Anda di halaman 1dari 31

1.

Kertas Diskusi: Menggugat Penerapan Produk Rekayasa Genetik [PRG] di Indonesia Persamalahannya Benih PRG dan Apa yang

dikuatirkan banyak orang termasuk kami (KONPHALINDO) sekitar awal tahun 90an bahwa produk rekayasa genetik (PRG) akan menyerbu ke negara sedang berkembang termasuk Indonesia. Kini, hanya dalam tempo satu dekade saja kekuatiran itu telah menjadi kenyataan apalagi benih PRG mulai disebut-sebut akan menjadi komoditi strategis di sektor pertanian guna mengatasi persoalan ketahanan pangan nasional. Kehadiran benih PRG seakan memberi jawaban menjanjikan untuk mengatasi krisis pangan masa depan. Sejumlah ilmuwan muda, pengusaha dan pejabat pemerintah pun memuji dan menaruh harapan pada bidang teknologi rekayasa

genetika benih tersebut, bahkan secara diam-diam mereka telah mempersiapkan ujicoba beberapa jenis benih PRG tertentu untuk dilepas ke alam. Akhirnya, benih PRG tertentu secara material dinyatakan sudah layak sesuai laboratorium dan dijamin aman untuk dilepas ke alam. Maka,

teknik rekayasa genetika untuk benih pangan persoalannya beralih urusannya dari tangan laboratorium ke tangan pengusaha dan para pejabat pemerintahan, atau urusan komersial, hukum dan politik. Persoalan pelepasan benih PRG akan berhubungan dengan aturan-aturan sosial dan hukum-hukum alam, tidak heran apabila kehadiran benih PRG kemudian menuai kontroversi di kalangan masyarakat terkait dengan masalah ketimpangan ekonomi, dampak lingkungan, dan ketidakjelasan perangkat hukum

yang mengatur pelepasan benih PRG ke pasar. Ketidakjelasan perangkat

hukum mengatur pelepasan benih PRG telah disalahgunakan. Misalnya, dicurigai saat ini ujicoba benih PRG sudah dilaksanakan di beberapa daearah. Sayangnya informasi mengenai tahap ujicoba itu sangat terbatas, apalagi berharap untuk mendapatkan laporan hasil ujicoba lapangan itu semakin jauh, tidak mudah bisa diakses oleh publik. Padahal, informasi sumber benih PRG, jenis benih, kode benih, dan lokasi ujicoba benih PRG di lapangan merupakan hak yang harus diketahui oleh publik. Pejabat pemerintah kuatir dengan persoalan kegagalan panen, kemudian merancang program ketahanan pangan nasional. 1 Dalam program ketahanan

1 Masterplan Percepatan dan

Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Perencanaan Pembangunan Naisonal/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.

2. pangan tersebut mengajukan penggunaan benih PRG sebagai salah satu jawaban persoalan ketahanan pangan. Alasannya benih PRG tertentu tersebut memiliki keunggulan terhadap serangan bakteri, serangga atau hama yang sering menyebabkan kegagalan panen. Lembaga pemerintah yang diserahkan tanggungjawab untuk menguji kelayakan produk rekayasa genetika atau transgenik adalah Komisi Keamanan Hayati dan Pangan. Menurut Ketua Komisi

Keamanan Hayati dan Pangan (KKHP) bersama Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang

disampaikan kepada media cetak nasional, baru enam benih PRG yang direkomendasikan, dan benih PRG yang sudah siap dilepas ke alam bebas atau dipasarkan itu antara lain: benih PRG jagung, benih PRG padi, dan benih PRG tebu. Apabila ditelusuri ke belakang, ternyata benih PRG yang diumumkan di atas sebetulnya sudah lama dipersiapkan untuk dilepas ke alam atau dipasarkan namun tertahan masalah hukum yang mengatur pelepasannya. Karena belum ada peraturan teknis mengatur tata cara pelapasan benih PRG di Indonesia, dengan alasan itulah pada 5 Oktober 2011 Kementerian Pertanian mengeluarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 61/Permentan/OT/140.10/2011 tentang Pengujian, Penilaian, Pelepasan dan Penarikan varietas.2 Peraturan Menteri Nomor: 61

