Anda di halaman 1dari 38

Pengaruh Gaya Kepemimpinan Atasan terhadap Komitmen Organisasi Karyawan PT.

X
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Dina Haya Sufya

2013

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam dunia kerja, komitmen seseorang terhadap organisasi/perusahaan seringkali menjadi isu yang sangat penting. Beberapa organisasi berani memasukkan unsur komitmen sebagai salah satu syarat untuk memegang suatu jabatan/posisi yang ditawarkan dalam iklan-iklan lowongan pekerjaan. Sayangnya meskipun hal ini sudah sangat umum namun tidak jarang pengusaha maupun pegawai masih belum memahami arti komitmen secara sungguh-sungguh. Padahal pemahaman tersebut sangatlah penting agar tercipta kondisi kerja yang kondusif sehingga perusahaan dapat berjalan secara efisien dan efektif. Penelitian sebelumnya menemukan status sosial ekonomi secara konsisten menjadi prediktor tunggal terkuat dari komitmen karena status yang tinggi cenderung meningkatkan motivasi dan kemampuan untuk secara aktif terlibat. Dalam organisasi, karyawan pada tingkat kerja yang tinggi umumnya memiliki tingkat komitmen organisasi yang lebih tinggi daripada di tingkat rendah. Hal ini karena posisi kekuasaan memungkinkan orang untuk mempengaruhi keputusan organisasi, menunjukkan status tinggi, mengakui wewenang secara formal dan mungkin

berkompetensi, dan menunjukkan bahwa organisasi mengakui kompetensi dan nilai kontribusi mereka. Karyawan di pekerjaan tingkat tinggi memiliki lebih banyak kebebasan dan pilihan meningkatkan rasa kontrol dan dengan demikian mengakibatkan peningkatan komitmen afektif kepada organisasi. Manajer terkadang dalam posisi untuk mempengaruhi komitmen organisasi karyawan karena mereka tidak memiliki kontrol terhadap situasi posisi karyawan atau pribadi. Seorang manajer, bagaimanapun, bisa mengelola situasi kerja sedemikian rupa bahwa komitmen organisasi karyawan harus ditingkatkan. Riset behavioral yang dilakukan oleh tim dari Universitas Harvard dan Rumah Sakit Umum Massachusetts menemukan, komitmen organisasi karyawan secara umum sangat dipengaruhi oleh kepekaan yang bersangkutan pada tujuan kerja, perasaan atas pengaruh seseorang dan kepercayaan menyeluruh dalam organisasi. Sementara, produktivitas dipengaruhi oleh kualitas hubungan antar manusia, termasuk sifat-sifat kooperatif dan interaksi kelompok sosial.

Tempat kerja yang menyediakan lingkungan yang positif, yang mendukung berkembangnya kepercayaan interpersonal dan kualitas hubungan-hubungan personal akan melahirkan karyawan-karyawan yang penuh komitmen dan produktif. Survei juga menemukan bahwa kepuasan karyawan secara signifikan meningkat oleh kepercayaan yang dibangun antar teman sekerja. Makin peka seseorang pada tujuan seputar pekerjaannya, makin besar pula komitmen individualnya pada organisasi. Pakar workplace relationship Courtney Anderson mengatakan, hasil riset tersebut menegaskan betapa pentingnya kini bagi kalangan pemimpin bisnis untuk membangun kepekaan pada kepercayaan dan tujuan dalam organisasi mereka. Firth dkk. (2004) meneliti kaitan antara niat untuk keluar perusahaan dan kepuasan kerja. Menurutnya penyebab terbesar dalam mengurangi niat karyawan untuk keluar dari perusahaan berasal dari komitmen mereka kepada organisasi, dan dari kepuasan kerja. Kedua faktor itu dapat diterjemahkan dalam ujud ada timbal balik antara individu dan organisasi. Semakin puas seseorang dengan pekerjaannya, semakin mereka komit kepada organisasi. Merasa stres (umpamanya merasa emosi terkuras, tegang) tidak hanya

berkontribusi terhadap kepuasan bekerja, tapi juga merupakan variabel yang tinggi kontribusinya terhadap niat untuk keluar dari organisasi. Jelasnya, emosi-emosi itu adalah respon terhadap tingkat stres di dalam pekerjaan yang dialami oleh karyawan, dan karenanya menjadi penting dipertimbangkan untuk melakukan strategi intervensi yang akan mengurangi stres itu. Gary Yukl (1994) mengungkapkan bahwa pemimpin yang efektif mempengaruhi para pengikutnya untuk mempunyai optimisme yang lebih besar, rasa percaya diri, serta komitmen kepada tujuan dan misi organisasi. Dengan demikian cara-cara perilaku pemimpin dalam mengarahkan pengikutnya akan berpengaruh terhadap komitmen otganisasi karyawan. Penting juga untuk mengeksplorasi tingkat komunikasi antara karyawan dan majikan untuk mendeteksi penyebab stres dalam bekerja, di mana Moore (2002) dalam Firth (2004) menemukan bahwa tingkat komunikasi yang rendah antara manajemen dan bawahan berkontribusi pada naiknya perasaan stres dan hal itu terkait dengan niat untuk keluar dari organisasi. Dari temuan lainnya ternyata persepsi adanya dukungan atasan dapat mengurangi niat untuk keluar dari organisasi (Firth; 2004).

Banyak penelitian tentang komitmen organisasi, lebih terfokus pada komitmen anggota, yang merupakan komitmen karyawan terhadap organisasi atau perusahaan di mana keterlibatan mereka dalam hubungannya dengan organisasi kinerja yang telah dilakukan (Williams & Anderson, 1991; Mowday, 1998; Currivan, 1999; Meyer et al, 2001;. Meyer & Herscovitch, 2001; Gallie et al 2001, dll). Dengan kata lain, berbagai penelitian tentang komitmen organisasi telah dilakukan untuk menguji hubungan antara karyawan komitmen dan organisasi. Secara umum, menunjukkan hasil 'konsekuensi yang positif 'dalam hubungan antara praktek manajemen sumber daya manusia, komitmen karyawan, dan kinerja keuangan. Namun, studi hanya melihat masalah dari satu sudut pandang, yang merupakan organisasi atau permintaan perusahaan terhadap karyawan mereka untuk memiliki komitmen organisasi yang tinggi. Di sisi lain, aspek penting lainnya, komitmen manajerial yang mewakili komitmen organisasi kepada karyawan juga diperlukan untuk mencapai kinerja yang efektif. Sebagaimana dinyatakan bahwa komitmen terhadap karyawan manajerial diperlukan sebagai upaya manajerial untuk menguatkan karyawan mereka agar mencapai kinerja yang efektif.

Pendapat umum yang ada cenderung untuk mengatakan bahwa komitmen organisasi (atau perusahaan) terhadap karyawan dilihat normatif, dalam arti bahwa komitmen ini akan dilakukan atas dasar norma-norma organisasi. Namun demikian, aplikasi dari komitmen ini masih dipertanyakan Oleh karena itu membutuhkan jawaban melalui penelitian.

Penelitian ini menempatkan pengaruh kompetisi manajemen manajerial dan menguji komitmen untuk pemberdayaan karyawan terhadap perusahaan kinerja. Kepemimpinan adalah proses yang sangat penting dalam organisasi karena

kepemimpinan inilah yang akan menentukan sukses atau gagalnya sebuah organisasi. Jika perusahaan, rumah sakit, universitas, atau tim atletik mengalami kesuksesan, direktur, rektor, atau pelatih yang memperoleh acungan jempol. Tetapi sebaliknya, kalau terjadi kegagalan, mereka pulalah yang memperoleh teguran, kritik atau bahkan diganti. Jadi, salah satu elemen pokok yang menjadi perhatian setiap organisasi adalah bagaimana caranya untuk melatih, dan mempertahankan orang-orang yang akan menjadi pemimpin-pemimpin yang efektif?.

Kegagalan dalam membentuk budaya perusahaan biasanya terjadi karena faktor kepemimpinan yang tidak konsisten. Menurut Welch, chief excecutive officer pada perusahaan General Electric (GE), ada sejumlah nilai yang ia kembangkan dan direvisi secara berkesinambungan. Ia percaya bahwa perintah dan pengendalian bukan cara yang terbaik untuk menjalankan bisnis. Melibatkan setiap orang lebih penting daripada terikat pada suatu hierarki yang kaku. Melibatkan setiap orang adalah kunci untuk meningkatkan produktivitas. Setiap orang adalah kunci untuk meningkatkan produktivitas. Setiap orang adalah kunci, karena itu lebih banyak orang berarti lebih banyak gagasan, dan semakin banyak gagasan berarti semakin besar intelek perusahaan. Jika pemimpin organisasi cenderung menggunakan gaya pembuatankeputusan yang lebih konsultatif, mereka sebenarnya telah mengirim pesan bahwa mereka berminat mendengar apa yang dikatakan orang lain. Respons orang-orang dalam organisasi pun bukan sekedar menunaikan pekerjaan mereka, tapi juga mengajukan pertanyaan dan usulan agar segala sesuatunya berjalan lebih baik. Pemimpin harus membuat tujuan yang ingin dicapai, kemudian satuan di bawahnya mempelajari dan membuat semacam rencana kerja yang disebut Personal Business Commitment (PBC) yang sesuai dengan bidang masing-masing. Pembuatan PBC dilakukan hingga lapisan terbawah, dengan melihat tujuan yang dibuat atasan sebagai tujuan. Bila atasan menilai masih ada yang kurang, PBC tersebut didiskusikan secara terbuka sebagai komunikasi dua arah. Untuk menjamin bahwa aspek kepemimpinan berjalan dengan semestinya, semua karyawan termasuk direksi dan CEO akan mendapat feedback tentang kinerja dari atasan masing-masing (INSPIRE, 2009). Para pemimpin dituntut untuk bersikap fleksibel, rendah hati, bersedia menerima masukan termasuk kritik terhadap strategi perusahaan, dari semua tingkatan organisasi bahkan dari tenaga penjualan yang ada di lapangan. Jika karyawan tidak mempercayai sebuah strategi, mereka cenderung tidak membantu agar strategi itu berjalan. Di luar manajemen, banyak resep untuk menciptakan tempat kerja yang penuh sukses dan produktif. Sebuah penelitian baru menegaskan pentingnya membangun kepercayaan, kepekaan pada tujuan dan hubungan antarmanusia yang kuat untuk mencapai tujuan tadi. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penulis memilih judul : Hubungan Gaya Kepemimpinan Atasan terhadap Komitmen Organisasi Karyawan PT. X.

