Anda di halaman 1dari 38

DIABETES MELITUS TIPE 1

A. PENDAHULUAN Diabetes Tipe 1(DT1) adalah suatu penyakit autoimun yang mana system imun pasien merusak sekresi insulin oleh sel beta pancreas. DT1 merupakan penyakit autoimun multifaktorial yang dikarakteristikkan dengan adanya defisiensi insulin, dikarenakan perusakan sel beta pancreas yang dimediasi oleh sel T
1,2

. Hal ini tidak bisa diklasifikasikan secara tepat ke

dalam gen dominan, resesif maupun intermediet 2. Sebagian besar kasus yang terjadi diduga terjadi sebagai hasil proses interaksi antara genetic-lingkungan
1,2

. Sekitar 18 kelompok genom telah diketahui berhubungan dengan resiko

terjadinya DT1. Beberapa kelompok ini, dimana setiap kelompoknya dapat terdiri dari beberapa gen, yaitu di antaranya IDDM1 sampai IDDM18. Salah satu yang paling dimengerti sepenuhnya adalah IDDM1, yang mengandung gen HLA (Human Leukocyte Antigen) yang mengkode protein respon imun 1. Variasi dari gen-gen HLA merupakan faktor resiko yang penting 1. Selain itu, DT1 biasany juga dikarakteristikkan dengan adanya anti-GAD, sel islet maupun antibody insulin yang mengidentifikasi proses autoimun yang menyebabkan terjadinya perusakan sel beta pancreas 3. DT1 diklasifikasikan ke dalam 2 kategori, yaitu DT 1A (DT1 yang dimediasi imun/immune mediated) dan DT 1B (DT1 yang tidak dimediasi imun/non-immune mediated) 2,3. B. DEFINISI 1,2,3 Istilah diabetes mellitus (DM) menggambarkan gangguan metabolic oleh karena multiple etiologi yang dikarakterisasikan dengan hiperglikemia kronik yang mengganggu metabolism karbohidrat, lemak dan protein yang diakibatkan karena defek sekresi insulin, aktivitas insulin maupun oleh keduanya. Efek DM meliputi disfungsi, kegagalan dan kerusakan berbagai macam organ yang berlangsung lama. DMdapat muncul dengan gejala yang khas yaitu polidipsi, poliuri, polifagi (Trias Classic) serta pandangan kabur dan penurunan berat badan. Pada kondisi yang paling berat, dapat terjadi

ketoasidosis maupun hiperosmolar non-ketotik yang dapat memicu terjadinya stupor, koma, dan kematian apabila terapi yang diberikan tidak efektif.

C. INSIDENSI Insidensi DT1 sebesar 10% dari semua kasus DM. Terdapat beberapa perbedaan insidensi berdasarkan geografisnya, dengan insiden rata-rata per tahun sebesar 40 per 100000 anak di Finlandia, <2 per 100000 anak di Jepang, sedangkan di Indonesia belum ada data insidensi yang akurat 1,2. Insidensi pada anak laki-laki sebesar 21,1 per 100000 anak, sedikit lebih tinggi daripada anak perempuan yaitu sebesar 19 per 100000 anak 1. Bukti adanya etiologi autoimun DT1 ditemukan pada 95% kasus, sisanya sebanyak 5% tidak ditemukan adanya marker autoimun, oleh sebab itu diklasifikasikan sebagai DT 1B 2. Berdasarkan studi terbaru, insidensi DT1 meningkat sebesar 40% dari tahun 1997-2010 2, atau meningkat sebesar 3% setiap tahunnya 1. Peningakatan ini terutama diduga karena adanya peranan lingkungan dalam epidemiologi DT1 1. DT1 lebih sering terjadi pada kelompok umur 10-13 tahun dan paling rendah pada kelompok umur 6-9 tahun. Kembar monozigotik memiliki insidensi terkena DT1 rata-rata 30%-50%, sedangkan kembar dizigotik memiliki rata-rata terkena DT1 sebesar 6%-10%. Sebanyak 18% kasus DT1 terjadi pada individu yang tidak meiliki riwayat DT1 pada keluarga. Perbedaan resiko yang terjadi juga dipengaruhi oleh orang tua yang menderita DM. Anak-anak yang ibunya terkena DT1 hanya beresiko sebesar 2% untuk terjadinya DT1, sedangkan anak-anak yang bapaknya menderita DT1 memiliki resiko sebesar 7% 1. D. PATOFISIOLOGI DT1 merupakan tipe diabetes yang paling berat karena membutuhkan injeksi insulin seumur hidup. Sebagian besar kasus DT1 terbukti disebabkan karena destruksi sel beta yang dimediasi autoimun (Tipe 1A), sekitar 10%-20% kasus tidak ditemukan adanya antibody (antibody negatif) sehingga disebut sebagai DT1 idiopatik (Tipe 1B). Penurunan sekresi insulin diteliti selama lebih dari 12 tahun sebelum terjadinya manifestasi klinis DT1. Inflamasi pada

sel islet pancreas (insulitis) yang melibatkan limfosit CD4+ dan CD8+, limfosit B dan makrofag 1,5. Terdapat 2 mekanisme onset terjadinya DT1 tang dikemukakan. Mekanisme 1 menjelaskan bahwa faktor lingkungan memicu proses autoimun, yang sering terjadi pada anak-anak umur <10 tahun. Meskipun diagnosis DT1 biasanya didahului gejala yang tidak diketahui selama beberapa minggu, tetapi pada kenyataannya manifestasi klinisnya menjadi jelas hanya setelah periode prodormal yang panjang karena adanya destruksi sel beta pancreas secara bertahap. Mekanisme ke-2 menjelaskan bahwa terdapat suatu reaksi superantigen yang mengakibatkan dektruksi sel beta pancreas secara cepat dalam waktu beberapa minggu sampai 1 bulan, yang memulai onset klinis
1,2,4,5

Metabolisme yang mendahului diabetes tipe 1 4,5 Oresic et al membandingkan profil serum metabolit antara anak-anak yang memiliki diabetes tipe 1 dan mereka yang sehat dan walafiat bebas autoantibody. Analisa ini menemukan perubahan metabolic karakteristik hanya pada anak-anak yang kemudian muncul diabetes tipe 1, termasuk suksinat serum, foshaditilkolin, dan fosfolipid yang menurun, dan juga penurunan ketoleusin dan penungkatan asam glutamat. Masih belum jelas seberapa tinggi kadar glutamate, suksinat, ketoleusin, atau asam amino rantai bercabang yang normalnya dapat menyebabkan inisiasi diabetes tipe 1. Sulit juga untuk menggambarkan bagaimana perubahan ini dapat terjadi. Mereka dapat mencerminkan infeksi asimtomatik pada hepar atau otot, diet, atau gangguan metabolic dalam respon terhadap lingkungan. Glutamate, yang meningkat pada anak dalam perjalanan kea rah diabetes, terdapat dalam makanan, namun secara kunatitas tidak dapat meningkatkan kadar serum sampai berlebihan (32 kali di atas normal). Peningkatan glutamate serum bersamaan dengan penurunan -ketoglutarat

dapat juga diakibatkan dari peningkatan katabolisme otot atau gangguan pada jalur glutamate-dehidrogenase hepar dan ureagenesis. Glutamine dan glutamate plasma hanya terdiri dari fraksi kecil kumpulan glutamate intraseluler total. Orang yang mengkonsumsi monosodium glutamate 10 g atau lebih memiliki kadar glutamate plasma normal dua kali lipat dan konsentrasi insulin yang lebih tinggi. Glutamat juga disintesa secara endogen sebanyak 48 g/hr pada orang dewasa. Sel dilengkapi dengan reseptor dan transporter glutamate dan merespon glutamate dengan peningkatan sekresi insulin. Peningkatan glutamate dalam sel meningkatkan aktivitas GAD65, salah satu antigen sel utama. Maka, dapat disimpulkan bahwa peningkatan sementara glutamate dan peningkatan aktifitas GAD dapat memicu atau meingkatkan kerusakan sel melalui sitolitik atau proses autoimun. Glutamate penting dalam komposisi mikrobiom, dan beberapa penelti berspekulasi bahwa E. coli bertahan dalam usus dikarenakan GAD-ABC dan CadBA glutamate- dan lisin dependen acid-resistance sistem. Glutamine dan glutamate juga memiliki efek langsung terhadap sistem imun. Peningkatan kadar lisofosfatidilkolin (LPC) ditemukan oleh Oresic et al di masa depan anak-anak diabetes tipe 1 saat lahir dan selama tahun pertama. Perubahan lipid ini mungkin diakibatkan dari peristiwa yang dimulai di uterus, kemungkinan terkait nutrisi dan metabolism ibu. Selain itu, PLC, yang merupakan produk bioaktif fosfolipase A2 (PLA2) dan konstituen Ox-LDL, dapat mempengaruhi kemotaktis subpopulasi leukosit ketika inflamasi. Dan kelompok VIA fosfolipase A2 (iPLA2) turut andil dalam sekresi insulin. Diabetes tipe 1 suatu gangguan autoimun 2 Peran elemen turunan sumsusm tulang dalam pathogenesis penyakit ditunjukan dengan munculnya diabetes pada pasien yang menerima transplant sumsum tulang dari HLA kompatibel saudara kandung dengan diabetes tipe 1 dan sesuai dengan autoimunitas. Selain itu, inflamasi lokal, produksi

