Anda di halaman 1dari 9

IDENTIFIKASI LAHAN RAWAN LONGSOR DAN INDEKS BAHAYA EROSI DI KABUPATEN SOLOK, PROVINSI SUMATERA BARAT

S. Marwanto, A. Dariah, D. Subardja, dan Y. Hadian ABSTRAK Kabupaten Solok Provinsi Sumatera Barat secara umum merupakan daerah rawan longsor, terbukti dari seringnya terjadi bencana longsor di wilayah ini. Penelitian yang dilakukan di Kabupaten Solok pada bulan Mei November 2007 bertujuan untuk mengetahui korelasi antara daerah rawan longsor dengan potensi erosinya. Penentuan daerah rawan longsor berdasarkan Pedoman Umum Budidaya Pertanian pada Lahan Pegunungan (Peraturan Menteri Pertanian) No 47/Permentan/OT.140/ 10/2006); sedangkan penentuan daerah rawan erosi berdasarkan Indeks Bahaya Erosi (IBE) yang merupakan hasil perbandingan antara nilai prediksi erosi (A) dengan nilai erosi yang dapat ditolerir (Tolerable Soil Loss/TSL). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari luas seluruh wilayah Kabupaten Solok (373.800 ha), seluas 194.754 ha (52,1%) dinilai aman dari bahaya erosi (IBE<1). Sedangkan wilayah yang memiliki status tidak aman dari bahaya erosi (IBE>1) diketahui seluas 138.560 ha (37,1%). Masing-masing status bahaya erosi (aman dan tidak aman) memiliki tingkat kepekaan longsor rendah, sedang dan tinggi. Tingkat kepekaan longsor sedang (skor 11-15) mendominasi dengan luasan mencapai 238.127 ha atau 63,7% dari seluruh wilayah Kabupaten Solok. Disusul kemudian oleh tingkat kepekaan longsor tinggi (skor 16-22) seluas 53.459 ha (14,3%), dan terakhir tingkat kepekaan longsor rendah (skor 6-10) seluas 41.727 ha (11,16%). Hasil penelitian ini membuktikan bahwa tanah yang dinilai aman terhadap bahaya erosi belum tentu memiliki tingkat kepekaan longsor yang rendah, dan begitu pula sebaliknya. PENDAHULUAN Longsor merupakan perpindahan massa tanah secara alami sehingga termasuk dalam kategori erosi. Perbedaan dengan jenis erosi lainnya adalah bahwa longsor terjadi dalam waktu singkat dan dalam volume yang besar (Arsyad, 2000). Pengangkutan massa tanah terjadi sekaligus, sehingga tingkat kerusakan yang ditimbulkan juga besar. Suatu daerah dinyatakan memiliki potensi longsor apabila memenuhi tiga syarat, yaitu: 1) lereng cukup curam, 2) memiliki bidang luncur berupa lapisan di bawah permukaan tanah yang semi permeabel dan lunak, dan 3) terdapat cukup air untuk menjenuhi tanah di atas bidang luncur tersebut. Jika syarat tersebut dimiliki, maka pada umumnya

27

S. Marwanto et al.

kejadian longsor hanya tinggal menunggu agen pemicunya yaitu curah hujan dan gempa bumi. Departemen Pertanian membuat kriteria kepekaan tanah terhadap longsor dengan parameter biofisik sebagai berikut: 1) curah hujan rata-rata tahunan, 2) jenis bahan induk, 3) kemiringan lereng, 4) kandungan mineral liat 2:1, 5) laju infiltrasi, dan 6) kedalaman lapisan kedap air. Kepekaan tanah terhadap longsor dinilai dengan cara menjumlahkan skor dari masing-masing faktor. Tanah dengan jumlah skor 6-10 digolongkan sebagai lahan dengan tingkat kepekaan rendah, skor 11-15 kepekaan sedang, dan 16-22 kepekaan tinggi. Lahan dengan tingkat kepekaan tinggi tidak direkomendasikan untuk budidaya pertanian, pembangunan infrastruktur, atau perumahan, tetapi dipertahankan sebagai vegetasi permanen (hutan). Wilayah dengan kemiringan lereng >15% tersebar dengan luas 306.322 ha atau 82% dari seluruh luas Kabupaten Solok. Bentuk wilayah adalah berombak, bergelombang, dan berbukit tersebar dan mendominasi wilayah Kabupaten Solok yang secara keseluruhan memiliki luas 373.800 ha. Dari faktor kemiringan lereng, Kabupaten Solok memiliki resiko longsor cukup tinggi yang dibuktikan dengan seringnya kejadian longsor di wilayah ini. Secara umum Kabupaten Solok juga berada dekat dengan patahan lempeng Austronesia dan lempeng Asia serta dilewati barisan gunung berapi aktif di sepanjang pantai selatan Indonesia. Kondisi ini menyebabkan Kabupaten Solok rawan terhadap timbulnya gempa yang dapat memicu terjadinya tanah longsor. Faktor penyebab erosi sedikit berbeda dengan faktor penyebab longsor. Erosi disebabkan oleh interaksi faktor curah hujan, karakteristik tanah, topografi lahan, penutupan lahan, dan pengelolaan tanah. Faktor yang hampir sama antara penyebab erosi dan longsor adalah curah hujan, karakteristik tanah, dan topografi lahan. Curah hujan menjadi pemicu kejadian longsor; karakteristik tanah menentukan infiltrasi, perkolasi dan lapisan semi permeabel pembentuk bidang luncur; dan topografi lahan yang menentukan bidang dan arah luncur, energi kinetik dan momentum tanah longsor. Berdasarkan kesamaan faktor tersebut diharapkan muncul peluang identifikasi lahan rawan longsor dan rawan erosi dalam satu delineasi. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Solok, Sumatera Barat pada bulan Mei November 2007. Analisis dilaksanakan di seluruh kabupaten kecuali

