Anda di halaman 1dari 8

Strategies in Handling the Curriculum and Lesson of Indonesian

Literature in Schools: Ways to Comprehend and Make over.

Ibnu Wahyudi
University of Indonesia

Abstract:

Cynicism, apathy, indifference and the like usually accompany the implementation of a
new curriculum. The anecdote “a new minister, a new curriculum” is often heard. Is the
ever-changing curriculum meant to create a setback in one education? Of course not.

From the perspective of instrumental input, the quality of teachers in Indonesia can sadly
be said to be low, whereas teachers are the ones who are in charge of implementing the
curriculum in the classroom. What about teachers of language and literature? Some
articles have revealed that many literature teachers are not keen on reading literature, lag
behind in the development of the area, poorly appreciate the dynamic of literature, and
many are even forced to teach literature because they happen to be language teachers.

Teachers who can rely on the knowledge or reading they obtained during their school
years are definitely not good teachers. The learning of literature should be far from
boredom and fear. Democratization or the process of gaining the freedom of expression
essentially begins with the enjoyment and appreciation of literature.

There are various tips that can be suggested, such as integrating the teaching of literature
and the surrounding environment, class discussion that is not based on the true-false
approach, making use of the literary texts that have undergone a transformative process,
doing away with the dichotomy of “high” literature and “popular” literature, and students
producing their own works to stimulate creativity. By learning and exploring the learning
material based on necessity and the dynamic of both students and the environment, there
will be a well-patterned method and teaching strategy.

Keywords: curriculum, teaching of literature, learning of literature, Indonesian literature.

Introduction
Setiap kali terdengar kabar akan diberlakukannya suatu kurikulum baru, banyak
pihak yang buru-buru mengambil ancang-ancang. Namun tidak sedikit pula yang
tercengang-cengang, atau malahan berang. Yang segera mengambil ancang-ancang tiada
lain tentu adalah pihak yang sangat tergantung, bertumpu, atau boleh juga dikatakan
memanfaatkan, keberadaan suatu kurikulum. Pihak ini, siapa lagi, kalau bukan penerbit
buku pelajaran dan tentu juga adalah pihak sekolah yang terimbas langsung. Sedangkan
yang seringkali menjadi tercengang-cengang biasanya adalah awam, sementara yang
berang adalah orangtua siswa yang mau tidak mau harus menyisihkan atau menyiapkan
lagi sejumlah dana bagi keperluan belanja buku-buku pelajaran itu.
Tidak kalah pentingnya pula untuk ditengarai adalah banyaknya muncul sikap sinis,
pesimis, skeptis, apatis, dan bahkan selalu berprasangka buruk terhadap bakal datangnya
suatu kurikulum. Kelompok ini justru kebanyakan adalah para guru atau juga para cerdik
pandai dalam bidang pengajaran yang lebih sering memandang suatu perubahan sebagai
suatu ancaman. Dari sisi atau aspek yang bersebab dari ketidakpahaman, kecenderungan
semacam ini mungkin dapat dikatakan wajar, akan tetapi mengapa harus sisi negatif
semacam itu yang dikemukakan?
Munculnya seloroh, keratabasa, atau plesetan terhadap metode pengajaran yang
populer disebut dengan CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) sebagai Cah Bodo Soyo Akeh (=
Siswa Bodoh Semakin Banyak) atau terhadap KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi)
sebagai Kurikulum Bakalan Konyol atau Kurikulum Berbasis Kebingungan maupun juga
KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) sebagai Kurikulum Tingkat Sengketa
Pembelajaran atau juga sebagai Kurikulum Tidak Siap Pakai memperlihatkan adanya nada
sinis itu. Sekiranya kesinisan itu muncul sebagai hasil dari suatu pelaksanaan, penerapan,
maupun dari pemahaman terhadap kurikulum atau metode pengajaran yang ada untuk
jangka waktu tertentu dalam sosialisasi maupun desiminasinya, tentu sikap yang
sedemikian itu dapat diterima oleh banyak pihak. Akan tetapi, jika dasar kesinisan itu
hanyalah penerusan belaka dari kesinisan yang ada sebelumnya tanpa mengkaji terlebih
dahulu esensinya atau hanya sekadar “katanya”, maka kinilah saatnya bagi kita untuk
mengaca: jangan-jangan ada dan banyak yang tidak kita mafhumi dari kurikulum yang
selama ini telah diberlakukan maupun yang tengah dipopulerkan. Oleh karena itu, kalau
kita mempunyai kesadaran berbenah, berbagai aspek dan kenyataan harus menjadi
pumpunan perhatian maupun pertimbangan.