autoantibody, respon sel T spesifik, dan pengelompokan dengan gangguan autoimun lain semua mendukung pathogenesis autoimun. Insulitis merupakan penemuan yang penting ketika jaringan pankreas dari individu yang didiagnosa diabetes diperiksa. Autoimunitas didukung lebih jauh oleh fakta bahwa sel T ada dalam islet manusia dengan diabetes tipe 1 yang terkena dan mendominasi infiltrasi islet bahkan sebelum hiperglikemia terbukti. Selain itu, peningkatan ekspresi MHC menunjukan presentasi antigen aktif dapat terjadi dalam jaringan islet. Sesuai dengan penemuan ini, diabetes juga pernah dilakporkan pada resipien yang sebelumnya diabetic yang menerima transplant pankreas dari kembarannya yang non diabetic atau saudara kandungnnya dengan HLA identik. Dalam satu kasus, sel T diisolasi dari pankreas yang ditransplan segera setelah rekurensi penyakit. Meskipun tidak definitive, akumulasi sel T dan peningkatan regulasi MHC di dekat tempat penghancuran sel beta yang sangat mendukung mekanisme imun penting untuk munculnya diabetes. Autoantibody, yang disebut ICA (islet cell autoantibody), terdeteksi dalam individu diabetes tipe 1 dan memudahkan perjalanan klinis diabetes dipelajari dengan subjek manusia. Antibody yang diarahkan terhadap sel islet pertama kali ditemukan dengan serum inkubasi dari pasien diabetic tipe 1 dengan frozen section pankreas dari individu dengan darah normal kelompok O. GAD65 (glutamic acid decarboxylase), IA-2 atau ICA512 (insulinoma associated antigen-2) dan insulin (IAA) merupakan antigen sasaran paling sering. Glutamic acid decarboxylase mengubah asam glutamate menjadi GABA (asam g aminobutirat) neuron GABAergik dan sel beta islet. IA-2 adalah protein seperti tirosin fosfat yang ditemukan di sel a islet pankreas. Bertempat sama dengan granul sekresi islet dan difosforilasi ketika insulin disekresi. Berhubungan dengan sitoskeleton untuk membantu eksositosis. Autoantibody isulin ditujukan ke rantai b insulin atau proinsulin. Saat terapi insulin dimulai, antibody insulin bisa jadi merupakan marker yang tidak

bermanfaat karena beberapa pasien membentuk antibody terhadap insulin eksogen.


Figure 1: The Immunopathology of Type 1 Diabetes. Resident antigen presenting cells phagocytose beta cells, become activated, and migrate to draining lymph nodes where they present antigen to circulating T cells. Upon activation beta cell specific T cells gain access to islet tissue through the vasculature and accumulate in the islet causing insulitis. Additional antigen presentation may occur locally leading to destruction of beta cells with subsequent hyperglycemia.

LADA (laten autoimun diabetes in adult), diabetes tipe 1.5, atau SPIDDM (slow progressive insulin dependent diabetes mellitus) merupakan bentuk variasi dari diabetes pada pasien dewasa, memiliki antibody terhadap GAD65 atau IA-2. Produksi autoantibody tampak meningkat (bulan sampai tahun) pada perubahan metabolic diabetes tipe 1 dan dapat dipakai untuk memprediksi

penyakit. Adanya 2 atau lebih spesifitas antibody yang berbeda sangat prediktif untuk diabetes tipe 1 di masa mendatang (resiko lima tahun = 28-66%). Dua penelitian menggunakan tikus NOD yang mengalami defisiensi sel B perifer menunjukan kemungkinan peran autoantibody dalam penyakit. Namun, transfer autoantibody saja tidak menyebabkan penyakit pada tikus NOD sedikit B menunjukan bahwa kontribusi sel B terhadap pathogenesis penyakit tidak terbatas pada produksi autoantibody. Sel B juga berperan sebagai APC dengan kemampuan mempresentasikan set peptide yang unik. Adalah mungkin ketiadaannya menyebabkan perubahan pada presentasi antigen yang pengaruh sekundernya mengaktifkan sel T. Diabetes tidak dapat ditransfer menggunakan serum dari manusia diabetic, plasmaferesis

memberikansedikit manfaat terapeutik, dan eliminasi penyakit yang tidak sempurna terkadang terjadi pada tikus NOD dengan defisiensi sel B. Penyakit ini dapat muncul saat tidak adanya sel B dan autoantibody. Kemampuan antibody dengan afinitas tinggi terhadap insulin untuk meningkatkan onset diabetes menunjukan bahwa autoantibody dapat jelas mempengaruhi perjalanan waktu perkembangan penyakit. Sel T ada dalam islet yang terinflamasi, kemampuan untuk mempelajari sel ini pada manusia terbatas karena aksesibilitas. Klon sel T dari tikus NOD terbukti bermanfaat dalam meningkatkan pemahaman kami mengenai mekanisme potensial yang berperan pada diabetes manusia. Karena sel T spesifik islet dengan potensial diabetogenik kuat terdapat pada tikus NOD, kemungkinan sel T serupa menginfiltrasi jaringan islet manusia juga. Penelitian menunjukan bahwa sel T teraktivasi pertama di nodus limfe yang mengosongkan pankeras. Arsitektur nodus limfe mendukung akses cepat antigen pada APC professional ke sel T nave sirkulasi. Sesaat setelah teraktifasi, sel T spesifik islet bergerak ke pankreas di mana mereka berproliferasi dan terakumulasi menyebabkan inflamasi spesifik organ. karena makrofag dan sel dendritik terdapat dalam jaringan islet yang terinflamasi

kemungkinan

fungsi

mereka

sebagai

APC

professional

mampu

mempresentasikan antigen dalam konteks molekul MHC kelas II dan mensekresi IL-12, yang mengaktifkan sel T CD4 spesifik antigen dan kemudian menstimulasi sekresi interferon gamma. Interferon gamma merupakan sitokin kunci yang mampu menghambat produksi sitokin Th2 (IL4, -5, -10) oleh sel T lain dan meningkatkan IL-1, TNF-, dan produksi radikal bebas oleh makrofag. Kesemuanya toksik bagi sel beta islet, meskipun pre-sel beta tampak kurang sensitive bagi sitokin yang memediasi destruksi dibandingkan sel a matur. Selain dari kerusakan sel beta langsung, interferon gamma meningkatkan sitotoksisitas sel T CD8. Sel CD8 dapat menyebabkan kematian sel beta langsung melalui pelepasan perforin dan granzime atau oleh apoptosis yang dimediasi Fas. Diabetes tipe 1 sering dikaitkan dengan penyakit autoimun lain seperti kronik tiroiditis, non-destructive Addisons disease, Celiac disease, dan Autoimun Poliendokrinopati Sindrom. Pengelompokan diabetes tipe 1 dengan penyakit autoimun lain yang menunjukan kemungkinan defek pada regulasi imun dapat berperan dalam pembentukan fenotip autoimun multipel.

Figure 2: Autoantigen presentation and lymphocyte activation occur in the lymph nodes draining the pancreas prior to diabetes development.

Figure 3: Local chemokine production attracts autoreactive lymphocytes that destroy beta cells. Death can be mediated by various mechanisms including FasFasL, perforin/granzymes, reactive oxygen species, and cytokines.

