1. TUJUAN
resiko
American College of Obstetricians and Gynecologist mengklasifikasikan hipertensi pada pregnansi kedalam 4 kelompok, yaitu: Hipertensi kronik; peningkatan tekanan darah terjadi sebelum minggu ke-20 dari masa gestasi. Preeklampsia-eklampsia; manifest setelah minggu ke-20 masa gestasi disertai dengan proteinuria dan edema. Preeklampsia akan menjadi eklampsia apabila terjadi kejang. Hipertensi kronik dengan superimposed preeklampsia. Hipertensi gestasional: manifest setelah minngu ke-20 masa gestasi tanpa adanya tandatanda preeklampsia. Klasifikasi Preeklampsia: Preeklampsia Ringan Hipertensi: Sistolik Diastolik MAP 140 mmHg 30 mmHg dari baseline 90 mmHg 15 mmHg dari baseline 105 mmHg 20 mmHg dari baseline Proteinuria 1-2+ (dipstick) 1g/24 jam Edema Keluhan pasien General 3-4+ (dipstick) 5g/24 jam General Sakit kepala, gangguan Preklamsia Berat 160 mmHg 110 mmHg 120 mmHg
5. PATOFISIOLOGI Etiologi preeklamsia sampai saat ini belum diketahui, namun faktor yang
berperanan penting adalah terjadinya iskemik uteroplasenta yang kemungkinan terjadi akibat perubahan imunitas sebagai reaksi graft versus host.
Kemungkinan juga terjadi ketidakseimbangan prostaglandin antara tromboksan dan
prostasiklin sehingga terjadilah preeklampsia. Peningkatan jumlah tromboksan akan menyebabkan vasokonstriksi dan agregasi trombosit, serta gangguan aktivitas uterus akibat penurunan aliran darah uteroplasenta.
Iskemia uteroplasenta mengakibatkan produksi substan yang similar dengan renin dan
t rom bopl ast i n. R eni n akan m en yeb ab kan pel epas an an gi ot ensi n dan aldosteron.
Peningkatan kadar renin, aldosteron, dan katekolamin dalam sirku lasi akan
menimbulkan vasospasme, retensi sodium dan air, sehingga terjadilah hipertensi dan kemudian berlanjut menjadi edema.
Tromboplastin akan menginisiasi koagulopati dan pada akhirnya dapat terjadi
DIC. Perubahan Patofisiologi Pada Preeklampsia CNS Edema serebral dan vasospasme: Sakit kepala, hiperrflek, penglihatan kabur, kebutuhan, kejang, koma Perdarahan serebal Pulmoner Edema jalan nafas atas / laring : Kesulitan intubasi Predisposisi terhadap infeksi saluran nafas atas Kebocoran kapiler paru : Peningkatan gradien A-a Kardiovaskular Vasokonstriksi: Hipertensi, gangguan perfusi jaringan, hipoksia seluler, peningkatan beban kerja jantung. Gagal jantung. Translokasi cairan : Edema general, hipovolemia, hemokonsentrasi
Peningkatan viskositas darah Hipertropi dan disfungsi ventrikel kiri Renal : Penurunan aliran Penurunan GFR Penurunan creatinin clearance Peningkatan level asarn urat yang berkorelasi den-an beratnya penyakit Hepar: Perdarahan periportal Hernatoma Subkapsular Tes fungsi hati abnormal Hematologi: Penurunan jumlah dan fungsi platelet Profil koagulasi abnormal (pemanjangan PTT) DIC HELLP sindrom Uteroplasenta: Penurunan aliran darah intervillous Kelahiran premature Small plasenta Hiperaktivitas uterin Sensitivitas uterus terhadap oksitosin Abrupsio plasenta
6. MANAJEMEN HIPERTENSI DADA PRE EKLANIPSIA: Terapi hipertensi pada kehamilan terdiri daretirah baring, sedasi, obat antihipertensi, dan pencegahan kejang. OBAT KEUNTUNGAN KERUGIAN
MEKANISME KERJA
Hidralazin
Vasodilator
Onset 10 menit Meningkatkan aliran darah ginjal Durasi 2 jam Hipotensi respon terhadap pemberian cairan
Takikardia.
Propanolol
Beta bloker
Meningkatan aktivitas Bradikardia dan hipoglikernia pada Anti hipertensi fetus hidralazin Onset 1 menit Durasi 1-10 menit Fetal cyanide toxicity (doses > 10 mcg/kg/mt) Meningkatkan tekanan intracranial maternal Meningkatkan tekanan intracranial. maternal
Sodium Nitroprusid
Nitrogliserin
Metildopa.