28

Identifikasi Lahan Rawan Longsor dan Indeks Bahaya Erosi

Kotamadya Solok dan beberapa penggunaan lahan yaitu badan air, sawah, perkebunan teh, dan pemukiman. Secara geografis lokasi penelitian terletak pada 01o 20' 27-01o 21' 39 Lintang Selatan dan 100o 25' 00-100o 33' 43 Bujur Timur dengan ketinggian tempat 300-1500 m dpl. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah peta satuan lahan Kabupaten Solok skala 1:100.00 (Balai Penelitian Tanah, 2007), seri data iklim, peta tanah Kabupaten Solok skala 1:100.000 (Balai Penelitian Tanah, 2007). Peta satuan lahan disusun berdasarkan pada Pedoman Klasifikasi Landform (Marsoedi et al., 1997). Penelitian lapangan meliputi pengecekan batas satuan lahan dan penggunaan lahan hasil interpretasi, karakterisasi lahan serta keragaan praktek teknik konservasi tanah. Analisis contoh tanah di laboratorium meliputi penetapan sifat fisik dan kimia tanah yang terdiri tekstur 3 fraksi (pasir, debu dan liat), pH (pH H2O dan KCl), C organik, kapasitas tukar kation (KTK). Metode analisis contoh tanah mengacu kepada Soil Survey Laboratory Staff (1991). Pada prinsipnya, rekomendasi teknik konservasi tanah dihasilkan dari nilai Indeks Bahaya Erosi (IBE) yang merupakan perbandingan dari nilai prediksi erosi (A) dengan nilai erosi yang masih diperbolehkan (T).

IBE =

A . T

(1)

Prediksi erosi ditentukan menggunakan rumus yang dikembangkan oleh Smith dan Wischmeier (1978) yang dikenal dengan Universal Soil Loss Equation (USLE). Sedangkan erosi yang dapat dibiarkan dihitung menggunakan rumus Hammer (1981): Data erosi, IBE, dan TSL diolah menggunakan software SPLaSH ver 1,02, sebuah sistem pengambilan keputusan (Decision Support System) konservasi tanah produksi Balai Penelitian Tanah (Balai Penelitian Tanah, 2006). IBE >1 dikategorikan sebagai lahan yang memerlukan teknik konservasi khusus karena tingkat erosi yang terjadi (A) sudah melebihi dari batas yang diperbolehkan (TSL). IBE <1 berarti lahan tersebut masih aman dan belum memerlukan tindakan konservasi khusus. Kepekaan tanah terhadap longsor dinilai dengan cara menjumlahkan skor dari masing-masing faktor biofisik menurut Peraturan Menteri Pertanian No 47/Permentan/ OT.140/10/2006 tentang Pedoman Umum Budidaya Pertanian pada Lahan Pegunungan (Deptan, 2006). Tanah dengan jumlah skor 6-10

