diletakkan, informan tampak bingung lalu dijawab SOP sudah ada tetapi belum diserahkan kepada kami masih ada dimanajemen rumah sakit. Apakah dalam melakukan tindakan tenaga kesehatan selalu melihat kepada buku SOP? Dijawab oleh informan, memang tidak, tapi kami sudah melaksanakan secara rutin sehingga boleh dikatakan bahwa kami sudah memahami betul yang dimaksud dalam SOP tersebut. Peneliti lanjut bertanya bagaimana dengan SPM? Dijawab, sama saja. (2) Belum, pertanyaan yang diberikan kepada informan adalah sebagai berikut: apakah tenaga kesehatan mempunyai SOP ditempat ini? kemudian dijawab oleh informan iya, peneliti lanjut bertanya apakah dalam melaksanakan tugas tenaga kesehatan selalu berpedoman kepada SOP? Dijawab informan, belum karena terus terang masih ada tenaga kesehatan yang belum tahu atau bahkan tidak mau tahu atau kurang peduli terhadap SOP padahal Rumah sakit sudah buat atau menyediakan SOP dengan dana yang besar bagaimana

dengan SPM? dijawab sedikit bingung oleh informan, Kalau untuk standar pelayanan medik yang saya ketahui baru ada diruang Instalasi

121

Gawat Darurat (IGD) peneliti lanjut bertanya siapakah yang membuat SOP dan standar pelayanan medik ? dijawab: pihak manajemen rumah sakit dan komite medik, dokter dan kepala ruang keperawatan. Peneliti lalu bertanya kepada informan yang lain dengan pertanyaan yang sama lalu dijawab oleh informan, belum semua layanan ada SOPnya dan dalam menjalankan tugas ada yang belum mengetahui SOP selain itu SOP sudah lama ada ditempat ini karena untuk persyaratan dalam proses akreditasi rumah sakit tetapi sulit untuk melaksanakannya sebab lebih banyak peralatan tidak memadai untuk dilakukan tindakan SOP, untuk bahan habis pakai yang diberikan terbatas dan kadang stocknya habis, kemudian peneliti lanjut bertanya apakah tenaga kesehatan tidak khawatir jika bekerja tidak sesuai dengan SOP dan SPM? Kemudian dijawab oleh informan tidak karena kami memakai standar dari kolegium dan disesuaikan dengan keadaan rumah sakit. W alaupun belum tertulis. (3) Pendapat lain, dengan pertanyaan awal yang sama bahwa apakah tenaga kesehatan dalam bekerja menggunakan SOP sebagai acuan? Kemudian dijawab oleh informan SOP dan Standar Pelayanan Medik adalah mutlak dilakukan seorang tenaga kesehatan akan tetapi hal ini sangat dipengaruhi oleh personality masing-masing individu tenaga kesehatan, peneliti lalu bertanya kepada informan yang lain dengan pertanyaan yang sama dan dijawab oleh informan Khusus untuk bedah memang belum ada SOP yang dibuat oleh internal rumah sakit

122

tetapi dalam melaksanakan tindakan atau dalam bekerja kami mengikuti standar profesi yang dikeluarkan oleh Kolegium, kemudian peneliti lanjut bertanya kenapa dirumah sakit ini belum ada standar OPerasional Prosedur untuk perawatan bedah? Dijawab informan karena komite medik dirumah sakit ini belum berfungsi secara optimal dan sepertinya pihak manajemen rumah sakit kurang peduli dengan hal ini, dan pihak rumah sakit belum mengatur hal ini dengan baik. Serta faktor internal rumah sakit yang kurang tanggap dalam pemenuhan alat dan bahan pada bagian pelayanan medis disebabkan antara lain karena untuk pemenuhan alat dan bahan selalu lambat proses pelelangan alat dan bahan dan adanya intervensi dari pihak luar.

Standar

pelayanan

kesehatan

di

rumah

sakit

merupakan

pengaturan teknis klinis yang bersifat lebih detail dan berpedoman pada standar pelayanan medik, standar pelayanan keperawatan dan standar pelayanan rumah sakit itu sendiri sesuai dengan kondisi rumah sakit yang bersangkutan. Sementara standar operasional sebagai tolak ukur untuk mengendalikan kualitas pelayanan medis. Standar operasional perosedur ini bertujuan untuk mengatur sampai sejauh mana batas-batas

kewenangan dan tanggung jawab etik dan hukum dokter terhadap pasien, maupun tanggung jawab rumah sakit terhadap medical staff dan sebaliknya.

123

Standar Operasinal Prosedur ini juga akan mengatur hubungan antara medis dengan sesama sejawat dokter dalam satu tim, tenaga medis dengan para medis, serta merupakan tolak ukur bagi seorang dokter untuk menilai dapat tidaknya dimintakan pertanggungjawaban hukumnya jika terjadi kerugian bagi pasien.119

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan Pasal 24 ayat (1) mengatakan: Perlindungan hukum diberikan kepada tenaga kesehatan yang melakukan tugasnya sesuai dengan standar profesi tenaga kesehatan.120Selanjutnya undang-undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan didalam pasal 24 ayat (1) menyebutkan : tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 harus memenuhi ketentuan kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan standar prosedur

operasional.121

Dalam Undang-undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran pasal 50, dalam penjelasan pasal tersebut dinyatakan bahwa, apabila dokter atau doter gigi yang melaksanakan praktek kedokteran atau kedokteran gigi telah sesuai dengan standar profesi dan standar

119

Amir ilyas dan yuyun Widianingsih, Op, Cit, hal.83 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan. Undang-undang No. 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan

120

121

124

operasional prosedur, maka dokter atau dokter gigi tersebut berhak mendapatkan perlindungan hukum.122

Dari

hak-hak

tenaga

sebagaimana

diatur

dalam

peraturan

perundang-undangan diatas, Nampak bahwa tenaga kesehatan berhak mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan medis yang dilakukannya sepanjang apa yang telah dilakukan tenaga kesehatan sesuai dengan standar profesi dan standar Operasional Prosedur. Dengan kata lain apabila tenaga kesehatan telah melakukan tindakan sesuai dengan standar profesi dan standar Operasional Prosedur tidak dapat dituntut secara hukum dipersidangan.