1.2. Identifikasi dan Perumusan Masalah 1.2.1. Identifikasi Masalah Permasalahan dapat diidentifikasikan sebagai kesenjangan antara fakta dengan harapan, antara kecenderungan perkembangan dengan keinginan pengembangan, antara kenyataan dengan ide. Hadi (1986, 3) mengidentifikasikan permasalahan sebagai perwujudan ketiadaan, kelangkaan, ketimpangan, ketertinggalan, kejanggalan, ketidakserasian, kemerosotan dan sebagainya. Berdasarkan latar belakang di atas, penulis mengidentifikasikan masalah dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut: "Bagaimana hubungan gaya kepemimpinan atasan dengan komitmen organisasi karyawan pada PT. X? Mengingat luasnya ruang lingkup obyek penelitian dan terbatasnya kemampuan penulis, dalam penelitian ini penulis menentukan batasan masalah. Hal ini dimaksudkan agar penelitian ini menjadi lebih jelas permasalahannya, sehingga tujuan dari penelitian ini dapat tercapai sebagaimana mestinya,. Dalam penelitian ini penulis menitikberatkan pada gaya kepemimpinan atasan dengan komitmen organisasi karyawan. 1.2.2. Rumusan Masalah Masalah ini dapat dibatasi lagi menjadi sub-sub masalah sebagai fokus perhatian penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana deskripsi gaya kepemimpinan atasan terhadap bawahannya pada PT. X 2. Bagaimana deskripsi komitmen organisasi karyawan terhadap gaya kepemimpinan atasan pada PT. X. 3.Bagaimanakah hubungan gaya kepemimpinan atasan dengan komitmen organisasi karyawan pada PT. X.

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1. Komitmen Organisasi 2.1.1. Pengertian Komitmen Organisasi Satu yang dicari oleh organisasi adalah memiliki karyawan yang memiliki komitmen tinggi. Komitmen ini penting sekali, karena tanpa komitmen, sepandai apapun karyawan itu, akan kurang bermanfaat bagi perusahaan. Karena pentingnya komitmen, banyak ahli yang telah mengkaji konsep ini. Mowday et. al. (1982) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai kekuatan relatif dari identifikasi individu dan keterlibatan dalam organisasi khusus, meliputi kepercayaan, dukungan terhadap tujuan dan nilai-nilai organisasi, kemauan untuk menggunakan upaya yang sungguhsungguh untuk kepentingan organisasi, dan keinginan yang kuat untuk memelihara keanggotaan dalam organisasi. Komitmen organisasi menunjuk pada pengidentifikasian tujuan karyawan dengan tujuan organisasi, kemauan mengerahkan segala daya untuk kepentingan organisasi dan keterikatan untuk tetap menjadi bagian dari organisasi (Mowday, Steers, Porter, 1979). Sedangkan Meyer dan Allen (1997) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai suatu keadaan psikologis yang dikarakteristikkan dengan: a. meyakini dan menerima tujuan/goal dan nilai yang dimiliki oleh organisasi. b. kesediaan untuk berusaha dengan sungguh sungguh demi organisasi. c. mempunyai keinginan yang kuat untuk tetap menjadi anggota organisasi. Meyer dan Allen (1997) juga menyatakan bahwa karyawan yang memiliki komitmen organisasi akan bekerja dengan penuh dedikasi karena karyawan yang memiliki komitmen tingi menganggap bahwa hal yang penting yang harus dicapai adalah pencapaian tugas dalam organisasi. Karyawan yang memiliki komitmen organisasi yang tinggi juga memiliki pandangan yang positif dan akan melakukan yang terbaik untuk kepentingan organisasi. Hal ini membuat karyawan memiliki keinginan untuk memberikan tenaga dan tanggung jawab yang lebih menyokong kesejahteraan dan keberhasilan organisasi tempatnya bekerja. Price (2002) dengan indah menyatakan hal itu Tanyakan pada anggota tim, manajer atau pemimpin senior tentang sikap dan sifat-sifat yang mereka anggap paling berharga, dan komitmen normalnya muncul teratas pada daftar. Dan penelitian mengkonfirmasi apa yang telah

diketahui oleh intuisi bahwa perbaikan pada komitmen karyawan akan menaikkan produktivitas, karyawan tetap bekerja di organisasi itu, dan tingkat profitabilitasnya yang membaik. Komitmen adalah sikap global seseorang sebagai akibat dari pengenalan lingkungan, kemauan yang kuat untuk mendukung organisasi, dan perasaan bahwa upaya orang itu akan diakui dan dibalas oleh perusahaan (Stephen & Annette, 1997). Menurut Duane & Sydney Ellen, komitmen organisasi dipengaruhi oleh persepsi karyawan tentang bagaimana sikap hormat terhadap organisasi perusahaan mereka. Semakin besar komitmen dirasakan kepada karyawan, harapan karyawan semakin tinggi bahwa jika mereka bekerja untuk memenuhi tujuan organisasi, mereka akan merasa adil dan dihargai (Duane & Sydney Ellen, 2006). Steers & Porter (1987) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai identification (kepercayaan terhadap nilai-nilai organisasi), job involvement (kesediaan untuk berusaha sebaik mungkin demi kepentingan organisasi), dan loyalty (keinginan untuk tetap menjadi anggota organisasi bersangkutan) yang dinyatakan oleh seorang karyawan terhadap organisasinya. Komitmen organisasi artinya lebih dari sekedar keanggotaan formal, karena meliputi sikap menyukai organisasi dan kesediaan mengusahakan tingkat upaya yang tinggi bagi kepentingan organisasi tercakup unsur loyalitas terhadap organisasi, keterlibatan dalam bekerja, dan identifikasi terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi. Komitmen organisasi merupakan sifat hubungan antara individu dengan organisasi kerja, dimana individu mempunyai keyakinan diri terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi kerja, adanya kerelaan untuk menggunakan usahanya secara sungguh-sungguh demi kepentingan organisasi kerja serta mempunyai keinginan yang kuat untuk tetap menjadi bagian dari organisasi kerja. Dalam hal ini individu mengidentifikasikan dirinya pada suatu organisasi tertentu tempat individu bekerja dan berharap untuk menjadi anggota organisasi kerja guna turut merealisasikan tujuan-tujuan organisasi kerja (Zainuddin, 2009). Richard M. Steers, (1985 : 50) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai rasa identifikasi (kepercayaan terhadap nilai-nilai organisasi), keterlibatan (kesediaan untuk berusaha sebaik mungkin demi kepentingan organisasi) dan loyalitas (keinginan untuk tetap menjadi anggota organisasi yang bersangkutan) yang dinyatakan oleh seorang karyawan terhadap perusahaannya. Ia berpendapat bahwa komitmen organisasi merupakan kondisi dimana

karyawan sangat tertarik terhadap tujuan, nilai-nilai, dan sasaran organisasinya. Komitmen terhadap organisasi artinya lebih dari keanggotaan formal, karena meliputi sikap menyukai organisasi dan kesediaan untuk mengusahakan tingkat upaya yang tinggi bagi kepentingan organisasi demi pencapaian tujuan. Penelitian dari Baron dan Greenberg (1990), menyatakan bahwa komitmen memiliki arti penerimaan yang kuat dalam diri individu terhadap tujuan dan nilai-nilai perusahaan, sehingga individu tersebut akan berusaha dan berkarya serta memiliki hasrat yang kuat untuk tetap bertahan di perusahaan tersebut. Yang digunakan pada tulisan ini adalah defenisi komitmen menurut Meyer dan Allen (1997), dimana mereka mendefinisikan komitmen organisasi sebagai suatu keadaan psikologis yang dikarakteristikkan dengan: a. meyakini dan menerima tujuan/goal dan nilai yang dimiliki oleh organisasi. b. kesediaan untuk berusaha dengan sungguh sungguh demi organisasi. c. mempunyai keinginan yang kuat untuk tetap menjadi anggota organisasi. Berdasarkan beberapa definisi dari para ahli ini, dalam komitmen organisasi tercakup unsur loyalitas terhadap perusahaan, keterlibatan dalam pekerjaan, dan identifikasi terhadap nilai-nilai dan tujuan perusahaan. Maka pada intinya beberapa definisi komitmen organisasi dari beberapa ahli diatas mempunyai penekanan yang hampir sama yaitu proses pada individu karyawan dalam mengidentifikasi dirinya dengan nilai-nilai, aturan-aturan, dan tujuan organisasi. Disamping itu, komitmen organisasi mengandung pengertian sebagai sesuatu hal yang lebih dari sekedar kesetiaan yang pasif terhadap perusahaan, dengan kata lain komitmen organisasi menyiratkan hubungan karyawan dengan organisasi atau perusahaan secara aktif. Karena karyawan yang menunjukkan komitmen organisasinya, ada keinginan untuk memberikan tenaga dan tanggung jawab untuk menyokong kesejahteraan dan keberhasilan organisasi atau perusahaan tersebut. Komitmen organisasi secara positif berkaitan dengan jumlah dukungan yang diterima dari supervisor dan rekan kerja dan tingkat kepuasan dengan supervisor (Bishop & Scott, 2000; Liden, Wayne, & Sparrowe, 2000). Fenomena komitmen telah banyak diteliti dengan alasan bahwa komitmen itu mempengaruhi sikap dan perilaku individu di tempat kerja. Di antara perilaku itu, fokusnya adalah pada tingkat keluar masuknya karyawan dan bagaimana hal itu dipengaruhi oleh komitmen (Eunmi; 1999).

