Anda di halaman 1dari 3

Unity And Diversity | 1

Makna Judul:
Hukum Islam antara Unity dan Diversity bermakna bahwa hukum Islam sebagai
kesatuan dan hukum Islam sebagai keragaman. Hukum Islam sebagai kesatuan artinya,
karena hukum Islam itu adalah hukum Tuhan maka semestinya hukum Islam itu hanya
ada satu macam saja untuk seluruh umat manusia, untuk seluruh umat Islam di dunia.
Namun, kenyataannya, hukum Islam juga bisa dikatakan beragam jika dilihat dari fiqh
yang dipandang identik dengan hukum Islam itu ternyata bermacam-macam dan terdapat
berbagai madzhab dalam fiqh tersebut. Madzhab-madzhab itu sekarang dipandang
sebagai aliran-aliran dalam hukum Islam, yang mana dulunya lebih merupakan ekspresi
lokal.
Dalam pembahasan di bab kedua ini, Coulson ingin mendiskusikan prinsip konflik
tentang kesatuan dan keragaman dalam hukum Islam. Coulson menganggap bahwa
konflik kesatuan dan keragaman dalam doktrin hukum Islam adalah alami dan merupakan
konsekuensi logis dari dua elemen/dasar pokok dari hukum Islam yaitu, wahyu dan akal.
Bagi coulson, wahyu Tuhan menunjukkan faktor yang pasti dan konstan namun akal
manusia menunjukkan faktor yang berubah-ubah.
Coulson dalam tulisannya ini, mencoba menggugat konflik kesatuan dan keragaman
dengan sebuah diktum/ucapan yang berasal dari Nabi Muhammad saw. mengenai
Perbedaan pendapat dikalangan umatku adalah rahmat dari Allah. Diktum ini
bagi Noel menjelaskan dan menjustifikasi/membenarkan yurispendensi Islam bahwa
dalam ajaran fiqh terdapat pandangan yang sangat bervariasi yang telah dirumuskan oleh
para fuqaha.
Noel mengambil contoh perbedaan mazhab dalam mazhab Hanafi, Maliki, Syafii
dan Hanbali. Menurut Noel, masing-masing mazhab ini mempunyai keadaan asal yang
khas. Noel menilai ada fenomena perbedaan antara mazhab Hanafi dan Maliki dengan
mazhab Syafii dan Hanbali.
Noel menilai mazhab Hanafi dan Maliki memiliki ciri-ciri bebas dalam
menggunakan akal manusia untuk mengatur kasus-kasus yang secara khusus tidak
ditentukan dengan Al-Quran atau hadis Nabi. Mazhab Hanafi dan Maliki merefleksikan
tradisi dan lingkungan sosial yang khusus dari dua lokasi yang berbeda. Berbeda dengan
maszhab Syafii dan Hanbali, mereka berdua berdiri kokoh dibawah prinsip pentingnya
Sunnah yang menurut mereka telah dikalahkan oleh bentuk-bentuk penggunaan akal
oleh mazhab-mazhab sebelumnya.
Namun, Noel menjelaskan dibuku tersebut, bahwa sejak abad ke-9, keempat mazhab
tersebut mendukung satu teori umum yang secara prinsip sama menyangkut sumber
hukum. Dengan adanya tujuan umum yang sama dikalangan mereka, menjadikan
persaingan awal diantara mereka lambat laun semakin memudar. Perbedaan geografis
lokal atau prinsip yuridis menghilang sehingga mazhab-mazhab tersebut saling
menganggap kumpulan doktrin mereka sama-sama sah untuk menetapkan hukum Tuhan
dan sama-sama versi yang sah dari syariah Islam.
Unity And Diversity | 2

Noel menilai kondisi yang membuat harmonis diantara mazhab-mazhab tersebut
adalah ijma. Ijma ini mewakili kriteria pokok otoritas hukum dalam Islam dan menopang
seluruh struktur teori hukum. Ini adalah prinsip bahwa persetujuan secara bulat dari para
fuqaha yang berwenang mengeluarkan pendapat memiliki otoritas yang mengikat. Jadi,
seluruh proses yurispendensi Islam (dari definisi tentang sumber hukum, hingga cara-cara
penetapan hukum yang didasarkan pada sumber hukum tersebut) merupakan usaha
pemikiran manusia yang telah menjadi ijma, dan ijma itu sendiri yang memberikan
otoritas terhadap proses yang demikian. Sebab, pada akhirnya ijma itulah yang menjamin
keontetikan al-Quran dan as-Sunnah sebagai materi dari wahyu Tuhan.
Inti dari bab kedua yang ingin dibahas oleh Noel J. Coulson ingin menegaskan
bahwa sebenarnya fenomena perbedaan antar madzhab fiqh pun adalah suatu yang
lumrah terjadi. Seperti dalam pepatah Arab mengatakan