Gen-gen HLA dalam predisposisi DT1 1,2: Bukti terbaik mengenai komponen genetic terhadap DT1 didapatkan dari berbagai studi tentang gen HLA pada populasi keluarga dan binatang percobaan. Diperkirakan bahwa HLA (IDDM1) terdapat hingga 40%-50% pada kelompok familial DT1. HLA merupakan kelompok gen-gen yang berlokasi dalam MHC pada rantai pendek kromosom 6 (6p21 .3). Kelas-kelas HLA 1,2: Dalam region HLA, dikelompokkan menjadi 3 kelas. a. Gen-gen kelas I, yaitu: (HLA-A, HLA-B dan HLA-C) mengkode antigenantigen HLA kelas 1, yang terletak pada permukaan semua sel berinti. b. Gen-gen kelas II, yaitu: (HLA-DR, HLA-DQ dan HLA-DP) yang memproduksi antigen-antigen HLA kelas II yang ditemukan secara khusus pada limfosit B, makrofag, sel-sel epithel pada sel islet pulau Langerhans dan limfosit T teraktivasi. Ekspresi-ekspresi gen-gen ini pada sel-sel lain mungkin diinduksi oleh beberapa sitokin seperti interferon dan IFN-. c. Gen-gen kelas III: mengkode komponen-komponen komplemen (C2, properdin faktor B, C4A dan C4B), 21-hydrovylase dan produk-produk yang terlibat pada inflamasi yang dimediasi oleh sel T, seperti TNF- dan TNF-, dan protein fase akut. Region HLA kelas II 1,2: HLA kelas II merupakan faktor genetic yang paling kuat yang berhubungan dengan DT1 yang disebabkan oleh alel-ale gen HLA kelas II secara statistic. Molekul HLA kelas II, terutama DR dan DQ, sekitar 40% dari seluruh gen yang beresiko mengalami DT1. Meskipun HLA memainkan peranan penting dalam hubungan ketidakseimbangan, akan tetapi hal ini sangat sulit untuk diteliti mengenai efek masing-masing gen HLA-DQ dan DR secara terpisah.

Spectrum haplotipe HLA yang beresiko DM 1,2. Beberapa loki di dalam maupun di dekat komplek HLA nampaknya memodulasi resiko terjadinya DM dan menambah kekomplekan dalam analisis DT1 lebih lanjut. Individu dengan resiko tertinggi menderita DT1 emngekspresikan beberapa haplotipe predisposisi, di antaranya: DQA1*0501DQB1*0201 (DQ2), yang hampir selali diwariskan dengan DRB1* 0301 (DR3) dan DQA1*0301-DQBI*0302 (DQ8), diwariskan dengan DRB1*0401 atau DRB1*0402 (DR4). Individu ini telah dihubungkan dengan adanya heterozigot DR3/DR4 atau DQ2/DQ8. Jadi, sebagian besar pasien DT1 membawa gen HLA-DR3 atau DR4 antigen kelas II, dan sekitar 30% di antaranya memiliki heterozigot DR3/DR4. Genotip DR3/DR4 berperan memberikan resiko DM tertinggi dengan cara aksi sinergis, kemudian didikuti oleh homozigot DR4 dan DR3, secara berurutan. Berdasarkan rantai-rantai DNA, lokus HLA-DQ ditemukan memiliki hubungan paling kuat terhadap terjadinya DM. Mekanisme tepat tentang HLA-DQ yang mana yang menentukan kecenderungan terjadinya DM masih belum jelas. Lokus ini mengkode beberapa varian molekul HLA-DQ, suatu heterodimer yang terdiri dari 2 rantai glikoprotein ( dan ) yang memiliki andil dalam penngenalan imun dan presentas antigen pada sel T CD4. Pada bangsa Kaukasian, heterodimer HLA-DQ (rantai dinamakan DQA1 dan rantai sebagai DQB1) yang dikode oleh alel-alel DQA1*0301, DQB1*0302 dan DQA1*0501, DQB1*0201 memiliki hubungan terkuat pada terjadinya DM. Alel-alel ini berhubungan dengan ketidakseimbangan pada alel-alel HLA-DR4 dan DR3. Menurut beberapa studi DQB1*0302 berbeda dengan DQB1*0301 pada posisi 57, yang mana pada posisi ini kurang akan residu asam aspartat. Alel DQB1*0201 juga kurang akan asam aspartat pada posisi 57, dan telah dikemukakan juga bahwa residu ini mengkin terlibat dalam mekanisme molekuler yang mendasari kode terjadinya DT1. Pada kenyataannya, residu asam amino pada posisi 57 dari rantai DQ- ini penting untuk pengenalan dan ikatan peptide. Residu rantai DQ- lainnya mungkin juga mempengaruhi

ikatan peptide dan menyebabkan kerentanan terhadap terjadinya DM, khususnya kombinasi variasi residu pada posisi 57 dan 70 berhubungan kuat dengan resiko terjadinya DM. residu arginin rantai DQ- posisi 52 juga berhubungan dengan kerentanan terhadap terjadinya DM. meskipun demikian, beberapa DQB1 termasuk DQB1*0302/DQB1*0201 (DR7), DQB1*0201 (DR3)/DQB1*0201 (DR3) dan memiliki resiko yang rendah. Haplotipe dari gen HLA kelas II tertentu menggunakan aksi proteksi untuk mnghambat perkembangan DM. Alel-alel HLA juga telah dihubungkan dengan proteksi terhadap DT1, haplotipe DQB1*0201 (DR3)/ DQB1*0201 (DR7)

DQA1*0102/DQB1*0602/DRB1*1501 telah diketahui memberi proteksi. Beberapa bukti menjelaskan bahwa proteksi tersebut dikode oleh alel DQB1*0601 dan bahkan antibody relative sel islet paling utama memiliki resiko rendah terhadap DM apabila memiliki DQB1*0601. Akan tetapi, efek proteksi ini tidak mutlak. Loki lain pada HLA kelas II juga dihubungkan dengan DT1 selain HLA-DQ dan DR. HLA-DPB1*0101, DPB1*0301 dan DPB1*0202 dialporkan memiliki hubungan positif, sedangkan DPB1*0402 memiliki hubungan negative.

Region HLA kelas I 1 Sejumlah penelitian mengindikasikan bahwa gen-gen kelas II menerangkan semua HLA berhubungan dengan DT1. Ada bukti bahwa beberapa alel pada loki HLA B dan C kelas I mempengaruhi kerentanan terhadap DM sebagaimana onset umur dan kecepatan destruksi sel beta. Di samping itu, rantai kelas I related gen-gen MIC-A dan MIC-B yang terletak di antara HLA-B serta gen TNF juga memiliki efek terhadap DT1. Region HLA kelas III 1: Gen TNF (tumor necrosis factor) adalah kandidat utama dari kelas III, karena polimorfisme fari gen ini dapat mempengaruhi produksi TNF, suatu sitokin poten, sehingga mempengaruhi potensial respon imun. Telah dilaporkan bahwa polimorfisme TNF dihubungkan dengan onset umur dan

mempengaruhi proses inflamasi yang mengawali terjadinya destruksi sel beta pancreas dan perkembangan DT1. Terlepas dari menentukan resiko DT1, gen-gen HLA juga mampu mengatur gambaran penyakit, seperti onset umur maupun hasil dari autoimunitas seluler aktif. Jadi, kombinasi antara haplotipe DR3 dan DR4 tidak hanya mempredisposisi kuat terhadap DT1 tetapi juga mempercepat onset penyakit. Sebaliknya, jarang seorang individu yang menderita DT1 meskipun memiliki alel DQB1*0602 yang secara umum memperlihatkan onset penyakit yang sangat lama. Kesimpulannya, hubungan HLA dengan DT1 merupakan sesuatu yang kompleks, dengan banyak haplotipe yang mempengaruhi resiko terjadinya DM. IDDM2: Gen Insulin 1 Insulin tersusun dari 2 rantai polipeptida yang berbada, yaitu rantai A dan rantai B, yang saling dihubungkan dengan ikatan disulfide. Beberapa protein yang mengandung subunit, seperti hemoglobin, merupakan produk dari beberapa gen. Meskipun demikian, insulin merupakan produk dari 1 gen, yaitu INS. Penelitian yang dilakukan oleh Nakayama dkk secara kuat