Realitas Kompetensi Guru


Hal pertama yang perlu kita sadari adalah bahwa ditilik dari instrumental input,
kualitas dan kuantitas guru di Indonesia dapat dikatakan memang sangat rendah. Padahal,
suatu kurikulum yang apa pun namanya atau bagaimanapun karakteristiknya, tetap selalu
akan bertumpu pada sosok yang namanya guru ini. Bahkan ketika guru lebih diposisikan
sebagai semacam fasilitator atau sekadar tut wuri handayani sekalipun, tidak berarti guru
kehilangan peran.
Sekarang perlu kita tengok terlebih dahulu perihal kompetensi guru di Indonesia.
Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional tahun 2004 menyatakan bahwa guru SD
negeri yang tidak memenuhi kriteria layak untuk mengajar sesuai dengan bidang
keilmuannya berjumlah 558.675 orang atau sebesar 45,2% (pada SD swasta sebanyak
50.542 orang atau setara dengan 4,1%) dari total jumlah guru SD sebanyak 1.234.927
orang. Di tingkat SMP terdapat 108.811 guru negeri dan 58.832 guru swasta dari total
guru sebanyak 466.748 orang (35,9%) yang dinilai tidak layak mengajar. Sementara
untuk tingkat SMA terdapat 35.424 guru negeri dan 40.260 guru swasta dari jumlah
keseluruhan 230.114 orang (32.8%) dinyatakan tidak layak mengajar. Sedangkan di
tingkat SMK, dari jumlah keseluruhan guru yang berjumlah 147.559 orang, yang dianggap
tidak layak mengajar berjumlah 20.678 orang (guru negeri) dan 43.283 orang (guru
swasta) atau sama dengan 43,3%. Dari data semacam ini, apa yang dapat kita sematkan
sebagai komentar? Memprihatinkan, karena tampaknya banyak guru yang “asal menjadi
guru” tanpa suatu tolok ukur kompetensi tertentu atau barangkali juga memang banyak
guru yang “tersesat” dan salah dalam memahami bidang keilmuan. Dengan kenyataan
semacam ini, profesionalisme semacam apa yang dapat diharapkan?
Bagaimana dengan para guru yang mengajar bidang sastra di sekolah-sekolah dasar
maupun menengah? Dari pengalaman sebagai widyaiswara di PPPG Bahasa semenjak
tahun 2001, dapat diperoleh kesan bahwa apa yang ditunjukkan oleh data dari Balitbang
Depdiknas tersebut bukanlah rekayasa belaka. Dengan pengertian lain, secara diam-diam
saya pun menengarai bahwa banyak guru sastra yang sesungguhnya bukan pembaca sastra
atau lebih-lebih pencinta sastra. Kalaupun mereka pernah membaca karya sastra,
karya-karya tersebut adalah karya-karya yang mereka peroleh atau pelajari sewaktu dulu
berkuliah dan tidak sedikit pula yang hanya membaca ringkasan karya-karya sastra itu.
Sekiranya dugaan ini benar, dapat dibayangkan perihal miskinnya materi maupun
kreativitas dari para guru dalam pelaksanaan pengajaran mereka.
Berdasarkan gambaran yang tentu tidak sepenuhnya mampu memberikan
representasi akan kondisi guru ini, kemudian jelas akan timbul pertanyaan besar berkenaan
dengan kurikulum 2006 atau yang disebut dengan KTSP, yaitu dalam kaitan mencari atau
memanfaatkan bahan ajar atau materi dalam silabus yang sesungguhnya leluasa dibuatnya,
sementara wawasan guru bersangkutan tentang sastra sangat terbatas. Namun, terlepas
dari kondisi umum guru yang sedemikian ini, KTSP sesungguhnya sangat sejalan dengan
dinamika sosial-politik dewasa ini yang banyak bertumpu pada ancangan desentralistik,
khususnya dalam pelaksanaan otonomi dalam berbagai ranah kehidupan, termasuk tentu
dalam pengelolaan pendidikan dengan konsep manajemen berbasis sekolah.
Oleh karena itu, siap atau tidak siap, yang segera harus dilakukan adalah
memperkaya atau juga menyadarkan para guru akan posisi strategis mereka sehingga
sekiranya ada yang memang “tersesat” selama ini, dapat dan mampu menata atau berbenah
dalam menghadapi kurikulum yang dapat dikatakan paling lengkap ini. Dikatakan paling
lengkap, seperti dinyatakan oleh Idris Apandi, KTSP dapat disimpulkan mengandung
prinsip pengembangan yang (1) berpusat pada potensi, perkembangan kebutuhan, dan
kepentingan peserta didik dan lingkungannya; (2) beragam dan terpadu; (3) tanggap
terhadap perkembangan ilmu pengetahuan; (4) relevan dengan kebutuhan kehidupan; (5)
menyeluruh dan berkesinambungan; (6) belajar sepanjang hayat; dan (7) seimbang antara
kepentingan nasional dan kepentingan daerah.