tahun 2011 yang baru ini bukan hanya mengatur aspek teknis mengenai tata cara pelepasan benih PRG ke pasar atau ke alam, namun lebih jauh lagi Permentan ini memberikan jalan terbuka dan pengakuan atau legitimasi terhadap penerapan benih PRG di wilayah Indonesia. Dengan demikian keragu-raguan dan perdebatan mengenai teknik rekayasa genetika benih pangan pun dianggap selesai, dan dinyatakan sudah layak dan aman sesuai rekomendasi KKHP, sesuai syarat pelepasannya merujuk tata-cara yang disebutkan dalam Permentan. Dibalik Permentan

PRG itu sendiri masih tersimpan keragu-raguan di kalangan ilmuwan, pada kenyataannya mereka masih kesulitan menjelaskan resiko dan dampak yang ditimbulkan dikemudian hari terhadap mahluk hidup dan ekosistemnya. Namun kekuatan

modal perusahaan pangan multinasional mendominasi proses politik pertanian nasional maka pandangan sosial dan lingkungan kurang dihiraukan. Seterusnya, mereka mencoba meyakinkan kepada semua orang bahwa benih PRG adalah jawaban masa depan pertanian yang menjanjikan. Bagaimanapun, penerapan benih PRG akan membawa persoalan baru di kalangan petani miskin dan persoalan tak kelihatan seperti ancaman keanekaragaman plasma nutfa di alam. Maka, suka atau tidak suka, persoalan

2 Catatan: Permentan ini sebetulnya bukan produk hukum baru tetapi perbaikan Permentan sebelumnya, yakni Permentan Nomor 37/Permentan/OT.140/8/2006 tentang Pengujian, Penilaian, Pelepasan dan Penarikan Varietas.

3. pelepasan benih PRG ke alam bebas atau ke pasar perlu dilakukan pengamatan dan pengawasan lebih ketat. Sementara persoalan kelembagaan untuk melaksanakan tugas pengamatan dan pengawasan itu sendiri masih rentang untuk diselewengkan dan disalahgunakan. PRG untuk pangan sudah dilegalkan di wilayah Indonesia, akan tetapi perangkat-perangkat lainnya seperti kontrol sosial dan mekanisme penyelesaian pelanggaran belum berfungsi sebagaimana diharapkan. Karane itulah, kami mengambil inisiasi menyusun kertas diskusi ini, yg diberi judul Menggugat Pelepasan Benih PRG di Indonesia. Tujuan dari kertas diskusi ini guna membangun konsolidasi di kalangan pemerhati penerapan transgenik, membangun kerjasama antar pemerhati lingkungan dan para petani, serta

pihak-pihak yang peduli masalah keberlanjutan ekologi dan pertanian berkelanjutan di Indonesia. Diharapkan terbangun kesadaran di kalangan pemerhati lingkungan dan organisasi atau kelompok petani mencermati dan mengawasi ancaman pelepasan benih PRG di wilayah Indonesia. Kehati-hatian Menggugat Penerapan Kecaman dan

tudingan terhadap bioteknologi modern pun seolah-olah sudah tak beralasan lagi saat ini, seperti dikuatirkan para peduli lingkungan, sejak Negara-negara peserta konvensi Keanekaragaman Hayati mengakui dan menandatangani sebuah dokumen bernama Protokol Cartagena yang khusus mengatur masalah Keamanan Hayati. Indonesia sebagai salah satu negara peserta konvensi Keanekaragaman Hayati, dan turut-serta menandatangani dokumen

tersebut, dan dinyatakan secara politik dengan meratifikasi Protokol Kartagena menjadi Undang-undang No. 21 tahun 2004. Selanjutnya, setahun kemudian pemerintah Indonesia menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 21 tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik (PRG). Segala