29

S. Marwanto et al.

digolongkan memiliki kepekaan rendah, skor 11-15 kepekaan sedang, dan 16-22 kepekaan tinggi. Lahan dengan tingkat kepekaan tinggi tidak direkomendasikan untuk budidaya pertanian, pembangunan infrastruktur, atau perumahan, tetapi dipertahankan sebagai vegetasi permanen (hutan). Tabel 1. Penilaian tingkat kepekaan longsor di lahan pegunungan (Peraturan Menteri Pertanian No 47/Permentan/OT.140/ 10/2006).
Faktor biofisik Curah hujan (mm) Bahan induk Lereng (%) Kandungan liat 2:1 Laju infiltrasi Kedalaman lapisan kedap air (cm) <1.500 (1) Batuan volkanik (1) 15-25 (1) Rendah (1) Lambat (1) >100 (1) Nilai (skor) 1.500-2.500 (3) Batuan metamorfik (2) 25-40 (3) Sedang (2) Sedang (2) 50-100 (2) >2.500 (5) Batuan sedimen (3) >40 (5) Tinggi (3) Cepat (3) <50 (3)

Angka dalam kurung menyatakan skor untuk karakteristik iklim dan tanah di daerah setempat.

HASIL DAN PEMBAHASAN Data curah hujan sangat diperlukan dalam menentukan erosivitas hujan pada penghitungan formula USLE untuk menentukan IBE. Sedangkan rata-rata jumlah curah hujan tahunan diperlukan dalam penilaian tingkat kepekaan longsor. Dalam Tabel 2 berikut ini disajikan data curah hujan rata-rata bulanan dan tahunan serta erosivitas hujan berdasarkan data hujan bulanan. Tabel 2. Curah hujan bulanan, zona agroklimat dan erosivitas hujan di Kabupaten Solok
Curah hujan R Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des Tahunan ............................................................mm .............................................................. 241 193 245 265 195 115 85 139 181 243 262 246 2.410 1.602 233 181 241 287 160 152 144 130 222 287 254 292 2.583 1.754 95 73 106 118 72 101 83 90 117 179 156 159 1.350 728

Stasiun hujan Al. Panjang Sukarami Laing

Sumber: Diolah dari hasil pencatatan stasiun iklim setempat.

Kondisi iklim yang tercatat dari tiga stasiun menunjukkan perbedaan yang nyata. Stasiun Iklim Alahan Panjang dan Sukarami memiliki kondisi iklim yang hampir sama baik fluktuasi bulanannya maupun rerata tahunannya (erosivitas: 1.6021.754). Sedangkan Stasiun Iklim Laing memiliki data curah hujan lebih rendah dari stasiun lainnya (erosivitas: 728). Batuan yang dijumpai di wilayah Kabupaten Solok dapat dikelompokkan menjadi 5 satuan yaitu: 1) Batuan endapan permukaan yang menurunkan bahan

30

Identifikasi Lahan Rawan Longsor dan Indeks Bahaya Erosi

induk berupa endapan aluvium dan endapan andesitik, 2) batuan sedimen yang menurunkan bahan induk batupasir, sedimen halus berkapur, batuliat dan batulempung, 3) batuan gunung api yang menurunkan bahan induk batu andesit dan napal, 4) batuan metamorf yang menurunkan bahan induk sedimen halus, 5) batuan intrusi menurunkan bahan induk granit dan diorit. Masing-masing jenis bahan induk akan menghasilkan tanah dengan tingkat kepekaan erosi yang berbeda (Marwanto et al., 2004), tergantung pada asal batuan dan komposisi mineraloginya. Tanah yang terbentuk dari batuan induk sedimen relatif peka terhadap erosi dan longsor, tanah yang berasal dari batuan volkanik umumnya tahan terhadap erosi dan longsor, sedangkan batuan metamorf menghasilkan kondisi kepekaan tanah sedang (Pedum Permentan, 2005). Luasan penyebaran bahan induk disajikan dalam Tabel 3 berikut ini. Tabel 3. Jenis bahan induk di Kabupaten Solok dan luasnya
Bahan Induk Batuan volkanik Batuan metamorfik Batuan sedimen Lain-lain Jumlah Luas ha 141.436 143.130 49.057 40.178 373.800 luas % 37,84 38,29 13,12 10,75 100,00

Informasi kemiringan lereng pada peta satuan lahan skala 1:100.000 (BBSDLP, 2007) memiliki 6 kelas. Nilai (skor) terendah dalam Pedum Permentan adalah kelas lereng 15-25% dengan nilai 1, sehingga diasumsikan kelas lereng <15% masuk dalam nilai 1. Dalam Tabel 4 berikut ini disajikan data kemiringan lereng beserta luasannya. Tabel 4. Kemiringan lereng di Kabupaten Solok dan luasnya
Kemiringan lereng % >40 25-40 15-25 8-15 3-8 0-3 Lain-lain Jumlah Luas ha 228.156 60.042 18.124 9.764 11.090 6.495 40.130 373.800 luas % 61,04 16,06 4,85 2,61 2,97 1,74 10,74 100,00