Pembelajaran Sastra dalam Kurikulum


Istilah “pengajaran” yang mempunyai makna ‘proses, cara, perbuatan mengajar
atau mengajarkan; perihal mengajar; segala sesuatu mengenai mengajar’ belakangan ini
sudah tidak populer lagi dalam dunia pendidikan di Indonesia. Yang kini lebih populer dan
biasa diucapkan adalah istilah “pembelajaran” sejalan dengan semangat perubahan yang
terjadi. “Pengajaran” banyak dianggap sebagai kurang tepat karena di dalamnya terkesan
mengandung pengertian bahwa hanya pihak guru yang berperan aktif, sementara siswa
atau peserta didik menerima saja apa-apa yang dicekokkan oleh sang guru. Sedangkan
“pembelajaran” lebih dipilih dan dipergunakan secara formal karena di dalam kata ini
aktivitas yang terjadi adalah seimbang antara pihak guru dan anak didiknya; mereka
sama-sama aktif dan—diharapkan—juga sama-sama kreatif.
Perihal pergeseran keaktifan dari yang semula lebih “dikuasai” oleh para guru dan
pada gilirannya kini “dibebankan” kepada para siswa, tidak terlepas dari kebijakan,
ancangan, maupun arah kurikulum yang dalam jangka waktu tertentu mengalami
perubahan, diversifikasi, maupun modifikasi seiring dengan berbagai kemajuan yang terjadi
dalam kehidupan sehari-hari. Pada intinya, seperti dinyatakan oleh Sarwidji Suwandi,
penyempurnaan atau pembaruan kurikulum dilakukan dalam rangka mengantisipasi
berbagai perubahan dan tuntutan masa depan yang niscaya akan dihadapi oleh para siswa
sehingga mereka akan mampu berpikir global dan bertingkah laku sesuai dengan
karakteristik maupun potensi tempatan atau lokal.
Dalam kaitannya dengan upaya memahami perubahan-perubahan yang pernah
terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia, khususnya lagi yang berhubungan dengan
pengajaran dan pembelajaran sastra, perlu sedikit ada semacam tinjauan terhadap
“perjalanan” yang sudah dilalui.
Kurikulum di Indonesia sudah berganti beberapa kali semenjak pertama kali
dicanangkan pada tahun 1950. Pergantian atau perubahan kurikulum merupakan hal yang
wajar sebagai bentuk aktualisasi maupun responsi dari perkembangan yang terjadi di dalam
kehidupan. Akan tetapi, setiap ada modifikasi dalam kurikulum, masyarakat pada
umumnya selalu memberikan tanggapan yang pada intinya kurang menggembirakan; bukan
karena masyarakat itu anti-perubahan mengenai kandungan kurikulum atau anti-kemajuan,
melainkan karena berdampak pada buku-buku teks yang juga berganti. Dengan
bergantinya buku-buku teks atau buku-buku pelajaran itu berarti para orangtua murid
harus menyediakan tambahan dana untuk membeli buku-buku tersebut, sebagaimana sudah
disebutkan di awal tulisan.
Sementara itu, menurut Suyanto, kurikulum memang harus sering diganti sesuai
dengan dinamika atau perubahan dalam masyarakat. Secara periodik kurikulum memang
harus diubah. Perubahan kurikulum itu, menurut Tarno, dosen Universitas Nusa Cendana,
merupakan suatu peristiwa yang wajar dan memang perlu terjadi atau perlu dilakukan
karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi juga selalu muncul. Tanpa mengikuti
perkembangan atau kemajuan yang ada, pendidikan akan jauh tertinggal. Bahwa ada
semacam trauma yang melanda masyarakat luas dengan berubahnya kurikulum, hal itu
tidak dapat dipungkiri. Bahkan bagi para guru sendiri, perubahan kurikulum pun tidak
selamanya disambut dengan gembira. Arif Budi Christianto misalnya, seorang guru di
sekolah swasta di Jakarta, menyatakan bahwa implementasi kurkikulum baru—dalam hal
ini KBK—masih lebih sering membingungkan para guru.
Kembali pada “perjalanan” sastra (dan bahasa) Indonesia dalam kurikulum, dapat
diberikan gambaran bahwa semenjak tahun 1950 itu kurikulum telah mengalami perubahan
pada tahun-tahun 1958, 1964, 1968, 1975/1976, dan 1984 untuk SMA, sementara pada
tahun 1987 perubahan terjadi pada kurikulum untuk SMP. Sejak awal, bidang studi sastra
Indonesia terintegrasi dalam bidang studi bahasa Indonesia, sampai kurikulum 1975/1976.
Baru pada kurikulum 1984—khususnya untuk SMA—nama bidang studi ini berubah
menjadi Bahasa dan Sastra Indonesia dalam program inti, serta Sastra Indonesia
dikhususkan untuk program pilihan Pengetahuan Budaya. Namun dalam kenyataannya,
menurut Tarno lagi, pengajaran sastra di SMP maupun SMA bukan berupa program
pengetahuan budaya. Sastra Indonesia hanya semata-mata menumpang pada pengajaran
bahasa Indonesia dan diberikan hanya selama 2-3 jam per minggu. Lebih lanjut Tarno
menegaskan seperti di bawah ini.