kekuatiran dan bahaya penerapan bioteknologi atau PRG di Indonesia seakan sudah diantisipasi dan dirumuskan dalam Peraturan Pemerintah ini, hal itu disebutkan dalam Pasal 3, Peraturan Pemerintah No.21 tahun 2005, yang bunyinya sebagai berikut: Pengaturan yang diterapkan dalam Peraturan Pemerintah ini menggunakan pendekatan kehati-hatian dalam rangka mewujudkan keamanan lingkungan, keamanan pangan dan/atau pakan dengan didasarkan pada metode ilmiah

yang sahih serta mempertimbangkan kaidah agama, etika, sosial budaya, dan estetika. Walaupun

penerapan PRG telah diakui dalam hukum Indonesia dan dinyatakan aman berdasarkan rekomendasi penelitian para ahli namun hal itu

4. tidak serta-merta berarti benih PRG itu sudah bisa bebas dilepas ke pasar atau alam, tetapi masih harus mempertimbangkan kaidah agama, etika, sosial budaya dan estetika dalam proses pengambilan keputusan. Sayangnya, pendapat agama, etika, sosial budaya dan estika itu masih belum diperhitungkan justru sebaliknya sering disalahgunakan untuk kepentingan komersialisasi pelepasan benih PRG itu sendiri. Penerapan kata

kehati-hatian itu sendiri masih memicu multitafsir dan perlu dirumuskan kembali. Alasannya, penerapan kata kehati-hatian saat

ini masih sebatas pencantuman dalam regulasi dan bersifat administrasi saja, pada kenyataannya masih sulit digunakan untuk mengukur dampak-dampak yang akan ditimbulkan, atau apakah bentuk kehidupan yang baru itu sungguh-sungguh aman ketika dilepas ke alam dan apakah aman dikonsumsi manusia. Bagaimanapun, kecerobohan dan kelalaian selalu mengintai dan menyertai benih PRG, hal itu bisa terjadi mulai dari pekerjaan di laboratorium sampai paska panen. Jadi, kesannya penerapan kehati-hatian di Indonsia lebih dititikberatkan pada aspek struktur kelembagaan yakni, Komisi Keamanan Hayati PRG, dan Balai Kliring Keamanan Hayati.3 Kehadiran kelembagaan KKH dan BCH kesannya sudah cukup kuat, bahkan dianggap telah mewakili dan memenuhi syarat kehati-hatian

keamanan hayati di Indonesia. Sayangnya, pengertian kehati-hatian itu belum memaksukan pertimbangan suara-suara lain sesuai perintah Pasal 3, PP 21 tahun 2005. Sebagian besar pemahaman kalangan masyarakat Indonesia melihat benih PRG itu seakan bukan lagi bentuk kehidupan, dan semua seakan berpikir bisa dikendalikan dan ditarik kembali jika tidak aman. Pandangan seperti itu ternyata menyesatkan sama sekali, kata Elenita C. Dano peneliti berasal dari Davao City, Filipina. Ia telah melakukan penelitian yang ekstensif khususnya isu-isu yang mempengaruhi konservasi dan pengembangan sumberdaya genetika tumbuhan berbasis komunitas di kawasan Asia Tenggara. Menurut dia, transgenik itu dapat menyebabkan perubahan-perubahan baik ekologi maupun sosial yang

tidak dapat ditarik kembali. Buruknya, perilaku pengusaha transgenik Indonesia itulah yang dikuatirkan karena mencoba menerobos pagar kehatian-hatian tersebut dengan berbagai cara antara lain, mengaburkan identitas benih PRG seakan benih biasa, dan harusnya masih tahap ujicoba tetapi sudah dilepas kepada petani, misalnya, cermati kasus kapas transgenik di Sulawesi Selatan. Sehubungan dengan persoalan itu perlu dipertimbangkan dan diperkuat jaringan pemerhati terhadap persoalan pelepasan benih PRG di Indonesia.