memperlihatkan bahwa insulin merupakan autoantigen utama dalam permulaan derajat DM. Juga, mendukung bukti ini adalah adanya antibody insulin dalam darah pada pasien prediabetik dan diabetic. Gen insulin merupakan hal kedua yang menetukan kerentanan lokus DT! Pada kromosom 11p15.5. Hal ini berperan sekitar 10% kea rah terjadinya DT1. The variable number of tandem repeats (VNTRs) 1: Area resiko pada lokus ini terletak pada sisi gen insulin yang mengandung DNA rantai pendek yang diulang-ulang beberapa kali. Karena rantai yang diulang-ulang diikuti oleh satu sama lain di belakang (in tandem/dua-dua) dank arena jumlah gen yang diulang bervariasi antar individu, maka fenomena ini dinamakan VNTRs. Polimorfisme VNTRs dikategorikan ke dalam kelas I-III. 1. 2. 3. Kelas I memiliki alel yang berbaris dari unit 26-63 yang diulang. Kelas II memiliki alel yang rata-rata berada pada unit 80 yang diulang. Kelas III memiliki alel yang berbaris dari unit 141-209 yang diulang. Rata-rata kejadian VNTR pada populasi Kaukasoid kira-kira sebesar 70%, sedangkan pada VNTR III sebesar 30%. VNTR II sangat jarang terjadi. Kelas VNTR dihubungkan dengan kerentanan terhadap DT1. Alel pendek pada kelas I dihubungkan dengan resiko yang lebih tinngi untuk terjadinya DT1, sebaliknya alel-alel yang lebih panjang pada kelas III bersifat protektif. Adanya apling tidak satu alel kelas III dihubungkan dengan reduksi resiko terhadap DT1 sebesar tiga kali lipat mekanisme mengenai polimorfisme insulin VNTR yang mana yang mempengaruhi resiko terjadinya DT1 tidak jelas. Jumlah HLA dan insulin pada agregrasi DT1 familial hampir sebanyak 60%-70%. Pada beberapa populasi, efek gabungan antara HLA dan insulin memainkan peran sebesar <50% pada peningkatan resiko diabetic familial. Oleh karena itu, beberapa studi tenteang berbagai macam genom telah

dilakukan untuk menmgidentifikasi kandidat region yang dapat mengandung gen-gen sukseptibilitas yang belum teridentifikasi.

Antigen Limfosit T Sitotoksik-4 (cytotoxic T-Lymphocyte Antigen-4 (CTLA4))1 CTLA-4 diekspresikan saat sel T telah teraktivasi setelah presentasi antigen. Karena CTLA-4 ini hanya diekspresikan oleh sel T yang teraktivasi, hal ini mungkin sekali bahwa CTLA-4 memiliki peran dalam melindungi terhadapautoimunitas. Tidak adanya gen ini dapat mengakibatkan sel T teraktivasi melawan antigen sensiri. Tentu saja, variasi genetic CTLA-4 telah dihubungkan dengan gangguan autoimun. Gen CTLA-4 terletak pada lengan panjang kromosom 2 (2q 33) dan region genetic ini, IDDM 12, yang sebelumnya ditemukan dihubungkan dengan predisposisi DT1. Beberapa bukti juga telah diungkapkan untuk menjelaskan bahwa polimorfisme CTLA-4 dapat mempengaruhi ekspresi gen. tiga polimorfisme telah diketahui pada CTLA-4, termasuk A/G SNPin exon 1, C/T SNP pada intron pertama kali dan mikrosatelit yang diulang pada 3 region yang tidak ditranslasikan. CTLA-4 yang diekspresikan pada permukaan sel dari sel T teraktivasi bertanggung jawab dalam pelemahan respon imun dengan mengikat pada ligan CD80 atau CD86 yang diekspresikan pada permukaan APC (Antigen Presenting Cell). Interaksi CTLA-4-CD80/CD86 menurunkan sintesis IL-2 menginduksi apoptosis pada sel yang sebelumnya teraktivasi. Protein tyrosine phosphate non-receptor type 22 (PTPN 22) 1: Hal keempat yang mendukung lokus sukseptibilitas/kerentanan terhadap DT1 pada manusia adalah PTPN22. PTPN22 mengkode suatu protein limfoid tirosin kinase (LYP) yang penting pada kontrol negative dari aktivasi dan perkembangan sel T. Satu-satunya polimorfisme nukleotid pada nukleotid 1858 dalam PTPN22 dihubungkan dengan DT1. Gen LYP, disebut juga sebagai PTPN22, merupakan limfoid tirosin fosfat yang terletak pada kromosom 1 p13. Menarik bahwa PTPN22 memiliki besar efek yang sama atau dapat

pada polimorfisme gen insulin. Sama halnya dengan CTLA-4, PTPN22 merupakan lokus sukseptibilitas yang dibagi oleh beberapa organ spesifik dan penyakit autoimun sistemik. Interleukin (IL) 1,2: Telah diketahui dengan baik bahwa IL-2 memiliki fungsi paradox pada homeostasis sel T, beraksi sebagai growth faktor sel T selama inisiasi respon imun dan memiliki fungsi penting dalam terminasi respon sel T dan menjaga toleransi diri. Fungsi terakhir telah dikemukakan dikarenakan perlunya sinyal IL-2 untuk perkembangan dan fungsi meskipun sinyal IL-2 sel T regulator.,

tidak diperlukan bagi perkembangan mereka sendiri

pada jaringan thymus. Pada tingkat ini mungkin mempengaruhi sukseptibilitas terhadap penyakit melalui mekanisme yang menjaga homeostasis imun. Telah dibuktikan bahwa meskipun tingkat sel T regulator CD4+ dan CD25+ normal pada pasien dengan DT1, kemampuan mereka untuk mensupresi proliferasi sel T ditandai menurun dibandingkan dengan subjek kontrol. Dari hasil ini, bahwa region yang mengandung gen IL-2RA yang mengkode rantai dari reseptor IL-2 (CD25) pada kromosom 10p15-p14 dapat menjadi lokus sukseptabilitas kelima terhadap terjadinya DT1. IL-6 merupakan suatu sitokin yang telah dilibatkan pada sejumlah penyakit yang dimediasi imun. Terdapat polimorfisme pada posisi 174 dari region promoter dari gen IL-6 yang dapat mengubah ekspresi gen. Gen IL-6 dapat memiliki andil dalam sukseptibilitas genetic terhadap DT1. IDDM 3-IDDM 18 1: Awalnya IDDM3 dilaporkan terletak di dekat petanda D15 S107 pada kromosom 15q 26 dan sejauh ini tidak ada gen sukseptibilitas DM yang telah diidentifikasi pada lokus IDDM3. IDDM4 merupakan suatu region pada kromosom 11q13 dan satu dari gen-gen ini mungkin berhubungan dengan predisposisi genetic terhadap

terjadinya DT1 yang dapat dikoding pada FADD, suatu molekul yang terlibat dalam proses apoptosis. Region dari kromosom 6q25 yang mengandung lokus IDDM5 termasuk gen-gen Mn-superoksida dismutase (MnSOD). MnSOD

memetabolisme oksigen radikal bebas berbahaya dan mengubahnya menjadi molekul yang kurang reaktif dan kurang berbahaya. Polimorfisme yang mempengaruhi fungsi MnSOD dapat membuat sel beta lebih rentan terhadap kerusakan akibat oksigen radikal bebas. Beberapa kandidat gen-gen sukseptibilitas terhadap DT1 telah diidentifikasi pada lokus IDDM6. Termasuk gen yang berhubungan dengan cancer kolorektal yang dapat dihubungkan dengan penyakit autoimun, suatu gen yang mengkode ikatan tangan domain DNA (ZNF 236) yang dihubungkan dengan penyakit ginjal diabetic, dan sebuah molekul yang melawan apoptosis (bCl-2). Dalam lokus IDDM7 pada kromosom 2q 32 terdapat beberapa gen kandidat resiko DM. salah satunya adalah NEUROD 1, suatu faktor transkripsi yang mengatur ekspresi gen insulin dan memainkan peran penting dalam perkembangan sel beta pancreas. IDDM8 ditemukan pada kromosom 6q 25-q 27. Sekarang ini tidak terdapat gen kandidat yang diketahui pada region 6q 25-q 27. IDDM9 belum sepenuhnya disetujui. Lokus sukseptibilitas lainnya mungkin terdapat pada kromosom 10p11-q11, dan telah dinamai sebagai IDDM10. Gen GAD2 sangat berhubungan dengan region dari kromosom 10. Glutamic Acid Decarboxylase (GAD) mengkataliasasi oembentukan neurotransmitter GABA. Sasaran enzim ini oleh autoantibodi telah dilibatkan dalam pathogenesis DT1. IDDM11 nampaknya berada pada kromosom 14q 24.3-q31. Dua gen kandidat telah dipetakan pada region kromosom ini. Gen ENSA mengkode endosulfin, suatu regulator endogen dari saluran K (ATP) sel beta. Rekombinan -endosulfin telah diperlihatkan menginhibisi ikatan sulfonylurea pada membrane sel beta, untuk menurunkan arus aliran K (ATP) dan untuk

menstimuli sekresi insulin. Gen SEL-1L mengkode regulator negative yang mana hal ini dibutuhkan untuk diferensiasi dan maturasi sel sebagaimana interaksi sel-sel selama perkembangan. SEL-1L secara berlebihan

mengekspresi hanya pada pancreas, dan saat ini telah diperlihatkan bahwa SEL-1L berperan penting dalam perkembangan pancreas dan sel beta. Beberapa gen-gen kandidat IDDM13 telah dihubungkan dengan DT1. IDDM14 belum sepenuhnya disetujui. Lokus IDDM15 telah dihubungkan dengan DT1 dan mutasi di dekat region ini dihubungkan dengan suatu bentuk DM yang langka yang disebut transient neonatal diabetes. Satu dari gen kandidat pada lukos IDDM16 adalah immunoglobulin rantai berat. Immunoglobulin (antibodi) memiliki peran sentral dalam respon imun melawan antigen asing dan apabila ada kesalahan dapat melawan antigen sendiri, mengakibatkan terjadinya penyakit autoimun. Peta IDDM17 terletak pada lengan panjang kromosom 10 (10q 25). Hal ini berhubungan dengan DT1, akan tetapi gen kandidatnya belum diketahui. IDDM18 diidentifikasi dan dipetakan pada kromosom 5q 31.1-q33.1, akhiran gen pada subunit P40 dari gen IL-12, Il-12B. Produksi IL-12 P40 mempengaruhi respon sel T, dan oleh karena itu penting ddalam sukseptibilitas DT1.

