A Trib "0 to Palestine
~Habiburrahman El Shirazy, dkk
“Persembahan sg pad al Deo MIN USC Ue tk UTC)
dalam buku ini mencoba mengetuk hati pembaca untuk ikut
Fst Colgent Mc iee lt UeeCc aa T Paee
Bee ete MM oCTM Taras Pa mecca One BITC MST- Ur MINN or)Gadis Kota Jerash
Habiburrahman El Shirazy, dick
Penyunting: Azzura Dayana
Pewajah Sampul: Windu Tampan
Penata Aksara: Novi Khansa’Kreatif
Diterbitkan pertama kali oleh
PT. Lingkar Pena Kreativa
Jakarta
‘Anggota IKAPI
Jl. Raya Jagakarsa (Simadakarsa) No. A-1
Jakarta Selatan 12620
Telp./Faks. (021) 78882079
Email: lingkarpena.penerbit@gmail.com
Hitp:/flingkarpena.multiply.com
Cetakan pertama, November 2009
Cetakan ketiga, Juli 2010
Perpustakaan Nasional: Katalog dalam Terbitan(KDT)
EL Shirazy, Habiburrahman
Gadis Kota Jerash; Penyunting: Azzura Dayana; Jakarta: PT.
Lingkar Pena Kreativa, 2009
284 him. ; 20,5 cm.
ISBN 978-602-8436-47-2
I. Judul IL. Habiburrahman El Shirazy
Didistribusikan oleh:
Mizan Media Utama (MMU)
Jl. Cinambo (Cisaranten Wetan) No. 146
‘Ujungberung, Bandung 40294
Telp. (022) 7815500, Fax. (022) 7802288
Email: mizanmu@bdg.centrin.net.idDAFTAR ISI
Narasi Tepi Gaza v
Gadis Kota Jerash (Sinta Yudisia) z
Bayi-Bayi Tertawa (Habiburrahman EI Shirazy) 24
" Tiga Jam (Rahmat Heldy HS) 38
21 Hari untuk Gaza (W. D. Yoga) 46
Boikot (Nova Ayu Maulita) 70
Cinta dan Matahari (Sakti Wibowo) 86
Harmonika, Sepatu Bayi, dan Sungai
Darah (Hendra Veejay) 102
Bait Tanya Aleya (Meutia Geumala) 114
xvMenanti Palestina (Billy Antoro) 132
Orang-orang Terowongan (Noor H. Dee) 148
Abi, Bacakan Aku Cinta (Mardinata) 158
Valentine for Gaza (Ria Fariana) 168
Parese (Ragdi F. Daye) 180
EO 13221 (Melvi Yendra) 192
Peta Palestina di Meja Keluarga (Rose FN) 210
Taman Surga (Prima Agung Saputra) 220
janwo@freedom.com (Muhammad Yulius) 236
Tentang Para Penulis 255“Kebijakan Israel melakukan penghancuran atas
tempat tinggal warga Palestina merupakan
pelanggaran hukum kemanusiaan internasional
yang memprihatinkan. Karena itu, tindakan itu
bisa disebut kejahatan perang, melalui
berbagai cara pemutarbalikan hukum.
Pengadilan Tinggi Israel menghindari
penyelidikan hukum atas kasus-kasus tersebut,
dan menjadi tukang stempel atas kebijakan
ilegal Israel.”Sinta Yudisia
“Najma!”
Tak ada sahutan.
“Najma!”
Suara langkah saling berkejaran.
“Paman hanya ingin...”
“Aku tidak ingin Paman peduli urusanku!” terdengar
nada amarah.
“Sudah saatnya kuurus diri sendiri tanpa campur tangan
siapapun.”
BCR
Helaan napas panjang terembus dari dada laki-laki tua”
berambut kelabu keperakan. Sepenuh hatinya dirajut
kesabaran.“Paman hanya tidak mau melihatmu salah melangkah,”
ujarnya lembut.
Demikian akhir perdebatan mereka.
Gadis yang dipanggil Najma tertawa hingga tampak
ujung dagunya terdongak. Salah melangkah? Bukan main.
Sepertinya lidah Paman Harun ingin memenggal setiap
keinginannya. Cita-citanya. Tidak pernah ada yang benar
di mata Paman Harun, setidaknya itu prasangka yang tengah
bergemuruh di dalam dada. Najma berusaha untuk mentaati
semua peraturan dengan berat hati walau setengah mati
dibenci. Namun tidak untuk kali ini.
“Selalu kuimpikan datangnya bulan Juli,” Najma berkata
pelan namun tegas. Ditatapnya sosok yang tengah berdiri di
hadapan, tepat di manik mata.
“Sejak kecil sering kudengar cerita tentang kemegahan
Jerash. Gerbang emperor Hadrian, Hippodrome, Tetrapylon
Selatan hingga kuil Dewa Artemis. Bangunan peradaban
lama yang indah menjulang, langit biru terbingkai seratus
tiang kokoh marmer putih penopang kuil.”
Najma berjalan mengelilingi Paman Harun yang berdiri
tegak.
“Dan di bulan Juli ini,” Najma berbisik terpejam. “Aku
akan menjadi salah seorang penari menyambut datangnya
Jerash Festival yang megah. Salah satu festival terindah di
dunia yang akan menghadirkan seribu macam pagelaran
seni menakjubkan.”Najma mengentakkan kaki, berputar mengikuti irama
tertentu.
“Tarian Spanyol, Lebanon, Jerman,” Najma tersenyum
lebar. “Akrobat Cina, Balet Rusia.”
Gadis itu berhenti di depan wajah Paman Harun lalu
membuang muka.
“Dan tentu saja,” ujarnya mendengus. “Drama satir
Arab.”
Paman Harun tidak berniat menyela.