3 Struktur Kelembagaan KKH dan BCH diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 39 tahun 2010 tentang

5. Pro

Transgenik dan Pro Organik

Dikuatirkan penerapan pertanian nasional ke depan akan didominasi

teknologi transgenik modern atau benih PRG. Sudah tentu hal itu akan membawa konsekuensi terhadap persoalan sosial karena menciptakan kelas baru dan keberpihakan terhadap benih PRG, artinya keberhasilan benih PRG akan ditindaklanjuti dengan peningkatan sebaran luasan lahan penanamannya. Kelemahan, sampai saat ini belum ada informasi pasti mengenai jumlah luas lahan yang dialokasikan untuk penanaman benih PRG. Tidak ada batasannya, dan persoalan inilah yang dikuatirkan sebab benih biji-bijian PRG akan hidup berdampingan, dan dikuatirkan dari waktu ke waktu benih PRG akan mendominasi dan sebaliknya benih-benih lokal akan punah. Sementara sisi lain para petani tanaman organik akan berisiko tanamannya tercemar oleh tanaman benih PRG yang tumbuh di

sekitarnya, karena benangsari dapat berpindah dan menempuh perjalanan sampai jauh akibat terbawa angin atau berkat bantuan serangga dan burung. Hidup berdampingan sebagai sebuah kebijakan sangatlah berisiko, menurut Elenita. Bukti-bukti menunjukkan bahwa tanaman konvensional tercemar transgenik, meski tanaman transgenik itu ditanam secara eksperimental atau ujicoba dalam skala terbatas dan belum disetujui untuk penanaman komersial. Pengamanan benih PRG semakin ruwet di beberapa daerah Indonesia khususnya Pulau Jawa, misalnya, kepemilikan lahan petani dari waktu semakin kecil dan jarak antar lahan pertanian berdekatan. Bahkan lahan pertanian ada yang berbatasan dengan kawasan perlindungan plasma nutfa. Pencemaran transgenik pada tanaman konvensional, kerabat liar dan kerabat

gulmanya, tak terhindari dan dapat menimbulkan ancaman serius pada keanekaragaman hayati dan sumber genetika untuk keamanan pangan jangka panjang. Dikuatirkan status

varietas biji-bijian benih di alam liar maupun yang dikelola petani sangat rentan tercemar benih PRG. Sementara pertanian organik di Indonesia masih tahap sedang berkembang, dan belum dilihat sebagai pesaing utama pertanian transgenik. Namun demikian prospek petani untuk terjun ke pertanian organik mungkin akan terbatas akibat meluasnya budidaya benih PRG. Bagaimanapun, produk-produk pertanian organik ke depan akan memegang peran penting untuk menentang atau mengsaingi luasan dan dampak yang ditimbulkan oleh PRG. Sayangnya, pemerintah masih menutup sebelah mata terhadap produk pertanian organik, dan

melindungi varietas plasma nutfanya namun persoalan ini diserahkan kepada kebutuhan dan mekanisme pasar. Kontrol

Lemah Mekanisme Sosial

6. Pengawasan terhadap pelepasan PRG masih lemah di kalangan masyarakat kita, secara terprogram pengawasan keamanan hayati lebih bersumber pada kapasitas kerja kelembagaan antara lain: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Kantor Kementerian Lingkungan Hidup, dan Kementerian Pertanian, serta lembaga yang baru dibentuk yaitu, Komisi Keamanan Hayati dan Balai Kliring Keamanan Hayati. Selain kelembagaan pemerintah media cetak, lembaga independen dan organisasi petani kenyataannya masih terbatas kapasitasnya untuk melakukan kajian-kajian lapangan mengenai dampak pelepasan benih PRG di wilayah Indonesia.

Keseimbangan informasi mengenai pendekatan kehati-hatian penerapan PRG pun dirasakan kurang berimbang bahkan cenderung memberian informasi yang menyesatkan terhadap produk transgenik. Sebagai contoh, Ketua Komisi Keamanan Pangan dan Hayati Indonesia dan Asosiasi Benih Indonesia menilai persoalan benih PRG sudah aman dan mengalihkan benih PRG kepersoalan monopoli perusahaan asing, dan berharap pemerintah bisa membuka ruang untuk memproduksi benih rekayasa genetik dalam negeri. Yang dipertentangkan bukan mengenai substansi bahaya dan kehati-hatian dari benih PRG itu sendiri tetapi telah bergeser kepada isu politik ekonomi yakni monopoli impor PRG, dan mereka pun mengusulkan jalan keluarnya mendesak pemerintah untuk menghasilkan benih PRG dalam

negeri.

