1. Pendahuluan/Latar Belakang
Sebelumnya WHO Regional Eropa telah melakukan uji coba suatu instrumen
yang akan digunakan untuk menilai kinerja mutu (performamce) rumah sakit
oleh WHO regional Eropa yang dinamakan Performance Assessment Tools for
Hospital (PATH).4, 5,6,7
Disampaikan pada Acara Pelatihan Penapisan Teknologi Kesehatan (Health Technology
Assessment/HTA) diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medis
Depkes RI, Hotel Bumikarsa Komplek Bidakara, 11 – 13 Agustus, 2009.
1
Banta D and Jonsson E. History of HTA: Introduction. Int J Techno Assess in Healthcare
2009:25(Suppl.1): 1-6.
2
The Joint Commission - Health care at the crossroads: Guiding principles for the development of
the hospital of the future, November 20, 2008.
3
The Joint Commission and The Joint Commission Resources - What does the future hold for
hospital care across the globe? The Hospital of the future . Florida, April 26-27, 2007.
4
WHO Regional Office for Europe. Measuring hospital performance to improve the quality of care in
Europe: a need for clarifying the concepts and defining the dimensions. January 2003
5
WHO Regional Office for Europe. How can hospital performance can be measured and monitored.
August 2003.
6
WHO Regional Office for Europe. PATH (Performance Assessment Tools for Quality Improvement
in Hospitals). 2007.
7
WHO Regional Office for Europe. Assuring the quality of care in the European Union. 2008
1
Kedua instrumen tersebut kemungkinan besar akan diterapkan oleh seluruh
rumah sakit di dunia sebagaimana halnya program WHO World Alliance for
Patient Safety – Move Program sebagai world class hospitals’ benchmarking.
Alangkah tepatnya bila kita bersiap untuk mengantisipasi hal tersebut di atas
dengan menyesuaikan situasi dan kondisi rumah sakit kita sekarang ke arah
kedua sistem tersebut dengan merangkum sistem yang telah ada dan berjalan
saat ini.
Pada makalah ini akan dibahas mengenai hasil kajian Komite Medik RSUP
Fatmawati terhadap ke dua sistem tersebut dan dibandingkan Sistem Komite
Medik RSUP Fatmawati yang telah berjalan sejak 2001 serta pembahasan
akan pentingnya peran penilaian teknologi kesehatan (health technology
assessment) dalam rangka upaya peningkatan keselamatan yang berfokus
kepada pasien dan efektif serta efisien di rumah sakit.
Dari segi sistem layanan rumah sakit akan dibahas mengenai konsep, struktur
dan model yang akan dibahas mengacu kepada Performance Assessments
Tools for Quality Improvement in Hospital (PATH) dari WHO tahun 2007
dan Guiding Principles for the Future Hospital dari Joint Commission
Amerika Serikat tahun 2008 serta kombinasi keduanya dalam rangka
implementasi penerapannya disesuaikan dengan kondisi di tanah air.
Dari segi layanan pasien sebagai individu melalui penyusunan
Pedoman/Standar Pelayanan Medis, Standar Prosedur Operasional sampai
implementasi Clinical Pathways sebagai alat entry point dalam rangka
peningkatan mutu layanan profesi.
2
2. Hasil Kajian Komite Medik RSUP Fatmawati Jakarta tentang USA The
Joint Commission: Hospital of the Future, WHO PATH dan Sistem Komite
Medik
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
3. Pembahasan
8
Adams C, Neely A. The performance prism to boost success. Measuring Health Business Excellence 2000;
4(3):19-23.
20
kepemimpinan (leadership) yang visioner, ‘survivalist’ dan konsekuen. Sistem
itu sendiri terdiri dari tiga komponen yakni struktur, proses dan hasil
(outcome ) yang sama pentingnya serta saling berhubungan dan saling
mempengaruhi.
Meskipun pelayanan kesehatan sangat bervariasi dari dan dalam satu rumah
sakit, wilayah ataupun di negara maju/industri dan dunia ketiga. Akan tetapi
ciri dan sifat masalah tersebut tidak jauh berbeda satu sama lainnya dalam
hal yang mendasar yakni semakin meningkatnya jumlah populasi usia lanjut
(perubahan demografi), tuntutan dan harapan pasien akan pelayanan,
pesatnya perkembangan teknologi kedokteran dan semakin terbatasnya
sumber dana.
9
Adams C, Neely A. The performance prism to boost success. Measuring Health Business Excellence 2000; 4(3):19-
21
Perkembangan evolusi mengenai bidang mutu (Quality), kaidah tehnik
mekanisme pengambilan keputusan untuk profesi seperti Evidence-based
(Medicine, Nursing, Healthcare, Health Technology Asssessment), dan
Sistem Layanan Kesehatan di rumah sakit sangat perlu dan penting untuk
diketahui terlebih dahulu sebelum menetapkan arah pengembangan suatu
sarana layanan kesehatan (rumah sakit) sehingga akan lebih mudah dalam
menilai progresivitas dan kinerja (performance) dalam bentuk indikator
indikator yang mencerminkan keadaan yang sesungguhnya.