Komitmen organisasi dapat dilihat dari dua perspektif yaitu: komitmen karyawan pada organisasi dan komitmen manajerial. Pertama-tama, komitmen karyawan pada organisasi diartikan sebagai komitmen karyawan terhadap organisasi, kedua komitmen manajerial, umumnya dianggap sebagai komitmen organisasi kepada karyawan adalah komitmen yang dipegang dan dijalankan oleh manajer terhadap karyawan mereka sebagai dasar atau mencoba untuk mendukung peningkatan kinerja (Dwi Ratmwati, 2007).

2.1.2. Jenis Komitmen Organisasi Jenis komitmen menurut Allen dan Meyer (Dunham.1994:370) terbagi atas tiga komponen, yaitu: a. Komitmen Afektif, yakni komitmen afektif yang berkaitan dengan emosional, identifikasi, dan keterlibatan karyawan di dalam suatu organisasi. Karyawan dengan afektif tinggi masih bergabung dalam organisasi karena keinginan untuk tetap menjadi anggota organisasi. Ada beberapa penelitian mengenai kategori anteseden dari komtmen afektif. Berdasarkan penelitian tersebut didapatkan tiga kategori besar. Ketiga kategori tersebut, yaitu sebagai berikut: 1. Karakteristik organisasi. Karakteristik organisasi yang mempengaruhi

perkembangan komitmen afektif adalah sistem desentralisasi (Bateman & Strasser, 1984; Morris & Steers, 1980), adanya kebijakan organisasi yang adil, dan cara menyampaikan kebijakan organisasi kepada individu (Allen & Meyer, 1997). 2. Karakteristik individu. Ada beberapa penelitian yang menyatakan bahwa gender mempengaruhi komitmen afektif, namun ada pula yang menyatakan tidak demikian (Aven, Parker & McEvoy; Mathieu & Zajac dalam Allen & Meyer, 1997). Selain itu, usia juga mempengaruhi proses terbentuknya komitmen afektif, meskipun bergantung pada beberapa kondisi individu sendiri (Allen & Meyer, 1993), masa jabatan dalam organisasi (Cohen; Mathieu & Zajac dalam Allen & Meyer, 1997), status pernikahan, tingkat pendidikan, kebutuhan untuk berprestasi, etos kerja, dan persepsi individu mengenai kompetensinya (Allen & Meyer, 1997).

3. Pengalaman kerja. Pengalaman kerja individu yang mempengaruhi proses terbentuknya komitmen afektif, antara lain job scope, yaitu beberapa karakteristik yang menunjukkan kepuasan dan motivasi individu (Hackman & Oldham, 1980 dalam Allen & Meyer, 1997). Hal ini mencakup tantangan dalam pekerjaan, tingkat pekerjaan, tingkat otonomi individu, dan variasi kemampuan yang digunakan individu dalam organisasi tersebut (Mathieu & Zajac, 1990, dalam Allen & Meyer, 1997), dan hubungannya dengan atasan

b. Komitmen Normatif, merupakan perasaan pegawai tentang kewajiban yang harus diberikan kepada organisasi. Komponen normatif berkembang sebagai hasil dari pengalaman sosialisasi, tergantung dari sejauh apa perasaan kewajiban yang dimiliki pegawai. Komponen normatif menimbulkan perasaan kewajiban kepada pegawai untuk memberikan balasan atas apa yang pernah diterimanya dari organisasi. Wiener (Allen & Meyer, 1997) menyatakan komitmen normatif terhadap organisasi dapat berkembang dari sejumlah tekanan yang dirasakan individu selama proses sosialisasi (dari keluarga atau budaya) dan selama sosialisasi saat individu baru masuk ke dalam organisasi. Selain itu normative commitment juga berkembang karena organisasi memberikan sesuatu yang sangat berharga bagi individu yang tidak dapat dibalas kembali (Allen & Meyer; Scholl dalam Allen & Meyer, 1997). Faktor lainnya adalah adanya kontrak psikologis antara anggota dengan organisasinya (Argyris; Rousseau; Schein dalam Allen & Meyer, 1997). Kontrak psikologis adalah kepercayaan dari masing-masing pihak bahwa masing-masing akan timbal balik memberi. c. Komitmen Kontinuans, berarti komponen yang berdasarkan persepsi pegawai tentang kerugian yang akan dihadapinya jika meninggalkan organisasi. Pegawai dengan dasar organisasi tersebut disebabkan karena pegawai tersebut membutuhkan organisasi. Pegawai yang memiliki komitmen organisasi dengan dasar afektif memiliki tingkah laku yang berbeda dengan pegawai dengan dasar continuance. Komitmen Kontinuans dapat berkembang karena adanya berbagai tindakan atau kejadian yang dapat meningkatkan kerugian jika meninggalkan organisasi. Beberapa tindakan atau kejadian ini dapat dibagi ke dalam dua variabel, yaitu investasi dan alternatif. Selain

itu proses pertimbangan juga dapat mempengaruhi individu (Allen & Meyer, 1997). Investasi termasuk sesuatu yang berharga, termasuk waktu, usaha ataupun uang, yang harus individu lepaskan jika meninggalkan organisasi. Sedangkan alternatif adalah kemungkinan untuk masuk ke organisasi lain. Proses pertimbangan adalah saat di mana individu mencapai kesadaran akan investasi dan alternatif, dan bagaimana dampaknya bagi mereka sendiri (Allen & Meyer, 1997). Investasi dan alternatif yang dialami individu dalam organisasi gereja berbeda dengan organisasi lain. Investasi dan alternatif yang terjadi lebih terkait dengan kegiatan-kegiatan khas gereja dibandingkan keuntungan materi atau kedudukan yang bisa didapat dari organisasi profit biasa.

2.1.3. Faktor-faktor yang Berpengaruh pada Komitmen Organisasi Komitmen organisasi sangat terkait dengan faktor individu dan juga faktor organisasi (Schultz dan Ellen, 1994). Individu yang telah berada dalam suatu organisasi lebih dari dua tahun, dan individu yang memiliki keinginan untuk berkembang, memiliki komitmen organisasi yang tinggi dibanding dengan individu yang baru masuk di dalam suatu organisasi (Schultz dan Ellen, 1994). Penelitian yang dilakukan oleh O Driscoll (dalam Schultz dan Ellen, 1994) pada 119 karyawan didaerah New Guenia, menunjukkan bahwa perkembangan komitmen organisasi akan terlihat setelah enam bulan individu bergabung di dalam suatu organisasi, dan selanjutnya penelitian tersebut menemukan hubungan yang positif antara komitmen organisasi dengan kepuasan kerja. Schultz dan Ellen (1994) memberikan asumsi bahwa komitmen individu terhadap organisasi merupakan bagian yang penting dalam proses individu di dalam organisasi itu sendiri. Ada hubungan yang sangat signifikan antara motivasi dan kepuasan kerja yang bisa meningkatkan komitmen pada organisasi. Meskipun demikian, komitmen organisasi dapat memberikan konsekuensi yang negatif terhadap mobilitas karyawan dan perasaan kebebasan individu untuk mencari pekerjaan lain. a. Ada dua faktor yang mempengaruhi komitmen organisasi seseorang, yaitu karakteristik personal dan karakteristik organisasi. Dessler (1995) sendiri mengemukakan bahwa tingginya komitmen karyawan dalam suatu organisasi dipengaruhi oleh

nilai-nilai kemanusiaan. Pondasi yang utama dalam membangun komitmen

karyawan

adalah adanya kesungguhan dari organisasi untuk bisa memprioritaskan nilai-nilai kemanusiaan. b. Komunikasi dua arah yang komprehensif. Komitmen organisasi dibangun atas dasar kepercayaan, dan kepercayaan pasti membutuhkan komunikasi dua arah. Tanpa adanya komunikasi dua arah mustahil komitmen organisasi dapat dibangun dengan baik. c. Rasa kebersamaan dan kerukunan. Penelitian yang dilakukan oleh Kantar (dalam Dessler, 1995) menemukan bahwa seperti dalam masyarakat utopis, organisasi yang ingin meraih kebersamaan, seluruh faktor ini bersama-sama menciptakan rasa senasib dan kerukunan yang pada tahap selanjutnya memberi kontribusi pada komitmen karyawan. d. Visi dan Misi. Dessler (1995) menyatakan bahwa pemimpin dapat memberi inspirasi bagi tumbuhnya performansi dan komitmen karyawan yang tinggi dengan cara memberi kesempatan pada karyawan untuk dapat mengerti dan memahami visi dan misi bersama dalam sebuah organisasi. e. Nilai sebagai dasar perekrutan. Nilai personal merupakan dasar kesesuaian seseorang untuk menunjukkan kesesuaian dengan organisasi. f. Kestabilan kerja. Karyawan dengan kestabilan yang tinggi akan memperoleh komitmen organisasi yang tinggi pula. g. Pengahayatan finansial. Herzberg et.al (1959) menyatakan bahwa faktor hygiene seperti gaji hanya akan menghasilkan motivasi dalam jangka yang pendek. Oleh karena itu insentif yang diberikan kepada individu yang telah berhasil melampaui target dari apa yang ditetapkan perlu dihargai jerih payah kerja kerasnya.

