Anda di halaman 1dari 49

77 BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Pembangunan kesehatan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional. Tujuan diselenggarakannya pembangunan kesehatan adalah meningkatnya kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan tersebut telah diselenggarakan berbagai upaya kesehatan secara menyeluruh, berjenjang, dan terpadu dengan menempatkan Puskesmas sebagai penanggungjawab penyelenggara upaya kesehatan tingkat pertama. Puskesmas wajib melaksanakan Program Pokok yang bersifat nasional dan program tambahan yang bersifat lokal sesuai dengan permasalahan dan kebutuhan wilayah kerjanya. Fungsi Puskesmas merupakan unit organisasi pelayanan kesehatan terdepan yang mempunyai misi sebagai pusat pengembangan pelayanan kesehatan, yang melaksanakan pembinaan dan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan terpadu untuk masyarakat yang berada di wilayah tersebut (Depkes, 1999). Puskesmas tidak hanya berperan sebagai sarana pelayanan kesehatan yang bersifat menyembuhkan penyakit (kuratif) saja, namun juga melalui pendekatan, pemeliharaan dan peningkatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), dan pemulihan kesehatan

(rehabilitatif) yang diselenggarakan secara menyeluruh terpadu dan berkesinambungan (Depkes, 1999). Mengingat pentingnya peran Puskesmas, maka Puskesmas di tuntut untuk bekerja secara optimal sesuai dengan tugas dan program-program yang sudah ditentukan. Salah satu bentuk pertanggungjawaban dari Puskesmas terhadap penyelenggaraan pelayanan kesehatan adalah mencegah terjadinya penyebaran penyakit menular di wilayah kerjanya.

1.2 Tujuan 1.2.1 Tujuan Umum Mewujudkan masyarakat Indonesia yang sehat 1.2.2 Tujuan Khusus

78 1. Mencegah dan menurunkan terjadinya penularan penyakit. 2. Menurunkan angka kesakitan, kematian dan lain-lain akibat penyakit menular dalam usaha perbaikan dan peningkatan derajat kesehatan masyarakat. 3. Memutuskan mata rantai penularan penyakit melalui tindakan terhadap lingkungan penular (vektor) penyakit dan manusia (imunisasi, pengobatan, penyuluhan dan lain-lain).

79 BAB 2 ANALISA DATA

2.1

Data Geografi a. Batas wilayah kerja Puskesmas Gandusari Utara Timur Selatan Barat : Kecamatan Karangan : Wilayah kerja Puskesmas Karanganyar : Kecamatan Kampak : Kecamatan Kampak

b. Wilayah kerja Puskesmas Gandusari meliputi : Desa Penduduk RW RT Posyandu : 6 desa : 29 dukuh : 80 RW : 217 RT : 34 posyandu

c. Luas wilayah kerja Puskesmas Gandusari 31.53 km2 yang terdiri dari 70% daerah dataran rendah dan 30% dataran tinggi. 2.2. Data Demografi Jumlah penduduk wilayah Puskesmas Gandusari pada tahun 2011 sebanyak 30.678 jiwa yang terbagi laki-laki sebanyak 15.026 jiwa dan perempuan sebanyak 15.652 jiwa. Secara rinci jumlah penduduk perdesa dan menurut golongan umur dapat diuraikan sebagai berikut :

80 Tabel 2.1 Distribusi Jumlah penduduk perdesa tahun 2011 DESA GANDUSARI LAKI-LAKI 3,153 2,038 1,423 2,263 4,031 2,118 15,026 PEREM PUAN 3,285 2,123 1,482 2,357 4,199 2,206 15,652 JMLH PENDDK 6,438 4,161 2,905 4,620 8,230 4,324 30,678

NGRAYUNG JAJAR WONOREJO SUKOREJO WONOANTI JUMLAH

81

82 BAB 3 JENIS PROGRAM

Kegiatan program pencegahan dan pemberantasan penyakit menular Puskesmas Gandusari tahun 2011 adalah sebagai berikut :

