BAB I PENDAHULUAN
Perkembangan dunia kesehatan menyebabkan peningkatan angka harapan hidup penurunan angka mortalitas, terutama pada pasien dengan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan penuaan. Pada tahun 2040, 24% dari populasi dunia terdiri atas mereka yang berusia diatas 65 tahun. Kira-kira setengahnya akan membutuhkan operasi sebelum mereka meninggal dan perkiraan terdapat peningkatan risiko kematian hingga tiga kali lipat dibangdingkan pasien berusia muda. Di amerika serikat sekitar 50% dari populasi yang berusia diatas 65 tahun membutuhkan pembedahan. Dari data USA-Bureau of the Census, bahkan Indonesia akan mengalami pertambahan warga lansia terbesar didunia, antara tahun 1990-2025, yaitu 414% (Kinsella & Tauber, 1993). Perubahan pada berbagai system organ tubuh berkaitan dengan bertambahnya usia memerlukan perbedaan perlakuan terhadap pasien geriatric, termasuk dalam melakukan tindakan anesthesia. Adanya perbaikan dalam bidang anestesi dan teknik operasi telah menurunkan angka mortalitas tindakan pembedahan pada populasi umum tetapi kematian terkait dengan tindakan anestesi pada pasien yang berusia lanjut masih cukup tinggi. Hal ini berkaitan dengan proses penuaan yang meninbulkan perubahan sisstem organ yang mengakibatkan meningkatnya risiko anesthesia. Klasifikasi ASA pun meningkat seiring dengan meningkatnya usia. Pendekatan dan pengelolaan operasi dan anestesi pada pasien geriatri berbeda dan sering lebih kompleks dibandingkan pada pasien yang berusia lebih muda. Kapasitas fungsional organ berkurang seiring dengan proses penuaan, sehingga ketahanan terhadap stres menurun. Faktor risiko akibat proses penuaan bertambah akibat adanya penyakit penyerta.1,2,3 Faktor risiko tambahan pada usia lanjut ditunjukkan pada tabel 1. Tabel-1: Faktor risiko mortalitas pasca operasi pada pasien bedah usia usia lanjut 1 Status fisik ASA Prosedur Bedah Penyakit penyerta Status fungsional Status gizi buruk Tempat tinggal Status ambulatorik III atau IV Bedah mayor dan atau darurat Penyakit jantung, paru, diabetes mellitus, disfungsi hepar dan ginjal. MET 1 - 4 albumin <35%, anemia Sendiri atau dengan keluarga Terbatas di tempat tidur
Frekuensi kelainan fisiologis yang serius pada pasien usia lanjut relatif tinggi menuntut evaluasi pra operatif yang sangat hati-hati. Ahli anestesi harus memahami bahwa terdapat perbedaan yang luar biasa akibat proses penuaan, baik tubuh secara keseluruhan maupun dalam sistem tertentu.3
BAB II PEMBAHASAN
A. MEKANISME PENUAAN Penuaan (aging process) adalah proses alami yang terjadi pada semua makhluk hidup, ditandai dengan penurunan cadangan fisiologik, kapasitas fungsional, peningkatan ketidakseimbangan homeostasis dan peningkatan insidends proses patologis. Penuaan mmerupakan proses yang komplek dan multifactorial. Penuaan pada tingkat molekuler tentu akan memengaruhi fungsi selular yang kemudian akan mengakibatkan perubahan organic dan individu. Teori Evolusi Pada awalnya teori evolusi menyatakan bahwa penuaan merupakan sebuah keharusan karena sebuag spesies yang tidak mengalami penuaan akan mengakumulasi populasi usia muda dengan kemampuan adaptasi yang lebih baik, sehingga menurunkan tingkat mutasi adaptif potensial. Diasumsikan bahwa daya seleksi menurun setelah reproduksi sehingga sifat yang mendorong terjadinya reproduksi akan dipertahankan sekalipun berujung pada kematian. Teori Entropik Beberapa teori mengenai penuaan jatuh dalam kategori ini. Salah satu teori adalah mengenai radikal bebas. Radikal bebas yang dihasilkan dalam proses fosforilasi oksidatif dapat menghasilkan modufikasi makromolekuler dan mikromolekuler terutama melalui proses oksidatif. Hal ini mengakibatkan penurunan fungsi dari komponen-komponen tersebut. Teori lain adalah mengenai peran glukosan dalam penuaan. Glukosan dapat melekat pada protein dan asam nukleat melalui proses nonenzimatik formasi basa Schiff. Produk terglikasi ini meningkatkan dengan penuaan dan penghabatan proses ini berujung pada perlambatan proses patologis yang terjadi pada penuaan. Teori system neouroendokrin dan imun merupakan dua system yang diduga mendorong terjadinya penuaan saat mereka mulai kehilangan fungsinya.