Bishop dan Scott (2000) memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai apa yang mempengaruhi seseorang untuk memiliki komitmen organisasi yang tinggi, hal ini disebabkan oleh : a. Kepercayaan yang kuat dan tinggi terhadap organisasi dan penerimaan yang tinggi terhadap nilai dan tujuan organisasi. b. Kepercayaan memiliki yang tinggi sebagai bagian dari suatu organisasi. c. Keyakinan yang tinggi untuk menjadi anggota organisasi. Schultz dan Ellen (1994) menyatakan bahwa komitmen organisasi dipengaruhi oleh faktorfaktor personal dan operasional. Faktor personal yang mempengaruhi komitmen organisasi

adalah sikap yang positif terhadap rekan kerja. Sedangkan faktor-faktor operasional yang dapat mempengaruhi komitmen organisasi antara lain pengayaan tugas, pekerjaan, otonomi dan kesempatan untuk menggunakan kemampuan yang dimiliki. Mereka juga menyatakan ada tiga komponen penting dari komitmen organisasi, komponen tersebut adalah penerimaan nilai dan tujuan dari organisasi, keinginan untuk menjadi bagian dari suatu organisasi dan melakukan tugas dengan baik, dan memiliki keinginan kuat untuk tetap berada didalam organisasi. Studi yang dilakukan oleh Hutchinson dan Sowa (dalam Schultz dan Ellen, 1994) menunjukkan bahwa tingginya komitmen organisasi yang dimiliki karyawan dipengaruhi oleh persepsi mereka terhadap seberapa tinggi komitmen yang ditunjukkan organisasi kepada mereka. Semakin tinggi karyawan merasa harapan mereka dapat dicapai oleh organisasi, semakin patuh pula mereka terhadap organisasi. Steers dan Porter (1983) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi komitmen organisasi adalah: 1. Karakteristik personal yang meliputi pendidikan, dorongan berprestasi, masa kerja dan usia. 2. Karakteristik kerja yang didalamnya terdapat tantangan kerja, umpan balik, stres kerja, identifikasi tugas, kejelasan peran, pengembangan diri, karir dan tanggung jawab. 3. Karakteristik organisasiyang meliputi desentralisasi dan tingkat partipasi dalam pengambilan keputusan. 4. Sifat dan kualitas pekerjaan. Wiener (Allen & Meyer, 1997) menyatakan komitmen normatif terhadap organisasi dapat berkembang dari sejumlah tekanan yang dirasakan individu selama proses sosialisasi (dari keluarga atau budaya) dan selama sosialisasi saat individu baru masuk ke dalam organisasi. Selain itu komitmen normatif juga berkembang karena organisasi memberikan sesuatu yang sangat berharga bagi individu yang tidak dapat dibalas kembali (Allen & Meyer; Scholl dalam Allen & Meyer, 1997). Faktor lainnya adalah adanya kontrak psikologis antara anggota dengan organisasinya (Argyris; Rousseau; Schein dalam Allen & Meyer, 1997). Kontrak psikologis adalah kepercayaan dari masing-masing pihak bahwa masing-masing akan timbal balik memberi. Tjosvold dan Tjosvold (1995) menyatakan bahwa lebih mudah mengartikan komitmen internal yang dimiliki individu daripada menciptakan komitmen organisasi pada karyawan. Cara

tradisional untuk membangun komitmen organisasi adalah dengan menawarkan keamanan dalam bekerja dan promosi yang bersifat regular pada karyawan. Komitmen sendiri akan terbentuk setelah karyawan merasakan kepuasan kerja, dari berbagai pengalaman kerja yang mereka alami, jenis pekerjaan yang pernah mereka tekuni, proses pengawasan, serta gaji yang merupakan faktor yang dapat mempengaruhi komitmen organisasi saat karyawan memulai memasuki organisasi. Sementara itu, Minner (dalam Sopiah, 2008) mengemukakan empat faktor yang mempengaruhi komitmen karyawan antara lain : 1. Faktor personal, misalnya usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pengalaman kerja dan kepribadian. 2. Karakteristik pekerjaan, misalnya lingkup jabatan, tantangan dalam pekerjaan, konflik peran, tingkat kesulitan dalam pekerjaan. 3. Karakteristik struktur, misalnya besar kecilnya organisasi, bentuk organisasi, kehadiran serikat pekerjan, dan tingkat pengendalian yang dilakukan organisasi terhadap karyawan. 4. Pengalaman kerja. Pengalaman kerja seorang karyawan sangat berpengaruh terhadap tingkat komitmen karyawan pada organisasi. Karyawan yang baru beberapa tahun bekerja dan karyawan yang sudah puluhan tahun bekerja dalam organisasi tentu memiliki tingkat komitmen yang berlainan. Telaah para ahli mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi komitmen organisasi diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan faktor-faktor yang mempengaruhi komitmen organisasi dapat dibagi menjadi dua yaitu faktor yang berasal dari dalam individu yaitu faktor personal, dan berikutnya adalah faktor yang berasal dari luar individu yaitu faktor organisasional. Faktor personal merupakan faktor yang ada di dalam diri individu dalam menyikapi bermacam masalah yang ada didalam suatu organisasi, hubungan interpersonal diantara individu, pendidikan, dorongan berprestasi, masa kerja dan usia. Faktor organisasional menyangkut permasalahan eksternal individu yang didalamnya termasuk pengayaan tugas, tantangan kerja, komunikasi antar individu, kerjasama dan kepercayaan yang tinggi.

2.1.4. Indikator Komitmen Organisasi 1. Indikator Komitmen Afektif. Individu dengan komitmen afektif yang tinggi memiliki kedekatan emosional yang erat terhadap organisasi. Hal ini berarti bahwa individu tersebut akan memiliki motivasi dan keinginan untuk berkontribusi secara berarti terhadap organisasi dibandingkan individu dengan komitmen afektif yang lebih rendah. Berdasarkan beberapa penelitian komitmen afektif memiliki hubungan yang sangat erat dengan seberapa sering seorang anggota tidak hadir atau absen dalam organisasi. Berdasarkan hasil penelitian dalam hal role-job performance, atau hasil pekerjaan yang dilakukan, individu dengan komitmen afektif akan bekerja lebih keras dan menunjukkan hasil pekerjaan yang lebih baik dibandingkan yang komitmennya lebih rendah. Kim dan Mauborgne (Allen & Meyer, 1997) menyatakan individu dengan komitmen afektif tinggi akan lebih mendukung kebijakan perusahaan dibandingkan yang lebih rendah. Komitmen afektif memiliki hubungan yang erat dengan pengukuran self-reported dari keseluruhan hasil pekerjaan individu (e.g., Bycio, Hackett, & Allen; Ingram, Lee, & Skinner; Leong, Randall, & Cote; Randal, Fedor, & Longenecker; Sager & Johnston dalam Allen & Meyer, 1997). Berdasarkan penelitian yang didapat dari self-report tingkah laku (Allen & Meyer; Meyer et al.; Pearce dalam Allen & Meyer, 1997) dan dugaan tingkah laku (e.g., Gregersen; Moorman et al.; Munene; Shore & Wayne dalam Allen & Meyer, 1997) karyawan dengan komitmen afektif yang tinggi memiliki tingkah laku organizational citizenship yang lebih tinggi daripada yang rendah. Berdasarkan penelitian Ghirschman (1970) dan Farrell (1983), Meyer et al. (1993) meneliti tiga respon ketidakpuasan, yaitu voice, loyalty, dan neglect. Dalam penelitian yang diadakan pada perawat, komitmen afektif ditemukan memiliki hubungan yang positif dengan keinginan untuk menyarankan suatu hal demi kemajuan (voice) dan menerima sesuatu hal sebagaimana adanya mereka (loyalty) dan berhubungan negatif dengan tendency untuk bertingkah laku pasif ataupun mengabaikan situasi yang tidak memuaskan (neglect). Individu dengan komitmen afektif yang tinggi cenderung untuk melakukan internal whistle-blowing (yaitu melaporkan kecurangan kepada bagian yang berwenang dalam perusahaan) dibandingkan external whistle-blowing (yaitu melaporkan kecurangan atau kesalahan perusahaan pada pihak yang berwenang).

Berdasarkan beberapa penelitian komitmen afektif yang tinggi berkorelasi negatif dengan keadaan stress yang dialami anggota organisasi (Begley & Czajka; Jamal; Ostroff & Kozlowski; Reilly & Orsak dalam Allen & Meyer, 1997). 2. Indikator Komitmen Kontinuans. Individu dengan komitmen kontinuans yang tinggi akan bertahan dalam organisasi, bukan karena alasan emosional, tapi karena adanya kesadaran dalam individu tersebut akan kerugian besar yang dialami jika meninggalkan organisasi. Berkaitan dengan hal ini, maka individu tersebut tidak dapat diharapkan untuk memiliki keinginan yang kuat untuk berkontribusi pada organisasi. Jika individu tersebut tetap bertahan dalam organisasi, maka pada tahap selanjutnya individu tersebut dapat merasakan putus asa dan frustasi yang dapat menyebabkan kinerja yang buruk. Meyer & Allen (1991) menyatakan bahwa komitmen kontinuans tidak berhubungan atau memiliki hubungan yang negatif pada kehadiran anggota organisasi atau indikator hasil pekerjaan selanjutnya, kecuali dalam kasus-kasus di mana job retention jelas sekali mempengaruhi hasil pekerjaan. Individu dengan komitmen kontinuans yang tinggi akan lebih bertahan dalam organisasi dibandingkan yang rendah (Allen & Meyer, 1997). Komitmen kontinuans tidak mempengaruhi beberapa hasil pengukuran kerja (Angle & Lawson; Bycio et al.; Morrman et al. dalam Allen & Meyer, 1997). Berdasarkan beberapa penelitian komitmen kontinuans tidak memiliki hubungan yang sangat erat dengan seberapa sering seorang anggota tidak hadir atau absen dalam organisasi. Komitmen kontinuans tidak berhubungan dengan tingkah laku organizational citizenship (Meyer et al., dalam Allen & Meyer, 1997), sedangkan dalam penelitian lain, kedua hal ini memiliki hubungan yang negatif. Komitmen kontinuans juga dianggap tidak berhubungan dengan tingkah laku altruism ataupun compliance, di mana kedua tingkah laku tersebut termasuk ke dalam organizational citizenship ataupun extra-role. Komitmen juga berhubungan dengan bagaimana anggota organisasi merespon ketidakpuasannya dengan kejadian-kejadian dalam pekerjaan (Allen & Meyer, 1997). Komitmen kontinuans tidak berhubungan dengan kecenderungan seorang anggota organisasi untuk