23.
10
Firmanda D. Clinical Governance: Konsep, konstruksi dan implementasi manajemen medik. Disampaikan pada
seminar
dan business meeting “Manajemen Medis: dari Kedokteran Berbasis Bukti (Evidence-b ased Medicine/EBM)
menuju Clinical Governance” dalam rangka HUT RSUP Fatmawati ke 40 di Gedung Bidakar a Jakarta 30 Mei 2000.
11
Firmanda D. Professional continuous quality improvement in health care: standard of procedures, clinical
guidelines, pathways of care and evidence-based medicine. What are they? J Manajemen & Administrasi Rumah
Sakit Indonesia 1999; 1(3): 139-144.
12
Firmanda D. Dari penelitian ke praktik kedokteran. Dalam Sastroasmoro S dan Ismael S. Dasar dasar metodologi
penelitian klinis. Edisi ke-2. Jakarta: Sagung Seto, 2002.
13
Firmanda D. Clinical governance dan aplikasinya di rumah sakit. Disampaikan pada Pendalaman materi rapat kerja
RS Pertamina Jaya, Jakarta 29 Oktober 2001.
14
Firmanda D. Professional CQI: from Evidence-based Medicine (EBM) towards Clinical Governance. Presented at
rd
World IPA, Beijing 23 July 2001.
22
Gambar 1. Evolusi bidang mutu dan epidemiologi klinik. 2-6
Selama dua dekade tersebut manajemen bercorak ’doing things right’ yang
merupakan kombinasi ’doing things cheaper’ dan ’doing things better’.
Ternyata prinsip ’doing things right’ tidak memadai mengikuti perkembangan
kemajuan teknologi maupun tuntutan masyarakat yang semakin kritis; dan
prinsip manajemen ‘doing things right’ tersebut telah ketinggalan zaman dan
dianggap sebagai prinsip dan cara manajemen kuno.
Pada abad 21 ini menjelang era globalisasi dibutuhkan tidak hanya ’doing
things right’, akan tetapi juga diperlukan prinsip manajemen ‘doing the right
things’ (dikenal sebagai increasing effectiveness) sehingga kombinasi
23
keduanya disebut sebagai prinsip manajemen layanan modern ‘doing the right
things right’. (Gambar 2). 15, 16,17,
7-9
Gambar 2. Evolusi prinsip manajemen layanan kesehatan.
Pada saat ini, sedang dilakukan uji coba suatu instrumen yang akan digunakan
untuk menilai kinerja mutu (performamce) rumah sakit oleh WHO regional
Eropa yang dinamakan Performance Assessment Tools for Hospital
(PATH).18, 19,20,21 Instrumen tersebut kemungkinan akan diterapkan oleh
15
Firmanda D. Key to success of quality care programs: empowering medical professional. Global Health Journal
2000; 1(1) http://www.interloq.com/a26.htm
16
Firmanda D. The pursuit of excellence in quality care: a review of its meaning, elements, and implementation.
Global Health Journal 2000;1(2) http://www.interloq.com/a39vlis2.htm
17
Firmanda D. Total quality management in health care (Part One). Indones J Cardiol Pediatr 1999; 1(1):43-9.
18
WHO Regional Office for Europe. Measuring hospital performance to improve the quality of care in
Europe: a need for clarifying the concepts and defining the dimensions. January 2003
19
WHO Regional Office for Europe. How can hospital performance can be measured and monitored.
August 2003.
20
WHO Regional Office for Europe. PATH (Performance Assessment Tools for Quality Improvement
in Hospitals). 2007.
21
WHO Regional Office for Europe. Assuring the quality of care in the European Union. 2008
24
seluruh rumah sakit di dunia sebagaimana halnya program WHO World
Alliance for Patient Safety – Move Program30 sebagai world class hospitals’
benchmarking.
22
WHO Regional Office for Europe. Performance Assessment Tool for Quality Improvement in
Hospitals. Copenhagen, 2007.
23
WHO Regional Office for Europe. First Workshop on Pilot Implementation of the Performance
Assessment Tool for quality improvement in Hospitals. February 2004.
24
Groene O, Skau JKH, Frølich A. An international review of projects on hospital performance
assessment. International Journal for Quality in Health Care 2008 20(3):162-171
25
Groene O, Klazinga N, Kazandjian VB, Lombrail P, Bartels P. The World Health Organization
Performance Assessment Tool for Quality Improvement in Hospitals (PATH): An Analysis of the
Pilot Implementation in 37 Hospitals. International Journal for Quality in Health Care 2008
20(3):155-161.
26
Veillard J, Champagne F, Klazinga N, et al. A performance assessment framework for hospitals: the
WHO regional office for Europe PATH project. Int J Qual Health Care. 2005;17:487-96
27
Groene O. Pilot Test of the Performance Assessment Tool for Quality Improvement in Hospitals
(PATH). Copenhagen: WHO Regional Office for Europe. The Performance Assessment Tool for
Quality Improvement (PATH): preparing for the second wave of data collection. (2007) Copenhagen:
WHO Regional Office for Europe. Report on Indicator Descriptions (March 2007)
28
World Health Organization. Assessing health systems performance: first preparatory meeting for
the WHO European Ministerial Conference on Health Systems, 2008, Brussels. Copenhagen: WHO
Regional Office for Europe. 29-30.