Pengajaran sastra di sini lebih banyak kegiatannya untuk mempelajari ragam


bahasa, di sisi-sisi ragam bahasa lainnya. Hal ini terlihat bahwa pembobotan beban
materinya hanya seperenam dari seluruh materi bidang studi/mata pelajaran Bahasa
Indonesia, dengan nama pokok bahasan Apresiasi Bahasa dan Sastra Indonesia. Dengan
pemberian nama ini sudah terlihat terjadinya penyempitan kedudukan sastra.

Sementara itu, meskipun pada kurikulum 1994 masih juga terasa adanya upaya
mengintegralkan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, kurikulum 1994 memberi
penekanan akan pentingnya membaca secara langsung karya-karya sastra, dan bukan
sekadar membaca ringkasan atau sinosipnya. Namun demikian, di dalam praktiknya,
pembelajaran sastra ibarat anak tiri yang hampir-hampir tidak mendapat perhatian yang
selayaknya dari para guru. Para guru yang mengajar sastra hampir selalu merupakan juga
guru yang mengajar bahasa. Hal semacam ini sebenarnya tidak menjadi masalah sekiranya
para guru itu juga mempunyai perhatian yang sama besarnya; namun kenyataan cenderung
mampu membuktikan bahwa umumnya para guru itu sekadar menyambi saja tugas sebagai
pengajar sastra. Kendati demikian, jika diamati secara saksama, realitas yang semacam ini
bukan sepenuhnya kesalahan para guru melainkan kesalahan paradigma pengajaran
maupun pembelajaran bahasa dan sastra yang pernah diterima oleh para guru itu ketika
mereka masih dalam pendidikan.
Kenyataan yang cukup memprihatinkan mengenai pengajaran sastra di sekolah,
bukan karena porsinya yang hanya seperenam dari seluruh materi bidang studi/mata
pelajaran Bahasa Indonesia atau alokasi waktu yang sangat minimal itu, melainkan juga
karena strategi pengajarannya yang mengkhianati jatidiri sastra itu sendiri. Metode
menghafal, misalnya, yang dapat saja berupa menghafal nama-nama para sastrawan,
menghafal peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan kegiatan sastra atau peristiwa
sastra, maupun menghafal contoh-contoh soal terdahulu dengan jawaban yang tersedia,
yang semata-mata hanya untuk memperoleh nilai bagus pada ujian akhir maupun pada
kuis-kuis yang diadakan, sungguh-sungguh telah mengingkari dan sekaligus mengkhianati
hakikat sastra.
Dikatakan sebagai “telah mengingkari dan sekaligus mengkhianati hakikat sastra”
karena sastra, bagaimanapun, adalah sebuah karya seni yang berbeda dengan ilmu alam
maupun ilmu-ilmu lain yang serba dapat diukur, dihitung, maupun diduga secara tetap dan
pasti. Sastra, seperti halnya karya-karya seni yang lain, harus ditempatkan dan
diperlakukan sebagaimana karya fiktif, imajinatif, kreatif, serta berdimensi makna yang
tidak tetap. Dengan jatidiri yang sedemikian itu, maka jika sastra juga diperlakukan sama
dengan bidang ilmu lainnya, yang terjadi kemudian tentu adalah “seolah-olah” pembelajar
telah memahami atau mengkaji sastra tetapi sesungguhnya bukan mengapresiasinya.
Kenyataan seperti ini tentu merupakan hal yang tidak semestinya terjadi dan memang tidak
boleh terjadi.
Menanggapi realitas semacam itu, banyak pengamat pendidikan maupun pengamat
sastra pada khususnya, yang telah melemparkan pendapat dan kritik tajam yang pada
intinya menghendaki dikeluarkannya sastra dari “bagian” bahasa Indonesia. Kalau bukan
suatu keinginan untuk sampai “mengeluarkan” sastra dari kurikulum, banyak pihak
menghendaki agar ada pemisahan yang tegas antara guru bahasa Indonesia dengan guru
khusus sastra. Bahkan menjelang diberlakukannya kurikulum 1994, banyak isu yang
beredar, yang antara lain menyebutkan bahwa pada kurikulum ini tidak akan lagi ada
komponen sastra di dalam bidang studi bahasa Indonesia. Konon, bidang studi sastra akan
dipisahkan dari pelajaran bahasa Indonesia, seperti ditulis oleh H.D. Haryo Sasongko dan
disinggung pula oleh Pamusuk Eneste dalam artikelnya. Meskipun kenyataan yang banyak
dibayangkan dan (mungkin) memang diharapkan oleh banyak peminat sastra itu tidak
terwujud—karena ternyata Kurikulum 1994 masih memasukkan sastra sebagai bagian
bidang ajar bahasa Indonesia—isu-isu seperti itu secara tidak langsung telah mempunyai
pengaruh positif dalam memandang dan memposisikan pengajaran maupun pembelajaran
sastra.
Faktor yang ikut memperparah tidak signifikannya atau bahkan gagalnya
pengajaran maupun pembelajaran sastra di sekolah adalah pada guru itu sendiri. Bukan
suatu rahasia lagi bahwa sebagian besar guru sastra adalah guru bahasa yang lebih
memberikan perhatian kepada permasalahan bahasa, utamanya pada masalah-masalah
teknis. Bahkan, seperti dikemukakan oleh I Wayan Artika, banyak guru sastra yang “tidak
menyukai sastra”. Maka, dengan “pengakuan” semacam ini, apa yang dapat diharapkan?
Oleh karena itu, jika pengajaran sastra berada dalam posisi terpuruk, bukan sesuatu yang
perlu diherankan. Namun permasalahannya tentu bukan hanya pada “keheranan” atau
tidaknya, melainkan pada apa upaya atau langkah-langkah yang dapat dijalankan untuk
memperbaiki kenyataan yang sedemikian itu.

