Anda di halaman 1dari 16

I.

PENDAHULUAN Fistel enterokutaneus adalah suatu hubungan yang abnormal antara bagian saluran cerna dan organ lain atau hubungan antara saluran cerna dengan permukaan tubuh (seperti fistel gastrokutaneus antara lambung dan kulit). Fistel gastrointestinal (GI) dapat terjadi setelah pembedahan atau spontan. Diperkirakan 80% dari fistel GI terjadi sebagai komplikasi setelah pembedahan abdomen dengan insidens diperkirakan lebih dari 0.8% sampai 2%. Morbiditas fistel dihubungkan dengan malnutrisi, ketidakseimbangan elektrolit, ekskoriasi kulit (dehisensi luka), pembentukan abses, sepsis, dan dehidrasi. Berkembangnya fistel eneterokutaneus pada pasien trauma telah menunjukkan peningkatan lama rawat inap (LOS) sekitar 21 hari pada intensive care unit (ICU) dan 66 hari di rumah sakit. Mortalitas yang terkait dengan fistel sangat tinggi, berkisar dari 45% - 60%, namun telah menurun dalam 30 tahun terakhir hingga 5%-21%. Terapi optimal dan prognosis bergantung pada efek fisiologik dari fistel. Pasien pasca operasi berisiko mengalami malnutrisi dan hal ini memiliki dampak negatif terhadap penyembuhan luka yang kemudian menjadi faktor predisposisi bagi pembentukan fistel. Malnutrisi yang menyertai pembentukan fistel merupakan dampak dari sejumlah faktor, termasuk kurangnya asupan oral, kehilangan zat-zat gizi melalui cairan fistel, dan peningkatan katabolisme terkait sepsis. Oleh karena itu, status gizi memiliki peranan penting dalam penanganan dan perawatan pasien dengan fistel. Fistel enterokutaneus dapat menyebabkan kehilangan cairan yan sangat banyak. Saluran cerna mensekresikan sejumlah cairan basal (6-8 liter per hari) dengan komposisi bergantung pada lokasinya. Jumlah ini akan meningkat dengan asupan oral. Peningkatan sekresi akan menyebabkan makin banyaknya kehilangan cairan melalui fistel, menghambat penyembuhan luka, dan menurukan status gizi pasien. Imbalans elektrolit yang disebabkan oleh kehilangan melalui fistel juga perlu diperhatikan, karena cairan yang hilang biasanya kaya sodium, potasium, klorida, dan bikarbonat. Gangguan metabolik seperti hiponatremia, hipokalemia, dan asidosis metabolik sering ditemukan. Pemahaman mengenai dampak anatomik dan fisiologik fistel memungkinkan terapi nutrisi yang optimal. Penggantian cairan, elektrolit, dan mikronutrien, serta mempertahankan status gizi merupakan dasar penatalaksanaan fistel, selain perawatan luka yang merupakan aspek yang paling menantang dalam perawatan pasien. Dengan pertimbangan tersebut, maka dilakukan telaah lebih lanjut terhadap kasus berikut ini.

II. LAPORAN PENATALAKSANAAN TERAPI GIZI PADA PASIEN FISTEL ENTEROKUTANEUS DENGAN KOMPLIKASI Karakteristik pasien Pengamatan atas terapi gizi dilakukan pada Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo. Penatalaksanaan terapi dilakukan setelah pasien dirujuk oleh dokter penanggung jawab utama pada Bagian Gizi Klinis. Dalam pelaksanaan terapi, dokter mendapatkan bantuan dari rekan sejawat dan paramedis serta dietisien dalam pemantauan dan penyiapan regimen diet. Pasien yang dilibatkan dalam pengamatan ini adalah pasien yang dirujuk dengan diagnosis fistel enterokutaneus sebagai dasar penyakit, adapun komplikasi yang ditemukan kemudian menjadi catatan yang akan menjadi landasan dalam hal penatalaksanaan. Berikut ini adalah ringkasan karakteristik tiga pasien yang diikutkan dalam pengamatan ini: Pasien 1 Nama Umur Jenis kelamin Pekerjaan Tanggal konsul Lama perawatan Diagnosis masuk Nn. N 21 tahun Perempuan Mahasiswa 18 Agustus 2011 3 minggu Pasien 2 Tn. S 57 tahun Laki-laki Petani 26 Oktober 2011 4 minggu Pasien 3 Nn. M 16 tahun Perempuan Pelajar 4 Januari 2012 6 minggu

Fistel enterokutaneus Fistel enterokutaneus Fistel high-output low-output enterokutaneus high-output

Pada ketiga pasien tersebut dapat dilihat bahwa terdapat satu pasien anak dan dua pasien dewasa. Pada tabel 1 tersebut diatas juga ditemukan bahwa ketiga kasus tersebut diagnosis masuk pasien seragam dengan komplikasi bervariasi terkait bagian saluran cerna yang mengalami permasalahan, dan adanya masa rawat yang berbeda.