25
Gambar 3. Pendekatan multi dimensi dalam menilai kinerja rumah sakit
berdasarkan instrumen PATH (Performance Assessment Tools for Quality
Improvement in Hospitals ) dari WHO Regional Eropa. 15-21
Groene dan kawan kawan20 melaporkan hasil penelitian uji coba di 37 rumah
sakit di Eropa bahwa implementasi PATH sebaiknya ditanamkan (embedded)
atau patch in dengan sistem yang telah ada dan sedang berjalan di rumah
sakit tersebut.
26
Minimal risk to the patient; Responsiveness to the patient;
Optimal contribution to health outcomes.
Terlihat disini terjadi pergeseran titik fokus yang sebelumnya lebih kepada
hal administrasi dan manajerial ke arah profesionalisme dan kompetensi
profesi dalam mekanisme pengambilan keputusan untuk memberikan layanan
yang terpadu, efisien dan berefek risiko minimal. Pergesaran tersebut
merupakan suatu evolusi dari komponen ke tiga dalam quality assurance yakni
quality improvement – dari prinsip prinsip doing things cheaper (efisiensi) ke
doing things better (quality improvement) dan doing the rights things
(effectiveness) menjadi doing the right things right. 29
Secara ringkas sebagaimana telah ditulis di atas PATH terdiri 6 dimensi yang
saling berkaitan yakni clinical effectiveness, safety, patient centeredness,
responsive governance, staff orientation dan efficiency (Gambar 4). Dari ke
enam keterkaitan dimensi tersebut ada 17 indikator utama (core indicators)
sebagaimana dalam Tabel 1 dan 24 indikator tambahan sesuai kondisi dan
30
kemampuan rumah sakit (tailored indicators).
29
Gary JAM. Evidence-based health care: how to make health policy and management decisions.
Churchill Livingstone, London 1999.
30
WHO Regional Office for Europe. Performance Assessment Tool for Quality Improvement in
Hospitals – Indicator descriptions (core sets), Copenhagen, 2007.
27
3.Mortality
4.Readmission
5.Day surgery
6.Admission after day surgery
7.Return to Intensive Care Unit (ICU)
B. Dimensi Efisiensi:
8.Length of stay
9.Surgical theatre use
28
Gambar 4. Hubungan yang berkaitan antar 6 komponen dimensi PATH dengan
17 indikator utama (core indicators) yang telah di modifikasi.55
29
Bila diperhatikan ke tujuh belas indikator utama di atas tidak semua dimensi
saling berkaitan (hanya dimensi kombinasi C linical effectiveness dengan
Safety dan dimensi kombinasi Staff orientation dengan Safety). Maka
indikator lain dari kombinasi lainnya disesuaikan dengan situasi, kondisi dan
kemampuan rumah sakit setempat yang terdiri dari 24 indikator tambahan
13-17,19
penyesuaian (tailored indicators).
Evidence Values
B
A
Resources
30
payah dan biaya yang dikeluarkan untuk penelitian tersebut mubazir dan tidak
tampak manfaatnya kepada masyarakat pengguna jasa kesehatan. Justru
yang diharapkan adalah posisi B yang mengkombinasikan ketiga faktor
tersebut (‘Evidence-based decision making/EBDM’).
31
4.1 Definisi dan Ruang Lingkup Penilaian Teknologi Kesehatan (PTK)
31
Bozic KJ, Pierce RG, Hendon JH. Current concept review of health technology assessment – basic principles and
clinical applications. Journal of Bone and Joint Surgery 2004; 86(6):1305-13.
32
Battista RN, Hodge MJ. The evolving paradigm of health technology assessment: reflections for the millennium.
CMAJ 1999; 160(60):1464-7.
33
European Network for Health Technology Assessment www.eunethta.net (accessed on August 26, 2008).
32
Gambar 6. Strata pemanfaatan pendekatan HTA dari tingkat pembuat
kebijakan/regulator, pelaksana kebijakan dan instrumen aplikasinya pada
tingkat layanan kesehatan (rumah sakit) dalam rangka kendali mutu dan
34
biaya.
34
Firmanda D. Pedoman implementasi HTA di RS fatmawati. Disampaiakan pada Sidang Pleno Komite Medik RSUP
Fatmawati, Jakarta 2 Juni 2008.
33
Gambar 7. Kerangka konsep implementasi evidence-based dan HTA dikaitkan
dengan sistem pembiayaan dan Undang Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang
13
Praktik Kedokteran.
Pada saat seorang dokter lulus dari institusi pendidikan akan mendapat
ijasah dan sertifikat kompetensi sebagai tanda lulus dan pengakuan
kemampuan kompetensinya sebagai individu dokter dan berhak untuk
mendapatkan Surat Tanda Registrasi (STR) untuk waktu 5 tahun sesuai
dengan Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional35 dan Undang Undang
36
Praktik Kedokteran . Pertanyaan akan timbul;
35
Undang Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 61.