Sumber: Peta satuan lahan dengan koreksi lapang

Rekahan pada tanah merupakan salah satu penyebab longsor. Rekahan tersebut menyebabkan tegangan geser tanah menjadi tidak stabil. Pada saat terjadi hujan, air lebih cepat masuk ke dalam tubuh tanah melalui rekahan

31

S. Marwanto et al.

tersebut yang menyebabkan percepatan akumulasi air di dalam tubuh tanah. Dengan adanya bidang luncur, maka tanah yang tidak stabil ini akan lebih cepat longsor. Kondisi rekahan disebabkan oleh kandungan liat 2:1 di dalam tanah. Jika kandungan lengas tanah berkurang maka tanah akan mengkerut, sebaliknya jika kandungan lengas tanah meningkat maka tanah akan mengembang. Kandungan mineral liat 2:1 pada penelitian ini diketahui berdasarkan pendekatan nisbah KTK dan liat (CEC/clay). Nisbah CEC/clay dibawah 0,4 berkorelasi dengan rendahnya kandungan liat 2:1; nisbah CEC/clay diantara 0,4-0,7 berkorelasi dengan kandungan liat 2:1 sedang; kemudian nisbah CEC/clay diatas 0,7 berkorelasi dengan tingginya kandungan liat 2:1. Tabel 5 berikut ini disajikan status kandungan liat 2:1 beserta luasannya. Tabel 5. Kandungan liat 2:1 di Kabupaten Solok dan luasnya
Kandungan liat 2:1 Rendah Sedang Tinggi Lain-lain Jumlah Luas ha 142.170 155.186 35.958 40.486 373.800 luas % 38,03 41,52 9,62 10,83 100,00

Dari hasil superimpose peta-peta tematik dan analisis program SPLaSH versi 1.02 yang digunakan dalam penelitian ini, diketahui bahwa dari keseluruhan wilayah Kabupaten Solok, seluas 194.754 ha (52,1%) yang dinyatakan aman dari bahaya erosi (IBE<1). Status aman dari bahaya erosi disebabkan karena tingkat erosi aktual yang terjadi masih di bawah batas nilai erosi (treshold) yang masih dapat ditoleransi. Lahan dengan status aman terhadap bahaya erosi ini ternyata memiliki 3 tingkat kepekaan longsor yaitu rendah, sedang dan tinggi. Pada lahan dengan status aman terhadap bahaya erosi, tingkat kepekaan longsor sedang (skor 11-15) mendominasi dengan luas penyebaran mencapai 147.289 ha atau 39,4% dari seluruh wilayah Kabupaten Solok. Disusul kemudian oleh tingkat kepekaan longsor tinggi (skor 16-22) seluas 25.930 ha (6,94%) dan terakhir adalah tingkat kepekaan longsor rendah (skor 6-10) seluas 21.535 ha (5,76%). Wilayah yang memiliki status tidak aman dari bahaya erosi (IBE>1) diketahui seluas 138.560 ha (37,1%). Wilayah ini juga memiliki 3 tingkat kepekaan longsor yaitu rendah, sedang dan tinggi. Tingkat kepekaan longsor sedang (skor 11-15) juga mendominasi dengan luas penyebaran mencapai 90.839 ha (24.3%), disusul kemudian oleh tingkat kepekaan longsor tinggi (skor 16-22) seluas 27.529 ha (7,4%) dan tingkat rendah (skor 6-10) seluas 20.192 ha (5,4%).

32

Identifikasi Lahan Rawan Longsor dan Indeks Bahaya Erosi

Tabel 6.

IBE dan tingkat kepekaan tanah terhadap longsor di Kabupaten Solok.


Tingkat kepekaan longsor Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Luas ha 21.535 147.289 25.930 20.192 90.839 27.529 40.486 373.800 (%) 5,76 39,40 6,94 5,40 24,30 7,36 10,83 100,00

Indeks bahaya erosi

Aman (IBE < 1)