3.1. Program Imunisasi Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak ia terpajan pada antigen yang serupa tidak terjadi penyakit (Siregar & Matondang, 2005). Program imuniasi merupakan sebuah keberhasilan dalam mencegah penyakit infeksi, hal ini terbukti dari menurunnya insiden penyakit menular di Amerika Serikat dan negara lain sejak pertengahan abad ke-20. Di Indonesia sejak tahun 1990, cakupan imunisasi dasar atau yang disebut dengan Universal Child Immunization (UCI) telah mencapai lebih dari 90% (Ranuh, 2005). Tanpa imunisasi kira kira 3 dari 100 kelahiran anak akan meninggal karena penyaki campak. 2 dari 100 kelahiran anak akan meninggal karena penyakit batuk rejan. 1 dari 100 kelahiran anak akanmeninggal karena penyakit tetanus. Dan dari setip 200.000 anak, 1 akan menderita penyakit polio.imunisasi akan dilakukan dengan memberikan vaksin tertentu akan melindungi anak terhadap penyakit penyakit tertentu. Walau pun pada saat ini fasilitas pelayanan untuk vaksinasi ini telah tersedia dimasyarakat, tetapi tidak semua bayi telah di bawa untuk mendapatkan imunisasi yang lengkap (UNICEF, 2007). Program imunisasi di Puskesmas Gandusari dibagi 2 yaitu statis (di dalam gedung), bersamaan dengan KIA dan dinamis (di luar gedung), bersamaan dengan posyandu. Sasaran bayi umur 0-11 bulan, ibu hamil, calon pengantin wanita, murid SD kelas I s/d kelas III. Tujuan imunisasi adalah untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseorang dan menghilangkan penyakit tertentu dari dunia seperti pada imunisasi cacar. Keadaan yang terakhir ini lebih mungkin terjadi pada jenis penyakit yang hanya dapat ditularkan melalui manusia, seperti misalnya penyakit difteri (Siregar & Martondang, 2005).

83

3.1.1. BCG Imunisasi BCG diberikan pada umur sebelum 2 bulan. Pada dasarnya, untuk mencapai cakupan yang lebih luas, pedoman Depkes perihal imunisasi BCG pada umur antara 0-12 bulan tetap disetujui. Dosis untuk bayi kurang dari 1 tahun adalah 0.05 ml dan untuk anak 0.1 ml, diberikan secara intrakutan di daerah insersio M. deltoideus kanan. 3.1.2. Hepatitis B Program vaksinasi Hep B segera setelah lahir perlu lebih digalakkan mengingat vaksinasi ini merupakan upaya yang sangat efektif untuk memutuskan rantai transmisi maternal dari ibu kepada bayinya. 1. Hep B-1 diberikan sedini mungkin setelah lahir, mengingat paling tidak 3.9% ibu hamil merupakan pengidap hepatitis dengan risiko transmisi maternal 45 %. Dosis 0.5ml secara i.m. 2. Hep B-2 diberikan dengan interval 4 minggu dari hep B-1 (saat bayi berumur 1 bulan) dengan dosis 0.5 ml secara i.m 3. Hep B-3 diberikan dengan interval minimal 2 bulan, terbaik 5 bulan. Maka hep B-3 diberikan 2-5 buln setelah hep B-2, yaitu umur 3-6 bulan dengan dosis 0.5 ml secara i.m. 3.1.3. Polio Polio-0 diberikan saat bayi baru lahir, karena Indonesia merupakan daerah endemis polio. Untuk imunisasi dasar (polio 2,3,4) interval di antaranya tidak kurang dari 4 minggu, yaitu pada usia 2,4,6 bulan dengan dosis 2 tetes. 3.1.4. DPT Diberikan sebanyak 3 kali pada bayi usia 2 11 bulan dengan selang waktu 3 bulan. Reaksi normal adalah anak panas selama 1 2 hari setelah imunisasi. 3.1.5. Campak Vaksin campak dianjurkan diberikan dalam satu dosis 0.5 ml secara subkutan dalam pada umur 9 bulan. Efek samping berupa panas 1 minggu setelah penyuntikan, timbul bintik-bintik merah seperti campak 1 minggu

84 setelah penyuntikan. Dianjurkan pemberian imunisasi campak ulangan pada saat masuk sekolah dasar atau usia 5-6 tahun (Hadinegoro, 2005).