Hal yang tak bisa

diingkari mengapa penerapan PRG Indonesia didominasi pemikiran bioteknologi, dan sisi lain lemah kontrol sosial terhadap Komisi Keamanan Pangan dan Hayati Indonesia (KKPHI). Beberapa faktor penyebab lemahnya kontrol sosial terhadap KKPHI antara lain: belum ada kesamaan pandangan di kalangan masyarakat khususnya LSM soal penerapan teknologi transgenik di Indonesia. Masih terbatas kegiatan kajian maupun investigasi lapangan mulai dari tahap kegiatan laboratorium sampai pelepasan PRG di Indonesia. Belum terbangun jaringan kerja antar LSM, organisasi petani dan media cetak guna memberikan pelayanan informasi berimbang kepada masyarakat mengenai bahaya dibalik pelepasan PRG di Indonesia. Usulan Rencana Aksi Mengingat

masih banyak hal penting yang harus segera dikerjakan, perlu dikaji dan dipertegas sehubungan dengan penerapan benih PRG serta perangkat pendukung lainnya, untuk itulah kami menawarkan usulan rencana aksi ke depan, yaitu: 1.

Melakukan kajian pemetaan terhadap perusahaan-perusahaan GMO dan LMO yang bergerak atau beroperasi di Indonesia, dan jenis benih yang dimasukan ke dalam wilayah Indonesia.

7. 2. Melakukan kajian dan investigasi ke lokasi-lokasi pelepasan benih PRG, dan memberikan masukan kepada KKH dan BCH terkait dengan perkembangan fakta lapangan. 3. Melakukan diskusi terfokus dengan kelompok petani-petani pengguna benih transgenik dan benih non-transgenik, untuk mengindentifikasi pola pemanfaatan dan perubahan

sosial dan ekosistem pertaniannya. 4. Melakukan diskusi dengan KKH dan BCH hasil investigasi lapangan, dan mendesak membuat batasan-batasan kehati-hatian yang lebih nyata lagi seperti pembatasan luasan penyebaran GMO dan LMO di wilayah Indonesia. 5. Memperbanyak dan menyebarluaskan laporan investigasi atau studi lapangan kepada media publik, pihak terkait, dan kalangan masyarakat. 6.

Membangun jaringan kerja di kalangan LSM, organisasi petani, media publikasi dan akademisi guna membatasi penyebaranluasan pertanian transgenik dan memperkuat pertanian organik di wilayah Indonesia. 7. Memperkuat jaringan kerja dengan unsur-unsur yang berkaitan dengan kaidah agama, etika, sosial budaya, dan estetika. - *** -- Kertas Diskusi ini -

disusun oleh Ruddy Gustave,

KONPHALINDO (Konsorsium Nasional untuk Pelestarian Alam Indonesia), Desember 2011. Alamat Sekretariat:

Jalan: Slamet Riyadi IV, RT 10/RW 04, No. 49-50, Kelurahan Kebun Jakarta Timur

Manggis, Jatinegara,

13150 Phone/Fax: 021-8564164; Mobile: 0856 1154094 Email: konphalindo@gmail.com

8. Bacaan lebih lanjut: Biosafety and Environment; An Introduction to The Cartagena Protocol on Biosafety, UNEP & CBD, published June 2003. National Biosafety Framework of The Republic of Indonesia, Ministry of Environment of The Republic of Indonesia Cooperating with UNEP - GEF Project for The Development of National Biosafety Framework in Indonesia, 2004. Buku Putih Indonesia 2005 2025, Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Bidang Ketahanan Pangan, Diterbitkan oleh