Dalam hubungan antara rumah sakit dengan pasien, rumah sakit menawarkan upaya pelayanan kesehatan dengan menyediakan sarana, prasarana, dan sumber daya kesehatan. Rumah sakit memikul beban tanggung gugat apabila pelayanan kesehatan yang diberikan tidak memenuhi standar pelayanan rumah sakit dan standar profesi tenaga kesehatan.

Selain itu standar pelayanan medik ini dapat dijadikan tolak ukur mutu pelayanan tenaga kesehatan, dimaksudkan pula agar para tenaga medis seragam dalam memberikan diagnosa, dan setiap diagnosa harus memenuhi kriteria minimal yang terdapat dalam standar pelayanan medis

122

Undang-undang No.29 Tahun2004 Tentang Praktek Kedokteran

125

dan standar pelayanan rumah sakit tersebut. Standar pelayanan medik ini juga dapat difungsikan untuk kepentingan pembuktian di pengadilan apabila terjadi sengketa.123

Veronica Komalawati mengatakan bahwa tujuan ditetapkannya standar pelayanan medis atau standar profesi medis antara lain adalah :124

a) Untuk melindungi masyarakat (pasien) dari praktek yang tidak sesuai dengan standar profesi medis b) Untuk melindungi profesi dari tuntutan masyarakat yang tidak wajar c) Sebagai pedoman dalam pengawasan, pembinaan dan peningkatan mutu pelayanan kedokteran d) Sebagai pedoman untuk menjalankan pelayanan kesehatan yang efektif dan efisien

Hasil penelitian yang ditemukan peneliti

keberadaan standar

profesi, standar pelayanan medik dan SOP dirumah sakit kab. Mamuju dan rumah sakit Prov. Sulbar lebih bersifat formalitas, terutama untuk kepentingan akreditasi rumah sakit, bahkan beberapa informan yang dijumpai kurang memahami tentang pengertian standar profesi dan SOP. Menurut undang-undang bahwa SOP dibuat masing-masing oleh sarana
123

Syahrul machmud, Op,Cit, hal.179

124

Amir Ilyas dan Yuyun Widianingsih, Op, Cit, Hal. 77

126

layanan kesehatan sesuai dengan kondisi yang ada dan untuk standar profesi dibuat oleh organisasi profesi.

Dari hasil pengamatan peneliti ditemukan bahwa dokumen tersebut yang mempunyai kedudukan hukum kurang mendapat tempat yang seharusnya oleh manajemen rumah sakit dan tenaga kesehatan dalam melaksanakan tindakan dirumah sakit. Beberapa kendala yang tidak menempatkan keberadaan dokumen tersebut pada tempatnya menurut informan yakni :pedoman tersebut cenderung dipahami, agak merepotkan jika melaksanakan tindakan harus melihat buku dan pedoman tersebut cenderung akan mengalami perubahan sesuai berkembangnya

pengetahuan dan teknologi.

Kondisi tersebut selayaknya mendapat perhatian oleh seluruh pihak yang terkait dalam upaya menciptakan perlindungan bagi tenaga kesehatan dalam menjalankan tugas profesinya dan memberikan kepastian hukum bagi masyarakat, tenaga kesehatan dan sarana layanan kesehatan. Hasil pengamatan dapat dilihat pada tabel 6.

b. Rekam Medik Selain fungsi dan tujuannya yang utama untuk memberikan fasilitas taraf pelayanan kesehatan yang tinggi, rekam kesehatan juga dapat digunakan sebagai bahan pendidikan, penelitian dan akreditasi. Rekam

127

medik yang dirawat secara baik akan sangat penting bagi system pelayanan kesehatan maupun untuk kepentingan pasien125 Apa yang terkandung dalam rekam medis merupakan kumpulan kegiatan para tenaga kesehatan yang ditulis, digambarkan atas aktivitas mereka dalam rangka pengobatan dan perkembangan aktifitas kesehatan bagian pasien. Rekam medis juga mempunyai aspek hukum, kedisiplinan dan etik petugas kesehatan, kerahasiaan, keuangan, mutu serta manajemen rumah sakit dan audit medis.126 Dalam melaksanakan penelitian dilapangan peneliti melihat adanya perbedaan persepsi tentang rekam medik yang dipahami dan

dilaksanakan oleh tenaga kesehatan dirumah sakit. Kondisi ini terjawab setelah peneliti melaksanakan validasi data melalui triangulasi metode yaitu dengan melaksanakan observasi dan penelusuran status pasien dibagian medical record dan perawatan. Data yang diperoleh kemudian didokumentasikan melalui kamera. Kelengkapan data rekam medik juga ditentukan oleh form yang disediakan oleh sarana layanan kesehatan. Pasien rawat inap yang baru biasanya diterima dan diperiksa dibagian Instalasi Gawat Darurat untuk selanjutnya dibuat status rekam Mediknya oleh tenaga kesehatan (dokter, perawat) kemudian pasien dipindahkan keperawatan (rawat inap).

125

Syahrul Machmud, Op,Cit, hal 212 Ibid hal.215

126

128

Tabel 7 Jawaban dan data informan dalam melaksanakan rekam medik No Indikator frekuensi 1 Ya 34 2 Belum 26 3 pendapat lain 0 Jumlah 60 Sumber : data primer 2013 Persentasi 57% 43% 0% 100%

(1) Ya, pertanyaan yang diberikan kepada informan adalah apakah dalam melaksanakan tindakan kedokteran dan tindakan keperawatan tenaga kesehatan senantiasa membuat rekam medik? jawaban yang

diberikan informan adalah ya, saya selalu membuat rekam medik peneliti lanjut bertanya; apakah isi dari rekam medik tersebut sudah mewakili ketentuan rekam medik? dijawab oleh informan ya sambil mengambil beberapa status pasien yang berada diatas meja petugas dan memperlihatkan kepada peneliti. Peneliti kemudian melihat dan memeriksa isi dari rekam medik tersebut yang terlihat adalah pengisian status pasien yang cukup lengkap pada saat pasien pertama kali datang di Instalasi Gawat Darurat atau lembar (status pasien di poliklinik) dilembar catatan berikutnya isi rekam medik tersebut tidak lagi mencatat kondisi pemeriksaan fisik pasien, yang tertulis adalah ku baik, terapi lanjut dan paraf dokter, peneliti kemudian mempertanyakan isi dari rekam medik tersebut, kemudian dijawab oleh informan data tentang Pemeriksaan umum pasien ada di catatan lembar perawat. Apakah rekam medik diberikan kepada pasien? Jika diminta akan diberikan resumenya peneliti lanjut bertanya jika tidak