36
Undang Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 7 dan Pasal 8.
34
2. Apakah dokter tersebut dapat memberikan pelayanan kesehatan
sesuai dengan yang diharapkan berdasarkan Standar Profesi dan
Standar Pelayanan Medik dalam rangka memenuhi salah satu dari
falsafah tujuan dasar Undang Undang Praktik Kedokteran yakni
melaksanakan praktik kedokteran yang memberikan perlindungan dan
keselamatan pasien?37,38
3. Apakah dokter tersebut telah dapat memberikan pelayanan sesuai
dengan Clinical Pathways dan kajian varians dari Sistem Pembiayaan
berdasarkan metode DRGs Casemix untuk melaksanakan praktik
39,40,41
kedokteran secara kendali mutu dan biaya?
Disini letak akan pentingnya dimensi tempat, waktu dan individu profesi dalam
meninjau kinerja (performance ) keprofesiannya. Kinerja atau performance
tersebut tercermin dalam satu buku seperti log book individu atau di negara
luar dikenal sebagai PYA (Penultimate Year Assessment) Form atau dalam
bentuk portolio profesi dokter tersebut.42, 43
37
Undang Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 2 dan Pasal 3 ayat 1.
38
Firmanda D. Standar Fasilitas dalam penetapan kompetensi profesi di sarana pelayanan kesehatan. Disampaikan
dalam Semiloka Standar Fasilitas Rumah Sakit berkaitan dengan Undang Undang Praktik Kedokteran.
Diselenggarakan oleh Konsorsium Pelayanan Medik (KPM) Dirjen Bin Yan Medik Depkes RI di Hotel Mulia Jakarta
7 Februari 2006.
39
Undang Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 49 ayat 1.
40
Firmanda D. Integrated Clinical Pathways: Peran profesi medis dalam rangka menyusun Sistem DRGs Casemix di
rumah sakit. Disampakan pada kunjungan lapangan ke RSUP Adam Malik Medan 22 Desember 2005, RSUP Hasan
Sadikin Bandung 23 Desember 2005 dan Evaluasi Penyusunan Clinical Pathways dalam rangka penyempurnaan
Pedoman DRGs Casemix Depkes RI, Hotel Grand Cempaka Jakarta 29 Desember 2005.
41
Firmanda D, Pratiwi Andayani, Nuraini Irma Susanti, Srie Enggar KD dkk. Clinical Pathways Kesehatan Anak dalam
rangka implementasi Sistem DRGs Casemix di RS Fatmawati, Jakarta 2006.
42
Royal College of Paediatrics and Child Health. Guide to Penultimate Year Assessment. London, 2004.
43
Royal College of Medicine. Implementation of Penultimate Year Assessment. London 2004.
44
Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 49 Ayat 1 dan penjelasannya.
45
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 131/Menkes/SK/II/2004 tentang Sistem Kesehatan Nasional. Bab IV
Subsistem Upaya Kesehatan.
46
Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 49 Ayat 2 dan penjelasannya.
47
Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 49 Ayat 3 dan penjelasannya.
48
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor No. 496/Menkes/SK/IV/2005 tentang Pedoman Audit Medis di Rumah
Sakit.
35
Sedangkan yang dimaksud audit medis adalah upaya evaluasi secara
profesional terhadap mutu pelayanan medis yang diberikan kepada pasien
dengan menggunakan rekam medisnya yang dilaksanakan oleh profesi medis.19
Rekam Medis adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang
identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang
49 50 51
diberikan kepada pasien , yang harus dibuat dan dilengkapi serta dijaga
kerahasiaannya.52,53,54
Peran dan fungsi Komite Medik di rumah sakit adalah menegakkan etik dan
mutu profesi medik.55 Yang dimaksud dengan etik profesi medik disini adalah
mencakup Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI)56 , Kode Etik Penelitian
Kedokteran Indonesia (untuk saat ini dapat diadopsi dan digunakan Kode Etik
Penelitian yang dipakai oleh institusi pendidikan) dan Kode Etik Pendidikan
Kedokteran Indonesia (untuk sementara ini bagi profesi medik dapat
mengacu kepada KODEKI). 57
Sedangkan istilah mutu profesi medik itu sendiri dapat ditinjau dari berbagai
sudut yang berbeda tergantung dari nilai pandang (perspektif) dan norma
norma yang berlaku serta disepakati secara konsensus. Dapat ditinjau dari
segi profesi medis, perawat, manajer, birokrat maupun konsumen pengguna
jasa pelayanan sarana kesehatan (Quality is different things to different
people based on their belief and norms).58
49
Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 46 Ayat 1 dan penjelasannya.
50
Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 79 huruf b.
51
Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 46 Ayat 2 dan penjelasannya.
52
Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 47 Ayat 2.
53
Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 48.
54
Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) Pasal 12.
55
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 631/SK/Menkes/IV/2005 tentang Pedoman Peraturan Internal Staf
Medis (Medical Staff Bylaws) di rumah sakit.
56
Undang Undang RI Nomor 29 Tahun 2004 Pasal 8 huruf f dan penjelasannya.