A2- aconis
Onset 1-2 menit Durasi 10 menit Meningkatkan aliran darah uterin. Maintenan yang baik karena durasi yang panjang Tidak direkomendasikan
Neonatal tremor
Captopril
ACE inhibitor
Fetal death
diuretik
Hipotensi Tidak direkomendasikan Relaksasi uterus meningkatkan aliran darah ginjal Kombinasi dengan Mg akan menyebabkan hipotensi
Nifedipin
Klonidin
A2-agonis
Hipoksia fetal peningkatan tonus uterus (penurunan uterin blood flow) Pada umumnya tidak direkomendasi
7. PENCEGAHAN EXLAMPSTA:
MgSO4 merupakan obat pilihan pertama untuk mencegah terjadinya kejang yang bekerja pada mioneural junction. Penurunan hiperrefleksia pada pemberian MgSO4 merupakan akibat sekunder dari inhibisi pelepasan asetilkolin pada neuromuscular junction, penurunan sensitivitas motor endplate terhadap asetilkolin, dan penurunan eksitabilitas membran otot. MgSO4 merupakan vasodilator ringan dan menurunkan hiperaktivitas uterus sehingga meningkatkan aliran darah uterus. MgSO4 juga menyebabkan vasodilatasi pada pembuluh darah renal dan liver. Level teraptik MgSO4 adalah 4-8 mEq/ L. Di atas level ini akan menyebabkan efek samping pada ibu dan janinnya MgSO4 akan menyebakan perubahan EKG dan dapat menyebabkan cardiac dan respiratory arrest. Efek samping yang berbahaya ini tidak akan terjadi sampai hilangnya reflek-reflek tendon dalam. Oleh karena itu harus selalu dilakukan monitoring terhadap kadar magnesium dan deep tendon reflexes sehingga terhindar dari efek yang membahayakan. MgSO4 akan meiiitigkatk,,m sensitivitas ibu maupun janin terhadap pelemas otot baik golongan depolarisasi maupun nondepolarisasi. Mg dapat masuk ke dalam plasenta sehingga dapat pula menyebabkan toksisitas pada neonatus. Gejala toksisitas magnesium neonatus: depresi napas, apnoe, dan penurunan tonus otot. Toksisitas Mg pada ibu dan bayi dapat diatasi dengan pemberian kalsium. MgSO4 diberikan secara i.v dengan dosis awal 2-4 gram dalam 15 menit, diikuti pemberian infus 1-3 gram perjam.
MgSO4 diekskresikan melalui ginjal, oleh karena itu fungsi ginjal harus di monitor secara hati-hati, dan harus dilakukan penyesuaian dosis pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal.
Pada pasien preeklampsia dengan tekanan darah yang sudah terkontrol, dengan
status cairan dan parameter koagulasi normal, make tindakan SC dapat dilakukan dengan amen baik dengan teknik epidural, spinal, ataupun general anestesi.
Anestesi general merapakan pilihan pada kasus-kasus SC emcrgensi. Sebelum dilakukan induksi harus dipastikan tekanan darah sudah dikontrol dengan
adekuat. Hal ini harus dilakukan sebelum induksi walaupun terdapat keadaan fetal distress, dikarenakan pada seat laringoskopi dapat ter adi peningkatan tekanan darah yang signifikan yang dapat berakibat tedadinya perdarahan serebral.
Anestesi epidural merapakan pilihan utama bile pada pasien tidak didapatkan
gangguan koagulasi.
Regional anestesi harus dihindari apabila, jumlah trombosit < 100 ribu. Tekanan darah diastolik harus dipastikan < 110 mmHg sebelum dilakukan anestesi neuraksial. Pemberian loading cairan koloid 250-500 nil sebelum epidural lebill efektif dibandingkan kristaloid untuk mengkoreksi hipovolemia dan mencegah hipotensi. Selama anestesi hares dilakukan pengukuran tekanan darah secara periodik.
Parturien dengan penyakit hipertensi biasanya mengalami deplesi cairan sehingga mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya hipotensi. Monitoring diuresis merupakan panduan dalam pemberian cairan. Bila diuresis minimal atau tidak keluar, lakukan fluid challenge 500-1000 nil dengan kristaloid isotonik. Bila diuresis tetap tidak meningkat sebaiknya dilakukan pemasangan CVC. Hipotensi diatasi dengan pemberian dosis keeil vasopresor (efedrin 5 mg) karena pasien ini sangat sensitif terhadap agen tersebut. 9. MANAJEMEN PASCAGPEARATIF Gejala-gejala akibat preeklampsia membutuhkan waktu beberapa jam sampai beberapa hari setelah plasenta dan fetus dilahirkan untuk hilang secara komplit sehingga pasien tetap beresiko untuk terjadinya kejang. Lakukan monitoring tekanan darah pascaoperasi dan pemberian infus MgSO4 hams diteruskan minimal 24jam pascaoperasi. Kontrol nyeri pascaoperasi. H). DOKUNIEN YERKAIT:- Catatan rekam medis - Lembar informed consent 11. UNHT TERKAAT : Dokter spesialis anestesi, dokter residen di bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif, dokter/ residen obgin, dokter/ residen IPD di lingkungan RSVP Dr. Hasan Sadikin Bandung. 12. RIEFEREINSE: Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Obstetric anesthesia. Dalam: Clinical Anesthesiology, ed.4, 2006, h: 910-912. Beilin Y, Telfeyan C. preeklampsia. Dalam:Clinical Cases in Anesthesia. Edisi ke3. Elsevier, 2005, h:355-361