Kementerian Negara Riset dan Teknologi Indonesia, 2006. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 39 tahun 2010 tentang Komisi Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 tahun 2004 tentang Pengesahan Cartagena Protokol on Biosafety on The Convention on Biological Diversity. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 61/Permentan/OT.140/10/2011 tentang Pengujian, Penilaian, Pelepasan, dan Penarikan Varietas. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 37/Permentan/OT.140/8/2006 tentang Pengujuan, Penilaian, Pelepasan dan Penarikan Varietas. Keputusan

Menteri Pertanian Nomor 107/Kpts/KB.430/2/2001 tentang

Pelepasan Secara Terbatas Kapas Transgenik Bt DP 5690B sebagai varietas unggul dengan nama NuCOTN 35B (Bollagard) Keputusan Menteri Pertanian Nomor 03/Kpts/KB.430/1/2002 tentang Lanjutan Pelepasan Secara Terbatas Kapas Transgenik Bt DP 5690B sebagai varietas unggul dengan nama NuCOTN 35B (Bollgard) sebagaimana telah ditetapkan dalam keputusan Menteri Pertanian Nomor 107/Kpts/KB.430/2/2001. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 102/Kpts/KB.430/2/2003 tentang Pelepasan Secara Terbatas Kapas Transgeni Bt DP 5690B sebagai varietas unggul dengan nama NuCOTN 35B (Bollgard)
http://www.slideshare.net/yunzz/kertas-diskusi-transgenik-indonesia

Begitulah. Sawah baru yang dibuka BUMN di Ketapang, Kalbar, sudah mulai panen. Sekarang pun tiap hari masih panen. Di sawah baru itu tiap hari memang dilakukan penanaman padi sehingga hampir tiap hari juga bisa panen. Panen pertama ini adalah hasil penanaman yang dilakukan

ramai-ramai oleh para direksi BUMN yang secara bersamasama bertekad all-out membantu peningkatan produksi beras nasional. Kini, di Ketapang, rata-rata setiap hari dilakukan penanaman padi 15 ha. Sampai minggu ini sudah lebih 500 ha sawah baru tercipta di sana. Sampai akhir Juni nanti sudah harus 1.000 ha. Begitulah terus-menerus dilakukan hingga akhirnya nanti mencapai 100.000 ha. Banyak sekali suka-duka menciptakan sawah baru di Ketapang ini. Sejak awal, berbagai kesulitan itu memang sudah dibayangkan. Bahkan, Dirut PT SHS saat itu, Kaharuddin, menyatakan produksi pertama sawah baru itu nanti maksimal hanya 4 ton. Memang begitulah teorinya. Maka, ketika hasil panen pertama itu mencapai 5,25 ton, sawah baru ini memberikan hope yang baik. Panen pertama itu pun dilakukan lima hari lebih cepat daripada seharusnya. Ada gelagat hama ulat grayak akan menyerang. Daripada dipanen ulat, pimpinan SHS di Ketapang, Kusmiyanto, memutuskan segera memanennya. "Waktu itu berminggu-minggu tidak ada hujan. Sawah mengering. Sungai di dekat situ lagi surut. Maka, muncullah ulat grayak," ujar Kusmiyanto. Munculnya hama ulat grayak memang sudah diperkirakan. Lahan yang selama ini dibiarkan tidak ditanami pasti dihuni berbagai renik beserta telurnya. Ketika dibuat sawah, pada dasarnya telur-telur itu masih ada di situ. Hanya, tidak bisa menetas karena tergenang air.