mengembangkan suatu situasi yang tidak berhasil ataupun menerima suatu situasi apa adanya (Allen & Meyer, 1997). Hal menarik lainnya, semakin besar komitmen kontinuans seseorang, maka ia akan semakin bersikap pasif atau membiarkan saja keadaan yang tidak berjalan dengan baik. 3. Indikator Komitmen Normatif Individu dengan komitmen normatif yang tinggi akan tetap bertahan dalam organisasi karena merasa adanya suatu kewajiban atau tugas. Meyer & Allen (1991) menyatakan bahwa perasaan semacam itu akan memotivasi individu untuk bertingkahlaku secara baik dan melakukan tindakan yang tepat bagi organisasi. Namun adanya komitmen normatif diharapkan memiliki hubungan yang positif dengan tingkah laku dalam pekerjaan, seperti job performance, work attendance, dan organizational citizenship. Komitmen normatif akan berdampak kuat pada suasana pekerjaan (Allen & Meyer, 1997). Hubungan antara komitmen normatif dengan ketidakhadiran seseorang jarang sekali mendapat perhatian. Komitmen normatif dianggap memiliki hubungan dengan tingkat ketidakhadiran dalam suatu penelitian (Meyer et al., dalam Allen & Meyer, 1997). Namun suatu penelitian lain menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara kedua variable tersebut (Hackett et al.; Somers dalam Allen & Meyer, 1997). Sedikit sekali penelitian yang mengukur komitmen normatif dan role-job performance. Berdasarkan hasil penelitian komitmen normatif berhubungan positif dengan pengukuran hasil kerja (Randall et al., dalam Allen & Meyer, 1997) dan pengukuran laporan kerja dari keseluruhan pekerjaan (Ashfort & Saks dalam Allen & Meyer, 1997). Komitmen normatif memiliki hubungan dengan tingkah laku organizational citizenship (Allen & Meyer, 1997). Walaupun demikian hubungan antara komitmen normatif dengan tingkah laku extra-role lebih lemah jika dibandingkan komitmen afektif. Berdasarkan beberapa penelitian, sama seperti komitmen afektif dan komitmen normatif yang tinggi berkorelasi negatif dengan keadaan stress anggota organisasi (Begley & Czajka; Jamal; Ostroff & Kozlowski; Reilly & Orsak dalam Allen & Meyer, 1997).

Beberapa hasil penelitian menunjukkan hubungan yang negatif antara komitmen terhadap organisasi dengan intensi untuk meninggalkan organisasi dan actual turnover (Allen & Meyer; Mathieu & Zajac; Tett & Meyer dalam Allen & Meyer, 1997). Meskipun hubungan terbesar terdapat pada komitmen afektif, terdapat pula hubungan yang signifikan antara komitmen dan turnover variable di antara ketiga dimensi komitmen (Allen & Meyer, 1997). Sebagian besar organisasi menginginkan anggota yang berkomitmen, dan tidak hanya bertahan dalam organisasi saja. 2.1.5. Pengukuran Komitmen Organisasi Berdasarkan tipologi komitmen organisasi yang dikemukakan oleh berbagai tokoh, ada berbagai pengukuran komitmen pada organisasi. Salah satu pengukuran komitmen organisasi yang terkenal adalah Organizational Commitment Questionnaire (OCQ) yang disusun oleh Porter dan Smith pada tahun 1970. Kuesioner ini mengukur komitmen afektif melalui 15 pertanyaan yang berbentuk skala Likert yang terdiri dari 7 angka, mulai dari sangat tidak setuju sampai sangat setuju terhadap pernyataan.
Untuk mengukur komitmen organisasi yang terdiri dari tiga komponen, Allen dan Meyer telah beberapa kali merevisi alat ukur yang telah disusun. Revisi terakhir dilakukan Meyer dan Allen pada tahun 1997. Alat ini terdiri dari 18 item, dimana setiap komponen diwakili oleh 6 item. Skala komitmen organisasi ini memiliki skor yang berkisar antara nilai 1 (sangat tidak setuju dengan pernyataan) sampai dengan nilai 6 (sangat setuju dengan pernyataan).

2.2. Gaya Kepemimpinan 2.2.1 Defenisi Kepemimpinan Menurut Suhendi dan Anggara (2010), kepemimpinan atau leadership adalah kegiatan untuk mempengaruhi perilaku orang lain, atau seni mempengaruhi perilaku manusia, baik perseorangan maupun kelompok. Kepemimpinan dapat berlangsung tanpa harus terikat oleh aturan-aturan yang ada. Apabila kepemimpinan dibatasi oleh tata aturan birokrasi, atau dikaitkan dengan suatu organisasi tertentu, hal tersebut dinamakan manajemen. Kepemimpinan menurut Hadari (1992: 12), dapat dilihat dari dua konteks, yaitu struktural dan nonstruktural. Dalam konteks struktural, kepemimpinan diartikan sebagai proses

pemberian motivasi agar orang-orang yang dipimpin melakukan kegiatan atau pekerjaan sesuai dengan program yang telah ditetapkan. Kepemimpinan juga berarti usaha mengerahkan, membimbing, dan mempengaruhi orang lain, agar pikiran dan kegiatannya tidak menyimpang dari tugas pokok masing-masing. Adapun dalam konteks nonstruktural kepemimpinan dapat diartikan sebagai proses mempengaruhi pikiran, perasaan, tingkah laku, dan mengarahkan semua fasilitas untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan bersama. Menurut Robbins (1993), kepemimpinan didefenisikan sebagai kemampuan seseorang untuk mempengaruhi sebuah kelompok. Menurut Raja Bambang Sutikno (2010), kepemimpinan berarti memberi contoh tauladan menjelma menjadi model panutan banyak orang. Menurut Ary Ginanjar Agustian (2008), pemimpin sejati adalah seseorang yang selalu mencintai dan memberi perhatian kepada orang lain, sehingga ia dicintai. Memiliki integritas yang kuat, sehingga ia dipercaya oleh pengikutnya. Selalu membimbing dan mengajari pengikutnya. Memiliki kepribadian yang kuat dan konsisten. Dan yang terpenting adalah memimpin berlandaskan suara hati yang fitrah. Menurut Daniel Goleman (2000) yang dikutip dari buku John M. Ivancevich, Robert Konopaske, dan Michael T. Matteson; mendefinisikan kepemimpinan sebagai proses mempengaruhi orang lain untuk mendukung pencapaian tujuan organisasi yang relevan. Menurut Sarros dan Butchatsky (1996), leadership is defined as the purposeful behavior of influencing others to contribute to a commonly agreed goal for the benefit of individual as well as the organization or common good. Menurut definisi tersebut, kepemimpinan dapat didefinisikan sebagai suatu perilaku dengan tujuan tertentu untuk mempengaruhi aktivitas para anggota kelompok untuk mencapai tujuan bersama yang dirancang untuk memberikan manfaat individu dan organisasi. Sedangkan menurut Anderson (1988), leadership means using power to influence the thoughts and actions of others in such a way that achieve high performance. Berdasarkan definisi-definisi diatas, kepemimpinan memiliki beberapa implikasi. Pertama, kepemimpinan berarti melibatkan orang atau pihak lain, yaitu para karyawan atau bawahan. Para karyawan atau bawahan harus memiliki kemauan untuk menerima arahan dari para pemimpin. Walaupun demikian, tanpa adanya karyawan atau bawahan, kepemimpinan tidak

ada juga. Kedua, seorang pemimpin yang efektif adalah seorang yang dengan kekuasaannya (his or her power) mampu menggugah pengikutnya untuk mencapai kinerja yang memuaskan. Fungsi Kepemimpinan Agar kelompok atau organisasi berjalan dengan efektif, maka seorang pemimpin harus melaksanakan dua fungsi utama yaitu sebagai berikut: 1. Fungsi yang berhubungan dengan tugas atau pemecahan masalah. Mencakup penetapan struktur tugas, pemberian saran penyelesaian, informasi dan pendapat. 2. Fungsi yang berhubungan dengan pemeliharaan kelompok (group maintenance) atau social. Mencakup segala sesuatu yang dapat membantu kelompok atau organisasi berjalan lebih baik atau efektif, persetujuan dengan kelompok lain, pengetahuan perbedaan pendapat, dan sebagainya. Selanjutnya H. Malayu S.P Hasibuan mengemukakan fungsi-fungsi kepemimpinan antara lain sebagai berikut: 1. Pengambilan keputusan dan merealisasi keputusan itu. 2. Pendelegasian wewenang dan pembagian kerja kepada para bawahan. 3. Meningkatkan daya guna dan hasil guna semua unsur manajemen. 4. Memotivasi bawahan, supaya bekerja efektif dan bersemangat. 5. Mengembangkan imajinasi, kreativitas, dan loyalitas bawahan. 6. Mengkoordinasi dan mengintegrasi kegiatan-kegiatan bawahan. 7. Penilaian prestasi dan pemberian teguran atau penghargaan kepada bawahan. 8. Pengembangan bawahan melalui pendidikan dan pelatihan. 9. Melaksanakan pengawasan melekat dan tindakan-tindakan perbaikan jika perlu. 10. Memelihara aktivitas-aktivitas perusahaan sesuai dengan izinnya. 11. Mempertanggungjawabkan pemerintah. 12. Membina dan mempertahankan kelangsungan hidup perusahaan. 13. Pemberian kompensasi, ketenangan, dan keselamatan bagi karyawan. 14. Meningkatkan produktivitas organisasi dan alokasi sumber daya serta meningkatkan kepuasan kerja karyawan. semua tindakan kepada pemilik, karyawan dan

15. Menciptakan perubahan/pembaharuan/reformasi. 2.2.2. Gaya Kepemimpinan Gaya artinya sikap, gerakan, tingkah laku, sikap yang elok, gerak-gerik yang bagus, kekuatan, kesanggupan untuk berbuat baik. Dan gaya kepemimpinan adalah perilaku dan strategi, sebagai hasil kombinasi dari falsafah, keterampilan, sifat, sikap, yang sering diterapkan seorang pemimpin ketika ia mencoba mempengaruhi kinerja bawahannya. Dalam gaya kepemimpinan memiliki tiga pola dasar yaitu yang mementingkan hubungan kerja sama dan yang mementingkan hasil yang dapat dicapai. Sehingga gaya kepemimpinan yang paling tepat adalah suatu gaya yang dapat memaksimumkan produktifitas, kepuasan kerja, penumbuhan, dan mudah menyesuaikan dengan segala situasi. Menurut Heidjrachman dan S. Husnan gaya kepemimpinan adalah pola tingkah laku yang dirancang untuk mengintegrasikan tujuan organisasi dengan tujuan individu untuk mencapai tujuan tertentu. (Heidjrachman dan Husnan, 2002:224). Sedangkan menurut Fandi Tjiptono gaya kepemimpinan adalah suatu cara yang digunakan pemimpin dalam berinteraksi dengan bawahannya (Tjiptono, 2001:161). Sementara itu, pendapat lain menyebutkan bahwa gaya kepemimpinan adalah pola tingkah laku (kata-kata dan tindakantindakan) dari seorang pemimpin yang dirasakan oleh orang lain (Hersey, 2004:29). Gaya kepemimpinan menurut Davis, Keith. (1985) adalah pola tindakan pemimpin secara keseluruhan seperti yang dipersepsikan oleh para pegawainya. Gaya kepemimpinan mewakili filsafat, keterampilan, dan sikap pemimpin dalam politik.