129

diminta apakah tidak diberikan? Dijawab oleh informan ya, apakah ada fasilitas yang diberikan? Tidak ada tapi kalau ada hasil pemeriksaan USG, rongten atau yang lainnya itu diberikan kepada pasien. Peneliti kemudian bertanya kepada informan yang lain dengan pertanyaan yang sama dan dijawab oleh informan ya, kami selalu membuat rekam medik dengan semaksimal mungkin untuk

keselamatan petugas maupun rumah sakit, hanya saja perlu ditingkatkan dan dijaga konsistensinya maka kemudian peneliti melakukan triangulasi data dengan meluruskan validitas data tersebut kebagian medical record. Dari data yang diperoleh ternyata data tersebut bersifat valid (terbukti kebenarannya). Jawaban informan yang dimasukkan oleh peneliti dalam kelompok ini sebanyak 34 ( 57 %). (2) Belum, jawaban informan terhadap pertanyaan yang diberikan oleh peneliti apakah dalam melaksanankan tindakan kedokteran dan tindakan keperawatan tenaga kesehatan senantiasa membuat rekam medik?, kemudian dijawab oleh informan ya. Peneliti lanjut bertanya apakah rekam medik yang dilaksanakan sudah sesuai dengan standar yang diberlakukan dijawab oleh informan belum sepenuhnya karena banyak tenaga kesehatan yang baru masuk, pastilah belum dapat melaksanakan rekam medik secara maksimal dan kurangnya kesadaran dari petugas kesehatan tersebut peneliti kemudian

130

bertanya

lanjut

mengapa

tenaga

kesehatan

belum

dapat

melaksanakan rekam medik dengan baik, apakah ada kendala yang dihadapi tenaga kesehatan? Beberapa versi jawaban yang diperoleh peneliti anatara lain (1) sudah terbiasa menulis apa adanya (2) sering terburu-buru (3) kurang memahami tentang aturan rekam medik (3) tidak menganggap sebagai suatu masalah yang penting (hanya sebagai rutinitas). Setelah peneliti mencoba mengklarifikasi isi rekam medis tersebut ternyata belum semua isi dari rekam medis tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku yaitu sekurang-kurangnya menyangkut identitas pasien, keluhan subjektif, pemeriksaan fisik,

penanganan/pengobatan nama dan paraf tenaga kesehatan. Rekam medis idealnya ditulis dengan tulisan yang mudah dimengerti/dibaca. Ada juga informan yang awalnya mengakui bahwa sudah melaksanakan rekam medis dengan baik dan lengkap, namun setelah peneliti menguji data tersebut dengan melakukan triangulasi data, ternyata jawaban tenaga kesehatan tersebut tidak sesuai dengan data yang diperoleh peneliti, sehingga jawaban informan dimasukkan dalam kelompok belum melaksanakan rekam medik dengan baik. Dari seluruh data yang diperoleh peneliti terdapat 26 informan (43 %) yang masuk dalam kelompok belum melaksanakan rekam medik sesuai dengan peraturan yang ditetapkan. Contoh rekam medik yang belum sempurna dapat dilihat pada lampiran.

131

Pengaturan

tentang

rekam

medis

terdapat

pada

peraturan

pemerintah No. 269/Menkes/PER/III/2008 dan wajib membuat rekam medis, terdapat pada pasal 46 dan 47 UUPK secara garis besar mewajibkan tenaga medis untuk membuat catatan pasien dalam melaksanakan pemeriksaan, tindakan, pengobatan, perkembangan

penyakit dan keluhan pasien yang dituliskan secara jelas dan tenaga medis wajib membubuhkan nama, waktu dan paraf dalam setiap kegiatan yang dilaksanakan terhadap pasien. Dalam peraturan tersebut dijelaskan bahwa kewajiban melaksanakan rekam medis tidak hanya untuk pasien rawat inap saja tetapi juga bagi pasien rawat jalan.

Kegunaan rekam medis menurut Edna K. Huffman, adalah sebagai berikut :127

1. Sebagai alat komunikasi antara dokter dan ahli-ahli kesehatan lainnya dalam merawat pasien. 2. Merupakan dasar perencanaan perawatan pasien 3. Sebagai alat bukti dari setiap masa perawatan atau berobat jalan 4. Sebagai dasar analisa, studi, evaluasi terhadap mutu pelayanan yang diberikan kepada pasien 5. Membantu melindungi interest hukum dari pasien, tenaga kesehatan dan rumah sakit.

127

Amri Amir, Bungai Rampai Hukum Kesehatan, Widya Medika. jakarta

132

Soerjono Soekanto menyatakan betapa pentingnya fungsi rekam medis ini bagi tenaga kesehatan dari aspek hukum, sebagaimana dikatakannya sebagai berikut didalam proses hukum, tidak adanya rekam kesehatan akan menyudutkan atau merugikan tenaga kesehatan dan rumah sakit. Hal ini disebakan karena apabila tidak ada catatan didalam rekam kesehatan, maka dianggap bahwa tidak ada bukti dilakukannya suatu pelayanan kesehatan tersebut.128

Fakta yang diperoleh oleh peneliti pada saat melakukan penelitian terlihat bahwa rekam medik belum terlaksana seperti yang diamanatkan oleh undang-undang karena masih ada tenaga kesehatan ( 43%) belum melaksanakan rekam medik dengan baik seperti terlihat dalam beberapa dokumen yang diambil melalui kamera foto (lihat tabel dan lampiran).