Siasat Pembelajaran Sastra


Sejumlah gagasan, ide, rencana, tindakan nyata, serta sumbang saran melalui
tulisan di pelbagai media dan kesempatan, maupun pemikiran-pemikiran positif lain yang
dikemukakan oleh berbagai kalangan, telah merebak dan membawa angin perubahan dalam
pengelolaan maupun praktik pengajaran dan pembelajaran sastra. Hasanuddin W.S. dalam
tulisannya yang telah disebut di depan, mengatakan, “Apapun kondisinya, semua
perbincangan yang berkaitan dengan masalah sastra dan pengajaran sastra semestinya
disyukuri dan dicermati karena fenomena tersebut merupakan indikator kepedulian banyak
pihak terhadap keberlangsungan kehidupan kesastraan sebagai bagian kebudayaan republik
ini. Fenomena ini tampak dengan jelas menempatkan posisi sastra sebagai hal yang penting
dan tidak boleh diabaikan.”
Sehubungan dengan langkah nyata yang sudah dan masih dilakukan, tidak dapat
ditepikan sejumlah kegiatan. Pertama, yang segera harus disebut dalam hal pemikiran serta
kontribusi konkretnya adalah pihak majalah sastra Horison—di bawah “komando” Taufiq
Ismail—dalam mewujudkan rencana aksinya. Ada 6 kegiatan yang pernah dan masih
dilaksanakan, yaitu (1) penerbitan sisipan Kakilangit [sejak November 1996] dalam
majalah Horison yang dimaksudkan sebagai wahana apresiasi sastra yang terfokus maupun
sarana penampung tulisan kreatif dan opini para siswa serta guru, (2) pelatihan MMAS
[Membaca, Menulis, Apreasiasi Sastra] sejak Februari 1999 yang ditujukan untuk
menyadarkan maupun meningkatkan pemahaman para guru akan hakikat maupun
dinamika sastra, (3) kegiatan SBSB [Sastrawan Bicara, Siswa Bertanya] yang
dilaksanakan sejak tahun 2000 dan disponsori oleh The Ford Foundation untuk suatu
kegiatan interaktif antara para sastrawan dengan para siswa dari sejumlah sekolah di
Indonesia, (4) kegiatan SBMM [Sastrawan Bicara Mahasiswa Membaca] yang
dilaksanakan sejak tahun 2000 dimaksudkan sebagai tempat berdialog atau berdiskusi
antara para mahasiswa yang sebagian telah membaca karya-karya seorang sastrawan atau
lebih dengan para sastrawan itu, (5) kegiatan sayembara LMKS [Lomba Mengulas Karya
Sastra] dan LMCP [Lomba Menulis Cerita Pendek] untuk para guru yang dimaksudkan
sebagai sarana meningkatkan kemampuan mengapresiasi dan menulis ulasan maupun fiksi,
dan (7) kegiatan SSSI [Sanggar Sastra Siswa Indonesia] yang merupakan bengkel kerja
bagi upaya meningkatkan kebiasaan membaca, menulis, dan mengapresiasi sastra dengan
bimbingan para alumni kegiatan MMAS.
Selain Horison, tidak dapat diabaikan juga adalah strategi lembaga PPPG yang
terus-menerus giat mengadakan pelatihan TOT maupun penataran lain bagi para calon
instruktur dan para guru umumnya dengan melibatkan tenaga-tenaga terlatih dari
Universitas Indonesia, Universitas Negeri Jakarta, Universitas Pendidikan Indonesia,
maupun dari lembaga lain. Meskipun dari segi jumlah masih sedikit, dibandingkan dengan