"Begitu berhari-hari tidak ada air, menetaslah," ujar Kusmiyanto yang alumni Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang itu. Pengalaman baru yang terbesar dari "universitas sawah baru" ini adalah dalam menata air. Bulan pertama pembukaan sawah baru seperti tidak ada persoalan. Pembukaan lahannya, pengolahan tanahnya, penanamannya, lancar-lancar saja. Maklum, waktu itu musim hujan. Begitu tidak ada lagi hujan, ketahuanlah berbagai macam kekurangannya. Tata air untuk perencanaan 500 ha tentu beda dengan untuk perencanaan ribuan hektare. Di sinilah diskusi, solusi, dan action terus dilakukan. Dari pengalaman bulan pertama dan kedua itulah penyempurnaan dilakukan. Hasilnya terlihat dari kian cepatnya pertambahan pencetakan sawah baru. Bulan pertama, satu hari rata-rata hanya bisa mencetak 7 ha sawah baru. Sekarang pencetakan dengan alat-alat modern itu sudah bisa 15 ha per hari. Tiga bulan lagi direncanakan bisa 50 ha per hari. Kian lama kian banyak pelajaran yang bisa diambil. Saya sudah minta kepada Kusmiyanto untuk mendokumentasikan semua persoalan yang muncul, jalannya diskusi, dan penyelesaian masalah yang diambil. Semua itu akan menjadi dokumen penting untuk program pencetakan sawah baru di masa depan. Penerapan berbagai teknologi pun dicoba di Ketapang. Berbagai jenis benih ditanam, diamati, dan dilihat perkembangannya. Demikian juga berbagai macam pupuk.

Termasuk pupuk dan benih dari PT Batantekno (Persero) hasil kerja sama dengan Batan dan BPPT. Benih padi Si Genuk yang diradiasi nuklir juga segera dicoba seluas 10 ha di Ketapang. Digabung dengan pupuk cair hasil kerja sama mereka. Si Genuk sudah dicoba di lahan SHS di Sukamandi, Jawa Barat, dan siap panen minggu ini. Di sini nama benih itu bermutasi menjadi Si Denok. Lahannya bersebelahan dengan lahan benih Ciherang. Secara kasat mata sudah terlihat beda. Saya melihat perbedaan itu saat meninjaunya. Waktu itu, padinya mulai agak menguning. ''Yang Si Denok terlihat menggarehal," ujar seorang staf PT SHS yang hanya bisa menggambarkannya dalam istilah Sunda. Sawah baru di Ketapang itu direncanakan ditanami padi dua kali setahun. Setelah panen pertama itu, sawah tersebut akan ditanami padi lagi, tapi jenis gogo. Ini mengantisipasi kesulitan air di musim kemarau. Toh, hasilnya juga tidak banyak berbeda. Setelah gogo, barulah lahan akan ditanami jagung. Sebenarnya, saya minta ditanami kedelai, sekalian untuk ikut mengatasi kekurangan kedelai, tapi tidak ada yang cukup pede melakukannya. Saya mengalah. Saya tahu kedelai memang jenis tanaman untuk iklim subtropis. Perlu persiapan khusus untuk ditanam di Ketapang. Fokus pemikiran tim Ketapang saat ini masih bagaimana mencetak sawah baru yang sekalian harus bisa memecahkan segala hambatannya. Sawah baru ini, kalau berhasil, akan memaksa PT SHS untuk

berubah total. Sudah bertahun-tahun BUMN ini tidak memiliki landasan bisnis yang kuat. Bisnis utamanya menyediakan benih, tetapi kemampuan menyediakan benih sendiri tidak sampai 5 persen dari kebutuhan benih nasional. Akibatnya, SHS harus bekerja sama dengan begitu banyak penangkar benih. Dengan segala permainannya. SHS tidak memiliki margin yang cukup untuk bisa mengembangkan dirinya menjadi tulang punggung penyedia benih unggul nasional. Bahkan, SHS terlibat pola gali lubang-tutup lubang yang lama-lama lebih dalam lubangnya daripada tutupnya. Kini begitu banyak BUMN yang mendukung SHS menyukseskan pencetakan sawah baru itu. Bukan saja untuk kecukupan pangan nasional, tapi juga untuk masa depan SHS sendiri yang harus kukuh. PT Pertani (Persero), BUMN bidang pertanian lainnya, juga tidak lebih kuat daripada SHS. Landasan bisnisnya juga rapuh. Gali lubang-tutup lubang, tumpang tindih pula. Tahun ini PT Pertani baru mulai memiliki dasar bisnis yang nyata: spesialis di bidang pascapanen. Tidak akan tumpangtindih dengan PT SHS dan Perum Bulog. Bahkan, ketiganya akan bisa bersinergi untuk secara tuntas membantu persoalan petani di segala lini. Di hulu, BUMN membantu produksi beras melalui program "yarnen", bayar kalau sudah panen. Petani yang tidak memiliki kemampuan mengadakan benih unggul dan pupuk dibantu BUMN. Agar hasil panennya lebih besar. Bantuan itu dikembalikan saat panen. Tahun ini program yarnen, bagian dari Gerakan Peningkatan Produksi Pertanian Berbasis