Masih melekatnya budaya lama dalam melaksanakan rekam medik dikalangan tenaga kesehatan merupakan tantangan bagi manajemen rumah sakit dan aparat terkait untuk menertibkan pelaksanaan rekam medik yang baik sehingga perilindungan preventif dari kewajiban melaksanakan rekam medik dapat terwujud.

c. Persetujuan Tindakan Kedokteran (Informed Consent) Sebelum melakukan tindakan medik seorang tenaga kesehatan berkewajiban memberikan penjelasan terhadap pasien dan atau

128

Syahrul Machmud, Op, Cit Hal. 214

133

keluarganya tentang diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis yang dilakukan, alternatif tindakan lain dan resikonya, resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan 129 Sebagai bukti tertulis pasien dan/atau keluarga pasien harus membaca dan menandatangani lembaran persetujuan tindakan

kedokteran yang telah disiapkan oleh manajemen rumah sakit. Dalam bukti tertulis tersebut harus dipahami dengan baik oleh pasien dan/atau keluarga pasien setelah itu ditandatangani oleh tenaga medis (tenaga kesehatan) yang akan melakukan tindakan tersebut, kemudian dikuatkan dengan tanda tangan pearwat/bidan (tenaga kesehatan) sebagai saksi dari proses persetujuan tersebut. Peneliti melaksanakan serangkaian kegiatan untuk melihat

bagaimana tenaga kesehatan dalam melaksanakan persetujuan tindakan kedokteran (informed consent) yaitu melaksanakan wawancara kepada tenaga medis, komite medik dan manajemen rumah sakit serta melaksanakan triangulasi data melalui observasi rekam medik. Dari hasil penelitian tersebut peneliti mengklasifikasikan data yang diperoleh dari informan kedalam 3 kelompok yaitu (1) ya (2) belum (3) pendapat lain.

129

Amir ilyas dan Yuyun Widianingsih, Op, Cit, hal. 39

134

Tabel 8 Gambaran jawaban dari data informan dalam melaksanakan persetujuan tindakan kedokteran No Indikator Frekuensi 1 Ya 38 2 Belum 18 3 pendapat lain 4 Jumlah 60 Sumber : data primer 2013 Persentasi 63% 30% 7% 100%

(1) Ya. Pertanyaan yang diberikan kepada informan adalah apakah sebelum melakukan tenaga tindakan dalam praktek senantiasa kedokteran dan

keperawatan,

kesehatan

melaksanakan

persetujuan tindakan kedokteran? Jawaban yang diberikan informan adalah ya, sebelum melaksanakan suatu tindakan dalam praktek kedokteran terlebih dahulu saya melaksanakan informed consent, peneliti lanjut bertanya hal apa yang dijelaskan dokter (tenaga kesehatan) terhadap pasiennya sebelum melaksanakan tindakan tersebut? Kemudian dijawab oleh informan saya memberikan penjelasan antara lain: tentang penyakit yang diderita (diagnosa berdasarkan hasil pemeriksaan), dilaksanakan, gambaran tindakan yang akan yang dapat terjadi

kemungkinan-kemungkinan

sehubungan dengan tindakan tersebut, perkiraan pembiayaannya, dan sebagainya. Peneliti lanjut bertanya apakah pasien dan/atau keluarga pasien langsung menandatangani lembaran persetujuan tersebut setelah mendapat penjelasan? Dijawab oleh informan, pada umumnya langsung ditanda tangani oleh pasien peneliti bertanya

135

kembali apakah selama ini tidak ada hambatan dalam proses tersebut? Jawaban informan kadang ada, mengingat budaya dan karakter masyarakat di mamuju yang masih kental dan dipengaruhi latar belakang pendidikan pasien yang kurang agak sulit untuk memberikan pemahaman dengan cepat, tetapi dalam hal itu biasanya kami dibantu oleh perawat/bidan. Data yang diperoleh dari informan lain tentang pelaksanaan sebelum melaksanakan suatu

persetujuan tindakan kedokteran

tindakan yaitu : prosedur pelaksanaan informed consent sebelum melakukan tindakan adalah mutlak dilaksanakan oleh tenaga kesehatan hanya saja perlu ditingkatkan dan dijaga konsistensinya. Peneliti lanjut bertanya apakah ada kendala yang dihadapi oleh dokter dalam melaksanakan proses tersebut? Dijawab oleh informan :

biasanya kami mengalami kendala jika pasien masuk kerumah sakit dalam kondisi yang tidak sadar dan tidak ditemani oleh keluarga misalnya pasien dengan kecelakaan lalu lintas, terkadang pasien hanya diantar oleh angkutan umum lalu ditinggal begitu saja atau org yang mengantar tersebut tidak mengenal pasien, sementara kondisi pasien memerlukan berbagai tindakan atau pengobatan dengan segera. Peneliti beralih ke informan yang lain dengan pertanyaan yang sama yang diperoleh adalah: ya kami melaksanakan prosedur tersebut sebelum melaksanakan tindakan operasi, peneliti lanjut bertanya apa

136

saja yang di informasikan kepada pasien dijawab langsung oleh informan : segala prosedur yang akan kami laksanakan resik o-resiko yang mungkin ada akibat tindakan operasi tersebut, namun kita harus berhati;hati dalam menyampaikan hal tersebut agar pasien tidak takut. Peneliti lanjut bertanya : apakah selama ini dokter pernah mengalami kendala tersebut? Dokter menjawab ya, bahkan pasien urung untuk melakukan tindakan operasi karena ketakutan. Apakah prosedur tersebut dilaksanakan sendiri dan tidak dilimpahkan kepada tenaga para medis? Dijawab oleh informan tidak untuk tindakan yang bersifat khusus kecuali untuk tindakan yang sifatnya umum seperti pemasangan infus, menyuntik pasien dan pemasangan sonde serta tindakan yang kurang beresiko apalagi jika pasien tidak tahu bahasa Indonesia hal itu bisa dijelaskan oleh tenaga paramedik. Data kemudian dikumpulkan dan diperoleh data bahwa sebanyak 38 informan atau 63 % yang telah melaksanakan prosedur persetujuan tindakan kedokteran dengan baik. (2) Belum. Pertanyaan serupa kami ajukan kepada informan lain (manajemen rumah sakit), tenaga kesehatan selalu memberikan informasi tentang kondisi pasien dan tindakan apa yang akan dilakukan tetapi dalam lembar persetujuan tenaga kesehatan tidak diisi secara lengkap, seperti tidak diisinya nama dokter atau perawat/bidan yang menjadi saksi belum menandatangani lembar persetujan padahal status pasien tersebut sudah selesai dilaksanakan

137

tindakan, peneliti lanjut bertanya kenapa hal itu terjadi dijawab oleh informan karena belum semua tenaga kesehatan menyadari pentingnya informed consent, setelah peneliti menguji validitas data tersebut ternyata hal itu benar, contoh lembar persetujuan tindakan kedokteran yang tidak dilengkapi ada pada lampiran. Data yang diperoleh peneliti yang masuk dalam kategori ini adalah sebanyak 18 informan atau 30 %. (3) Pendapat lain, peneliti kemudian melanjutkan kepada informan yang lain dengan pertanyaan yang sama, dan dijawab oleh informan: ya tenaga kesehatan sudah menjalankan sesuai dengan fomat yang disediakan rumah sakit tetapi format tersebut tidak lengkap karena tidak ada berita acaranya yaitu tentang kondisi pasien, tindakan yang dilakukan, kemungkinan dan komplikasi yang dapat muncul pada saat tindakan maupun setelah tindakan tersebut dilaksanakan. Dan hal tersebut sudah disampaikan kepihak manajemen rumah sakit (bagian Rekam Medik) melalui komite medik tetapi belum ada tindak lanjutnya. Data yang diperoleh peneliti yang masuk dalam kategori ini adalah sebanyak 4 informan atau 7%.