Faktor Lingkungan 1,2,4 Penelitian pada kembar dizigotik dan monozigotik sesuai dengan fakta bahwa lingkungan penting pada resiko diabetes tipe 1. Sejumlah penelitian kasus kontrol mengenai hubungan kejadian luarbiasa infeksi virus mumps, coxsackie B, Echo virus, dan onset diabetes tipe 1 telah disiarkabarkan. Bukti paling nyata ialah rubella congenital, yang berkaitan kuat dengan kemunculannya pada anak yang terkena. Penelitian terbaru menunjukan bukti bahwa infeksi enterovirus maternal meningkatkan resiko diabetes tipe 1 pada anakan. Baru-baru ini ditunjukan bahwa paparan intrauterine terhadap enterovirus juga berhubungan dengan peningkatan resiko anakan terjadi diabetes tipe 1. Diperkirakan bahwa kombinasi gen susceptible dan faktor

lingkungan dapat menginisiasi proses penyakit yang berhubungan dengan pembentukan respon autoimun terhadap sel pembentuk insulin.

E. DIAGNOSIS 6 Kriteria diagnosis untuk diabetes melitus tipe 1 hampir sama sama dengan diabetes mellitus tipe 2, yaitu ; 1. Gejala klasik diabetes (poliuria, polidipsi, polifagi, dan penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas) ditambah dengan konsentrasi glukosa darah sewaktu >200 mg/dl (11,1 mmol/l) 2. Gula darah puasa > 126 mg/dl (7,0 mmol) 3. Gula darah 2 jam post prandial > 200 mg/dl (11,1 mmol/l) selama oral glucose tolerance test (OGTT). Tes dilakukan sesuai prosedur WHO, yaitu menggunakan glukosa sebanyak 75 g glukosa anhidrat dilarutkan dalam air. 4. Hb A1C > 6,5%

Oleh karena kriteria yang digunakan sama, penting untuk mengetahui perbedaan karakteristik diabetes mellitus tipe 1 dan tipe 2 , yaitu 7:
No 1 2 3 Karakteristik Onset usia Berhubungan dengan obesitas Kecenderungan terjadi ketoasidosis yang membutuhkan insulin sebagai control dan survive Kadar insulin dalam plasma DM tipe 1 Umumnya < tahun Tidak Ya 30 DM tipe 2 Umumnya > 30 tahun Ya Tidak

Sangat rendah mungkin sampai tidak terdeteksi

Variatif ; dapat rendah, normal, atau meningkat,

6 7

Berhubungan dengan antigen HLA-D spesifik Antibodi sel islet pada diagnosis Patologi sel islet

Ya

tergantung pada derajat resistensi insulin dan defek sekresi insulin Tidak

Ya Insulitis, kehilangan sel beta secara selektif Ya

Tidak Lebih kecil, normal sel islet ; umumnya deposisi amyloid Ya

Kecenderungan terjadi komplikasi (retinopati, nefropati, neuropati, aterosklerosis, dan penyakit cardiovascular) Respon terhadap obat oral antihiperglikemia

Tidak

Ya

F. MANAJEMEN DAN TERAPI 8 Manajemen pasien Diabetes Mellitus (DM) tipe 1 ini dilakukan secara multidisipliner, yaitu pendekatan oleh dokter, perawat, dan ahli gizi. A. Diet Langkah pertama untuk mengatur diabetes mellitus tipe 1 adalah kontrol diet. Menurut ADA (American diabetes association), terapi diet adalah berdsarkan penilaian status gizi dan tujuan dari terapi itu sendiri. Diet harus dibuat sesuai dengan kebiasaan makan dan gaya hidup pasien. 1. Manajemen banyaknya, diet serta termasuk komposisi edukasi tentang yang waktu, besarnya, untuk

makanan

dimakan

menghindari terjadinya hipoglikemia atau hiperglikemia setelah makan. Pasien yang menggunakan insulin harus mendapat diet yang komprehensif termasuk kebutuhan kalori sehari-hari; kebutuhan karbohidrat, lemak, dan protein; dan pembagian kalori antara makan dan snack. 2. Distribusi kalori sangat penting pada pasien DM tipe 1.

Pembagiaannya didasarkan pada kebutuhan kalori pasien selama satu hari. Jumlah yang disarankan adalah 20% untuk makan pagi, 35% untuk makan siang, 30% untuk makan malam, dan 15% untuk snack sore. 3. Kebutuhan protein minimal adalah 0,9 g/kg/hari 4. Kebutuhan lemak dibatasi sampai 30% atau kurang dari total kalori dan rendah kolesterol 5. Pasien disarankan mengkonsumsi sediaan sukrosa dan meningkatkan konsumsi sayur. Snack diberikan di antara makan pagi-siang dan makan siang-malam untuk mencegah hipoglikemia. B. Aktivitas Olahraga sangat penting sebagai manajemen pasien diabetes. Pasien harus dimotivasi untuk olahraga secara teratur. Edukasi terhadap pasien tentang efek olahraga terhapa kadar gula darah. Olahraga terlalu berlebih selama 30 menit dapat menimbulkan hipoglikemia pada pasien. Untuk menghindarinya maka pemberian dosis insulin dikurangi 10-20% atau dengan pemberian snack tambahan. Pasien juga harus memperhatikan kebutuhan cairan selama olahraga. C. Pasien DM tipe 1 membutuhkan terapi insulin untuk mengontrol hiperglikemia serta memelihara kadar elektrolit dan cairan dalam serum.

D. Terapi insulin awal pada pasien dewasa: dosis harian awal dihitung berdasarkan berat badan pasien. Dosis diberikan terbagi, setengah dosis diberikan sebelum makan pagi, seperempat dosis diberikan sebelum makan malam, dan seperempat lagi diberikan sebelum tidur. Setelah menentukan dosis awal, pengaturan jumlah, tipe, dan waktu pemberian tergantung pada kadar glukosa darah. Pengaturan dosis insulin bertujuan untuk mempertahankan glukosa darah sebelum makan antara 80-150 mg/dl. Dosis insulin dinaikkan 10% setiap waktu, dan efeknya dievaluasi setelah tiga hari. Pemberian insulin yang berlebih dapat menyebabkan hipoglikemia. E. Terapi insulin awal pada anak-anak 1. Anak-anak dengan hiperglikemia sedang tanpa ketonuria atau asidosis diawali dengan dosis tunggal insulinkerja sedang per hari secara

subkutan sebanyak 0,3-0,5 unit/kg 2. Anak-anak dengan hiperglikemia dan ketonuria tetapi tanpa asidosis atau dehidrasi dapat diberikan dosis awal insulin kerja sedang sebanyak 0,5-0,7 unit/kg dan diberikan secara subkutan sebanyak 0,1 unit/kg secara teratur dalam interval 4-6 jam. F. Regimen insulin untuk Diabetes mellitus tipe 1 7 Regimen diberikan dari dua kali per hari dengan dosis kombinasi (misal insulin kerja cepat dan insulin kerja sedang) sampai lebih fisiologis regimen bolus-basal menggunakan injeksi multipel harian (misal dosis tunggal insulin kerja panjang untuk basal dan dosis insulin kerja cepat untuk post prandial, sebagai contoh humulin dan novolin) atau dengan menggunakan syringe pump. Pada syringe pump digunkan insulin kerja cepat. Insulin diberikan secara bolus dengan dosis yang ditentukan melalui monitoring glukosa darah preprandial (sebelum makan). Metode ini lebih baik dalam mengkontrol dibandingkan injeksi multiple tetapi risiko hipoglikemia lebih banyak terjadi oleh karena itu diperlukan juga