Keluhan yang dirasakan pasien Adapun keluhan yang dirasakan oleh pasien saat dikonsul pada bagian Gizi klinis adalah sebagai berikut:

Pasien 1 Keluar cairan +++ sjk 3 thn yll. vol. > 500cc/hr +

Pasien 2 + sjk 3 bln yll. vol. 100-200cc/hr ++

Pasien 3 +++ Sjk 10 hr SMRS Vol. > 500cc/hr +++

dari luka bekas operasi Penurunan nafsu makan Mual, muntah Demam Penurunan berat badan Asupan energi 24 jam (kkal) Karbohidrat (gram) Protein (gram) Lemak (gram)

+ +

822

997

110

150

31 21

35 21

0 0

Setelah dilakukan pemeriksaan dan pendalaman riwayat penyakit dan kebiasaan makanan ditemukan bahwa ketiga pasien tidak memiliki jenis alergi terhadap makanan serta tidak menjalani pantangan khusus terhadap makanan tertentu.

Hasil pemeriksaan fisik pasien Hasil pemeriksaan fisik yang dianggap berhubungan dengan pengamatan pada kasus ini diperlihatkan pada tabel berikut ini: Pasien 1 Konjungtiva anemis/ikterus Muscle wasting Loss subcutaneus fat Abdomen : Wound dehiscence Uk. 2x1 cm, infraumbilikus, Uk. 9x3 cm, umbilikus, keluar Uk. 4x2 cm, infraumbilikus, of + + + ++ +/Pasien 2 +/Pasien 3 +/-

keluar cairan / padat wrn kuning

cairan / padat wrn kuning

terpasang drain, prod. Cairan 300cc, wrn hitam +, kesan ++

Edema

Bising usus pitting

+, kesan n +

+, kesan n -

pada tungkai Tanda klinis ++

dehidrasi (mukosa kering, kering, mengantuk/lemah) kulit

Pada tabel tersebut diatas tampak jelas bahawa kondisi pada pasien 3 tampak lebih buruk. Adanya infeksi dan dehidrasi semakin memperburuk kondisinya. Pada ketiga pasien tersebut kemudian dilakukan pengukuran antropometri dan pengambilan tanda vital. Hasilnya dirangkum dalam tabel dibawah ini: Pasien 1 Tekanan (mmHg) Nadi (kali/menit) Pernapasan (kali/menit) Suhu celcius) Berat badan 35 56 (derajat 36.5 36,7 36,7 60 16 84 16 76 16 darah 100/60 Pasien 2 130/70 Pasien 3 100/70

aktual (kilogram) Tinggi (cm) Lingkar lengan 21 26 19 badan 155 163 156

atas (LLA, cm) Berat ideal (kg) Indeks Massa 14.57 21 badan 49.5 56.7 45

Tubuh kg/m2)

(IMT,

Penilaian nilai laboratorium Dalam penegakan diagnosis gizi sebagai dasar penatalaksanaan terapi, dilakukan tinjauan terhadap beberapa parameter fungsi metabolisme tubuh melalui pemeriksaan laboratorium. Data ini diperoleh hanya berdasarkan apa yang telah dilakukan oleh dokter penanggung jawab utama dan untuk kepentingan pemantauan kemajuan terapi dilakukan pemeriksaan laboratorium follow up atau pemeriksaan parameter lain untuk menunjang terapi. Tabel berikut merupakn ringkasan gambaran laboratorium saat pasien dikonsul. Tidak semua parameter tersedia tergantung pada kondisi dan permintaaan dokter penanggung jawab sebelum dikonsul. Pasien 1 Hb (g/dl) WBC (/l) TLC (/l) GDS (mg/dl) GOT/GPT (U/l) Ur/Cr (mg/dl) Prot. total (g/dl) Albumin (g/dl) Natrium (mmol/l) Kalium (mmol/l) Klorida (mmol/l) 11.5 9690 1530 111 21/12 31/0.6 6.0 3.4 137 3.8 109 Pasien 2 14.6 9810 3170 96 15/18 27/0.7 6.3 3.8 132 3.8 107 2.8 143 2,8 83 Pasien 3 8.8 13600 2510 88 9/3 24/0.4