Peraturan Menteri Kesehatan yang mengatur tentang persetujuan tindakan kedokteran terdapat yang pada permenkes permenkes No.

No.290/Menkes/PER/III/2008

menggantikan

585/Menkes/PER/IX/1989. Kewajiban tenaga medis untuk melaksanakan

138

persetujuan tindakan kedokteran ini yang merupakan hak pasien tidak dikuatkan dengan pemberian sanksi jika tidak melaksanakan.130

Upaya pembinaan dan pengawasan dilaksanakan oleh Kepala Dinas Propinsi dan Kabupaten/Kota juga melibatkan organisasi.

Penerapan sanksi diberikan secara administrative berupa teguran lisan, teguran tertulis sampai pencabutan izin Praktek.

Pengaturan tentang persetujuan tindakan kedokteran (informed consent) terdapat pada pasal 39, 45 dari UU nomor 29 tahun 2004 tentang praktek kedokteran yang menyatakan bahwa, praktek kedokteran diselenggarakan berdasarkan pada kesepatan antara dokter dengan pasien dalam upaya untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan. Segala tindakan medik yang akan dilakukan dokter (tenaga kesehatan) harus mendapat persetujuan pasien.131

Persetujuan ini dapat diberikan dalam bentuk tertulis maupun lisan (expression consent) dan untuk tindakan medis yang mengandung resiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis, yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan. Namun dalam keadaan gawat darurat atau emergency atau pada tindakan yang biasa dilakukan atau sudah diketahui umum persetujuan ini tidak diperlukan (implied consent).
130

permenkes No.290/Menkes/PER/III/2008 Amir ilyas dan Yuyun Widianingsih, op, cit,hal. 86

131

139

Terdapat beberapa kendala yang ditemukan oleh tenaga medis sehubungan dengan pelaksanaan persetujuan tindakan kedokteran adalah kendala komunikasi dan penerimaan informasi, sering melibatkan banyak orang dan kesibukan serta rutinitas pekerjaan dokter banyak menyita waktu untuk memberikan seluruh informasi.

Fakta

yang

diperoleh

peneliti

terlihat

bahwa

pelaksanaan

persetujuan tindakan kedokteran belum terlaksana dengan baik, baik teknik maupun sistem. Terkadang yang menjalankan fungsi ini adalah tenaga para medis (perawat/bidan), seperti yang dijelaskan oleh Permenkes bahwa penjelesan pemberian tindakan kedokteran jika dokter yang merawat berhalangan dapat didelegasikan kepada dokter atau dokter gigi lain yang kompoten.

Tenaga

kesehatan

tertentu

dapat

membantu

memberikan

penjelasan sesuai dengan kewenangannya, dimana tenaga kesehatan tersebut juga ikut memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien. Adanya kecenderungan form pengisian kurang mendapat perhatian dari tenaga medis (tenaga kesehatan) dan manajemen rumah sakit. Yang terlihat terdapatnya berkas yang tidak ditanda tangani oleh tenaga medis walaupun tindakan sudah selesai dilaksanakan, bahkan pasien sudah pulang.

Masalah budaya dikalangan tenaga kesehatan yang masih terpaku pada paradigma lama dalam praktik kedokteran yang sudah tidak aktual

140

lagi untuk saat sekarang ini dapat memberikan implikasi kerentanan tenaga kesehatan dalam menciptakan upaya perlindungan hukum dalam menjalankan tindakan dirumah sakit. Hasil penelitian dilapangan terlihat pada tabel 8.

Dibutuhkan keterlibatan manajemen rumah sakit untuk melakukan evaluasi terhadap praktek beresiko yang dilaksanakan oleh tenaga kesehatan sehubungan dengan kelalaian dalam melaksanakan prosedur persetujuan tindakan kedokteran yang juga terkait dengan rekam medik.

Pelanggaran terhadap kebijakan atau ketentuan hukum adminstrasi dapat berkibat sanksi hukum adminstrasi, Sebagaimana telah diatur

dalam Pasal 29 UU No.44 Tahun 2009 Apabila rumah sakit melakukan pelanggaran atas kewajibannya sebagai pengelola maka dapat dikenakan sanksi administratif berupa teguran, teguran tertulis, dan denda serta pencabutan izin rumah sakit.132

2. Faktor eksternal Perlindungan hukum adalah Segala sesuatu yang mengatur dan menentukan hak dan kewajiban masing-masing pihak yang melakukan hubungan hukum, sehingga kepentingannya terlindungi, adapun

gambaran faktor eksternal pasien

pengetahuan hak dan kewajiban sebagai

132

UU No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit

141

Tabel 9 Gambaran Pengetahuan informan tentang hak dan kewajiban pasien No 1 2 3 Indikator Frekuensi Ya 9 tidak tahu 11 pendapat lain 0 Jumlah 20 Sumber : data primer 2013 Persentasi 45% 55% 0% 100%

Dari data yang diperoleh lebih banyak pasien yang tidak mengetahui hak dan kewajibannya dengan jumlah 11 informan (55 %) dan yang mengetahui 9 informan (45 %). a. Hak Pasien Hak adalah tuntutan seseorang terhadap sesuatu yang merupakan kebutuhan pribadinya sesuai dengan keadilan, moralitas dan legalitas. Hak pasien yang paling menonjol dalam hubungannya dengan pelayanan kesehatan, yaitu (1) Rekam Medik, (2) Persetujuan tindakan kedokteran, (3) Rahasia medis. Setiap upaya pelayanan medis yaitu pengobatan, penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan yang diberikan oleh rumah sakit terhadap pasien adalah wujud pelaksanaan dari kewajiban rumah sakit memenuhi hak-hak pasien.