B. PERUBAHAN FISIOLOGI PADA PASIEN GERIATRI Sistem Saraf Dalam proses penuaan, terjadi penurunan ukuran otak. Hal ini diakibatkan kehilangan terus menerus substansi neuro fraksi kelabu ( grey matter ) otak, terutama yang mensintesia neurotransmitter. Neuro yang paling banyak berkurang adalah di korteks serebri, terutama lobus frontal. Cerebral blood flow menurun sekitar 10-20% sesuai dengan berkurangnya sel saraf.
Perubahan jumlah aktivitas neurotransmitter yang terjadi mengakibatkan perubahan sensitivitas pada obat-obat anastesia. Pasien yang sudah tua memerlukan waktu yang lebih lama untuk pemulihan system saraf pusat dari efek tindakan anesthesia umum, terutama pada mereka yang mengalami kebingungan dan disorientasi pada masa praoperatif. Ini merupakan hal penting pada pasien geriatric yang akan menjalani tindakan pembedahan rawat jalan.
System kardiovaskuler Perubahan fisiologi kardiovaskuler merupakan factor terpenting yang memperngaruh terhadap penatalaksanaan anesthesia pasien geriatric. Sangat penting untuk membedakan perubahaan fisiologi normal yang terjadi akibat proses penuaan dan patofisiologi terjadinya penyakit yang sering terjadi pada pasien geriatric. Sebagai contoh: aterosklerosis adalah patologik dan tidak ditemukan pada penderita tua yang sehat. Sedangkan penurunan elastisitas pembuluh darah (karena fibrosis pada tunika media) adalah keadaan normal akibat proses penuaan. Disfungsi diastolic mengakibatkan peningkatan yang relative besar pada tekanan akhir diastolic ventrikel kiri. Dalam kondisi ini kontribusi atrium terhadap pengisian ventrikel menjadi hal yang penting dibandingkan pada pasien yang masih muda. Atrium lebih mudah membesar. Akibatnya, pasien geriatric meningkatkan resikonya untuk mengalami gagal jantung kongestif (congestive heart failure, CHF). Pada pasien geriatric curah jantung akan berkurang. Obat intravena akan terlambat mencapai reseptor, hingga awitan obat pun terlambat. Curah jantung akan berkurang dan masa sirkulasi memanjang justru membuat efek induksi anestetika inhalasi terjadi lebih cepat. Jika curah jantung berkurang pengambilan obat anestetik di alveoli akan berkurang hingga tekanan di alveoli akan cepat meningkat.
System respirasi Ventilasi dengan sungkup akan lebih sulit dilakukan juka pasien telah ompong. Artritis pada sendi temporomandibular atau vertebra srvikal menjadikan tindakan laringoskopi dan intubasi suatu tantangan tersendiri. Di sisi lain, tidak adanya gigi atas atau sering bermanfaat dalam visualisasi pita suara saat intubasi. Perubahan system respirasi pada usia lanjut berupa gangguan pertukaran gas dan perubahan mekanika pernafasan. Sering dengan bertambahnya usia zat elastin paru menurun dan jaringan fibrosa meningkat secara proporsional. Elastic recoil paru berkurang secara progresif. Hilangnya jaringan elastic mungkin merupakan factor utama ketidaksesuaiaan ventilasi dan perfusi yang terjadi pada usia lanjut.