“Aku tak mau terus-menerus hidup menjajakan kopi
sepanjang jalan Al-Kindi. Mengitari Wadi Saqra dan selalu
tersenyum pada setiap orang di Taman King Abdullah walau
mereka tak berniat membeli.”
“Tapi...”
“Apa?” Najma semakin tegak menantang. “Tapi apa,
Paman?”
“Apa kata orangtuamu bila kau menjadi seorang penari?”
Najma menggeleng-gelengkan kepala.
“Ingat?” ia memiringkan kepala, seakan mengejek. “Aku
tak punya orangtua lagi.”
BCR
Pagi hari itu sangat tak menyenangkan di rumah Paman
Harun setelah kejadian semalam.
“Kita tak membesarkannya untuk jadi seperti ini,”
keluhnya.“Apa yang kalian bicarakan?” Bibi Nauroh sibuk
menghaluskan biji kopi. Tangannya segera beralih ke
pemanggangan roti. , :
“Ta ingin segera ke Jerash untuk mengikuti Festival Juli,”
suara Paman Harun tampak muram. “Terkadang aku merasa
serba salah. Terjebak antara rasa kasihan, kesal, juga kecewa.
Terkadang malah timbul rasa sesal atas keputusan kita
dahulu.”
Bibi Nauroh menghentikan kerjanya sejenak.
“Jangan sampai ia mendengar,” tegurniya tajam. Lalu
suaranya melunak. “Aku juga sering merasakan hal yang sama.
Tapi bila mendengar kau mengatakannya, rasa hatiku tak tega.”
Mereka berdua kembali sibuk menyiapkan dagangan.
“Mungkin ia baru tumbuh dewasa,” hibur Bibi Nauroh.
“Jangan terlalu dipikirkan.”
“Yah...,” Paman Harun mengangkat bahu. “Mungkin
kau benar. Ini hanya gejolak gadis remaja.”
“Membesarkan enam orang anak memang bukan
perkara mudah,” Bibi Nauroh tak bermaksud mengeluh.
“Apalagi ada Najma:”
“Dari dulu sudah kukatakan...”
“Apa kau tega membiarkan seorang anak yatim piatu
hidup menggelandang?” potong Bibi Nauroh. “Bayangkan
jika anak kita yang mengalami nasib seperti itu.”
“Begitulah,” jawab Paman Harun. “Tiap kuingat awalkejadian kita mengangkatnya sebagai anak, semua
kemarahanku menguap.”
Bayangan belasan tahun lalu menyelinap.
Pengungsi Palestina yang melarikan diri hingga perbatasan
Yordania. Sebagian melarikan diri ke Lebanon, lalu terjebak
dalam peristiwa berdarah yang memilukan sejarah dalam
tragedi Shabra Shatila. Scorang gadis kecil pucat berambut
kusut menangis tersedu-sedu. Paman Harun dan Bibi Nauroh
hanya ingin melihat seperti apa peristiwa menghebohkan
tentang para pengungsi di perbatasan yang diberitakan gencar
di media massa. Mata mereka tertumpu pada seorang gadis
kecil. Gadis yang kemudian mereka namai Najma, menemani
hari-hari penuh perjuangan sebuah keluarga sederhana.
“Kita memang tak punya banyak uang untuk meng-
hidupinya dengan layak,” Bibi Nauroh melanjutkan. “Anak-
anak pun tak sampai sekolah tinggi. Aku hanya ingin
melindunginya, mengayominya. Memberinya kehangatan
sebuah keluarga walau dalam kondisi serba terbatas.”
“Mungkin memang kita tak dapat menyalahkan
Najma,” Paman Harun tersenyum akhirnya. “Barangkali ia
ingin hidup lebih baik dari seperti ini.”
“Dengan menjadi penari?” Alis Bibi Nauroh naik. “Itu
sangat melebihi batas bagi seorang yang lahir sebagai anak
Palestina. Bahkan aku tak ingin anak perempuanku bercita-
cita begitu.”
Mereka berpandangan.“Ta tak ingin disebut orang Palestina,” Paman Harun
meralar. “Ia lebih suka disebut orang Yordania.”
“Apapun itu,” mata Bibi Nauroh meredup. “Tak adakah
cara menghentikannya? Aku mungkin bukan Ibu yang baik.
Aku kasar, tak berpendidikan, mungkin sesekali juga tak
adil padanya. Tapi demi Tuhan, aku tak ingin mengizinkan-
nya menjadi seorang penari. Itu terlalu buruk.”
“Ya,” Paman Harun mengangguk. “Terlalu buruk bagi
sepasang orangtua yang syahid untuk punya anak seperti
itu.”
Najma dan Paman Harun saling terdiam saat berdiri di
tepi jalan Queen Alia. Bibi Nauroh memutuskan untuk
berjualan hari ini menggantikan Najma setelah gadis itu
bersikeras menuju Jerash. Tak satu kata nasihat pun mampu
menghentikannya setelah ia lolos seleksi pada Royal Cultural
Centre untuk menjadi salah seorang penari pembuka pada
festival Juli nanti. Di seberang mereka tampak Hotel Marriot
dan Grand Palace berdiri megah. Dari ekor mata Paman
Harun mengamati, Najma memerhatikan orang demi orang
memasuki hotel tanpa berkedip. Limousine mengkilap,
gaun-gaun indah, perhiasan berkilau pada wajah cantik nan
cerah ceria. Hidup manakah yang lebih menyenangkan
daripada hidup mereka? Setidaknya itu persangkaan yang
berkelebat di benak Najma.
“Kau tahu apa nama rumah sakit di samping Hotel
Marriot?” Paman Harun mencoba mencairkan suasana.
“Ya?” Najma menyahut tanpa rasa ingin tahu.