3.2. Pemberantasan Penyakit yang Ditularkan Binatang 3.2.1. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) Infeksi virus dengue tergantung dari faktor yang mempengaruhi daya tahan tubuh dengan faktor-faktor yang mempengaruhi virulensi virus. Dengan demikian infeksi virus dengue dapat menyebabkan keadaan yang bermacam-macam, mulai dari tanpa gejala (asimtomatik), demam ringan yang tidak spesifik (undifferentiated febrile illness), Demam Dengue, atau bentuk yang lebih berat yaitu Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Sindrom Syok Dengue (SSD). Bentuk klasik dari DBD ditandai dengan demam tinggi, mendadak 2-7 hari, disertai dengan muka kemerahan. Keluhan seperti anoreksia, sakit kepala, nyeri otot, tulang, sendi, mual, dan muntah sering ditemukan. Beberapa penderita mengeluh nyeri menelan dengan farings hiperemis ditemukan pada pemeriksaan, namun jarang ditemukan batuk pilek. Biasanya ditemukan juga nyeri perut dirasakan di epigastrium dan dibawah tulang iga. Demam tinggi dapat menimbulkan kejang demam terutama pada bayi. Bentuk perdarahan yang paling sering adalah uji tourniquet (Rumple leede) positif, kulit mudah memar dan perdarahan pada bekas suntikan intravena atau pada bekas pengambilan darah. Kebanyakan kasus, petekia halus ditemukan tersebar di daerah ekstremitas, aksila, wajah, dan palatumole, yang biasanya ditemukan pada fase awal dari demam. Epistaksis dan perdarahan gusi lebih jarang ditemukan, perdarahan saluran cerna ringan dapat ditemukan pada fase demam. Hati biasanya membesar dengan variasi dari just palpable sampai 2-4 cm di bawah arcus costae kanan. Sekalipun pembesaran hati tidak berhubungan dengan berat ringannya penyakit namun pembesaran hati lebih sering ditemukan pada penderita dengan syok. Masa kritis dari penyakit terjadi pada akhir fase demam, pada saat ini terjadi penurunan suhu yang tiba-tiba yang sering disertai dengan gangguan sirkulasi yang bervariasi dalam berat-ringannya. Pada kasus dengan gangguan sirkulasi ringan perubahan yang terjadi minimal dan sementara, pada kasus berat penderita dapat mengalami syok.

85 Trombositopeni dan hemokonsentrasi merupakan kelainan yang selalu ditemukan pada DBD. Penurunan jumlah trombosit < 100.000/pl biasa ditemukan pada hari ke-3 sampai ke-8 sakit, sering terjadi sebelum atau bersamaan dengan perubahan nilai hematokrit. Hemokonsentrasi yang disebabkan oleh kebocoran plasma dinilai dari peningkatan nilai hematokrit. Penurunan nilai trombosit yang disertai atau segera disusul dengan peningkatan -nilai hematokrit sangat unik untuk DBD, kedua hal tersebut biasanya terjadi pada saat suhu turun atau sebelum syok terjadi. Perlu diketahui bahwa nilai hematokrit dapat dipengaruhi oleh pemberian cairan atau oleh perdarahan. Jumlah leukosit bisa menurun (leukopenia) atau leukositosis, limfositosis relatif dengan limfosit atipik sering ditemukan pada saat sebelum suhu turun atau syok.

Definisi kasus DD/DBD A. Secara Laboratoris 1. Presumtif Positif (Kemungkinan Demam Dengue) Apabila ditemukan demam akut disertai dua atau lebih manifestasi klinis berikut; nyeri kepala, nyeri belakang mata, miagia, artralgia, ruam, manifestasi perdarahan, leukopenia, uji HI >_ 1.280 dan atau IgM anti dengue positif, atau pasien berasal dari daerah yang pada saat yang sama ditemukan kasus confirmed dengue infection. 2. Corfirmed DBD (Pasti DBD) Kasus dengan konfirmasi laboratorium sebagai berikut deteksi antigen dengue, peningkatan titer antibodi > 4 kali pada pasangan serum akut dan serum konvalesens, dan atau isolasi virus.