Perubahan parenkim paru pada usia tua hamper sama dengan keadaan emfisema paru. Akibat fungsi alveoli paru menurun progresif hingga rsio volum residu dengan kapasitas paru seluruhnya dan rasio kapasitas residu fungsional meningkat. Selain itu penipisan dinding alveoli akan menyebabkan traksi radial dan penekanan bronkus terminal. Hal ini akan menghasilkan peningkatan closing volume dengan bertambahnya usia. Membrane alveokapiler akan bertambah tebal dan volume darah kapiler paru berkurang. Akibatnya PaO2 menurun sesuai rumus berikut: PaO2 = 100 (0,4 X umur) mmHg Jelas bahwa secara alami pasien lanjut usia lebih mudah jatuh dalam hipoksia. Dalam anesthesia pencegahan hipoksia antara lain adalah dengan melakukan praoksigenasi lebih lama sebelum melakukan intubasi, meningkatkan konsentrasi O2 inspirasi dengan selama anesthesia, sedikit meningkatkan PEEP dan melakukan pembersihan trakea yang lebih agresif. Resiko pneumonia aspirasi lebih besar pada pasien usia lanjut. Salah satu alas an kecendrungan ini adalah turunnya reflek proteksi jalan nafas yang progresif sesuai dengan bertambahnya umur.
System gastrointestinal Terjadi penurunan secara umum motilitas esophageal dan intestinal, yang menyebabkan lambatnya pengosongan lambung. Tonus sfingter gastroesofagus juga sering menurun. Akibatnya pada pasien usia lanjut kemungkinan terjadinya risiko regurgitasi dan aspirasi pneumonia meningkat.
Fungsi renal Kecepatan filtrasi glomerulus menurun sekitar 1 mL/menit?tahun atau 1-1,5 %/tahun. Penurunan kecepatan filtrasi glomerulus lebih dramatis daripada berkurangnya masa jaringan ginjal karena usia. Penurunan aliran darah ginjal ini karena menurunnya curah jantung dan perubahan pembuluh arah ginjal. Pada usia lanjut terjadi penurunan massa korteks ginjal yang tidak seimbang. Kreatinin hasil metabolism kreatinin otot kurang efisien diekskresi pada usia lanjut. Berkurangnya kapasitas klirens pada orang tua mungkin juga akan berpengaruh terhadap klirens obat anestetik atau obat lain yang berakibat perpanjangan efek obat. Cara terbaik untuk melindungi ginjal selama pembedahan dan anestesia adalah dengan mempertahankan pengeluaran urin paling sedikit 0,5 mL/kgbb/jam.
Sistem musculoskeletal
Bertambahnya lemak tubuh dan penurunan massa otot akan meningkatkan cadangan deposit obat anestetik yang larut dalam lemak. Sekuestrasi obat ini memperlambat eleminasi obat hingga residu konsentrasi obat meningkat dan efek anestesinya memanjang. Retensi obat hingga anestetik dalam lemak ini juga menambah kemungkinan perlambatan biotransformasi. Kulit mengalami atropi sesuai umur dan mudah untuk mengalami trauma dari plester, alas electrocauter atau elektroda EKG. Artritis dapat mengganggu pengaturan posisi, seperti posisi litotomi, lateral decubitus dan sebagainya. Penyakit-penyakit degenerative mungkin juga telah mengenai tulang servikal membatasi ekstensi leher yang berpotensi menyebabkan kesulitan laringoskopi dan intubasi.