Tidak aman (IBE > 1) Lain-lain Jumlah

Hasil penelitian ini membuktikan bahwa tanah yang dinilai aman terhadap bahaya erosi belum tentu memiliki tingkat kepekaan longsor yang rendah, dan begitu pula sebaliknya. Peristiwa antara erosi dan longsor juga berbeda, misalnya erosi lembar (sheet erosion) dan erosi alur (riil erosion) terjadi pada tanah permukaan (topsoil), sedangkan erosi parit (gully erosion) terjadi pada sub soil hingga kedalaman 70 cm. Pada peristiwa longsor terjadi perpindahan massa tanah yang besar mulai dari material penutup tanah, topsoil, hingga lapisan yang menjadi bidang luncur. Terdapat perbedaan variabel penyebab kejadian erosi dan longsor serta skala kerusakan yang diakibatkannya sehingga menimbulkan konsekuensi perbedaan metode identifikasi dan tindakan pencegahannya. KESIMPULAN 1. Dari luas seluruh wilayah Kabupaten Solok (373.800 ha), seluas 194.754 ha (52,1%) dinilai aman dari bahaya erosi (IBE<1). Sedangkan wilayah yang memiliki status tidak aman dari bahaya erosi (IBE>1) diketahui seluas 138.560 ha (37,1%). Masing-masing status bahaya erosi (aman dan tidak aman) memiliki tingkat kepekaan longsor yaitu rendah, sedang dan tinggi. Tingkat kepekaan longsor sedang (skor 11-15) mendominasi dengan luasan mencapai 238.127 ha atau 63,7% dari seluruh wilayah Kabupaten Solok. Disusul kemudian oleh tingkat kepekaan longsor tinggi (skor 16-22) seluas 53.459 ha (14,3%), dan terakhir tingkat kepekaan longsor rendah (skor 6-10) seluas 41.727 ha (11,16%). Terdapat perbedaan variabel penyebab kejadian erosi dan longsor serta skala kerusakan yang diakibatkannya sehingga menimbulkan konsekuensi perbedaan metode identifikasi dan tindakan pencegahannya.

2. 3.

4.

33

S. Marwanto et al.

DAFTAR PUSTAKA Arsyad S. 2000. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press Balai Penelitian Tanah. 2006. Penyusunan Decision Support System (DSS). Laporan akhir (tidak dipublikasikan). Departemen Pertanian. 2006. Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 47/Permentan/OT.140/10/2006 Tentang Pedoman Umum Budidaya Pertanian pada Lahan Pegunungan. BB Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Balai Penelitian Tanah. 2007. Analisis Kesesuaian Lahan untuk Pengembangan Komoditas Kakao (Theobroma cacao L.) dan Kopi (Coffea sp.) di Kabupaten Solok, Provinsi Sumatera Barat. Kerjasama penelitian dengan Badan Perencana Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Solok. Laporan akhir (tidak dipublikasikan). Departemen Pertanian. 2006. Peraturan Menteri Pertanian Nomor:47/Permentan/ OT.140/10/2006 tentang Pedoman Umum Budidaya Pertanian Pada Lahan Pegunungan. Jakarta Djaenudin, D. Basuni, S. Hardjowigeno, H. Subagjo, M. Sukardi, Ismangun, Marsudi Ds, N. Suharta, L. Hakim, Widagdo, J. Dai, V. Suwandi, S. Bachri, E. R. Jordens. 1994. Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Pertanian dan Tanaman Kehutanan. Laporan Teknis No. 7, Bersi 1.0. Centre for Soil and Agroclimate Research, Bogor. Djaenudin, D., Marwan H., H. Subagjo, A. Mulyani dan N. Suharta. 2003. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Pertanian. Versi 4. Balai Penelitian Tanah Bogor. Hammer, E. I. 1981. Second Soil Conservation Consultant Report; AGOF/INS/78/006 Technical Note No. 26 FAO/Centre for Soil Research, Bogor. Marwanto S., K. Subagyono dan C. Tafakresnanto. 2004. Pendekatan Pedogenesis dalam Penentuan Erodibilitas Tanah Secara Spasial Prosiding Kongres Nasional V Masy. Konservasi Tanah dan Air Indonesia (MKTI) dan Seminar Degradasi Hutan dan Lahan. Yogyakarta 10-11 Desember 2004. ISBN:979-3485-36-1 Smith, D. D. and Wischmeier, W. H.1978. Predicting Rainfall Erosion Losses A Guide to Conservation Planning. USDA Agriculture Handbook 537.

34

Identifikasi Lahan Rawan Longsor dan Indeks Bahaya Erosi

TANYA JAWAB Pertanyaan Subowo, BPTP Yogjakarta: Apakah daerah yang diidentifikasi tersebut terbukti sudah terjadi Jawab : Penelitian ini adalah deskwork dengan memanfaatkan data peta satuan lahan skala 1 ; 100.000 Kabupaten Solok dengan menggunakan kriteria kepekaan longsor Pertanyaan Kosman, Balittanah: Setelah teridentifikasi apa tindak lanjutnya untuk mencegah erosi Jawab :

35

Anda mungkin juga menyukai