57
Komunikasi pribadi dengan Prof. DR. Dr. FA. Moeloek, Sp.OG (Ketua Konsil Kedokteran) Rabu 16 Mei 2007.
58
Adams C, Neely A. The performance prism to boost success. Measuring Health Business Excellence 2000;
4(3):19-23.
36
pendekatan evidence-based medicine. Secara ringkasnya langkah tersebut
sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 8 berikut.
37
Untuk implementasi praktis kajian analisis di atas dapat merujuk buku yang
ditulis oleh Sudigdo S dan kawan kawan 59 terutama pada bab 21 dan 22
mengenai telaah kritis makalah kedokteran.
59
Sudigdo S, Ismael S. Dasar dasar metodologi penelitian klinis. Edisi 2. Sagung Seto;
Jakarta 2002.
38
Contoh:
Pasien anak A, 10 tahun dengan keluhan sakit tenggorokan dan demam, serta
didapatkan eksudat dan pembesaran kelejar getah bening. Prevalensi
penyakit tersebut 40%. Hasil uji antigen terhadap strep: positif. Dalam
leaflet tertulis bahwa cara uji tersebut mempunyai sensitifitas 90% dan
spesifisitas 90%. Kemungkinan anak terebut mengidap penyakit disebabkan
Streptokokus?
Langkah Langkah:
Prevalens
40%
(Pre-test probability)
40% = 40/(100-60) =
Rasio Odds 40:60
(Pre-test Odds Ratio) 4:6
X RK X 9
36:6 = 36/(36+6) =
36/42
Probability 0.86
(Post-test probability) 86%
39
Untuk memudahkan mengenai hubungan sensitifitas, spesifisitas dan rasio
kemungkinan positif (positive likelihood ratio) dalam memilih penunjang
pemeriksaan diagnostik (untuk profesi medis) dan pihak manajerial dalam
menentukan pemilihan dan pengadaan alat penunjang dapat digunakan table
sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 9 berikut.
Selanjutnya untuk terapi dan prognosis diabjurkan untuk membaca buku dari
sudigdo dan kawan kawan.13
40
Peran Clinical Effectiveness (dari HTA) dalam Sistem Layanan Kesehatan
Rumah Sakit
Gambar 10. Model implementasi HTA dalam Clinical Governance dan sistem
pembiayaan DRG Casemix rumah sakit.60
60
Firmanda D. Sistem Komite Medik RSUP Fatmawati Jakarta, 2003.
41
– di Rumah Sakit Fatmawati dikenal sebagai Sistem Komite Medik dan Sistem
SMF 66 - telah berjalan sejak tahun 2003, mengkombinasikannya dengan
67 68,69,70,71
Sistem Pembiayaan Casemix melalui pendekatan mutu profesi yakni
dengan memadukan sistem pelayanan berkesinambungan (continuing of care) –
dikenal sebagai dalam bentuk Alur Penerimaan Pasien 72,73 dan Kebijakan
74,75
Pelayanan secara by names yang telah ada dengan Standar Pelayanan
76 6-77
Medis dari seluruh 20 SMF melalui Clinical Pathways. (Lihat Gambar 12
dan 13) untuk mengantisipasi berbagai kegiatan program WHO dalam patient
safety di atas (Nine Patient Safety Solutions – Preamble May 2007 dan Safe
Surgery Save Lives 2008 ).
Sedangkan deviasi dari isi komponen Clinical Pathways dicatat sebagai dalam
kolom varians dan ditindak lanjuti sebagai variance tracking dengan
st nd
menggunakan mekanisme audit medis tingkat pertama atau kedua (1 and 2
Party Medical Audit) sesuai dengan Pedoman Audit Medis Komite Medik RS
61
Firmanda D. Clinical Governance : Konsep, konstruksi dan implementasi manajemen medik. Disampaikan pada
seminar dan business meeting “Manajemen Medis: dari Kedokteran Berbasis Bukti (Evidence- based
Medicine/EBM) menuju Clinical Governance” dalam rangka HUT RSUP Fatmawati ke 40 di Gedung Bidakara
Jakarta 30 Mei 2000.
62
Firmanda D. Professional continuous quality improvement in health care: standard of procedures, clinical
guidelines, pathways of care and evidence -based medicine. What are they? J Manajemen & Administrasi Rumah
Sakit Indonesia 1999; 1(3): 139-144.
63
Firmanda D. Dari penelitian ke praktik kedokteran. Dalam Sastroasmoro S dan Ismael S. Dasar dasar
metodologi penelitian klinis. Edisi ke-2. Jakarta: Sagung Seto, 2002.
64
Firmanda D. Clinical governance dan aplikasinya di rumah sakit. Disampaikan pada Pendalam-an materi rapat kerja
RS Pertamina Jaya, Jakarta 29 Oktober 2001.
65
Firmanda D. Professional CQI: from Evidence-based Medicine (EBM) towards Clinical Governance. Presented at
rd
World IPA, Beijing 23 July 2001.
66
Komite Medik RS Fatmawati. Sistem Komite dan Sistem SMF di RS Fatmawati Jakarta 2003.