2.2.3. Jenis-jenis Gaya Kepemimpinan dan Tipe-tipe Kepemimpinan 2.2.3.1. Jenis-jenis Gaya Kepemimpinan James Owens menggambarkan melalui matrik gaya yang dimiliki dalam teori kepemimpinan perilaku (James Mac Gregor Burns, 1979: 141). Dalam matriknya, ia menggambarkan lima gaya kepemimpinan, yaitu: (1) gaya autokratis; (2) gaya birokratis; (3) gaya diplomatis; (4) gaya partisipatif; (5) gaya free rein leader.

1. Gaya kepemimpinan autokratis. Secara konseptual, Soejono (1984: 18), menjelaskan pemimpin yang autokratis adalah pemimpin yang memiliki wewenang ( authority) dari suatu sumber (misalnya karena posisinya), pengetahuan, kekuatan atau kekuasaan untuk memberikan penghargaan ataupun menghukum. Ia menggunakan authority ini sebagai alat atau metode agar sesuatunya dapat dijalankan serta diselesaikan. Apa yang dilakukan pimpinan atau pemimpin dengan gaya ini hanyalah memberitahukan tugas seseorang serta menuntut kepatuhan orang secara penuh tanpa bertanya-tanya. Gaya kepemimpinan ini memiliki dua model. Pertama, model garis keras dan kedua, model paternalistik. Kepemimpinan autokratis yang berhaluan keras menuntut kepatuhan. Kalau tidak, ada sanksi tertentu yang diterapkan. Gaya kepemimpinan paternalistik mengharapkan kepatuhan dari para anggotanya, namun kepatuhan ini atas dasar hubungan, yang sering bersifat pribadi dan diwarnai oleh father knows best, ketergantungan pribadi bawahan dan berdasarkan pada rewards dan rasa aman. 2. Gaya kepemimpinan birokratik. Gaya kepemimpinan birokratik adalah gaya

kepemimpinan yang dijalankan dengan menginformasikan kepada para anggota atau bawahannya apa dan bagaimana sesuatu itu harus dilaksanakan. Akan tetapi, dasar-dasar dari perintah gaya kepemimpinan ini hampir sepenuhnya menyangkut kebijakankebijakan, prosedur-prosedur, dan peraturan-peraturan yang terkandung dalam organisasi. Ciri khas seorang pemimpin yang birokratis adalah pandangnannya terhadap semua aturan atau ketentuan organisasi adalah absolut, artinya pemimpin mengatur kelompoknya dengan berpegang sepenuhnya pada aturan-aturan yang telah ditetapkan dalam organisasi (Soejono, 1984: 20 dan Nawawi, 1992: 112-117). Kreativitas dan inovasi hanya berlaku sesuai dengan garis yang telah ditetapkan dalam organisasi. 3. Gaya kepemimpinan diplomatis. Pada gaya ini dapat dikatakan bahwa seorang pemimpin yang diplomat adalah juga seorang seniman, yang melalui seninya, berusaha melakukan persuasi secara pribadi. Jadi, sekalipun ia memiliki wewenang atau kekuasaan yang jelas, ia kurang suka mempergunakan kekuasaannya itu. Ia lebih cenderung memilih cara menjual sesuatu (motivasi) kepada bawahannya dan mereka menjalankan tugas pekerjaannya dengan baik.

4. Gaya kepemimpinan partisipatif. Pemimpin dengan gaya partisipatif adalah pemimpin yang selalu mengajak secara terbuka kepada anggota atau bawahannya untuk berpartisipasi atau mengambil bagian secara aktif, baik secara luas atau dalam batas-batas tertentu dalam pengambilan keputusan, pengumuman kebijakan, dan metode-metode operasionalnya. Jenis pemimpin ini dapat berupa seorang pemimpin yang benar-benar demokratis ataupun ia berstatus sebagai pemimpin untuk berkonsultasi (Trimo, 1984: 24). 5. Gaya kepemimpinan free rein leader. Dalam gaya kepemimpinan ini, pemimpin seakanakan menunggang kuda yang melepaskan kedua kendali kudanya. Walaupun demikian, pemimpin dalam gaya ini bukanlah seorang pemimpin yang benar-benar memberikan kebebasan kepada anggota atau bawahannya untuk bekerja tanpa pengawasan sama sekali. Hal yang dilakukan pemimpin tersebut adalah menetapkan tujuan yang harus dicapai oleh anggota atau bawahannya untuk bebas bekerja dan bertindak tanpa pengarahan atau kontrol lebih lanjut, kecuali apabila mereka memintanya. Pada umumnya, para pemimpin dalam setiap organisasi dapat diklasifikasikan menjadi lima tipe utama, yaitu: 1. Tipe pemimpin otokratis Tipe ini menganggap bahwa pemimpin merupakan suatu hak. Ciri-ciri pemimpin tipe ini adalah: 1) menganggap bahwa organisasi adalah milik pribadi; 2) mengidentikkan tujuan pribadi dengan tujuan organisasi; 3) menganggap bahwa bawahan adalah alat semata; 4) tidak mau menerima kritik, saran dan pendapat dari orang lain karena dia menganggap dialah yang paling benar; 5) selalu bergantung pada kekuasaan formal; 6) dalam menggerakkan bawahan sering mempergunakan pendekatan (approach) yang mengandung unsur paksaan dan ancaman.

Dari sifat-sifat yang dimiliki oleh pemimpin tersebut, dapat diketahui bahwa tipe ini tidak menghargai hak-hak manusia. Oleh karena itu, tipe ini tidak dapat dipakai dalam organisasi modern. 2. Tipe pemimpin militeristis Seorang pemimpin yang bertipe militeristis mempunyai sifat-sifat berikut: 1) dalam menggerakkan bawahannya, perintah mencapai tujuan digunakan sebagai alat utama; 2) sangat suka menggunakan pangkat dan jabatannya dalam menggerakkan bawahan; 3) senang pada formalitas yang berlebihan; 4) menuntut disiplin yang tinggi dan kepatuhan mutlak dari bawahan; 5) tidak mau menerima kritik dari bawahan; 6) menggemari upacara-upacara untuk berbagai keadaan. Perlu diketahui bahwaa seorang pemimpin dengan tipe pemimpin militeristis tidak sama dengan pemimpin dalam organisasi militer. Artinya, tidak semua pemimpin dalam militer adalah bertipe militeristis. Tipe pemimpin seperti ini bukan merupakan pemimpin yang ideal. 3. Tipe pemimpin fathernalistis Sifat-sifat umum dari tipe pemimpin fathernalistis adalah sebagai berikut: 1) menganggap bawahannya sebagai manusia yang tidak dewasa; 2) bersikap terlalu melindungi bawahan; 3) jarang memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengambil keputusan. Oleh karena itu, jarang ada pelimpahan wewenang; 4) jarang meberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengembangkan inisiatif daya kreasi;

5) sering menganggap dirinya mahatahu. Tipe pemimpin fathernalistis mempunyai ciri tertentu, yaitu bersifat fathernal atau kebapakan. Pemimpin seperti ini menggunakan sifat kebapakan dalam menggerakkan bawahan. Kadang-kadang, pendekatan yang dilakukan terlalu sentimental. Harus diakui bahwa dalam keadaan tertentu, pemimpin seperti ini sangat diperlukan. Akan tetapi, ditinjau dari segi sifatsifat negatifnya, pemimpin fathernalistis kurang menunjukkan elemen kontinuitas terhadap organisasi yang dipimpinnya. 4.Tipe pemimpin kharismatis Sampai saat ini, para ahli manajemen belum berhasil menemukan sebab-sebab mengapa seorang pemimpin memiliki kharisma. Tipe pemimpin seperti ini mempunyai daya tarik yang amat besar, dan karenanya mempunyai pengikut yang sangat besar. Kebanyakan pengikut menjelaskan alasan mereka menjadi pengikut pemimpin seperti ini. Karena kurangnya seorang pemimpin yang kharismatis, sering dikatakan bahwa pemimpin seperti ini diberkahi dengan kekuatan gaib (supernatural powers). Kekayaan, umur, kesehatan, profil pendidikan dan sebagainya, tidak dapat digunakan sebagai kriteria tipe pemimpin kharismantis. 5. Tipe pemimpin demokratis Dari semua tipe pemimpin yang ada, tipe pemimpin demokratis dianggap sebagai tipe kepemimpinan yang terbaik. Hal ini karena pemimpin selalu mendahulukan kepentingan kelompok dibandingkan kepentingan individu. Beberapa ciri dari tipe pemimpin demokratis adalah sebagai berikut: 1) dalam proses menggerakkan bawahan, selalu bertitik tolak dari pendapat bahwa manusia itu adalah makhluk yang termulia di dunia; 2) selalu berusaha menyelaraskan kepentingan dan tujuan pribadi dengan kepentingan organisasi; 3) senang menerima saran, pendapat, dan bahkan dari kritik bawahannya;

