Anda di halaman 1dari 3

Patogenesis campak Penularan sangat efektif, dengan sedikit virus yang infeksius sudah dapat menimbulkan infeksi pada

seseorang. Penularan campak terjadi secara droplet melalui udara, sejak 1-2 hari sebelum timbul gejala klinis sampai 4 hari setelah timbul ruam. Di tempat awal infeksi, pengadaan virus sangat minimal dan jarang dapat ditemukan virusnya. Virus masuk ke dalam limfatik lokal, bebas maupun berhubungan dengan sel mononuklear, kemudian mencapai kelenjar getah bening regional. Disini virus memperbanyak diri dengan sangat perlahan dan dimulailah penyebaran ke sel jaringan limforetikular seperti limpa. Sel mononuklear yang terinfeksi menyebabkan terbentuknya sel raksasa berinti banyak (sel Warthin), sedangkan limfosit-T (termasuk T-supressor dan T-helper) yang rentan terhadapa infeksi, turut aktif membelah. Gambaran kejadian awal di jaringan limfoid masih belum diketahui secara lengkap, tetapi 5-6 hari setelah infeksi awal, terbentuklah fokus infeksi yaitu ketika virus masuk ke dalam pembuluh darah dan menyebar ke permukaan epitel orofaring, konjungtiva, saluran nafas, kulit, kandung kemih dan usus. Pada hari ke 9-10, fokus infeksi yang berada di epitel saluran nafas dan konjungtiva, akan menyebabkan timbulnya nekrosis pada satu sampai dua lapis sel. Pada saat itu virus dalam jumlah banyak masuk kembali ke pembuluh darah dan menimbulkan manifestasi klinis dari sistem saluran nafas diawali dengan keluhan batuk pilek disertai selaput konjungtiva yang tampak merah. Respon imun yang terjadi ialah proses peradangan epitel pada saluran sistem pernafasan diikuti dengan manifestasi klinis berupa demam tinggi, anak tampak sakit berat, dan tampak satu ulcera kecil pada mukosa pipi yang disebut bercak Koplik, yang dapt tanda pasti untuk menegakkan diagnosis. Selanjutnya daya tahan tubuh menurun. Sebagai akibat respons delayed hypersensitivity terhadap antigen virus, muncul ruam makulopapular pada hari ke-14 sesudah awal infeksi dan pada saat itu antibodi humoral dapat dideteksi pada kulit. Kejadian ini tidak tampak pada kasus yang mengalami defisit sel-T. Fokus infeksi tidak menyebar jauh ke pembuluh darah. Vesikel tampak secara mikroskopik di epidermis tetapi virus tidak berhasil tumbuh di kulit. Penelitian dengan imunofluoresens dan histologik menunjukan adanya antigen campak dan diduga terjadi suatu reaksi Arthus. Daerah epitel yang nekrotik di nasofaring dan saluran pernafasan memberikan kesemparan infeksi bakteri sekunder berupa bronkopneumonia, otitis media dan lain-lain. Dalam keadaan tertentu pneumonia juga dapat terjadi, selain itu campak dapat menyebabkan gizi kurang.

Patogenesis demam tifoid Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks mengikuti ingesti organisme, yaitu : (1) penempelan dan invasi sel-sel M Peyers Patch, (2) bakteri bertahan hidup dan bermultiplikasi di makrofag Peyers patch, nodus limfatikus mesenterikus, dan organ-organ ekstra intestinal sistem retikuloendotelial (3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah, dan (4) produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal.

Jalur masuknya bakteri ke dalam tubuh Bakteri Salmonella typhi bersama makanan / minuman masuk ke dalam tubuh melalui mulut. Pada saat melewati lambung dengan suasana asal (pH < 2) banyak bakteri yang mati. Keadaan-keadaan seperti aklorhidiria, gastrektomi, pengobatan dengan antagonis reseptor histamin H2, inhibitor pompa proton atau antasida dalam jumlah besar, akan mengurangi dosis infeksi. Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus. Di usus halus, bakteri melekat pada sel-sel mukosa dan kemudian menginvasi mukosa dan menembus dinding usus, tepatnya ileum dan yeyunum. Sel-sel M, sel epitel khusus yang melapisi Peyers patch, merupakan tempat internalisasi Salmonella typhi. Bakteri mencapai folikel limfe usus halus, mengikuti aliran ke kelemjar limfe mesenterika bakhan ada yang melewati sirkulasi sistemik sampak ke jaringan RES di organ hati dan limpa. Salmonella typhi mengalami multiplikasi di dalam sel fagosit mononuklear di dalam folikel limfe, kelenjar limfe mesenterika, hati dan limfe. Setelah melalui periode waktu tertentu (periode inkubasi), yang lamanya ditentukan oleh jumlah dan virulensi kuman serta respons imun pejamu makan Salmonella typhi akan ke luar dari habitatnya dan melalui duktus torasikus masuk ke dalam sirkulasi sistemik, dengan cara ini organisme dapai mencapai organ manapun, akan tetapi tempat yang disukai oleh Salmonella typhi adalah hati, limpa, sumsum tulang, kandung empedu dan Peyers patch dari ileum terminal. Invasi kantung empedu dapat terjadi baik secara langsung dari darah atau penyebaran retrograd dari empedu. Ekskresi organisme di empedu dapat meninvasi ulang dinding usus atau dikeluarkan melalui tinja.

Peran endotoksin Peran endotoksin dalam patogensis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin dari Salmonella typhi menstimulasi makrofag di dalam hati, limpa, folikel limfoma usus halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat-zat lain. Produk dari makrofag inilah yang dapat menimbulkan nekrosis sel, sistem vaskular yang tidak stabil, demam, depresi sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga mensti,ulasi sistem imunologik.

Respon imunologik Pada demam tifoid terjadi respon imun humoral maupum selular baik di tingkat lokal (gastrointestinal) maupun sistemik. Akan tetapi bagaimana mekanisme imunologik ini dalam menimbulkan kekebalan maupun eliminasi terhadap Salmonela typhi tidak diketahui dengan pasti. Diperkirakan bahwa imunitas selular lebih berperan. Penurunan jumlah limfosit T ditemukan pada pasien sakit berat dengan demam tifoid. Karier memperlihatkan gangguan reaktivitas seluler terhadap antigen Salmonella ser. typi pada uji hambatan migrasi lekosit. Pada karier, sejumlah besar basil virulen melewati usus tiap harinya dan dikeluarkan dalam tinja, tanpa memasuki epitel penjamu.

Anda mungkin juga menyukai