B. Secara Minis Kasus DBD 1. Demam akut 2-7 hari, bersifat bifasik. 2. Manifestasi perdarahan yang biasanya berupa uji tourniquet positif petekia, ekimosis, atau purpura Perdarahan mukosa, saluran cerna, dan tempat bekas suntikan Hematemesis atau melena

86 3. Trombositopenia < 100.00/pl 4. Kebocoran plasma yang ditandai dengan Peningkatan nilai hematrokrit >_ 20 % dari nilai baku sesuai umur dan jenis kelamin. Penurunan nilai hematokrit >_ 20 % setelah pemberian cairan yang adekuat Nilai Ht normal diasumsikan sesuai nilai setelah pemberian cairan. Efusi pleura, asites, hipoproteinemi

Sindroma Syok Dengue Definisi kasus DBD ditambah gangguan sirkulasi yang ditandai dengan : Nadi cepat, lemah, tekanan nadi < 20 mmHg, perfusi perifer menurun Hipotensi, kulit dingin-lembab, dan anak tampak gelisah

Penatalaksanaan DBD Penatalaksanaan DBD pada dasarnya bersifat suportif, yaitu mengatasi kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan sebagai akibat perdarahan. Pasien DD dapat berobat jalan sedangkan pasien DBD dirawat di ruang perawatan biasa. Tetapi pada kasus DBD dengan komplikasi diperlukan perawatan intensif. Untuk dapat merawat pasien DBD dengan baik, diperlukan dokter danperawat yang terampil, sarana laboratorium yang memadai, cairan kristaloid dankoloid, serta bank darah yang senantiasa siap bila diperlukan. Diagnosis dini danmemberikan nasehat untuk segera dirawat bila terdapat tanda syok, merupakan hal yang penting untuk mengurangi angka kematian. Di pihak lain, perjalanan penyakit DBD sulit diramalkan. Pasien yang pada waktu masuk keadaan umumnya tampak baik, dalam waktu singkat dapat memburuk dantidak tertolong. Kunci keberhasilan tatalaksana DBD/SSD terletak pada ketrampilan para dokter untuk dapat mengatasi masa peralihan dari fase demam ke fase penurunan suhu (fase kritis, fase syok) dengan baik. Cairan yang dipakai dapat berupa kristaloid seperti D5 Normal Saline, Ringer Laktat, D5 Ringer Laktat, D5 Ringer Asetat dan koloid yang mempunyai berat molekul yang tinggi seperti Plasma, Plasma pengganti (Dextran, Haess dll).

87 Perbedaan patofisilogik utama antara DD/DBD/SSD danpenyakit lain adalah adanya peningkatan permeabilitas kapiler yang menyebabkan perembesan plasma dangangguan hemostasis. Gambaran klinis DBD/SSD sangat khas yaitu demam tinggi mendadak, diastesis hemoragik, hepatomegali, dan kegagalan sirkulasi. Maka keberhasilan tatalaksana DBD terletak pada bagian mendeteksi secara dini fase kritis yaitu saat suhu turun (the time of defervescence) yang merupakan fase awal terjadinya kegagalan sirkulasi, dengan melakukan observasi klinis disertai pemantauan perembesan plasma dan gangguan hemostasis. Prognosis DBD terletak pada pengenalan awal terjadinya perembesan plasma, yang dapat diketahui dari peningkatan kadar hematokrit. Fase kritis pada umumnya mulai terjadi pada hari ketiga sakit. Penurunan jumlah trombosit sampai <100.000/pl atau kurang dari 1-2 trombosit/ Ipb (rata-rata dihitung pada 10 Ipb) terjadi sebelum peningkatan hematokrit dan sebelum terjadi penurunan suhu. Peningkatan hematokrit 20% atau lebih mencermikan perembesan plasma dan merupakan indikasi untuk pemberian caiaran. Larutan garam isotonik atau ringer laktat sebagai cairan awal pengganti volume plasma dapat diberikan sesuai dengan berat ringan penyakit. Perhatian khusus pada asus dengan peningkatan hematokrit yang terus menerus dan penurunan jumlah trombosit < 50.000/41. Secara umum pasien DBD derajat I danII dapat dirawat di Puskesmas, rumah sakit kelas D, C dan pada ruang rawat sehari di rumah sakit kelas B dan A.