monitoring ketat glukosa darah setelah pemberian terapi. Pengobatan intensif dengan monitoring glukosa darah empat kali atau lebih sehari dan tiga kali atau lebih injeksi insulin atau dilanjutkan dengan infus, ternyata lebih efektif dibandingkan dengan pengobatan konvensional (1-2 kali injeksi insulin dengan atau tanpa monitoring). Akan tetapi terapi intensif lebih sering menimbulkan hipoglikemia dan kenaikan berat badan. Terapi intensif umumnya efektif diberikan pada pasien yang dapat mengontrol kesehatan dirinya sendiri terhadap penyakit ini. Secara umum, kebanyakan pasien DM tipe 1 dapat memulai dosis terapi insulin 0,2-0,8 unit/kgBB/hari. Pada pasien dengan obesitas membutuhkan dosis awal yang lebih tinggi. Terapi fisiologis yaitu dengan insulin kerja sedang atau kerja panjang bertujuan untuk mempertahankan kebutuhan glukosa darah basal serta pemberian insulin kerja cepat atau singkat untuk mempertahankan glukosa darah postprandial. Terapi ini lebih efektif bila dosis insulin kerja cepat atau singkat dengan enggunakan sliding scale. Dosis dapat diberikan sebanyak 1-2 unit insulin setiap kenaikan atau penrunan 50 mg/dl (2,7 mmol.l) dari target glukosa. Terapi ini lebih menguntungkan karena pasien dapat memepercepat atau mengatur waktu makan dan menjaga keadaan normoglikemia. Belum ada regimen insulin lain terbukti lebih efektif. Terapi ini direkomendasikan sebagai inisial terapi DM tipe 1, setelah itu terapi disesuaikan dengan respon fisiologis tubuh pasien terhadap terapi awal dan tergantung kepada dokter yang merawat.
Onset, Peak, and Duration of Action of Human Insulin Preparations*

Insulin Preparation Rapid-acting Lispro, aspart, glulisine Short-acting

Onset of Action 515 min

Peak Action

Duration of Action 35 h

4575 min

Regular (R) Intermediate-acting NPH

3060 min

24 h 412 h 812 h

68 h 1826 h 1218 h

About 2 h 34 h

Long-acting 48 h Glargine Detemir Premixed 70% NPH/30% R 50% NPH/50% R 75% NPL/25% lispro 12 h 12 h 3060 min 3060 min 515 min 1016 h No peak No peak 1620 h 24 h 1424 h

Dual (NPH & R) 1016 h Dual (NPH & R) 1016 h Dual (NPL & 1016 h lispro) 70% NPA/30% aspart 515 min Dual (NPA & 1016 h aspart) R = regular; NPH = neutral protamine Hagedorn; NPL = neutral protamine lispro; NPA = neutral protamine. *Times are approximate, assume subcutaneous administration, and may vary with injection technique and factors influencing absorption. Lispro and aspart are also available in premixed forms with intermediate-acting insulins. Also exists in premixed form (NPH/R). Tabel 2. Beberapa regimen insulin G. Waktu pemberian insulin 11 1. Injeksi insulin yang diberikan berguna untuk mengontrol

hiperglikemia setelah makan dan untuk mempertahankan glukosa darah normal harian. Risikonya adalah terjadi hipoglikemia, oleh karena itu perlu adanya edukasi terhadap pasien untuk mengantisipasi risiko tersebut. 2. Sekitar 25% dari total dosis insulin selama sehari diberikan sebagai insulin kerja sedang saat akan tidur dengan dosis tambahan insulin kerja cepat setiap sebelum makan. Pasien mungkin membutuhkan tambahan terapi insulin kerja sedang atau kerja panjang pada pagi hari

untuk mempertahankan glukosa basal selama satu hari penuh. Pasien sebaiknya mengatur dosis harian mereka berdasarkan monitoring glukosa sebelum makan dan akan tidur. Pasien juga sebaiknya menkontrol glukosa darah mereka pada pagi hari paling sedikit sekali seminggu selama beberapa minggu terapi awal dan setelahnya bila ada indikasi. H. Terapi Pembedahan 12 Pembedahan yang dilakukan adalah transplantasi pankreas, transplantasi pancreas-ginjal secara simultan, transplantasi islet. Tujuan dari terapi tranplantasi pancreas adalah untuk mencegah komplikasi dari diabetes mellitus seperti gagal ginjal, komplikasi mikrovaskular atau makrovaskular. Transplantasi pankreas-ginjal lebih menguntungkan karena pembedahan ini bertujuan untuk menurunkan pembatasan diet dan mampu mengkontrol normoglikemia tanpa injeksi insulin lagi oleh karena dengan tranplantasi ini dapat mempertahankan sekresi insulin lebih lama dan efektif. Transplantasi islet merupakan prosedur yang minimal invasive, hanya membutuhkan waktu satu jam operasi, insisi abdomen sepanjang tiga inchi, dan perawatan satu hari di rumah sakit. Sel islet diproleh dari donor pancreas dengan menggunakan proses isolasi dan purifikasi yang kompleks sehingga enzim keluar menghancurkan jaringan di sekitar sel islet. Sedangkan menurut Guidelines for Adolescent Nutrition Services (2005), manajemen DT1 meliputi 9: 1. Terapi Insulin Insulin merupakan satu-satunya medikamentosa yang efektif dalam menurunkan kadar gula darah pada pasien DT1. Penggunaan insulin memerlukan manajemen harian mengenai faktor-faktor yang dapat memepengaruhi dosis insulin yang dibutuhkan seperti makanan, aktivitas fisik, penyakit, stress. Insulin kerja cepat dapat diberika sebelum, saat

maupun segera setelah makan. Pemberian insulin setelah makan membantu menurunkan hiperglikemia postprandial yang berhubungan dengan makanan kaya lemak. a. Conventional therapy 2 injeksi perhari mixed insulin (insulin cepat atau kerja pendek dan insulin kerja menengah) sebelum sarapan dan makan malam. b. Conventional therapy with a split night-time dose 1 kali injeksi mixed insulin sebelum sarapan, 1 kali injeksi insulin kerja cepat atau kerja pendek sebelum makan malam dan 1 kali injeksi insulin kerja menengah sebelum makanan ringan menjelang tidur. Regimen ini digunakan untuk menurunkan hiperglikemia puasa yang berhubungan dengan jangka waktu yang panjang antara sarapan dan makan malam, serta durasi kerja insulin kerja menengah dan untuk memfasilitasi manajemen fenomena dawn. c. Multiple daily injections (MDI) of rapid- or short-acting insulin before every meal (and sometimes large snacks) with

intermediate- or long-acting insulin once or twice a day. Pemberian insulin kerja cepat atau kerja pendek sebelum makan siang membantu menurunkan pre-supper hiperglikemia dengan sedikit resiko

hipoglikemia yang berhubungan dengan dosis insulin kerja menengah sebelum sarapan yang terlalu tinggi. Dengan pengecualian makanan ringan (snek) saat akan tidur untuk mencegah hipoglikemia saat malam hari, snek biasanya tidak diperlukan dengan MDI- suatu keuntungan bagi remaja yang sibuk dan bagi remaja yang berharap berat badan targetnya tetap terjaga. Hal ini dapat disebut sebagai terapi intensif yang bergantung pada kadar glikemia kontrol yang ditargetkan. d. Intensive therapy with a continuous subcutaneous insulin infusion (CSII or insulin pump) insulin kerja capat diberikan secara konstan sesuai kebutuhan basal tubuh untuk menekan produksi glukosa oleh hati. Dosis insulin bolus diberikan sebelum makan dan snek berdasarkan jumlah karbohidrat yang dimakan dan kadar gula darah yang diukur.

Regimen ini ditujukan untuk remaja yang berharap melakukan tes secara frekuen (>4x perhari), memonitor intake karbohidrat secara akurat, penambahan dosis insulin.