Penegakkan diagnosis Berdasarkan data yang diperoleh dari penggalian riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan laboratorium, maka diagnosis gizi pada ketiga pasien tersebut adalah: Pasien 1 Status gizi Gizi buruk (IMT) Pasien 2 Gizi baik, risiko Gizi menurun (IMT) Status metabolik (LLA/U) Pasien 3 buruk

*Hiperkatabolisme *Hiperkatabolisme *Hiperkatabolisme

ec. Wound-healing ec. Wound-healing ec. Wound-healing process + infeksi process + infeksi process + infeksi & inflamasi yg & inflamasi yg & inflamasi yg

ditandai

adanya ditandai

adanya ditandai loss

adanya

wasting, loss of weight

& wasting, loss of subcutaneous fat, leukositosis &

subcutaneous fat, hipoalbuminemia & hipoalbuminemia *Gangguan keseimbangan

hipoalbuminemia

*Resiko gangguan elektrolit ec. Fistel *Dehidrasi sedang keseimbangan elektrolit ec. Fistel enterokutaneus enterokutaneus *Gangguan keseimbangan elektrolit ec. Fistel enterokutaneus *Risiko refeeding syndrome Status gastrointestinal Fungsional + fistel Fungsional + fistel Fungsional enterokutaneus high-output enterokutaneus low-output menurun + fistel enterokutaneus high-output

Pada tabel tersebut diatas diketahui bahwa secara umum, kondisi terburuk ditemukan pada pasien ketiga, dimana selain hiperkatabolisme yang juga dialami pada dua pasien lainnya, pasien ini juga mengalami dehidrasi dan hipokalemia yang perlu dikoreksi terlebih dahulu sebelum nutrisi yang adekuat dapat diberikan secara bertahap. Dehidrasi dapat dilihat dari tanda klinis berupa buruknya turgor, kulit kering dan keluhan haus yang dirasakan serta volume urin yang sangat sedikit maka dapat disimpulkan pasien menderita dehidrasi sedang dengan persentase kehilangan cairan berkisar antara 5 10%. Namun kadar natrium yang berada dalam kisaran normal menunjukkan jenis dehidrasi pada pasien ini adalah dehidrasi isotonis. Penilaian serum osmolalitas dengan mempertimbangkan nilai BUN dan glukosa darah dapat secara lebih akurat menilai osmolalitas serum. Adanya dehidrasi sedang pada pasien ini disertai dengan gangguan keseimbangan elektrolit yaitu hipokalemia.

Ketidakseimbangan ini merupakan temuan yang khas ditemukan pada pasien fistula enterokutaneus yang terletak pada daerah ileum tempat sebagian besar absorbsi
6

elektrolit terjadi. Adanya fistula kemudian akan terus menjadi penyulit terapi hipokalemia atau gangguan elektrolit lainnya selama masalah tersebut masih ada. Hipokalemia sendiri kemudian menyebabkan gangguan peristaltik usus sehingga sekresi lambung yang kisaran normalnya 3500 cc dalam 24 jam akan terhambat pengalirannya. Statisnya asam lambung yang juga disertai peningkatan produksi akibat faktor stress menjadi pemicu terjadinya stress ulcer, sehingga pada pasien kritis seharusnya mendapatkan profilaksis berupa sukralfat. Stress ulcer yang menyebabkan perdarahan lambung yang dengan cepat akan menyebabkan penurunan hemoglobin. Hal ini dapat dibuktikan dari nilai MCV dan MCHC pasien yang menunjukkan normositik normokrom, suatu pertanda adanya perdarahan atau penyakit kronis. Anemia pada akhirnya akan menyebabkan gangguan perfusi akibat distribusi O2 ke jaringan akan terhambat sehingga metabolisme makronutrien juga akan terganggu. Adanya hipoalbuminemia memberikan masalah lain pasien ini. Pengangkutan nutrisi dan obat ke jaringan akan terganggu. Peristaltik yang melemah sebagai akibat hipokalemia menjadi kontraindikasi bagi terapi enteral. Lambung yang secara normal akan terus mengeluarkan asam lambung akan menjadi lebih parah, oleh karena tidak adanya makanan yang menetralisir asam lambung. Sebuah kondisi dilematis dalam penatalaksanaan nutrisi. Namun peristaltik yang menurun merupakan tanda gangguan fungsi saluran cerna. Adanya cairan yang keluar melalui fistel yang pada pasien ini sulit dievaluasi oleh karena tidak ditampung seharusnya diatasi dengan mengistirahatkan saluran cerna (bowel rest). Sehingga penggunaan obat prokinetik yang memacu motilitas akan bertentangan dengan salah satu terapi fistel yaitu penggunaan obat antimotilitas yang bertujuan untuk memperpanjang transit time sehingga proses absorbsi akan berlangsung lebih lama. Status gizi pasien yang berisiko memburuk, terlebih pada pasien pertama dan ketiga yang terdiagnosis mengalami gizi buruk saat masuk rumah sakit, merupakan prioritas terapi berikutnya setelah penyulit yang ada teratasi. Hal ini dilakukan dengan mencegah berlanjutnya proses hiperkatabolisme, yang ditandai adanya wasting pada kedua lengan dan kaki, edema pitting pada kedua tungkai (pretibial dan dorsum pedis) dan hilangnya lemak sub kutan. Kondisi ini disertai oleh adanya bukti inflamasi akibat infeksi (lekositosis) yang disertai dengan hipoalbuminemia. Adanya hipoalbuminemia menjelaskan terjadinya peningkatan permeabilitas pembuluh darah
7

