Tinilo Pa’ita: Upacara Kematian di Jazirah Gorontalo
Mamlahatun Buduroh Universitas Indonesia
Judul buku: Tinilo Pa’ita,
Naskah Puisi Gorontalo: Sebuah Kajian Filologis Penulis: Ellyana Hinta Penerbit: Djambatan Tahun terbit: Tebal: ix + 177 halaman
Kelisanan dan keberaksaraan merupakan topik pembicaraan yang menarik dalam
khazanah sastra Nusantara. Naskah sebagai bukti keberaksaraan suatu daerah tidak terlepas dari tradisi lisan yang berkembang pada daerah tersebut. Begitu pula yang terjadi pada naskah yang berasal dari daerah Gorontalo. Gorontalo sebagai salah satu provinsi di Indonesia memang baru resmi berdiri pada tahun 2001. Berdasarkan UU No. 38 tahun 2001 daerah tersebut secara administratif terlepas dari wilayah Sulawesi Utara. Akan tetapi, Gorontalo sebagai salah satu pusat kebudayaan di Sulawesi ternyata sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu (sejak 1024 H). Pada masa itu, Gorontalo menjadi pusat perdagangan, pendidikan, dan penyebaran agama Islam di Indonesia bagian timur. Kiranya hal tersebut terungkap dalam Tinilo Pa’ita, Naskah Puisi Gorontalo : Sebuah Kajian Filologis. Penulis menyebutkan bahwa asal mula nama Gorontalo konon dari kata ‘haluntalo’ (gorontalo) berasal dari perkataan hu idu tellu yang bermakna ‘gunung tiga’ yang terlihat saat memasuki Pelabuhan Gorontalo. Adapun Tinilo Paita merupakan salah satu naskah yang berisi teks dalam bentuk puisi yang biasanya dibaca dengan cara dilagukan (dilisankan). Saat ini, naskah tersebut berjumlah tujuh buah dan menjadi koleksi masyarakat di Kota Gorontalo. Seperti halnya kelompok kebudayaan lain di Nusantara, masyarakat Gorontalo juga melakukan upacara yang berkaitan dengan daur atau siklus kehidupan, yaitu kelahiran, perkawinan, dan kematian. Tinilo Pa’ita merupakan teks yang dinyanyikan dalam rangkaian upacara kematian ketika mengganti batu nisan. Upacara tersebut dilaksanakan pada 40 hari kematian. Naskah yang memuat teks tersebut merupakan koleksi masyarakat. Peneliti menemukannya di Kecamatan Tibawa, Kabupaten Gorontalo. Dalam kolofon terdapat keterangan bahwa naskah ini disalin oleh Thalib Razak, seorang tokoh adat pada tanggal 12 April 1950. Namun, mengingat tradisi pembacaan tinilo (puisi) sudah berlangsung lama bagi masyarakat adat Gorontalo agaknya teks tersebut sebenarnya sudah dibacakan jauh sebelum itu. Dengan aksara Arab sebagai huruf yang digunakan untuk menuliskan teks, paling tidak terjelaskanlah bahwa teks tersebut telah ada sejak budaya Islam memasuki wilayah tersebut. Teks yang berisi 190 bait ini dibacakan secara bertahap berdasarkan urutan pelaksanaan upacara. Pertama, pada saat berada di rumah orang yang meninggal. Teks yang dibacakan pada rangkaian acara ini berisi puji-pujian kepada Allah SWT, Nabi Muhammad SAW, orang yang meninggal, serta doa bagi orang yang meninggal dan yang ditinggalkan. Kedua, ketika membagikan bungkusan kue adat, teks yang dibacakan berisi nasihat-nasihat untuk mensyukuri nikmat Allah SWT, selalu rukun, dan beramal baik kepada sesama. Ketiga, ketika mengangkat batu nisan, bait-bait pada bagian ini berisi nasihat agar selalu berpegang pada agama Allah, ingat akan datangnya kematian, dan bagi keluarga yang ditinggalkan agar merelakan kepergian almarhum. Keempat, ketika menanam batu nisan, pada bagian ini teks berisi doa bagi orang yang meninggal supaya mendapatkan surga. Tulisan ini merupakan hasil penelitian filologi sehingga langkah-langkah filologi seperti inventarisasi naskah, perbandingan naskah, penentuan edisi teks, transliterasi, dan terjemahan diterapkan dengan baik. Uraian mengenai latar sejarah, sastra, dan bahasa Gorontalo membantu pembaca dalam memahami kebudayaan Gorontalo. Barangkali, cara penyampaian yang berputar-putar bahkan cenderung mengulang-ulang penguraian akan membutuhkan waktu yang cukup lama bagi pembaca untuk memahaminya. Sebagai buah penelitian, kiranya tulisan ini dapat dijadikan bahan acuan untuk penelitian lebih lanjut mengenai sejarah kebudayaan Islam yang berkembang pada masyarakat Gorontalo. Peranan daerah ini di masa lalu sebagai pusat penyebaran agama Islam di wilayah timur Indonesia dapat dijadikan acuan. Begitu pula istilah yang digunakan dalam teks seperti talkin, tahlilan, dan tarekat yang terdapat dalam teks dapat dijadikan acuan penelitian mengenai paham Islam yang berkembang di daerah tersebut. Yang tidak kalah menarik adalah kedinamisan bahasa Gorontalo pun terlihat dalam teks ini. Keberadaan naskah Gorontalo yang tersebar pada masyarakat Gorontalo dan di seluruh dunia kiranya perlu mendapatkan perhatian serius dari pemerintah daerah setempat. Dalam Katalog Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, keberadaan naskah Gorontalo dikelompokkan dalam naskah Sulawesi. Hal yang sama juga terdapat pada katalog naskah yang lain. Padahal, sebagai satu wilayah kebudayaan tersendiri, Gorontalo kaya akan hasil budaya berupa naskah tulisan tangan (manuskrip) sebagai wujud ‘peradaban Gorontalo’. Kiranya, usaha untuk melacak dan mendokumentasikan menjadi pekerjaan yang harus segera dilaksanakan agar naskah-naskah yang ada terhindar dari kepunahan. Akhir kata, penelitian ini menjadi awal dari penelitian naskah Gorontalo karena masih banyak naskah lain yang menunggu untuk disapa dan dikenali.***