(Lain kepala lain


pendapatnya). Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadist (yang sebagaian orang
menyebutnya hadis dha'if) Ihktilafu ummati rahmatun artinya perbedaan umatku adalah
rahmat. Disamping itu, perbedaan yang muncul merupakan sunnatullah bagi manusia.
Namun, yang menjadi permasalahan dalam hal ini adalah perbedaan seperti apa yang
dibolehkan atau dilarang?
Menyangkut hal tersebut, Imam al-Baidhawi dalam tafsirnya menyebutkan
perpecahan yang dilarang Allah sebagaimana dikutip dalam (QS. Ali Imran 03 : 105)
1
.
Sebenarnya perbedaan yang dimaksud adalah masalah furu' yang tidak perlu
diperdebatkan selama ada dalil yang bisa dipertanggungjawabkan secara syari.
Perbedaan tersebut bukan masalah ushul yang merupakan ajaran Islam yang
sangat prinsip, pokok dan mendasar, sehingga Umat Islam wajib sepakat dalam masalah
ushul dan tidak boleh berbeda, karena perbedaan dalam ushul adalah penyimpangan yang
mengantarkan kepada kesesatan. Penyimpangan dalam Ushul tidak boleh ditoleran, tapi
wajib diluruskan. Sedang Perbedaan dalam furu wajib ditoleran dengan jiwa besar dan
dada lapang serta sikap saling menghargai dan menghormati sebagaimana tercermin dari
para ulama madzhab yang saling menghargai madzhab yang lainnya.
Nabi Muhammad saw. bersabda:

Artinya:
Barang siapa yang berijtihad dan ia benar maka ia mendapatkan dua pahala, sedangkan
yang berijtihad lalu ia salah maka ia (hanya) memperoleh satu pahala. (HR. Bukhari)
Contoh:

4 W-O+^O7> 4g~-.~E W-O~OE>
W-OU4u=-4 }g` gu4 4` ]47.~E}
eE4)O4:^- _ Elj^q4 +O R-EO4N
_1g4N ^)
1

Artinya:
Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan
yang jelas kepada mereka. mereka Itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.
Unity And Diversity | 3

Sebagai contoh dari unity dan diversiti dalam hukum Islam, Coulson
mengungkapkan soal perkawinan. Sejauh menyangkut sifat-sifat dasar lembaga
perkawinan, demikian juga tentang poligami, semua mazhab sepakat. Namun muncul
pertanyaan seberapa jauh suami istri bebas mengatur hubungan perkawinan mereka
sendiri, berkaitan dengan hak dan kewajiban, dengan menyetujui syarat-syarat khusus
dalam akad perkawinan? seperti contoh: suami menyetujui dalam akad perkawinan
bahwa dia tdak akan mengambil istri kedua selama berlangsungnya perkawinan. Apakah
ini sah dan persetujuan tersebut dapat dilaksanakan atau tidak. Prinsip yang dikenal
berkaitan dengan terminologi hukum adalah ibahah yang dapat diterjemahkan sebagai
toleransi. Menurut Mazhab Hanafi, Maliki dan Syafii bahwa ibahah tidak mempunyai
relevansi di sini. Namun fiqh Hanbali memegang prinsip ibahah dapat digunakan dalam
kasus tersebut. Persetujuan pada umumnya sah dilaksanakan asalkan tidak ada hukum
yang melarang secara khusus hal tersebut, atau secara nyata berlawanan dengan esensi
perkawinan.
Aturan poligami itu bersifat kebolehan bukan perintah. Poligami tidak secara khusus
dilarang dan tidak pula berlawanan dengan esensi perkawinan bahwa seorang laki-laki
hanya memiliki seorang istri. Karena itu persetujuan suami istri dalam hal ini sah dan
dapat dilaksanakan jika suami menikahi istri kedua atau melanggar syarat yang telah
disepakati oleh suami dan istri, sehingga istri akan dibebaskan dari kewajiban-
kewajibannya dan akan memperoleh surat ketetapan cerai apabila mengajukan
permohonan ke pengadilan.

Anda mungkin juga menyukai