FARMAKOLOGI OBAT ANESTETIK PADA PASIEN GERIATRIK Farmakokinetik obat berubah pada usia lanjut. Terjadi perubahan distribusi dan eleminasi masa paruh (T 1/2) , terutama meliputi volum distribusi (VD) dan klirens (CI), seperti tertera pada rumus: T 1/2 Volum distribusi berkaitan dengan ikatan protein obat yang larut lemak dan bergantung pada presentasi lemak tubuh terhadap obat. Pada pasien geriatric lemaj tubuh umumnya bertambah, karena itu volum distribusi obat anestesi pun bertambah. Ini dapat menyebabkan memanjangnya masa pulih anesthesia. Dengan bertambahnya volume distribusi dan sekuenstrasi obat, kadar plasma obat anestetik larut lemak akan berkurang dengan lambat pada akhir pembedahan, oleh karena obat bergerak konstan daro temapat penyimpanan ke dalam aliran darah, walaupun klirensnya cepat. Menurut rumus diatas, jika terjadi peningkatan kadar obat dalam plasma hingga ke titik jenuh dalam lemak, maka ia akan dilepaskan kembali dengan kecepatan relative konstan. Pada kondisi ini jika kita menginginkan kadar dalam plasma yang tetap, cukup dengan menambahkan obat secara bertahap atau infus kontinyu. Jadi untuk obat yang sangat larut lemak seperti barniturat, benzodiazepine dan opioid. Jika kadar dalam plasma ditingkatkan terus menerus pada orang tua, akan mengakibatkan memanjangnya masa paruh eleminasi. Klirens menggambarkan kemampuan mengeluarkan obat dari tubuh yang berhubungan dengan efisiensi metabolism hati dan fungsi eleminasi ginjal. Untuk obat anestetik inhalasi klirens sangat bergantung pada fungsi system kardiovaskular dan system respirasi.
Anestetika Inhalasi Minimum alveolar concentration (MAC) anestetika inhalasi menurun 4% setiap dekadenya. Onset kerja akan menjadi lebih cepat apabila curah jantung menurun dan melambat apabila terdapat gangguan ventilasi/perfusi. Efek depresi otot jantung akan sangat meningkat pada pasien
geriatric, sementara kecendrungan isofluran dan desfluran mengakibatkan takikardia menurun. Pada pasien geriatric isofluran cenderung menurunkan curah jantung dan laju jantung. Eleminasi desfluran yang cepat menjadikannya obat anestetik pilihan pada pasien lansia. Pemulihan dari pengaruh anesthesia dapat lebih lama. Hal ini disebabkan peningkatan volum distribusi (peningkatan pertukaran gas dalam paru. Eleminasi yang cepat dari desfluran mungkin dapat menjadi alas an anestetika inhalasi ini menjadi pilihan untuk pasien geriatric.
Anestetika Nonvolatil Secara umum, pasien geriatric memerlukan kebutuhan dosis yang redah dari propofol, etomidat, barbiturate, opioid dan benzodiazepine. Sebagai contoh, pada orang usia di atas 80 tahun diperlukan dosis kurang dari setengah dari dosis indukdi propofol atau thiopental, dibandingkan dengan pasien yang berusia 20 tahun. Propofol merupakan obat induksi yang cukup ideal untuk pasien lansia karena eliminasinya yang cepat. Akan tetapi perlu diperhatikan peningkatan kecendrungan hipotensi dan apnea dibandingkan pasien yang lebih muda. Pemberian bersamaan dengan midazolam, opioid atau ketamine akan semakin menurunkan kebutuhan propofol. Factor farmakokinetik dan farmakodinamik merupakan dasar dari penurunan dosis ini. Pada pasien geriatric hamper 50% penurunan tekanan darah terjadi pada pemberian propofol dibandingkan dengan pasien muda. Selain dari itu, terjadi penurunan yang cukup sihnifikan dari kompartemen perifer dan klirens sistemik dari pemberian propofol. Peningkatan sensitivitas terhadap fentanyl, alfentanil dan subfentanil terutama terjadi karena perubahan farmakodinamik. Farmakokinetika opioid tidak berubah secara signifikan karena penuaan, namun dosis yang diperlukan untuk mencapai hasil EEG yang sama pada pasien muda lebih rendah hingga 50% pada pasien geriatric. Pada pasien geriatric terjadi peningkatan volum distribusi pada semua obat golongan benzodiazepine sehingga terjadi pemanjangan eliminasi dan waktu paruh. Pada kasus pemberian diazepam, eleminasi dan waktu paruhnya dapat memanjang 36-72 jam. Peningkatan sensitifitas farmakodinamik dari obat golongan benzodiazepine juga harus diperhatikan. Dosis midazolam pada umumnya berkurang 50% untuk pasien geriatric. Eleminasi waktu paruh memanjang sekitar 2,5-4 jam.