sebagai akibat sehingga menyebabkan albumin dapat keluar dan mengakibatkan penurunan tekanan onkotik plasma hingga terjadilah edema. Hal ini terjadi dipicu oleh adanya luka pasca operasi dengan penyembuhan yang tidak baik (wound dehisensi) akibat perawatan luka dan kemungkinan prosedur operasi yang kurang baik disertai dengan status gizi yang kurang baik saat operasi dilakukan. Proses penyembuhan luka dan infeksi menyebabkan meningkatnya kebutuhan tubuh akan protein fase aktif, dan merupakan faktor stress yang tinggi bagi tubuh sehingga menyebabkan tubuh mengeluarkan hormon katabolik seperti glukagon dan kortisol.

Penatalaksanaan terapi gizi Berdasarkan keterangan di atas, maka intervensi gizi yang diberikan pada ketiga pasien tersebut diatas adalah: Pasien 1 Terapi gizi - Diet residu Pasien 2 Pasien 3 KEB= 1318.2 kkal kkal

KEB= 1169.3 kkal KEB= 1261 kkal 2000 kkal 2100 (diberikan bertahap) :

rendah KET= 1964.4 kkal KET= 2118.5 kkal KET= 2214.5 kkal kkal 2200 (diberikan bertahap): stabilisasi:

- Input = fistel (diberikan output + urine bertahap) : + IWL

Prot. 2 g/kg = 70 g Prot. 2 g/kg = 112 Fase

(14%); KH 59%; g (20%); KH 55%; 80-100% KEB Lemak 25% Lemak 25% Fase transisi: KET Fase rehabilitasi:

2xKEB Jalur nutrisi Oral Oral NPO Gut 25cc/jam PN : PN : : D5% PN : : Clinimix 1000 feeding