4) mentolerir bawahan yang membuat kesalahan dan memberikan pendidikan kepada bawahan agar tidak berbuat kesalahan dengan tidak mengurangi daya kreativitas, inisiatif, dan prakarsa dari bawahan; 5) lebih menitikberatkan kerja sama dalam mencapai tujuan; 6) selalu berusaha untuk menjadikan bawahannya lebih sukses daripadanya; 7) berusaha mengembangkan kapasitas diri pribadinya sebagai pemimpin. 2.2.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Gaya Kepemimpinan Menurut De Bono (1986) ada 4 faktor yang mempengaruhi kepemimpinan seseorang (dua ciri pribadi dan dua lainnya merupakan faktor luar dirinya). Kedua ciri pribadi itu adalah: 1. A little madness, orang yang tahu dengan pasti dan jelas apa yang ia inginkan dan memiliki dorongan yang sangat kuat untuk mencapai tujuannya. 2. Very talented, orang yang mempunyai bakat yang sangat menonjol di bidang tertentu. Kedua faktor lainnya: 3. Rapid growth field. Orang yang bekerja dalam bidang yang berkembang sangat cepat mempunyai peluang lebih banyak untuk berhasil, daripada orang yang bekerja di bidang yang tidak dapat berkembang dengan cepat. Bidang teknologi, khususnya komputer merupakan bidang yang berkembang dengan cepat. Keadaan ini memungkinkan bakat untuk berkembang. 4. Luck. Ada orang yang kebetulan berada di tempat pada saat yang tepat untuk melakukan usahanya. Ada orang lain yang selalu kesulitan dalam memulai usahanya. Menurut French dan Raven (1968), kekuasaan yang dimiliki oleh para pemimpin dapat bersumber dari: a. Reward power, yang didasarkan atas persepsi bawahan bahwa pemimpin mempunyai kemampuan dan sumber daya untuk memberikan penghargaan pada bawahan yang mengikuti arahan-arahan pemimpinnya.

b. Coercive power, yang didasarkan atas persepsi bawahan bahwa pemimpin mempunyai kemampuan memberikan hukuman bagi bawahan yang tidak mengikuti arahan-arahan pemimpinnya c. Legitimate power, yang didasarkan atas persepsi bawahan bahwa pemimpin mempunyai hak untuk menggunakan pengaruh dan otoritas yang dimilikinya. d. Referent power, yang didasarkan atas identifikasi (pengenalan) bawahan terhadap sosok pemimpin. Para pemimpin dapat menggunakan pengaruhnya karena karakteristik pribadinya, reputasinya dan karismanya. e. Expert power, yang didasarkan atas persepsi bawahan bahwa pemimpin adalah seorang yang memiliki kompetensi dan mempunyai keahlia dalam bidangnya. 2.2.5. Indikator Kepemimpinan Kepemimpinan diukur menggunakan indikator-indikator berikut : a) Tingkat hubungan pemimpin dengan bawahan; b) Tingkat kesediaan pemimpin menerima saran dari bawahan; c) Tingkat kesediaan pemimpin membantu mengatasi kesulitan bawahan; d) Tingkat kesediaan pemimpin mendelegasikan kewenangannya kepada bawahan; e) Tingkat kesediaan pemimpin menerima perubahan yang terjadi dalam pelaksanaan pekerjaan.

2.2.6. Pengukuran Gaya Kepemimpinan Pengukuran gaya kepemimpinan yang dipakai pada penelitian ini adalah LBDQ ( Leadership Behaviour Description Questionnaire) berdasarkan studi Ohio State yang didalamnya mengandung dua kategori pengukuran gaya kepemimpinan, yaitu gaya kepemimpinan pertimbangan

(Consideration Leadership Style) dan gaya kepemimpinan prakarsai (Initiating Stucture Leadership Style) (Stogdill, 1974). 2.3. Kerangka Berfikir

Seluruh karyawan di tempat kerja harus diberikan banyak kesempatan untuk merasakan berkomitmen pada organisasi. Meyer & Allen, (1997), menemukan bahwa karyawan yang memiliki hubungan yang baik langsung dengan kelompok kerja, mereka memiliki tingkat yang lebih tinggi berkomitmen. Mereka membicarakan ide mereka bahwa jika karyawan secara langsung berkomitmen untuk kelompok mereka, komitmen mereka terhadap organisasi secara keseluruhan akan lebih tinggi. Lio (1995) menyimpulkan bahwa "komitmen organisasi buruh secara signifikan berkorelasi dengan keamanan kerja dirasakan mereka" (p.241). Gaya kepemimpinan dapat mempengaruhi tingkat komitmen karyawan. Koopman (1991) mempelajari bagaimana gaya kepemimpinan mempengaruhi karyawan dan menemukan karyawan yang lebih menyukai gaya manajer mereka juga lebih disukai organisasi. Meskipun tidak ada koneksi langsung antara komitmen, dapat dikatakan bahwa hal ini kemudian akan mempengaruhi tingkat mereka komitmen terhadap organisasi. Nierhoff et al (1990) menemukan bahwa "manajemen budaya secara keseluruhan dan gaya didorong oleh tindakan manajemen puncak sangat terkait dengan tingkat komitmen karyawan" (hal. 344). Korelasi ini menyoroti pentingnya memiliki pemimpin yang kuat dan peran mereka dalam organisasi secara keseluruhan. Eisenberger et al (1990) membahas karyawan yang merasa bahwa mereka dipimpin oleh organisasi mereka dan pemimpin juga memiliki tingkat tidak hanya lebih tinggi komitmen, tetapi bahwa mereka lebih sadar tentang tanggung jawab mereka, memiliki keterlibatan yang lebih besar dalam organisasi, dan lebih inovatif. Manajer dan organisasi harus memberikan reward dan dukungan karyawan mereka untuk pekerjaan yang mereka lakukan karena ini dianggap memungkinkan dukungan atas kepercayaan lebih dalam organisasi.

GAYA KEPEMIMPINAN ATASAN: Gaya kepemimpinan birokratik (X)

KOMITMEN ORGANISASI (Y)

2.3.2. Hipotesis Berdasarkan pada kajian teori yang telah dibahas dan hasil temuan dari para peneliti serta kerangka berpikir yang telah diajukan sebelumnya, maka diajukan hipotesis yang akan diuji kebenarannya melalui penelitian ini, adapun hipotesisnya adalah sebagai berikut: Hipotesis Kerja (Ha): Ha: Terdapat hubungan yang signifikan antara gaya kepemimpinan birokratik dengan komitmen organisasi karyawan pada PT. X. Hipotesis Nihil (Ho): Ho: Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara gaya kepemimpinan birokratik dengan komitmen organisasi karyawan pada PT. X.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Dalam bab ini penulis akan menjelaskan mengenai pendekatan serta metode yang akan digunakan dalam peneltian, meliputi aspek penelitian dan instrmen pengumpulan data. 3.1. Jenis Penelitian 3.1.1. Pendekatan dan Metode Penelitian Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif. Penelitian kuantitaif adalah penelitian yang informasinya atau data-datanya dekelola dengan statistik. Menurut Azwar (2003), penelitian dengan pendekatan kuantitatif menekankan analisisnya pada data-data numerikal atau angka yang diolah dengan metoda statistika. Hipotesis pada penelitian ini diuji dengan menggunakan teknik-teknik statistik (Kountur, 2004). Pada umumnya penelitian kuantitatif banyak dituntut menggunakan angka, mulai dari pengumpulan data, penafsiran data, serta penampilan dari hasil penelitiannya. Hal tersebut dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi mengenai status suatu gejala yang ada, yaitu keadaan gejala menurut apa adanya pada saat penelitian dilakukan. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif korelasional. Penelitian deskriptif secara sederhana berarti penelitian yang berusaha memaparkan suatu fenomena berdasarkan data-data yang terkumpul dari penelitian yang dilakukan. Suryabrata (1998) menyatakan bahwa penelitian deskriptif berusaha menjelaskan secara rinci situasi-situasi atau kejadian-kejadian tertentu sehingga diperoleh uraian yang sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu. Menurut Azwar (2003), penelitian korelasional adalah penelitian yang bertujuan menyelidiki sejauh mana variasi pada satu variabel berkaitan dengan variasi pada satu atau lebih variabel lain berdasarkan koefisien korelasi. Dengan penelitian korelasional, pengukutan terhadap beberapa variabel serta saling berhubungan antara variabel-variabel tersebut dapat dilakukan secara serentak dalam kondisi yang realistik. Studi korelasional

memungkinkan peneliti untuk memperoleh informasi mengenai taraf hubungan yang terjadi, bukan mengenai ada tidaknya efek variabel satu dengan variabel yang lain. Sevilla dkk (2000) menyatakan bahwa penelitian deskriptif bertujuan untuk

menggambarkan sifat suatu keadaan yang ditemukan pada saat penelitian dilaksanakan dan memeriksa sebab-sebab dari suatu gejala tertentu. Hanya saja penelitian deskriptif ini tidak memiliki kekuatan kontrol terhadap hal-hal yang terjadi tersebut dan hanya dapat mengukur apa yang ada. 3.1.2. Definisi Variabel dan Operasional Variabel Variabel penelitian adalah obyek penelitian atau apa yang menjadi titik berat perhatian suatu penelitian (Arikunto, 198:99). Variabel adalah gejala yang menjadi obyek penelitian atau apa yang menjadi pusat perhatian suatu penelitian (Hadi, 1995:91). Penelitian ini menggunakan dua variabel, yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebas adalah variabel yang akan diselidiki pengaruhnya terhadap variabel terikat, sedangkan variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi oleh variabel bebas. Adapun perincian dari kedua variabel tersebut adalah: Variavel terikat (DV) Variabel bebas (IV) : Komitmen terhadap organisasi (Y) : Gaya kepemimpinan (X)

Definisi operasional adalah merupakan suatu definisi yang memberikan bahasan atau arti variabel dengan merinci hal yang harus dikerjakan oleh peneliti untuk mengukur variabel tersebut (Kerlinger, 1996).