Pelumpuh otot Respon terhadap suksinilkolin dan pelumpuh otot non depolarisasi tidak berubah dengan usia. Akan tetapi penurunan curah jantung dan melambatnya aliran darah otot dapat meningkatkan
pemanjangan awitan blockade neuromuscular hingga dua kali lipat. Pemulihan dari efek pelumpuh otot non depolarisasi yang mengalami eksjresi ginjal (seperti pankuronium, dtubocurarinr) dapat terlambat karena penurunan klirans obat hal yang sama juga terlihat pada rokuronium dan vekuronium tidak banyak berubah karena tidak dipengaruhi oleh usia. Pada lansia pria, namun tidak pada wanita terjadi pemanjangan efek dari suksinilkolin karena penurunan kadar kolinestrase.
MANAJEMEN PERIOPERATIF Persiapan dan penilaian praoperatif Pada pasien geriatric riwayat penyakit penyerta (hipertensi< penyakit jantung iskemik, riwayat stroke, gangguan fungsi kognitif, diabetes mellitus) dan terapi jangka panjang yang diterima merupakan hal yang penting untuk dikertahui. Anamnesis dan pemeriksaan fisis akan memberikan infomasi penting mengenai kondisi pasien prabedah. Pemeriksaan laboratorium rutin tidak memberikan konstribusi yang penting sementara pemeriksaan laboratorium yang berorientasi pada anamnesis dan pemeriksaan fisis akan memberikan informasi penting mengenai keadaan pasien prabedah. Walaupun demikian, pemeriksaan konsentrasi hemoglobin dan kreatinin penting dilakukan bahkan pada pasien yang terlihat sehat mengingat tingginya angka kejadian anemia dan gagal ginjal. Saat ini pemeriksaan radiografi toraks masih dipertanyakan kepentingannya terutama pada prosedur-prosedur minor, sementara pemeriksaan elektrokardiografi harus tetep dilakukan sebagai pemeriksaan dasar mengingat tingginya angka abnormalitas EKG pada populasi. Penilaian prabedah seyogyanya dilakukan sedini mungkin oleh seorang anestesiologis agar seluruh persiapan dan adaptasi terapi jangka panjang yang sebelumnya sudah diterima pasien dapat dilakukan. Penilaian prabedah ini dapat menjawab berbagai pertanyaan mengenai kondisi pasien sehingga dapat menenangkan pasien dan menurunkan kebutuhan obat-obat premedikasi.