Aminofluid 1000 RL cc/ 24 jam

Kalbamin = 400 : cc/24 jam + RL 300 : 300 28 1000cc + Cernevit 1 amp./24 jam

tts/mnt

Pola pemberian terapi gizi diberikan setelah stabilisasi akut pasien dari sejumlah kondisi metabolik, dalam hal ini dehidrasi dan gangguan keseimbangan elektrolit, yang ditemukan utamanya pada pasien ketiga, serta kemungkinan jatuhnya seluruh pasien ke kondisi sepsis. Karena jenis dehidrasi yang terjadi pada pasien ketiga adalah isotonis maka jenis cairan yang digunakan adalah RL. Selain cairan tersebut NaCl 0,45% dikombinasi dengan D5% dapat digunakan. Proses resusitasi dilakukan dengan memberikan dosis untuk koreksi pada delapan jam pertama ditambah dengan dosis rumatan. Selanjutnya sisa cairan diberikan pada 16 jam berikutnya. Meskipun demikian, proses resusitasi tak mutlak berdasarkan perhitungan tersebut namun dengan mempertimbangkan klinis pasien, status hemodinamik, serta produksi urin/jam. Dalam kepustakaan terdapat banyak referensi, namun untuk pasien ini digunakan produksi urin 0,5 cc/kgBB/jam sebagai target pencapaian. Setelah status hidrasi terkoreksi, maka pemberian nutrisi dapat dilakukan. Adanya anemia merupakan indikasi untuk mengurangi asupan energi total agar tidak membebani fungsi organ dan proses metabolisme. Dukungan nutrisi diberikan dengan melalui parenteral, diutamakan pada vena sentral untuk memberi keleluasaan dalam pemenuhan energi. Keputusan penghentian dukungan nutrisi oral/enteral didasarkan pada menurunnya fungsi saluran cerna dan upaya untuk melakukan bowel rest. Hipokalemia yang menyebabkan terjadinya gangguan motilitas saluran cerna menjadi prioritas kedua penanganan nutrisi. Koreksi hipokalemia dilakukan melalui intravena oleh karena diperlukan untuk dapat segera menaikkan kadarnya, namun dengan kecepatan pemberian tidak melebihi 20 mEq/jam. Hipokalemia juga diatasi via oral berupa preparat KCl dengan dosis 1 4 mEq/kgBB/hari maksimal 20 mEq/ hari dalam dosis terbagi (2 4 dosis). Penggunaan makanan kaya akan kalium dapat bermanfaat mengingat rasa dan energi yang terkandung akan memberikan manfaat lain. Gut feeding pada pasien ini ditujukan sebagai upaya untuk menjaga integritas mukosa saluran cerna dan mencegah terjadinya sepsis akibat translokasi bakteri dalam saluran cerna. Besarnya gut feeding disesuaikan dengan protokol penanganan high GRV, yaitu 24 cc/jam berupa diet cair jernih dan dievaluasi setiap 4 jam sampai kemudian dapat dilanjutkan dengan menaikkan volume dan kalori. Besarnya kebutuhan energi pada ketiga pasien dihitung dengan menggunakan rumus Harris Bennedict, dimana bagi pada pasien ketiga yang berusia 17 tahun yang mendekati usia dewasa dirasakan kurang tepat menghitung kebutuhan energi
9

berdasarkan RDA, mengingat besarnya energi yang diberikan dapat meningkatkan terjadinya refeeding syndrome. Penggunaan berat badan ideal berdasarkan persentil ke-50 untuk usia pasien berdasarkan tinggi badannya (height age = 13 tahun) untuk dipakai dalam perhitungan kebutuhan basal sebenarnya kurang tepat oleh karena pada keadaan malnutrisi, target awal pemberian nutrisi seharusnya didasarkan pada berat badan aktual. Namun adanya kendala berupa kesulitan untuk menggendong pasien dalam upaya menimbang berat badan, penggunaan berat badan ideal tak dapat dihindarkan. Untuk mencegah terlalu besarnya energi sebagai target awal, maka pemberian nutrisi dimulai dengan 30% dari kebutuhan basal dan ditingkatkan hingga mencapai 100% kebutuhan terkoreksi sesuai faktor aktifitas dan stress. Sebagai upaya rehabilitasi, target energi yang diberikan adalah dua kali BMR. Untuk mengganti kehilangan otot akibat hiperkatabolisme, maka besarnya protein yang diberikan adalah 2 gram/kgBBI/hari. Atau setara dengan 16% dari komposisi energi total. Pemberiannya dilakukan bertahap dengan terus memonitor fungsi ginjal, dalam hal ini kreatinin, karena pemberian protein dalam jumlah besar dapat membebani fungsi ginjal, meski kondisi ini jarang terjadi pada remaja, yang memang kebutuhan akan protein tinggi. Proses penyembuhan luka juga membutuhkan sejumlah mikronutrien dalam dosis besar dalam hal ini vitamin A dan C yang bermanfaat untuk proses epitelisasi dan sintesis kolagen. Pemberian zinc selain dapat meningkatkan status imun pasien juga bermanfaat bagi penyembuhan luka, mengingat zinc merupakan kofaktor dari sejumlah enzim. Dalam panduan terapi gizi untuk penyembuhan luka dosis vitamin C diberikan dalam jumlah besar 1 2 gram perhari. Namun prioritas pemenuhannya dilakukan bertahap setelah asupan energi terpenuhi. Suplementasi lain yang bermanfaat bagi pencernaan protein dan untuk meningkatkan status imun adalah glutamat. Glutamat menjadi unsur penting yang bermanfaat bagi metabolisme protein. Pada pasien dengan gangguan saluran cerna, pemberian glutamat terbukti dapat meningkatkan sensitifitas reseptor dalam saluran cerna. Hal lain yang menjadi masalah dalam penanganan pasien ini adalah kurang baiknya komunikasi antara dokter yang merawat pasien serta paramedis. Seringkali beberapa instruksi penting yang berhubungan dengan preskripsi nutrisi dan pemantauan terapi tidak dikerjakan oleh paramedis, sehingga target terapi sering tidak tercapai. Selain itu seringkali terjadi pertentangan dalam terapi antara dokter
10