Dalam pelayanan kesehatan di rumah sakit, tidak semua layanan yang diberikan oleh tenaga kesehatan dirumah sakit dapat memberikan hasil sebagaimana yang diharapkan oleh semua pihak. Adakalanya layanan tersebut terjadi kelalaian tenaga kesehatan yang menimbulkan

142

malapetaka seperti misalnya cacat, lumpuh atau bahkan meninggal dunia. Kalau hal tersebut terjadi, maka pasien atau pihak keluarganya sering menuntut ganti rugi.133

Permintaan ganti rugi ini karena adanya akibat yang timbul, baik fisik maupun non fisik. Kerugian fisik (materil) misalnya dengan tidak berfungsinya atau hilangnya seluruh atau sebagian anggota

tubuh.kerugian non fisik (im materil) adalah kerugian yang berkaitan dengan martabat seseorang. Peluang untut menuntut ganti rugi sekarang ini telah ada ketentuannya yaitu berdasarkan pasal 46 UU Nomor 44 Tahun` 2009 Tentang Rumah Sakit. Tabel 10 Data jawaban informan tentang menggugat /menuntut rumah sakit termasuk tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan baik perawatan saat ini maupun perawatan yang pernah dirawat No 1 2 3 Indikator Frekuensi 7 9 4 20 Persentasi 35% 45% 20% 100%

Ya Tidak pendapat lain Jumlah Sumber : data primer 2013

133

Setya Wahyudi, Tanggung Jawab Rumah Sakit Terhadap Kerugian Akibat Kelalaian Tenaga

Kesehatan dan Implikasinya, FH. Univ. jenderal soedirman dalam Jurnal dinamika hukum Vol.11 no.3 september 2011

143

Data

yang

diperoleh

kemudian

dikelompokkan

kedalam

kelompok, (1) ya (2) tidak (3) pendapat lain. (1) Ya dengan penejelasan, (a) kami akan menuntut rumah sakit jika petugas kesehatan tidak melaksanakan tugasnya dengan baik sehingga keluarga kami bertambah parah sakitnya atau sampai meninggal, (b) tentu saja kami akan menuntunya karena kami sudah mengeluarkan biaya banyak supaya bisa mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik dan itu sudah menjadi tugasnya. (2) Tidak, dengan penjelasan (a) kami tidak akan menuntut karena menurut kami petugas sudah menjalankan tugasnya dengan baik dan lagi kami kurang mengerti tentang kesehatan dan peraturan perundang-undangan. (b) kami tidak menuntut karena kami tidak tahu caranya. (3) Pendapat lain, (a) sebelum melakukan tuntutan kami akan

menanyakan terlebih dahulu kepada pihak rumah sakit jika pihak rumah sakit dapat menyelesaikannya dengan baik kami tidak akan menuntutnya karena kami juga kurang paham tentang hukum. (b) kami tidak tahu apakah dokter atau perawat sudah melakukan kesalahan yang kami tahu petugas dirumah sakit bertugas untuk merawat dan mengobati pasien kalau terjadi hal yang buruk seperti keluarga kami meninggal mungkin itu sudah kehendak tuhan dan kami juga tidak mengerti tentang hukum.

144

Undang-undang No. 36 Tahun 2009 Tentang kesehatan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan masalah kelalaian tenaga kesehatan Dalam pasal 29 dan Pasal 58 ayat (1) , menegaskan setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.
134

Dalam

UU Nomor 44 Tahun 2009 juga disebutkan salah satu hak pasien adalah menggugat dan/atau menuntut rumah sakit apabila rumah sakit diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata ataupun pidana.135 Berdasarkan UU Nomor 44 Tahun 2009 , penuntutan kerugian hanya kepada pihak rumah sakit, yang diakibatkan secara khusus karena kelalaian tenaga kesehatan. Dengan demikian dapat ditafsirkan, bahwa kerugian yang diakibatkan oleh kesengajaan tenaga kesehatan dirumah sakit, maka tidak dapat dilakukan penuntutan yang ditujukan kepada rumah sakit. Pihak rumah sakit tidak akan bertanggung jawab jika kerugian tersebut karena kesalahan dalam arti kesengajaan tenaga kesehatan di rumah sakit.136

134

Undang-undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Undang-undang No.44 Tahun2009 Tentang Rumah sakit Setya Wahyudi, Op, Cit, hal 3

135

136

145

Pihak rumah sakit dapat digugat sebagai akibat dari adanya perbuatan tenaga kesehatan yang merugikan jika dipenuhi beberapa syarat :137 1. Adanya pemberian gaji atau honor tetap yang dibayar secara periodik kepada dokter atau tenaga kesehatan yang

bersangkutan. 2. Majikan atau dokter mempunyai wewenang untuk memberikan instruksi yang harus ditaati oleh bawahannya. 3. Adanya wewenang untuk mengadakan pengawasan. 4. Ada kesalahan atau kelalaian yang diperbuat oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya, dimana kesalahan atau kelalaian tersebut menimbulkan kerugian bagi pasien. 5. Tindakan tenaga kesehatan yang dilakukan dalam kompetensinya dan dibawah pengawasan rumah sakit, maka rumah sakit akan bertanggung jawab atas tindakan tenaga kesehatan tersebut. Tetapi jika tindakan itu diluar kompetensi dan tidak dibawah pengawasan rumah sakit, maka pihak rumah sakit dapat mengelak untuk bertanggung jawab. Namun demikian akan sulit bagi pasien dan keluarganya untuk mengajukan gugatan, karena harus diketahui dulu bagian mana yang termasuk dalam perjanjian terapeutik dokter dan bagian mana yang termasuk kedalam kontrak dengan rumah sakit. Keterbatasan pasien dan
137

Bahder Johan Nasution, Op, cit, Hal. 16

146

keluarga karena kekurang pahaman tentang diagnosa dan terapi yang telah dilakukan dokter atau tenaga kesehatan pada dirinya, akan sangat menyulitkan untuk pasien dan keluarganya dalam melakukan

gugatannya.138 Dari hasil penelitian pada tabel 10 lebih banyak pasien tidak menuntut/menggugat rumah sakit disebabkan karena kurangnya

pengetahuan pasien tentang kesehatan dan hukum selain itu masih banyak pasien yang tidak mengetahui haknya (lihat tabel 9).