Berdasarkan konsep-konsep dan teori yang telah diuraikan, penulis merumuskan defenisi operasional sebagai pengertian operasional mengenai variabel-variabel penelitian, yaitu: 1. Gaya kepemimpinan merupakan pola tindakan pemimpin secara keseluruhan seperti yang dipersepsikan oleh para pegawainya. Gaya kepemimpinan mewakili filsafat, keterampilan dan sikap pemimpin dalam politik. Aspek yang mempengaruhi gaya kepemimpinan ada 4 indikator yang disajikan dalam tabel berikut ini: Tabel 3.1 Variabel dan Indikator Gaya Kepemimpinan No 1 Aspek Perilaku direktif Indikator -penjelasan tugas atau pekerjaan -pengambilan keputusan oleh atasan dan

pengendalian terhadap perilaku bawahan 2 Perilaku konsultatif -penyampaian ide dari bawahan -keterlibatan anggota dalam pembahasan suatu masalah -penekanan akan pentingnya hubungan antar pribadi 3 Perilaku partisipatif -keterlibatan anggota dalam perumusan tujuan -keterlibatan anggota dalam pengambilan keputusan 4 Perilaku delegatif -pengambilan keputusan ada pada bawahan -bawahan memiliki kontrol dalam pelaksanaan tugas

2. Komitmen organisasi merupakan suatu konstruk psikologis yang merupakan karakteristik hubungan anggota organisasi dengan organisasinya dan memiliki implikasi terhadap keputusan individu untuk melanjutkan keanggotaannya dalam berorganisasi. Allen dan Meyer (1997) mengemukakan bahwa komitmen organisasi terdiri atas 3 aspek, yaitu komitmen afektif, komitmen kontinuans dan komitmen normatif. Adapun indikator-indikator dari masing-masing aspek disajikan dalam tabel di bawah ini:

Tabel 3. 2 Variabel dan Indikator Komitmen Organisasi

No. 1

Aspek Komitmen Afektif

Indikator -Merasa cocok secara emosional bekerja di perusahaan -Keyakinan dan penerimaan terhadap nilai-nilai dan tujuan perusahaan -Keinginan kuat untuk tetap berada diperusahaan karena memang menginginkannya

Komitmen Kontinuans -Bekerja diperusahaan karena membutuhkannya -Merasa rugi jika meninggalkan perusahaan

Komitmen Normatif

-Tanggung jawab terhadap perusahaan -Sikap loyal terhadap perusahaan

3.2 Pengambilan Sampel 3.2.1 Populasi dan Sampel Populasi adalah jumlah keseluruhan dari unit analisis yang diperoleh berdasarkan ciri-ciri yang diduga dari sampel (sebagian dari individu yang diselidiki) yang hendak digeneralisasikan atau dianalisis secara umum. Sebagai suatu populasi, kelompok subjek ini harus memiliki ciri-ciri atau karakteristik bersama yang membedakannya dari kelompok subjek yang lain (Azwar, 2003). Jadi populasi adalah seluruh individu yang akan diteliti. Sampel adalah bagian dari populasi yang diambil melalui cara-cara tertentu yang memiliki karakteristik tertentu, yang dianggap bisa mewakili populasi. 3.2.2 Teknik Pengambilan Sampel Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah dengan menggunakan teknik total sampling, yaitu teknik sampling yang menggunakan seluruh populasi menjadi anggota sampel (Soehartono, dalam Jamali 2007) Karena unsur populasi berkarakteristik heterogen, dan heterogenitas tersebut mempunyai arti yang signifikan pada pencapaian tujuan penelitian, maka peneliti mengambil sampel dengan cara ini. Misalnya, seorang peneliti ingin mengetahui sikap manajer terhadap satu kebijakan perusahaan. Dia menduga bahwa manajer tingkat atas cenderung positif sikapnya terhadap kebijakan perusahaan tadi. Agar dapat menguji dugaannya tersebut maka sampelnya harus terdiri atas paling tidak para manajer tingkat atas, menengah, dan bawah. Dengan teknik pemilihan sampel secara random distratifikasikan, maka akan diperoleh manajer pada tiga tingkatan, yaitu stratum manajer atas, manajer menengah dan stratum manajer bawah. Dari setiap stratum tersebut dipilih sampel secara acak.

3.3 Pengumpulan Data 3.3.1 Metode dan Instrumen Penelitian Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah skala/angket. Menurut Arikunto (2002), penggunaan skala/angket dapat memberikan keuntungan kepada peneliti: 1. Tidak memerlukan hadirnya peneliti 2. Dapat dibagikan secara serentak kepada banyak responden 3. Dapat dijawab oleh responden menurut kecepatannya masing-masing dan menurut waktu senggang responden 4. Dapat dibuat anonim sehingga responden bebas, jujur, dan tidak malu-malu. 5. Dapat dibuat terstandar sehingga bagi semua responden dapat diberi pernyataan yang benar-benar sama Dalam penelitian ini, peneliti memilih metode skala sebagai alat pengumpul data berupa sejumlah daftar yang berisi suatu rangkaian pertanyaan atau pernyataan mengenai suatu bidang untuk memperoleh data berupa jawaban-jawaban dari para responden dalam suatu penelitian (Koentjaraningrat, 1983). Dalam penelitian ini subjek akan diberikan skala yang terdiri dari tiga bagian, yaitu: a. Bagian pengantar, berisi tentang nama peneliti, tujuan penelitian, kerahasiaan jawaban yang diberikan, dan ucapan terima kasih. b. Bagian inti, berisi dua alat ukur yaitu alat ukur gaya kepemimpinan dan komitmen organisasi. c. Bagian data kontrol, berisi tentang data-data subjek seperti usia, jenis kelamin, dan lainnya untuk melengkapi data penelitian. Data kontrol ini berisi pertanyaan terbuka atau dengan beberapa alternatif jawaban. Instrumen pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan skala model Likert atau dikenal juga dengan The Method of Summated Rating, yang dibuat untuk mengukur gaya kepemimpinan yang terdiri atas perilaku direktif, perilaku konsultatif, perilaku partisipatif, dan perilaku delegatif dan skala komitmen terhadap organisasi yang terdiri atas tiga dimensi yaitu komitmen afektif, komitmen kontinuans dan komitmen normatif.

Menurut Sevilla (1993) penskoran pada skala Likert yang digunakan pada penelitian ini merujuk pada empat alternative jawaban, sebagai berikut: Selalu (SL) Sering (SR) Pernah Tidak Pernah :4 :3 :2 :1

Untuk item yang favorable, skor subjek bergerak dari 4,3,2,1. Sementara untuk item unfavorable, skor subjek bergerak dari 1,2,3, dan 4. Peneliti menggunakan skala model Likert dengan menghilangkan pilihan tengah yaitu netral atau ragu-ragu menjadi empat alternative jawaban dengan alas an mengurangi pengaruh kecendrungan sentral dan mendorong subjek untuk memutuskannya sendiri apakah positif atau negative. Kecendrungan sentral adalah penekanan pada kecenderungan responden untuk mengamankan dan untuk menempatkan jawaban mereka di tengah sebagai netral. Individu yang memiliki kecenderungan jawaban tersebut jelas tidak mungkin melakukan karena mereka menafsirkannya sebagai tipe yang moderat (Sevilla, 1993). Skala Likert dipandang sangat bermanfaat dalam penelitian tingkah laku karena lebih mudah dilakukan dan hasilnya sama dengan hasil skala Thurstone yang lebih sulit digunakan (Kerlinger, 1973 dalam Sevilla, 1993).

DAFTAR PUSTAKA

Robbins, S. P. , dan Judge. 2007. Perilaku Organisasi, Jakarta : Salemba Empat Sopiah. 2008. Perilaku Organisasi, Yogyakarta : Andi Mathieu, J. E., & Zajac, D.M. (1990) A review and meta analysis of the antecedents, correlates, consequences of organizational commitment. Psychological bulletin. 108, 171-194. Meyer, J. P., & Allen, N. J. (1997). Commitment in the worplace theory research and application. California: Sage Publications. Mowday, R. T., Porter, L. W., & Steeras, R. (1982). Organizational linkages : the psychology of commitment, absenteeism, and turnover. San Diego, California : Academic Press. Robbins, S. P. (2003). Organizational behavior (10th ed). New Jersey : Prentice Hall. Kerlinger, Fred N. (1996). Asas-asas Penelitian Behavioral. Landung R. Simatupang (terj). Yogyakarta : Gajah Mada Press Daftar pustaka Suryanto, Dwi. (2005), Pengaruh kemiripan persepsi, kemiripan demografis atasan-bawahan, ketertarikan atasan pada bawahan, kualitas hubungan atasan-bawahan, kepuasan kerja, dan komitmen karyawan terhadap peringkat prestasi kerja. Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung. Ratmawati, Dwi. (2007), Managerial competency and management commitment to employee: empowerment: banking companies case. Proceedings of the 13th Asia Pacific management conference, 556-562. Yukl, Gary, (1998), Kepemimpinan dalam organisasi. Prenhallindo: Jakarta. Steers, R.M., & Porter, L.W., (1987). Motivation and work behavior. USA: McGraw-Hill inc. M. Ivancevich, John, Konopaske, Robert, & Matteson, M.T. (2006). Perilaku dan manajemen organisasi, edisi ketujuh jilid 2 (terj. Organizational Behavior and management, Seventh edition). Jakarta: Penerbit Erlangga.

Hadi, S. (2000) Metodologi research. Jilid 1. Yoyakarta : Andi Offset. Muchlas, Makmuri. (2005). Perilaku organisasi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Sutikno, R.B. (2010) The power of 4Q for HR & company development. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Anda mungkin juga menyukai