jumlah guru se-Indonesia, pelatihan atau penataran semacam ini sangat efektif dalam
kaitan membuka cakrawala berpikir atau bersikap mengenai dunia sastra. Dari beberapa
kali pelatihan, sangat terlihat adanya perubahan yang signifikan pada diri para guru itu
akan apa yang seharusnya mereka lakukan ketika mereka kembali ke sekolah
masing-masing sebagai guru bahasa dan sastra Indonesia. Hanya sayangnya, kegiatan yang
dilaksanakan oleh PPPG ini kurang ditunjang pendanaannya oleh Departemen Pendidikan
Nasional. Bukan hanya aspek honorarium yang sangat kecil bagi para pelatih, tetapi juga
keberlangsungannya tidak dapat terlalu diharapkan terus-menerus, sementara jumlah guru
yang “harus” mengikuti pelatihan ini jumlahnya ribuan. Satu-satunya harapan adalah, para
instruktur yang sudah mengikuti TOT, dapat dan mampu menularkan pengetahuan atau
ilmunya kepada kolega di daerahnya. Hanya saja, hasil dari kegiatan yang terakhir ini
belum dapat diperoleh gambaran maupun datanya.
Lembaga lain yang harus disebut, meskipun sumbangan nyatanya dalam mengubah
paradigma pembelajaran sastra tidak terlalu kelihatan akibat dari belum terencananya
kegiatan, adalah HISKI (Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia) dan HPBI
(Himpunan Pembina Bahasa Indonesia) yang kadangkala mengadakan semacam pelatihan,
penataran, lokakarya, seminar, atau konferensi yang berhubungan dengan masalah bahasa
dan sastra. Kedua himpunan ini dinyatakan sebagai belum mempunyai rencana kegiatan
yang jelas dan langsung, dalam kaitannya dengan peningkatan pembelajaran bahasa dan
sastra, karena kedua lembaga ini adalah lembaga profesi yang lebih sering berkutat dengan
permasalahan internalnya saja, selain memang bahwa kedua himpunan ini tidak mempunyai
sumber dana yang pasti.
Apa yang digambarkan pada bagian ini, yang memberikan deskripsi perihal
kegiatan yang diprakarsai oleh Horison, PPPG, HISKI, maupun HPBI, mestilah
dipandang sebagai suatu dinamika positif yang memberikan sumbangan berarti bagi suatu
perkembangan kehidupan sastra maupun pengajaran dan pembelajaran sastra di Indonesia
dewasa ini. Jika apa yang dilakukan oleh lembaga atau himpunan-himpunan ini ditunjang
pula oleh aktivitas individual yang berperspektif masa depan, seperti tumbuhnya kesadaran
mengenai peran sentral guru dalam kurikulum, pemberdayaan aspek kreatif dalam
pembelajaran sastra, pemahaman yang berwawasan luas akan materi kurikulum yang
disesuaikan dengan kondisi dan situasi setempat, kesediaan diri para guru untuk juga
mereformasi sikap dan meluaskan bacaan mereka, serta terus-menerus memperbarui
variasi metode pengajarannya, niscaya pembelajaran sastra akan mengarah dan menuju ke
suatu wilayah yang amat membahagiakan, bermanfaat untuk orang banyak, dan mampu
meninggikan martabat guru itu sendiri maupun khazanah sastra Indonesia sendiri.