Dosis insulin tergantung pada kebutuhan basal, intake makanan (terutama jumlah total karbohidrat) dan jumlah aktivitas fisik. Perubahan dalam insulin kerja cepat atau kerja pendek dapat dibuat berdasarkan sliding scale yaitu meningkatkan dosis pada kadar gula darah yang meningkat dan menurunkan dosis saat gula darah turun. Di samping itu, rata-rata kadar gula darah pada berbagai macam waktu dalam sehari dapat dihitung untuk rekomendasi pemberian dosis insulin lebih lanjut. Tes kadar gula darah sendiri direkomendasikan sebelum setiap kali makan dan saat snek menjelang tidur untuk membantu menaksir dosis dan membuat perubahan apabila diperlukan. Tes kadar gula darah pada jam 02.00-03.00 bermanfaat untuk mengevaluasi hipoglikemia saat malam hari dan hiperglikemia puasa (fenomena dawn). 2. Terapi Nutrisi Medis Intake makanan mempengaruhi jumlah insulin yang diperlukan untuk mencapai tujuan target gula darah. Diet karbohidrat paling mempengaruhi kadar gula darah posprandial dan merupakan penentu utama kebutuhan meal-related insulin.

Intake karbohidrat disesuaikan menurut beberapa kondisi yang lain, misalnya aktivitas fisik yang meningkat dan kadar gula darah yang merunun sebelum snek malam untuk menurunkan resiko kadar gula darah yang rendah. Untuk aktivitas fisik yang meningkat melampaui aktivitas fisik harian rutin, yaitu dengan makan atau minum 15 gram karbohidrat tiap jam sebelum aktivitas ekstra. Lebih lanjut, untuk latihan-latihan yang lebih berat (>1jam), ditambahkan protein dengan karbohidrat. Pedoman ini bersifat sangat individual tergantung regimen insulin, kadar gula darah sebelum latihan dan intensitas latihan. Untuk kadar gula darah yang turun sebelum snek malam, yaitu apabila gula darah antara 70-100 mg/dl, makan atau

minum 15 gram karbohidrat tambahan dengan snek malam reguler. Apabila gula darah <70 mg/dl, seimbangkan gula darah yang rendah pertama kali dengan 15 gram karbohidrat atau glukosa; tunggu selama 15 menit dan lakukan tes kembali; makan atau minum 15 gram karbohidrat lagi apabila kadar gula darah masih <70 mg/dl. Sebaliknya, makanlah snek malam reguler dengan tambahan 15 gram karbohidrat.

Rekomendasi gizi untuk remaja sama dengan anak-anak muda yang lain. Distribusi makronutrien sebaiknya diperkirakan terdiri dari 50%-60% karbohidrat, 10%-20% protein dan 30% lemak. Lemak jenuh sebaiknya dibatasi sampai <10% dari total kalori serta diet kolesterol sampai <300 mg/dl untuk membantu menurunkan resiko terjadinya penyakit

kardiovaskuler. Penyesuaian intake lemak lebih lanjut dapat diperlukan dengan kadar lemak yang tinggi dan/atau berat badan tidak ideal yang naik. Pedoman diet garam dan serat sama dengan populasi pada umumnya.

Bukti ilmiah tidak lagi mendukung mengenai perlunya pembatasan sukrosa dan makanan yang mengandung sukrosa dalam menurunkan hiperglikemia. Bahkan, remaja dapat melanjutkan memakan semua makan yang umu, seperti sereal dengan pemanis, cookies, brownies, dan es krim, dalam batasan rencana makan yang sehat selama mereka memperkirakan jumlah karbohidrat yang dimakan dan membuat penyesuaian yang tepat.

3. Terapi dengan pertimbangan tertentu a. Hipoglikemia (kadar gula darah <70 mg/dl) 1) Juga disebut sebagai gula darah yang rendah, reaksi insulin maupun syok insulin. 2) Biasanya dikarenakan makanan yang terlalu sedikit, terlalu banyak insulin, aktivitas fisik ekstra maupun tertundanya makan atau snek. 3) Dapat terjadi setiap saat, tetapi hampir sering sebelum makan, selama waktu aktivitas puncak insulin dan selama atau setelah latihan.

b. Penambahan berat badan yang tidak diinginkan

Remaja yang meningkatkan gula darah kontrol mereka dapat mengalami peningkatan berat badan yang tidak diinginkan meskipun program makan dan aktivitas rutin telah dimodifikasi. Bahkan, mereka dapat mengalami hipoglikemia lebih sering sehingga membutuhkan karbohidrat tambahan dan menambahkan kalori. Hal ini merupakan problematika terutama pada remaja putrid yang mulai mengurangi dosis insulin atau bahkan menghilangkan dosis sama sekali. Perhatian teratur pada pola peningkatan maupun penurunan berat badan remaja sangat penting. Para remaja perlu bekerja sama dengan tim diabetes untuk menentukan bagaimana menyesuaikan dosis insulin dan intake makanan. Kontrol buruk yang kronik dengan laporan penggunaan insulin dosis tinggi dan penurunan berat badan yang tidak diketahui sebabnya dapat mengindikasikan under-dosing insulin yang disengaja maupun penghilangan dosis dengan tujuan menurunkan berat badan.

c. Penggunaan alcohol Meskipun banyak minuman beralkohol mengandung karbohidrat, alcohol tidak diubah menjadi glukosa. Alcohol cenderung menghambat glukoneogenesis dan mengakibatkan respon counter-regulatory ke arah hipoglikemia. Pedoman untik mencegah kadar gula darah yang rendah pada penggunaan alcohol meliputi: 1) Jangan meninggalkan makan maupun snek saat mengemudi 2) Mengkonsumsi karbohidrat tambahan apabila meminum minuman yang setara dengan lebih dari 2 minuman beralkohol. 3) Memberitahu seseorang yang bersamamu bahwa kamu menderita diabetes. 4) Jangan mengemudi setelah minum. 5) Jangan mengambil dosis ekstra insulin saat mengemudi.

d. Mengemudi

1) Bawalah makanan yang mengandung karbohidrat (tablet glukosa, jus, permen keras, soda biasa) di mobilmu setiap waktu. 2) Kenakan kalung yang ada tanda pengenalnya.

e. Kehamilan 1) Wanita muda dengan diabetes perlu diberi edukasi mengenai kontrasepsi. Pada umumnya digunakan kontrasepsi hormonal yang aman dan tidak mempengaruhi kadar gula darah. 2) Para dokter seharusnya mempertimbangkan kehamilan awal dalam diferensial diagnosis dari hipoglikemia yang tidak diketahui penyebabnya. 3) Wanita muda dengan diabetes supaya dirujuk pada program tentang manajemen insulin intensif segera setelah mereka sadar bahwa mereka hamil.

4. Strategi Motivasi untuk remaja dengan DT1 (terutama bagi remaja dengan gula darah terkontrol buruk) a. Identifikasi alasan mengenai kontrol yang buruk dan menegosiasikan mengenai program dan rencana dengan remaja. b. Menetukan satu alasan dan tujuan tindakan (jumlah tes gula darah, mencatat karbohidrat saat makan, penyesuaian dosis insulin berdasarkan gula darah atau intake karbohidrat). c. Mengidentifikasi keuntungan segera yang relevan pada remaja, seperti kurangnya hipoglikemia, kurangnya frekuensi nokturia, meningkatnya performa fisik, dan sebagainya. d. Memberikan feedback yang lebih sering. Menemui remaja lebih sering. e. Menemukan seberapa besar supervise dan dukungan yang diberikan ornag tua. Meminta orang tua lebih terlibat. G. SKRINING 10

1. SKRINING UNTUK DIABETES MELLITUS Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan untuk mencapai skrining yang tepat: a. Sensitivitas, spesifisitas, dan harga prediksi dari tes skrining b. Keefektifan biaya dan sumber daya manusia dibtuhkan dalam metodologi skrining c. Gambaran target populasi yang akan diskrining d. Follow-up yang cukup dan efektif serta peduli terhadap individu yang memiliki hasil tes positif Efek samping dari skrining : a. Stres psikologi, biaya bertambah bila dijumpai hasil tes negatif palsu b. Ketidaknyamanan bila hasil tes negatif palsu c. Komplikasi medis dari tes skrining dan kebutuhan untuk follow-up pada skrining yang positif d. Komplikasi medis dari intervensi orang-orang yang terdiagnosis diabetes dapat dibuktikan dengan biaya lebih tinggi 2. PENDEKATAN SKRINING a. Skrining populasi Berkaitan dengan epidemiologi. Dapat digunakan Intolerance Glucose Impairing dan Oral Glucose Tolerance Test. Srining pada anak dan remaja penting pada skrining diabetes mellitus tipe 1. b. Skrining selektif Skrining dilakukan pada populasi atau tempat di mana prevalensi terjadinya diabetes mellitus tipe 1 cukup tinggi.

c. Skrining oportunistik Terjadi ketika populasi yang memiliki risiko tinggi terjadinya diabetes mellitus tipe 1 sadar dan aktif untuk melakukan skrining terhadap diri mereka sendiri. 3. SKRINING PADA DIABETES MELLITUS TIPE 1 Skrining hanya boleh dilakukan guna tujuan penelitian dalam rangka pencegahan diabetes mellitus tipe 1. Parameter yang digunakan untuk skrining yaitu; a. Riwayat keluarga b. Marker genetik (Human Leukocyte Antigen [HLA]) c. Marker risiko imunologi (antibody sitoplasma sel islet, autoantibodi insulin, antibodi terhadap dekarboksilase glutamat) d. Marker risiko metabolik : skrining pada presimptomatik diabetes mellitus tipe 1 dan individu dengan risiko tinggi.