ANESTESIA
Teknik ini tepat dipergunakan jika ahli bedah juga melakukan anesthesia local pada pasien. Teknik ini memberikan waktu penyembukan paling cepat sehingga tepat digunakan pada kondisi rawat jalan. Meskipun demikian, perhatian yang benar harus diberikan pada jenis obat yang dipergunakan pada pasien geriatric Pengawasan yang memadai serupa dengan pengawasan yang dilakukan pada pasien dalam anesthesia umum harus dilakukan. Midazolam sulit digunakan pada pasien geriatric karena dapat
memicu kebingungan pada pasien sehingga menimbulkan kesulitan dalam mengontrol pasien. Obat pilihan yang saat ini digunakan adalah propofol dan paling baik diberikan melalui target controlled infusion (TCI). Sedasi biasanya diberikan dengan target sekitar 1-2 ug/mL, kemudian dilakukan titrasi untuk menimbulkan efek. Di Negara maju perhatian yang besar saat ini tertuju pada remifentanil yang dapat meringankan nyeri tanpa menimbulkan kebingungan pada pasien. Beberapa yang wajib untuk diperhatikan antara lain pengawasan ketat frekuesi nafas dan saturasi O2 intraoperatif, profilaksis nausea dan muntah pascabedah dan pemberian analgetika untuk mencagah nyeri pascabedah pada saat induksi sedasi atau bahkan sebagai premedikasi.
Anestesi Regional Blok perifer merupakan pilihan yang baik pada pasien geriatric. Teknik ini memberikan efek analgesia pascabedah dan waktu pulih yang sangat cepat. Walaupun berbagai consensus membolehkan penggunaan teknik ini pada pasein yang menggunakan aspirasi namun penggunaan blok perifer harus sangat berhati-hati pada pasien yang mendapatkan terapi antiplatelet. Teknik ini diindikasikontrakan pada pasien yang menggunakan heparin atau antikoagulan. Penggunaan teknik blok perifer pada ekstremitas bawah kurang tepat digunakan pada pasien rawat jalan karena akan mengganggu mobilitas pasien setidaknya selama 24 jam. Penggunaan teknik blok sentral khususnya anesthesia spinal pada pasien geriatric masih kontroversi. Anestesia spinal tidak memberikan efek analgesia pascabedah dan seringkali menyebabkan gangguan berkemih pada pasien pria sehingga dapat memperpanjang waktu pulih dan bahkan menyebabkan perawatan pasien di rumah sakit.
Anestesia Umum Pada prosedur bedah yang pendek, teknik anestesi umum menggunakan obat-obatan hipotik dan analgesic terbaru memberikan titrabilitas intraoperative dan waktu pulih yang cepat. Obat pilihan yang dapat digunakan antara lain propofol, desfluran atau sevofluran, alfentanil atau remifentanil. Penggunaan laryngeal mask (LMA) dapat digunakan untuk control jalan napas. Jika pembedahan yang dilakukan tidak membutuhkan relaksasi otot, metode yang baik untuk menilai anesthesia yang diberikan sudah adekuat atau belum adalah dengan menggunakan pressure support untuk memastikan ventilasi yang adekuat dan pengawasan frekuensi respirasi secara bersamaan.
Perawatan Pascabedah
Pasien geriatric terutama pasien dengan ASA III biasanya harus dirawat di unit PACU (post anesthetic care unit) setelah prosedur bedah selesai dilakukan. Pemberian opiod sebagai analgesia pascabedah harus dihindari karena menyebabkan rasa kantuk pada pasein geriatric lebih rentan untuk mengalami hipoksemia di ruang pemulihan. Pasien yang mejalani anesthesia regional mungkin mengalami risiko hipoksemia yang lebih rendah. Akan tetapi, masih belum diketahui pasti apakah terdapat lebih sedikit komplikasi paru dengan menggunakan anesthesia regional dibandingkan anesthesia umum.