Pertanggungjawaban

rumah sakit pada semua kejadian yang

timbul dalam rumah sakit sesungguhnya dianut dengan pertimbangan bahwa lebih menjamin kepastian hukum terutama jika tuntutan hukum dari pasien dan atau keluarganya atas pelayanan selama menjalani

pengobatan dan perawatan yang berhubungan dengan subjek gugatan. Sehingga kesulitan pasien dan atau keluarganya dalam menentukan tergugat apakah menggugat dokter atau rumah sakit dapat teratasi. Kedua, adanya hak regres dari rumah sakit yaitu hak untuk menuntut kembali pihak-pihak yang dianggap bersalah atas timbulnya kejadian yang mendatangkan kerugian pada pasien atau keluarganya. 139

138

Syahrul Machmud, op, Cit, Hal. 127 Indar, Op,Cit, hal 204

139

147

b. Kewajiban Pasien Kewajiban adalah seperangkat tanggung jawab seseorang untuk melakukan sesuatu yang memang harus dilakukan, agar dapat

dipertanggungjawabkan sesuai dengan haknya.140 kewajiban pasien untuk memberikan informasi medis yang dibutuhkan, mengikuti nasehat dan petunjuk tenaga kesehatan yang merawatnya, mengikuti peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh rumah sakit dan juga termasuk memberi imbalan jasa terhadap pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit dan tenaga kesehatan adalah rangkaian untuk memenuhi hak-hak rumah sakit.141

Dokter atau tenaga kesehatan tidak dapat disalahkan bila pasien tidak bersikap jujur dan mau menceritakan seluruh penyakit dan apa yang dirasakannya, hal itu diatur dalam Undang-undang nomor 44 tahun 2009 dan Pasal 53 Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran yang mengatakan pasien, dalam menerima pelayanan pada praktek kedokteran mempunyai kewajiban : memberi informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya; mematuhi nasehat dan petunjuk dokter atau dokter gigi; mematuhi ketentuan yang berlaku di

140

Hendrik , Op, Cit, Hal.33 Syacrul Mahmud, Op, Cit, hal. 167

141

148

sarana pelayanan kesehatan; dan memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.142

Keterangan

yang

tidak

jelas

atau

menyesatkan

(seperti

menyembunyikan penyakit yang pernah diterima sebelumnya, tidak memberitahukan obat-obat yang pernah diminumnya selama ia sakit) dapat dianggap sebagai kesalahan pasien yang dikenal dengan istilah contributory negligence (doktrin pasien turut bersalah). Oleh sebab itu pasien wajib memenuhi standar seorang pasien yang wajar.143 Contributory negligence dianggap terjadi apabila :144

a. Pasien tidak menaati instruksi (nasihat dan petunjuk) tenaga kesehatan b. Pasien menolak cara pengobatan yang diusulkan c. Pasien tidak sejujurnya memberikan informasi atau memberikan informasi yang tidak akurat atau menyesatkan.

Fakta dilapangan ditemukan masih banyak pasien yang belum mengetahui kewajibannya secara jelas (lihat tabel 9) sehingga ketika Tenaga kesehatan telah berupaya melakukan sebagaimana mestinya dan musibah/kerugian tetap menimpa pasien, maka hal ini tidak termasuk

142

Undang-undang Praktek Kedokteran No.29 Tahun 2004 Hendrick, Op, Cit, Hal. 44 Ibid, hal 45

143

144

149

dalam kelalaian tenaga kesehatan. Apalagi pada waktu perawatan pasien tidak mau melakukan kewajibannya dan hal itu sampai merupakan penyebab dari cederanya, pasien dianggap contributory negligence. Dalam hal ini, seorang tenaga kesehatan tidak dapat dimintai

pertanggungjawaban atau ganti rugi karena melakukan malpraktik. Jadi menurut peneliti Pasien akan melakukan gugatan kepada rumah sakit, jika pasien mengetahui dan merasa dirugikan oleh tindakan tenaga kesehatan di rumah sakit tersebut. Adalah tidak mudah bagi pasien untuk menyatakan bahwa kerugian itu sebagai akibat tindakan tenaga kesehatan. Bisa saja musibah yang menimpa pasien terjadi diluar dugaan tenaga kesehatan. Apalagi pada waktu perawatan pasien tidak mau melakukan kewajibannya dan hal itu sampai merupakan penyebab dari cederanya. Dengan melihat hak dan kewajiban pasien diatas, dapat kita simpulkan bahwa hak-hak pasien dalam kontrak terapeutik merupakan kewajiban tenaga kesehatan, sedangkan hak tenaga kesehatan

merupakan kewajiban pasien tersebut. Namun tidak berarti hak dan kewajiban tenaga kesehatan terbatas pada hak dan kewajiban pasien tersebut. Pelaksanaan hak dan kewajiban antara rumah sakit dan pasien atau sebaliknya merupakan sebuah tanggung jawab yang lahir dari hubungan hukum diantara keduanya. Hubungan hukum tersebut berupa perikatan atau perjanjian dalam upaya pelayanan medis (perjanjian

150

terapeutik) yang disepakati oleh rumah sakit sebagai pemberi pelayanan kesehatan dan pasien sebagai penerima pelayanan kesehatan. Untuk memehuhi persyaratan hubungan hukum, maka masing-masing pihak bertindak sebagai subjek hukum yaitu pihak yang mampu memenuhi kewajibannya yang menjadi hak pihak lain dan sebaliknya. Yang menerima hak-haknya yang ,menjadi kewajiban pihak lain untuk memenuhinya. 145

145

Ibid hal. 168

151

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Berdasarkan UU no. 44 Tahun 2009 Rumah Sakit bertanggung jawab

secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di rumah sakit namun demikian kemandirian tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya di rumah sakit perlu dikendalikan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
2. Komite Medik Dirumah sakit Kab. Mamuju dan Prov. Sulbar