Harapan
Akhirnya memang hanya sebuah harapan. Mudah-mudahan, dengan berbagai
upaya, rencana, strategi, ancangan, maupun kehendak untuk selalu mengaktualisasi diri
dan menerapkan prinsip-prinsip demokratisasi dalam pembelajaran sastra, kehidupan
akademis maupun kehidupan sastra itu sendiri dapat berjalan beriringan dan saling
memanfaatkan. Untuk saat ini, di Indonesia, dapat dikatakan sebagai masa gemilang dalam
hal dunia penciptaan sastra. Para pengarang baru bermunculan, menawarkan berbagai gaya
dan tema, serta diam-diam telah mampu memposisikan diri sebagai sebuah ranah yang
tidak lagi seperti orang tua yang terbungkuk-bungkuk sambil sesekali batuk-batuk, tetapi
telah menjelma diri sebagai gadis manis yang selalu diimpi-impikan dan dirindui banyak
orang. Di Indonesia sekarang, orang cenderung tidak malu-malu lagi membawa atau
membaca novel mutakhir di keramaian atau di tempat-tempat umum. Malahan,
karya-karya fiksi Indonesia sekarang sudah menjadi benda hadiah untuk berbagai
perhelatan dan acara.
Oleh karena itu, dengan kenyataan kesastraan yang sedemikian ini, maka sinergi
antara dunia penciptaan sastra dengan dunia pembelajaran sastra sepatutnya tidak
terkendala lagi. Tinggal berpulang kepada para guru sendiri, untuk bersedia membuka diri,
meluaskan wawasan, serta memperkaya bacaan sastranya agar hakikat yang tersirat dalam
kurikulum yang terakhir ini dapat dioperasionalkan secara maksimal.

Anda mungkin juga menyukai