Disfungsi Kognitif Pascabedah Perubahan jangka pendek dari uji kognitif pada beberapa minggu setelah bedah telah dicatat dan biasanya melibatkan beberapa domain kognitif seperti atensi, memori, dan kecepatan psikomotor. Penurunan kognitif dini setelah bedah biasanya hilang setelah 3 bulan. Bedah jantung berhubungan dengan 36% insiden penurunan kognitif dalam 6 minggu pescabedah. Insiden disfungsi kognitif setelah bedah mayor non kardiak pada pasien berusia diatas 65 tahun adalah 26 % pada minggu pertama dan 10% pada minggu ketiga. Predictor dari penurunan kognitif pascabedah termasuk usia, tingkat pendidikan rendah, gangguan kognitif prabedah, depresi, dan jenis prosedur bedah. Disfungsi kognitif jangka pendek setelah bedah bias jadi diakibatkan oleh berbagai etiologi, termasuk mikroemboli (terutama dengan bedah jantung), hipoperfusi, systemic inflammatory response (bypass kardiopulmonal), anestesi< depresi, dan genetic (alel E4). Apakah anesthesia berpengaruh terhadap kognitif pascabedah jangka panjang atau tidak masih belum diketahui dengan pasti dalam penelitian. Pada prosedur non kardiak, anesthesia memiliki pengaruh sedang terhadap penurunan kognitif jangka panjang, sekalipun efek ini lebih nyata seiring dengan pertambahan usia. Penurunan fungsi kognitif setelah bedah nonkardiak bersifat reversible pada sebagian besar kasus, namun dapat bertahan pada kira-kira 1 % pasien. Pada pasien yang menjalani prosedur CABG, dilaporkan adanya insiden penurunan fungsi kognitif pada 42 % pasien 5 tahun pascabedah. Selain itu, fungsi nilai fungsi kognitif yang lebih dalam 5 tahun yang lebih rendah berhubungan dengan kondisi kesehatan yang lebih buruk dan status produktivitas yang lebih rendah. Penelitian lain menunjukan bahwa saat dibandingkan dengan control non bedah, disfungsi kognitif pascabedah jangka panjang pada prosedur CABG dipengaruhi factor lain di luar anesthesia dan pembedahan itu sendiri. Yang pertama, pasien dengan penyakit arteri coroner biasanya memiliki nilai uji kognitif yang lebih rendah dibandingkan control tanpa penyakit arteri coroner yang mirip ternyata sama. Data-data ini menunjukan etiologi dari perubahan kognitif jangka pnjang pasca anesthesia dan pascabedah bias saja berhubungan dengan factor resiko serebrovaskular. Manajemen factor risiko, seperti tekanan darah, kolestrol, dan diabetes bias jadi penting dalam menurunkan penurunan fungsi kognitif jangka panjang.
Penutup
Anestesia pada pasien geriatric perlu dilakukan setelah melalui pertimbangan yang cermat. Factor resiko yang meningkat mengharuskan pemikiran dan persiapan yang matang. Pasien geriatric dengan gangguan sistemorgan adalah wajar dan belum tentu patologik. Namun demikian, perubahan fungsi system/organ tetap harus diwaspadai karena mungkin berdampak terhadap prosedur anesthesia. Kelainan patologij system/organ tertentu menambah risiko yang dihadapi pelaku anesthesia. Yyang penting dalam hal ini adalah pemahaman perubahan anatomic dan fisiologik yang juga berpengaruh terhadap perubahan farmakologik pasien.
1. Clinical Anesthesiology.Morgan,Mikhail,Murray.4th ed, McGraw-Hill,2006 2. Basic of Anesthesia.Stoelting,Miller.5th ed,Churchill Livingstone Elseveier,2007 3. Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan usia lanjut).Boedhi Darmojo.Edisi ke-4, Balali penerbit FKUI,2010. 4. http://www.emedicine.medscape.com/article/285433 5. Klopfenstein. The influence of an Aging Surgical Population on the Anesthesia. In Anesthesia & Analgesia, june 1998, vol 86, No 6 6. Clinical Anesthesia. Barash, Cullen, Stoelting.5th edition, Lippincott William & Wilkins,2006. 7. Geriatric Anesthesia. Sieber, McGraw Hill,2007 8. Basic & Clinical Pharmacology. Katzung, Masters, Trevor.11th edition, McGraw-Hill