Childhood Poverty, Chronic Stress, Self-Regulation, Coping (Bahasa)

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 2

Childhood Poverty, Chronic Stress, Self-Regulation, and Coping

Sumber: Evans, G.W. & Kim, P. (2013). Childhood poverty, chronic stress, self-regulation, and coping. Child Development Perpectives. 7(1), pp 43-48. Kemiskinan merupakan faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan seseorang dalam berbagai aspek, seperti kognitif (Duncan & Brooks-Gunn, 1997, dalam Evans & Kim 2013), sosioemosional (Bradley & Corwyn, 2002, dalam Evans & Kim, 2013), dan kesehatan fisik (Chen, Matthews, & Boyce, 2002; Evans, Chen, Miller, & Seeman, 2012; Miller, Chen, & Parker, 2011). Dengan tingkat kemiskinan yang semakin meningkat di seluruh dunia, studi mengenai pengaruh kemiskinan terhadap perkembangan manusia pun semakin bertambah.Studi yang banyak diangkat dalam dua dekade terakhir adalah mengenai dampaknya terhadap anak-anak. Anak-anak yang dilahirkan di keluarga miskin pun memunculkan banyak masalah dalam perkembangannya. Hal ini dibahas oleh dua orang peneliti yang bernama Evans dan Kim. Kedua peneliti ini bersama dari Cornell University dan University of Denver. Keduanya meneliti mengenai kemiskinan pada anak, stres kronis, dan regulasi diri pada anak-anak. Kim dan Evans (2013) menjelaskan dua jalur yang paling banyak dipakai dalam menjelaskan kemiskinan pada anak-anak dan tahap perkembangannya. Jalur pertama membahas mengenai alasan mengapa anak-anak pada keluarga miskin lebih tertinggal dibandingkan dengan anak-anak lainnya, terutama dalam aspek kognitif. Hal ini sangat berkaitan dengan saran dan prasana, serta stimulus yang terpapar pada anak. Anak yang hidup dalam keadaan sosial ekonomi rendah lebih sedikit terpaparkan pada lingkungan dengan stimulus kognitif. Mereka lebih sedikit terpapar pada media massa, tulisantulisan berbau informasi yang dapat memperkaya pengetahuan mereka, mainan yang dapat meningkatkan kemampuan kognitif mereka, tempat-tempat informal yang dapat membantu meningkatkan kemampuan kognitif mereka, dll. (Bradley & Corwyn, 2002; Duncan & Brooks-Gunn, 1997; Evans, 2004, dalam Evans & Kim, 2013). Jalur kedua yang dijelaskan adalah mengenai hubungan antara perkembangan manusia atau anak-anak dalam konteks ini terhadap interaksi yang lebih sedikit dan kasar dari orangtua dengan penghasilan rendah. Orangtua dengan penghasilan rendah lebih sering berkonflik dan bertindak kasar. Mereka juga lebih sering melakukan hukuman secara fisik pada anak-anaknya. Selain itu, mereka juga memberikan perhatian dan dukungan yang lebih rendah, seperti tidak membantu anak-anaknya dalam mengerjakan pekerjaan sekolah atau memberikan informasi untuk anak-anaknya. Evans dan Kim juga membahas mengenai lingkungan tempat tinggal keluarga miskin. Salah satu alasan yang membuat anak-anak dalam keluarga miskin mengalami stres adalah karena lingkungan tempat tinggal mereka (Evans & Kim, 2013). Mereka harus tinggal di lingkungan keluarga yang berpenghasilan rendah, keluarga yang kerap memunculkan konflik, perpecahan dalam keluarga, depresi yang dirasakan oleh ibu, terpaparnya tindakan kekerasan, termasuk kekerasan yang dilakukan oleh orangtua. Anak dalam keluarga miskin juga tinggal dalam lingkungan tempat tinggal yang berantakan atau tidak memiliki struktur dengan jelas, bising, penuh dengan orang, dan kotor. Mereka juga terpapar pada berbagai polusi, kejahatan, kemacetan, dan memiliki sedikit tempat untuk melakukan kegiatan fisik dan akses terhadap makanan yang sehat.

Evans dan Kim (2013) menjelaskan dalam artikelnya mengenai hubungan antara kemiskinan anak-anak, regulasi diri anak-anak, dan coping strategies pada anak-anak tersebut. Evans dan Kim menjelaskan bahwa anak-anak yang dilahirkan dan tumbuh di keluarga miskin dengan lingkungan yang tidak ideal, maka akan berdampak negatif terhadap regulasi dirinya, yaitu seperti memiliki masalah dalam melakukan kontrol diri. Anak-anak di keluarga miskin juga memiliki strategi coping yang kurang tepat. Mereka yang kerap terpapar pada banyak stresor lebih memilih untuk menghindari masalah atau kabur dari masalah yang ada (Wolff, Wadsworth, & Santiago, 2010, dalam Evans & Kim, 2013). Terpaparnya kondisi ekonomi yang kurang akan memberikan stresor yang cukup besar kepada orangtua. Hal tersebut juga yang mempengaruhi interaksi antar orangtua dengan anaknya (Conger & Donnellan, 2007; Grant et al., 2003, dalam Evans & Kim, 2013). Hubungan orangtua dengan anak juga berhubungan dengan kemampuan regulasi diri pada anak. Orangtua yang tidak responsif dan bertindak kasar terhadap anak-anaknya akan menurunkan regulasi diri pada anak. Hubungan positif antar orangtua dengan anaknya akan memunculkan pengaruh yang positif terhadap well-being pada anak. Orangtua yang jarang berbincang dengan anaknya akan membuat kemampuan bahasa anak menjadi buruk. Hal tersebut akan membatasi kemampuan anak dalam melakukan regulasi emosi karena kurangnya kemampuan komunikasi dan pengetahuan mengenai ekspresi emosi. (Hoff et al., 2002, dalam Evans & Kim, 2013).

Anda mungkin juga menyukai