67
Firmanda D. Pedoman Penyusunan Clinical Pathways dalam rangka implementasi Sistem DRGs Casemix di rumah
sakit. Disampaikan dalam Sidang Pleno Komite Medik RS Fatmawati, Jakarta 7 Oktober 2005.
68
Firmanda D. Key to success of quality care programs: empowering medical professional. Global Health Journal
2000; 1(1) http://www.interloq.com/a26.htm
69
Firmanda D. The pursuit of excellence in quality care: a review of its meaning, elements, and implementation.
Global Health Journal 2000;1(2) http://www.interloq.com/a39vlis2.htm
70
Firmanda D. Total quality management in health care (Part One). Indones J Cardiol Pediatr 1999; 1(1):43-9.
71
Firmanda D. Editorial: Profesionalisme. Medicinal 2000; 1(1):6.
72
Rumah Sakit Fatmawati. Kebijakan tentang Penerimaan Pasien Rawat Inap (Admission) Nomor Dokumen
HK.00.07.1.256 tanggal 15 September 2003 dengan Nomor Revisi HK.00.07.1.201 tanggal 10 Mei 2005.
73
Rumah Sakit Fatmawati. Prosedur tentang Penerimaan Pasien Rawat Inap (Admission) Nomor Dokumen
HK.00.07.1.257 tanggal 15 September 2003 dengan Nomor Revisi HK.00.07.1.202 tanggal 10 Mei 2005.
74
Rumah Sakit Fatmawati. Kebijakan tentang Program Pilih Dokter. Nomor Dokumen HK.00.07.1.49 tanggal
28 Februari 2003.
75
Rumah Sakit Fatmawati. Prosedur tentang Program Pilih Dokter. Nomor Dokumen HK.00.07.1.49 tanggal
28 Februari 2003.
76
Komite Medik RS Fatmawati. Standar Pelayanan Medis 20 SMF di RS Fatmawati Jakarta 2003.
77
Disampaikan pada First Indonesian-Malaysian Casemix Conference 2006. Diselenggarakan oleh Direktorat
Jenderal Bina Pelayanan Medik Depkes RI di Goodway Hotel Batam, 21-23 November 2006.
42
Fatmawati 78,79,80,81 dan Panduan Manajemen Risiko Klinis dan Keamanan/
Keselamatan Pasien (Clinical Risks Management and Patient Safety) Komite
82
Medik RS Fatmawati dengan cara Root Cause Analysis (RCA), Failure Mode
of Effective Analysis (FMEA) atau Probability Risks Assessment (PRA) serta
Panduan Health Impact Intervention Komite Medik RS Fatmawati.83
78
Firmanda D. Pedoman Audit Medis Komite Medik RS Fatmawati. Jakarta 1999.
79
Firmanda D. Pelaksanaan Audit Medik. Disampaikan dalam Semiloka Pelaksanaan Audit Medik di RSUD
Dr. Soetomo, Surabaya pada tanggal 11 Desember 2003.
80
Firmanda D. Pengalaman Komite Medis RS Fatmawati dalam melaksanakan Audit Medis. Disampaikan dalam Temu
Karya I: Implementasi Good Clinical Governance di bidang Pelayanan Medis, Jakarta 27 September 2004.
81
Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 496/Menkes/SK/IV/2005 tentang Pedoman Audit Medis di Rumah Sakit.
82
Firmanda D. Panduan Manajemen Risiko Klinis dan Keamanan/Keselamatan Pasien (Clinical Risks Management and
Patient Safety ) Komite Medik RS Fatmawati, Jakarta 2005.
83
Firmanda D. Panduan Health Impact Intervention Komite Medik RS Fatmawati, Jakarta 2006.
43
Gambar 12. Strategi Komite Medik RSUP Fatmawati dalam rangka antipasi
program WHO dalam patient safety
44
Gambar 13. Antisipasi Komite Medik RSUP Fatmawati dalam rangka program
WHO World Alliance for Patient Safety- Safe Surgery Save Lives 2008
untuk Instalasi Bedah Sentral.
Oleh karena itu diperlukan satu instrumen yang dapat merangkum seluruh
kegiatan yang diberikan kepada pasien selama dirawat di rumah sakit melalui
45
suatu sistem layanan yang jelas dan terukur serta dapat memberikan
kepastian jaminan mutu dan biaya serta hasil yang dapat dipertanggung
jawabkan secara profesi maupun administrasi keuangan. Hasil dalam
instrumen tersebut dapat dipergunakan sebagai dasar perencanaan rumah
sakit berikutnya.
Defiinisi
84
Firmanda D. Pedoman Penyusunan Clinical Pathways dalam rangka implementasi Sistem DRGs Casemix di rumah
sakit. Disampaikan dalam Sidang Pleno Komite Medik RS Fatmawati, Jakarta 7 Oktober 2005.
85
Firmanda D. Clinical Pathways: Peran profesi medis dalam rangka menyusun Sistem DRGs Casemix di rumah sakit.