Korporasi (GP3K) BUMN, harus mencapai 2,6 juta hektare. Di hilir, ada Bulog yang menampung seberapa besar pun hasil panen. Tahun lalu Bulog sudah membuktikan diri mampu mencapai prestasi terbaiknya. Tahun ini Dirut Bulog Soetarto Alimuso bertekad untuk lebih baik lagi. Hulu-hilirnya sudah mulai bergerak. Tapi, tengah-tengahnya masih bolong. Penanganan gabahnnya masih belum mendapat perhatian. Bagaimana petani harus merontokkan gabah, mengeringkan, dan menggilingnya, masih belum ada BUMN yang menerjuninya. PT Pertani lah yang akan menjadi spesialis di tengah-tengah ini. Caranya: mengadakan mesin-mesin pengering gabah. Syaratnya: mesin itu tidak boleh menggunakan bahan bakar minyak. Tahun ini PT Pertani membangun 100 pabrik pengering dengan bahan bakar sekam padi. Selama ini, memang sudah banyak mesin pengering gabah di Bulog, tapi semuanya menggunakan solar. Mahalnya bukan main. Akhirnya tragis: nganggur semua!

DINAS Pertanian dan Peternakan (Distanak) Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar) bakal mematenkan varietas padi unggul nasional asal Kobar. Varietas padi tersebut diberi nama Padi Sungai Sekonyer. "Kita sedang mengurus hak paten padi sungai sekonyer sebagai varietas padi unggul nasional,"kata Kepala Distanak Kobar Akhmad Yadi kepada sejumlah wartawan di ruang kerjanya, Rabu (17/4). Ia melanjutkan varietas ini diberikan nama Sungai Sekonyer sesuai dengan nama daerah asalnya. Varietas ini telah didaftarkan sejak tahun 2011 dan telah melalui serangkaian verifikasi dari pusat. "Target kita awal 2014 sudah diakui." Varietas ini, lanjut dia, mempunyai beberapa keunggulan antara lain relatif tahan terhadap air asin, tahan rebah, aromanya harum, nasinya pulen seperti ketan dan hasil tonase per hektar tinggi antara 4,5-5 ton per hektare. "Berasnya harum, kalau kita masak di dapur, aromanya bisa tercium sampai ke jalan." Ditemui terpisah, Kepala Bidang (Kabid) Pengembangan Produksi Pertanian Suryati mengatakan eksplorasi terhadap padi unggul ini telah dimulai sejak 2012 lalu. Pascapengajuan, varietas ini telah diuji dan diverifikasi. Pasalnya, Kementerian Pertanian (Kementan) baru bisa memberikan paten apabila tidak ada varietas yang sama dengan padi sungai sekonyer ini. Sehingga harus dipastikan padi sungai sekonyer punya ciri khas yang berbeda dengan varietas padi lokal unggul dari daerah mana pun. Meski banyak varietas padi harum di Indonesia, lanjut dia, namun padi sungai sekonyer punya ciri khas pada pertumbuhan batangnya. Yakni, tumbuhnya tidak ke atas tapi menyamping. "Sidang penetapan varietas unggul akan dilakukan awal 2014 mendatang. Ada yang mirip memang padi celebes tapi tidak sama." http://gudangtutorial.blogspot.com/2013_04_01_archive.html

Anda mungkin juga menyukai