Belum

melaksanakan

fungsinya

secara

Maksimal

sehingga

pelayanan

kesehatan belum terselenggara dengan baik sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga belum ada pelaksanaan dari Undang-Undang tersebut yang mengakibatkan tenaga kesehatan dan pasien belum mendapatkan jaminan Perlindungan Hukum di rumah sakit .
3. keberadaan standar profesi, standar pelayanan medik dan SOP di

rumah sakit Kab. Mamuju dan Rumah sakit Prov. Sulbar lebih bersifat formalitas terutama untuk kepentingan akreditasi rumah sakit, bahkan beberapa tenaga Kesehatan kurang memahami tentang pengertian standar profesi dan SOP.
4. Berdasarkan UU Nomor 44 Tahun 2009 disebutkan salah satu hak

pasien adalah menggugat dan/atau menuntut rumah sakit apabila

152

rumah sakit diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata ataupun pidana. Di rumah sakit Kab. pasien tidak

Mamuju dan Rumah sakit Prov. Mamuju Banyak

menuntut/menggugat rumah sakit disebabkan karena kurangnya pengetahuan pasien tentang kesehatan dan hukum selain itu masih banyak pasien yang tidak mengetahui hak dan kewajibannya secara jelas.

B. Saran

1. Pihak Rumah sakit harus memperbaiki komunikasi dan koordinasi dengan Komite Medik dalam melakukan tugasnya dengan membuat dan mengsosialisasikan Peraturan bylaws). 2. Pihak Rumah Sakit disarankan untuk menyusun SOP dan standar profesi serta menerapkan peraturan tersebut sesuai dengan peraturan yang berlaku dan disesuaikan kondisi rumah sakit. 3. Pihak Rumah Sakit agar memperbaiki pengelolaan rekam medik dan pelaksanaan Persetujuan tindakan Kedokteran sesuai dengan internal rumah sakit (hospital

peraturan yang berlaku. 4. Pihak Rumah Sakit agar memperhatikan hak dan kewajiban pasien untuk menghindari tuntutan ganti rugi dari pasien

153

DAFTAR PUSTAKA Amir Ilyas & Yuyun Widaningsih, 2010, Hukum Korporasi Rumah Sakit,Rangkang Education, Yogyakarta.

Amri Amir, 1997,Bungai Rampai Hukum Kesehatan, Widya Medika. jakarta

Anny Isfandyarie,2006, Tanggung Jawab Hukum & Sanksi Bagi dokter Buku I,Prestasi Pustaka, Jakarta.

Bahder Johan Nasution,2005, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, rineka cipta, Jakarta.

Cecep Triwibowo,2012, Perizinan dan Akreditasi Rumah Sakit sebuah kajian Hukum, Nuha Medika Yogyakarta.

Endang kusuma Astuti, 2009, Transaksi terapeutik Dalam Upaya Pelayanan Medis di Rumah Sakit, Citra Aditya Bakti, Bandung

Hendrik,2012, Etika & Hukum Kesehatan, EGC, Jakarta.

Hermien Hadiati Koeswadji,2002, Hukum untuk Perumahsakitan, Citra Aditya Bakti, bandung.

Indar, 2010, Etika dan Hukum Kesehatan, Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin, Makassar

Indra Bastian suryono, 2011, Penyelesaian Sengketa Kesehatan, salemba medika, Jakarta,

154

Janus Sidabalok, 2010, Hukum Perlindungan Indonesia,Citra Aditya Bakti, Bandung

Konsumen

di

Mudzakir Iskandarsyah, 2010, Tuntutan Pidana dan Perdata Malpraktik, Permata Aksara, Jakarta

Mukti fajar & Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka pelajar, Yogyakarta.

146

Pitono Soeparto,..(dkk),2006 Etik dan Hukum di Bidang Kesehatan edisi Kedua, airlangga, surabaya

Ridwan HR,2006, Hukum Persada,Jakarta

Administrasi

Negara,

Raja

Grafindo

Safitri Hariyani,2005, Alternatif Penyelesaian Perselisihan Antara Dokter dan pasien, Media Jakarta

Setya Wahyudi, Tanggung Jawab Rumah Sakit Terhadap Kerugian Akibat Kelalaian Tenaga Kesehatan dan Implikasinya, FH. Univ. jenderal soedirman dalam Jurnal dinamika hukum Vol.11 no.3 september 2011 Soekidjo Notoatmodjo,2010, Etika dan Hukum Kesehatan, Rineka Cipta Jakarta . Syahrul Mahmud, 2012, Penegakan Hukum dan Perlindungan Hukum Bagi dokter yang didugga melakukan Malpraktek, Karya Putra Darwati,

146

155

Tjandra Yoga Aditama,2007, Manajemen Administrasi Rumah Sakit, Universitas Indonesia (UIP), Jakarta.

Tesis, Agnes Anastasia, Perlindungan HUkum Terhadap Tenaga Medis Dalam Menjalankan Tugas Profesi, Unhas, 2009

Warta Bina Upaya Kesehatan, Tanggung jawab rumah sakit dalm memberikan perlindungan hukum bagi pasien dan tenaga kesehatan Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kemenkes RI, Edisi IV 2011 Yusuf Shofie,2009, Perlindungan Konsumen dan Istrumen-Instrumen Hukumnya,Citra Aditya Bakti, Bandung

Laporan penelitian Hukum Tentang Hubungan tenaga medik, rumah sakit dan pasien oleh Noor M Aziz, SH,MH,MM Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI 2010

Lampiran Peraturan Perundang-undangan: Undang- Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit Peraturan Pemerintah Nomor. 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan Permenkes RI. Nomor 269/Menkes/Per/III/2008 tentang Rekam Medis. Peraturan Menteri Kesehatan RI, Nomor 290/Menkes/Per/III/2008 tentang persetujuan tindakan kedokteran, Peraturan Menteri Kesehatan No. 755/Menkes/Per/Iv/2011 Tentang Penyelenggaraan Komite Medik Di Rumah Sakit

156

Dari Internet : www.analisadaily.com/.../tanggung_jawab_rumah_sakit_atas_kelal ai...22 Okt 2011 Oleh : Henny Saida Flora. www.tempo.co/.../Pasien-Operasi-Patah-Tulang-Diduga-KorbanMal...10 Okt 2011 Pasien Operasi Patah Tulang Diduga Korban Malpraktek. Besar Kecil Normal. TEMPO.CO, Jakarta www.digilib.ui.ac.id etd.ugm.ac.id

157

Anda mungkin juga menyukai