Disampakan pada kunjungan lapangan ke RSUP Adam Malik Medan 22 Desember 2005, RSUP Hasan Sadikin
Bandung 23 Desember 2005 dan Evaluasi Penyusunan Clinical Pathways dalam rangka penyempurnaan Pedoman
DRGs Casemix Depkes RI, Hotel Grand Cempaka Jakarta 29 Desember 2005.
86
Firmanda D, Pratiwi Andayani, Nuraini Irma Susanti, Srie Enggar KD dkk. Clinical Pathways Kesehatan Anak dalam
rangka implementasi Sistem DRGs Casemix di RS Fatmawati, Jakarta 2006.
46
d. Pencatatan CP seluruh kegiatan pelayanan yang diberikan kepada pasien
secara terpadu dan berkesinambungan tersebut dalam bentuk
dokumen yang merupakan bagian dari Rekam Medis.
e. Setiap penyimpangan langkah dalam penerapan CP dicatat sebagai
varians dan dilakukan kajian analisis dalam bentuk audit.
f. Varians tersebut dapat karena kondisi perjalanan penyakit, penyakit
penyerta atau komplikasi maupun kesalahan medis (medical errors) .
g. Varians tersebut dipergunakan sebagai salah satu parameter dalam
rangka mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan.
87
Firmanda D. Kodefikasi ICD 10 dan ICD 9 CM: indikator mutu rekam medik dalam rangka meningkatkan mutu
pelayanan rumah sakit. Disampaikan pada Sosialisasi Pola Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit.
Diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Depkes RI di Hotel Panghegar Bandung 1-3 Juni
2006.
88
Departemen Kesehatan RI. Buku Petunjuk Pengisian, Pengolahan dan Penyajian Data Rumah Sakit. Direktorat
Jenderal Bina Pelayanan Medik Depkes RI, Jakarta 2005.
47
a. Penetapan judul/topik Clinical Pathways yang akan dibuat.
b. Penetapan lama hari rawat.
3. Untuk variabel tindakan dan obat obatan mengacu kepada Standar
Pelayanan Medis, Standar Prosedur Operasional dan Daftar Standar
Formularium yang telah ada di rumah sakit setempat. Bila perlu
standar standar tersebut dapat dilakukan revisi sesuai hasil analisis
clinical effectiveness dari HTA terakhir dan kesepakatan setempat.
4. Pergunakan Buku ICD 10 untuk hal kodefikasi diagnosis dan ICD 9 CM
untuk hal tindakan prosedur sesuai dengan profesi/SMF masing
80-81
masing.
Agar dalam menyusun Clinical Pathways terarah dan mencapai sasaran serta
efisien waktu, maka diperlukan kerjasama dan koordinasi antar profesi di
SMF, Instalasi Rawat Inap (mulai dari gawat darurat, ruangan rawat inap,
ruangan tindakan, instalasi bedah, ICU/PICU/NICU) dan sarana penunjang
(instalasi gizi, farmasi, rekam medik, akuntasi keuangan, radiologi dan
sebagainya). Lihat Gambar 14 sampai dengan Gambar 19.
48
Gmbar 14. Keterkaitan dan keterpaduan antar profesi dalam menyusun
Clinical Pathways.
49
Gambar 15. Peran profesi medis dalam menyusun Clinical Pathways dengan
memanfaatkan SPM/SPO hasil analisis HTA .
50
Gambar 16. Peran profesi rekam medis dalam menyusun Clinical Pathways.
51
Gambar 17. Peran profesi keperawatan dalam menyusun Clinical Pathways
dengan memanfaatkan Asuhan Keperawatan.
52
Gambar 18. Peran profesi apoteker dalam menyusun Clinical Pathways.dengan
memanfaatkan hasil analiasis clinical effectiveness dan economic analysis
HTA.
53
54
Gambar 19. Peran profesi akutansi dalam menyusun Clinical Pathways.
55
Format Umum Clinical Pathways
Langkah selanjutnya adalah mengkaji dan mendesain Format Umum Clinical
Pathways sebagai ‘template’ untuk setiap profesi untuk membuat clinical
pathways masing masing sesuai dengan bidang keahliannya dan melibatkan
multidisiplin profesi medis, keperawatan dan farmasis/apoteker sebagai
contoh dapat dilihat pada Gambar 20 berikut.
89
Gambar 20. Contoh Format Umum Clinical Pathways salah satu rumah sakit
89
Firmanda D. Penyusunan Clinical Pathways. Disamapaikan pada Pelatihan dan Penyusunan Clinical Pathways di RSUP
Wahidin Sudirohusodo dan FK Universitas Hasanudin 7-8 Agustus 2008 di Makassar.
56
Hubungan Clinical Pathways dalam Sistem Casemix (INA-DRG)
57
Tabel 2. Klasifikasi 23 Major Diagnostic Categories dalam INA-DRG
58
Gambar 21. Contoh Koding MDC dan kaitan dengan severity dan biaya.
59
Sedangkan Clinical Pathways dapat dipergunakan sebagai alat untuk
implementasi PATH sebagaimana dapat dilihat hubungan antar keduanya pada
Gambar 22 berikut.