penanggung jawab dari bagian bedah digestif dan gizi klinis. Seperti penggunaan preparat Fe untuk mengatasi anemia yang belum terbukti akibat defisiensi Fe, oleh karena suplementasi yang dilakukan pada kadar TIBC yang rendah yang biasanya juga terjadi pada hipoalbuminemia hanya akan memberikan nutrisi bagi bakteri untuk dapat berkembang. Terapi gizi disertai dengan penanganan medis lainnya dengan komprehensif akan mempercepat penyembuhan pasien.

III. PEMANTAUAN Kecukupan Energi Pasien I

Kecukupan Energi Pasien II

11

Kecukupan Energi Pasien III

Kecukupan Protein pasien I

Kecukupan Protein pasien II

12

Kecukupan Protein pasien III

Wound-healing pasien I

Wound-healing pasien II

13

Wound-healing pasien III

IV. KESIMPULAN Permasalahan yang timbul akibat kejadian fistula enterokutaneus cukup meresahkan, baik dari segi fisiologik, finansial, maupun emosional penderita. Penatalaksanaan yang paling efektif untuk masalah ini sebenarnya adalah pencegahan terjadinya hal ini dengan keputusan dan teknik operasi yang baik. Namun dalam menghadapi meningkatnya kejadian fistel enterokutaneus, identifikasi dan koreksi gangguan metabolik dan sepsis merupakan hal yang sangat menentukan keberhasilan terapi jangka panjang. Perawatan komperhensif lanjutan memerlukan kerjasama tim dari berbagai bidang spesialisasi terkait berbagai tantangan dalam penatalaksanaan pasienpasien dengan fistel enterokutaneus. Penggunaan pendekatan standar untuk mengkontrol sepsis dan output fistula, dilanjutkan dengan dukungan nutrisi yang tepat merupakan kunci penatalaksanaan awal dan stabilisasi pasien.

14

DAFTAR PUSTAKA

Bleier J., Hedrick T., Metabolic Support of the Enterocutaneous Fistula Patient. Clin Colon Rectal Surgery 2010; 23:142-148.

Demling R. Nutrition, Anabolism, and the Wound Healing Process : An Overview. Journal of Plastic Surgery. Vol 9. Feb 2009. Width M, Reinhard T, Nutrition Support, The Clinical Dietitians Essential Pocket Guide, Wolter Kluwer, Lippincott William & Willkins, 2009: 111-139

Alpers DH, Stenson WF, Taylor BE, Bier DM., Manual of Nutritional Therapeutics, Wolter Kluwer, Lippincott Williams and Wilkins, 2008: 77 307 Graber MA, Terapi Cairan, Elektrolit, dan Metabolik, Farmedia, 2003: 25 33 Fauci AS, Braunwald E, Dennis LK, Hauser SL, et.al., Harrisons Manual of Medicine, 17th ed, Mc Graw Hill, 2009: 3 -14

Widmann FK, Tinjauan Klinis atas Hasil Pemeriksaan Laboratorium, Edisi 9, EGC, 1995

Canada T, Crill C, Guenter P., ASPEN Parenteral Nutrition Handbook, Aspen, 2009

Heimburger D, Nutritional Support: General Approach and Complications, Handbook of Clinical Nutrition, 4th Ed, Mosby Elsevier, 2006: 262 277

Gibson RS, Principle of Nutritional Assessment, 2nd Ed, Oxford University Press, 2005:443455 Bozetti F, Meyenfeldt F, ESPEN Nutritional Support in Cancer, 2004: 392 402

Haase H, Rink L., The immune system and the impact of zinc during aging, Immunity & Aging 2009, 6:9

15

Misra T., Gramlich L., Gastrointestinal Fistulas : Nutritional Consideration , Canadian Society of Clinical Nutrition. 2004.

Pritts, T.A., Fischer, D.R., Postoperative Enterocutaneous Fistula, Department of Surgery, University of Cincinnati College of Medicine. 2007.

16

Anda mungkin juga menyukai