(Guidelines for the prevention, management, and care of diabetes mellitus, 2006,WHO) H. PROGNOSIS 11 Gula darah, HbA1c, kolesterol, tekanan darah, dan berat badan yang terkontrol sangat penting sebagai faktor penentu prognosis dan perkembangan penyakit diabetes sendiri terutama komplikasi makrovaskular dan

mikrovaskular. Pasien DM tipe 1 yang dapat survive dalam waktu 10-20 tahun setelah onset tanpa komplikasi, pasien tersebut memiliki prognosis yang baik. Factor lain yang berpengaruh terhadap prognosis penyakit ini adalah edukasi dan motivasi, kesadaran pasien, serta tingkat pendidikan pasien.

DAFTAR PUSTAKA

Genetics of Type 1 Diabetes Mellitus


Address correspondence to: Dr. Hanan F Al-Mutairi, P.O.BOX 49634, Al-Omariya, Kuwait 85157, E-mail: am-mohsn@hotmail.com

Hanan F Al-Mutairi1, Ameer M Mohsen1, Zaidan M Al-Mazidi2


1

Department of Pediatrics, Farwaniya Hospital, Kuwait


2

1.

Department of Pediatrics, Endocrine Unit, Al-Sabah Hospital, Kuwait

Kuwait Medical Journal 2007, 39 (2):107-115

TYPE 1 DIABETES MELLITUS: PATHOGENESIS AND ADVANCES IN THERAPY


R Khardori*, ME Pauza**
INT. J. DIAB. DEV. COUNTRIES (2003), VOL. 23

Definition, Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus and its Complications


Report of a WHO Consultation

Part 1: Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus


World Health Organization Department of Noncommunicable Disease Surveillance Geneva.1999

Type 1 Diabetes
ke Lernmark
Clinical Chemistry 45, No. 8(B), 1999

Causes of early-onset type 1 diabetes: toward data-driven environmental approaches


Pierre Bougn res and Alain-Jacques Valleron
JEM VOL. 205, December 22, 2008

(American

Diabetes

Association,

21

September

2009http://care.diabetesjournals.org/content/27/suppl_1/s5/T2.expansion.html ) (Crandall, 2007. Diabetes Mellitus. http://www.merck.com/mmpe/sec12/ch158/ch158b.html. )

DIABETES MELLITUS: TYPE 1 AND TYPE 2


Emily Loghmani
Stang J, Story M (eds) Guidelines for Adolescent Nutrition Services (2005) http://www.epi.umn.edu/let/pubs/adol_book.shtm

(Guidelines for the prevention, management, and care of diabetes mellitus, 2006,WHO)
(Hussain, 2010. Diabetes Mellitus, Type 1: Treatment & Medication,

http://emedicine.medscape.com/article/117739-treatment (Pancreas and Islet Transplantation for Patients with Type 1 Diabetes. University of Cincinnati College of Medicine. 2001.www.health-alliance.com/e-book file)

Anda mungkin juga menyukai

  • Rectal Prolaps
    Rectal Prolaps
    Dokumen19 halaman
    Rectal Prolaps
    Retno Setyowati
    Belum ada peringkat
  • Bayi Resti
    Bayi Resti
    Dokumen35 halaman
    Bayi Resti
    Retno Setyowati
    Belum ada peringkat
  • Infeksi Traktus Urogenital
    Infeksi Traktus Urogenital
    Dokumen62 halaman
    Infeksi Traktus Urogenital
    abudh011
    Belum ada peringkat
  • BBLR
    BBLR
    Dokumen87 halaman
    BBLR
    Retno Setyowati
    Belum ada peringkat
  • Cara Pilih Wahana-Iship
    Cara Pilih Wahana-Iship
    Dokumen3 halaman
    Cara Pilih Wahana-Iship
    dimashmp
    Belum ada peringkat
  • Kuliah Tulang DR Joko
    Kuliah Tulang DR Joko
    Dokumen64 halaman
    Kuliah Tulang DR Joko
    Retno Setyowati
    Belum ada peringkat
  • Kepaniteraan Umum
    Kepaniteraan Umum
    Dokumen24 halaman
    Kepaniteraan Umum
    Retno Setyowati
    Belum ada peringkat
  • Skill Fraktur
    Skill Fraktur
    Dokumen15 halaman
    Skill Fraktur
    Retno Setyowati
    Belum ada peringkat
  • Skill Fraktur
    Skill Fraktur
    Dokumen15 halaman
    Skill Fraktur
    Retno Setyowati
    Belum ada peringkat
  • Spondilitis Tuberkulosa
    Spondilitis Tuberkulosa
    Dokumen27 halaman
    Spondilitis Tuberkulosa
    wynie_13
    Belum ada peringkat
  • Kuliah Modul Saraf
    Kuliah Modul Saraf
    Dokumen38 halaman
    Kuliah Modul Saraf
    Retno Setyowati
    Belum ada peringkat
  • Skill Pernafasan
    Skill Pernafasan
    Dokumen29 halaman
    Skill Pernafasan
    Indah Mustika Dewi
    Belum ada peringkat
  • GAMBARAN RADIOLOGI TB
    GAMBARAN RADIOLOGI TB
    Dokumen5 halaman
    GAMBARAN RADIOLOGI TB
    Retno Setyowati
    Belum ada peringkat
  • Osteoarthritis PDF
    Osteoarthritis PDF
    Dokumen35 halaman
    Osteoarthritis PDF
    Retno Setyowati
    Belum ada peringkat
  • Skill Enterohepatik
    Skill Enterohepatik
    Dokumen55 halaman
    Skill Enterohepatik
    Retno Setyowati
    Belum ada peringkat
  • Diet Ocd
    Diet Ocd
    Dokumen76 halaman
    Diet Ocd
    Achmad Taufik Prabowo
    Belum ada peringkat
  • Fraktur Clavikula
    Fraktur Clavikula
    Dokumen11 halaman
    Fraktur Clavikula
    hendra_hermawan9528
    Belum ada peringkat
  • TB Paru Anak
    TB Paru Anak
    Dokumen27 halaman
    TB Paru Anak
    Retno Setyowati
    Belum ada peringkat
  • Diare Succes
    Diare Succes
    Dokumen24 halaman
    Diare Succes
    Retno Setyowati
    Belum ada peringkat
  • Osteoarthritis
     Osteoarthritis
    Dokumen4 halaman
    Osteoarthritis
    ElisaMaristin
    Belum ada peringkat
  • Prolapsus Rectum
    Prolapsus Rectum
    Dokumen2 halaman
    Prolapsus Rectum
    Gio Vano Naihonam
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen1 halaman
    Cover
    Retno Setyowati
    Belum ada peringkat
  • Osteoarthritis
    Osteoarthritis
    Dokumen42 halaman
    Osteoarthritis
    Retno Setyowati
    Belum ada peringkat
  • PPT Jurnal
    PPT Jurnal
    Dokumen38 halaman
    PPT Jurnal
    Retno Setyowati
    Belum ada peringkat
  • Jurnal Fungi Keratitiz 1
    Jurnal Fungi Keratitiz 1
    Dokumen6 halaman
    Jurnal Fungi Keratitiz 1
    Retno Setyowati
    Belum ada peringkat
  • Lagoftalmus
    Lagoftalmus
    Dokumen2 halaman
    Lagoftalmus
    Retno Setyowati
    Belum ada peringkat
  • Diabetes Melitus Tipe 1
    Diabetes Melitus Tipe 1
    Dokumen38 halaman
    Diabetes Melitus Tipe 1
    Retno Setyowati
    Belum ada peringkat
  • Typhoid
    Typhoid
    Dokumen44 halaman
    Typhoid
    Retno Setyowati
    Belum ada peringkat
  • Diare Fix
    Diare Fix
    Dokumen36 halaman
    Diare Fix
    Retno Setyowati
    Belum ada peringkat
  • MP Ngaliyan
    MP Ngaliyan
    Dokumen59 halaman
    MP Ngaliyan
    Retno Setyowati
    Belum ada peringkat