Implementasi Model HTA dalam sistem layanan bersifat doing the right
things right (Gambar 2) melalui clinical governance dan pembiayaan DRG
90
Firmanda D. How to develop Safety and Patient Centredness for Clinical Effectiveness. Disampaikan pada
Hospital Management 3 yang diselenggarakan oleh Pusat Kajian Administrasi dan Kebijakan Kesehatan FKM UI di
Grand Angkasa Hotel International, Medan 11 Agustus 2008.
60
casemix (Gambar 8) pada tingkat rumah sakit serta penilaian kinerjanya
PATH (Gambar 9 dan 10) dalam rangka menuju world class hospital harus
diikuti secara sinergis oleh seluruh departemen/bagian/SMF sebagai satu
kesatuan komponen yang tidak terpisahkan.
Untuk profesi medis yang bergabung dalam Departemen/Bagian/SMF
Kesehatan Anak – model implementasi HTA sebagaimana dalam Gambar 23
berikut, tinggal diperbanyak lagi topik/judul analisis clinical effectiveness
HTA dari berbagai penyakit yang sering dijumpai dan mempunyai dampak
(impact) kepada masyarakat dan biaya. Opik/judul tersebut sebaiknya tidak
hanya bersifat tindakan kuratif, namun juga promotif dan rehabilitatif dalam
rangka meningkatkan kualitas hidup (QALY).
61
Sedangkan indikator PATH untuk Departemen/Bagian/SMF Kesehatan Anak
dan bahkan rumah sakit khusus ibu dan anak dapat dilihat pada Gambar 24
sampai Gambar berikut dalam rangka menuju Pediatrics World Class.
62
63
64
65
66
CONTOH TECHNOLOGY ADOPTION DARI NHS UK:
67
DAFTAR PUSTAKA
1. Asch SM, Sloss EM, Hogan C, Brook RH, Kravitz RL. Measuring underuse
and necessary care among elderly Medicare beneficiaries using inpatient
and outpatient claims. JAMA. 2000, 284:2325-33.
2. Banta D, Oortwijn W. Health technology assessment and health care in
the European Union. International Journal of Technology Assessment in
Health Care, 2000, 16(2):626-635.
3. Banta D. The development of health technology assessment. Health
Policy, 2003, 63:121-132.
4. Drummond M. The use of economic evidence by healthcare decision
makers. European Journal of Health Economics, 2001, 2:2-3.
5. Drummond M. Making economic evaluations more accessible to health
care decision-makers. European Journal of Health Economics 2003;4:
246-247.
6. Drummond M. Health technology assessment. Has the UK got it right?,
London School of Economics, 2006 (Merck Trust Lecture 2005/2006).
7. Drummond M, Weatherly H. Implementing the findings of health
technology assessments: if the CAT got out of the bag, can the TAIL
wag the dog? International Journal of Technology Assessment in Health
Care, 2000, 16(1):1-12.
8. Eisenberg JM. Ten lessons for evidence-based technology assessment.
JAMA, 1999, 17:1865-1869.
9. Eisenberg JM, Zarin D. Health technology assessment in the United
States: past, present, and future. International Journal of Health
Technology Assessment in Health Care, 2002, 18:192-198.
10. Goodman CS. Healthcare technology assessment: methods, framework,
and role in policy making. American Journal of Managed Care, 1998,
4:SP200-214.
11. McNeil BJ. Hidden barriers to improvement in the quality of care. New
England Journal of Medicine, 2001; 345: 1612-20.
12. Velasco Garrido, M, Busse, R. Health Technology Assessment—An
Introduction on Objectives, Role of Evidence, and Structure in Europe.
Policy Brief. Brussels, European Observatory on Health Systems and
Policies, 2005.
13. Zentner A, Valasco-Garrido M, Busse R. Methods for the comparative
evaluation of pharmaceuticals. GMS Health Technology Assessment,
2005, 1:Doc09.
68
LAMPIRAN
This summary form is intended as an aid for those who wish to make a
record of the extent to which a health technology assessment report meets
the 17 questions given in the checklist.
been listed.
69
Ringkasan Laporan Penilaian Teknologi Kesehatan
Authors identified?
3 Ada pernyataan tidak ada
keterkaitan kepentingan pribadi?
70
No Jenis Lengkap Tidak Tidak Ada
Lengkap
Alasan ?
Why?
6 Ada bahan rujukan sebagai dasar
alasan untuk melakukan penilaian?
Cara?
How?
9 Ada keterangan sumber informasi
yang diperoleh?
Information on selection of
material for assessment ?
11 Ada penjelasan tentang
interpretasi data terpilih?
71
No Jenis Lengkap Tidak Tidak Ada
Lengkap
Apa hasilnya?
What are the results?
12 Apakah hasil penilaian tersebut
disajikan dengan jelas?
Medico-legal implications
considered?
16 Apakah kesimpulan penilaian
disajikan dengan jelas?
72
Penjelasan
Explainations
Tujuan
Objective
………………………………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………………………
Ditujukan kepada
Intended audience
………………………………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………….
Isi Checklist
……………………………………………………………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………………………………………………………
73