Pemberantasan DBD Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan dan penyebaran kasus DBD sangat kompleks, yaitu (1) Pertumbuhan penduduk yang tinggi, (2) Urbanisasi yang tidak terencana & tidak terkendali, (3) Tidak adanya control vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis, dan (4) Peningkatan sarana transportasi. Morbiditas dan mortalitas infeksi virus dengue dipengaruhi berbagai factor antara lain status imunitas pejamu, kepadatan vektor nyamuk, transmisi virus dengue, keganasan (virulensi) virus dengue, dan kondisi geografis setempat. Prinsip dasar pemberantasan DBD yaitu memutuskan rantai penularan DBD, yaitu terhadap penderita, nyamuk dan orang yang peka. Tujuan umum menurunkan angka kesakitan dan kematian karena DBD, serta mencegah/membatasi KLB atau wabah. Tujuan khususn menurunkan insiden DBD non endemis < 10/100.000, di daerah endemis kurang dari 30/100.000 penduduk, menurunkan kematian < 2 %, meningkatkan angka bebas jentik (ABJ) 95 %, mencegah atau membatasi KLB atau wabah.

88

Pencegahan penyakit DBD sangat tergantung pada pengendalian vektornya, yaitu nyamuk Aedes aegypti. Pengendalian nyamuk tersebut dapat dilakukan dengan

menggunakan beberapa metode yang tepat, yaitu :

Lingkungan Metode lingkungan untuk mengendalikan nyamuk tersebut antara lain dengan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), pengelolaan sampah padat, modifikasi tempat perkembangbiakan nyamuk hasil samping kegiatan manusia, dan perbaikan desain rumah. Sebagai contoh: o Menguras bak mandi/penampungan air sekurang-kurangnya sekali seminggu. o Mengganti/menguras vas bunga dan tempat minum burung seminggu sekali. o Menutup dengan rapat tempat penampungan air. o Mengubur kaleng-kaleng bekas, aki bekas dan ban bekas di sekitar rumah dan lain sebagainya.

Biologis Pengendalian biologis antara lain dengan menggunakan ikan pemakan jentik, dan bakteri

Kimiawi Cara pengendalian ini antara lain dengan pengasapan/fogging (dengan menggunakan malathion dan fenthion), berguna untuk mengurangi kemungkinan penularan sampai batas waktu tertentu. Memberikan bubuk abate(temephos) pada tempat-tempat penampungan air seperti, gentong air, vas bunga, kolam, dan lain-lain. Cara yang paling efektif dalam mencegah penyakit DBD adalah dengan

mengkombinasikan cara-cara di atas, yang disebut dengan 3M Plus, yaitu menutup, menguras,menimbun. Selain itu juga melakukan beberapa plus seperti memelihara ikan pemakan jentik,menabur larvasida, menggunakan kelambu pada waktu tidur, memasang kasa, menyemprotdengan insektisida, menggunakan repellent, memasang obat nyamuk, memeriksa jentik berkala,dll sesuai dengan kondisi setempat.

89 Penanggulangan lain dilakukan di desa/kelurahan rawan, oleh petugas kesehatan dan masyarakat untuk mencegah KLB dan membatasi penyebaran penyakit ke tempat lain. Jenis kegiatan disesuaikan dengan stratifikasi daerah rawan sebagai berikut: 1. Desa/kelurahan rawan I (endemis) : 3 tahun berturt-turut ada kasus a. Penyemprotan massal oleh petugas kesehatan sebanyak 2 siklus dengan interval 1 minggu, sebelum musim penularan di sebagian atau di seluruh wilayah desa. b. Pemeriksaan jentik berkala (PJB) di rumah dan tempat-tempat umum c. Penyuluhan kepada masyarakat 2. Desa/kelurahan rawan II (sporadis) : 3 tahun terakhir ada kasus tapi tidak setiap tahun. a. Pemeriksaan jentik berkala di rumah dan tempat-tempat umum b. Penyuluhan kepada masyarakat 3. Desa/kelurahan rawan III (potensial) : 3 tahun terakhir tidak pernah ada kasus, penduduknya padat, tarnsportasi yang ramai dengan wilayah lain yang angka bebas jentiknya < 95 % a. Pemeriksaan jentik berkala di tempat-tempat umum b. Penyuluhan kepada masyarakat

Penyuluhan kepada masyarakat dilakukan agar masyarakat berpartisipasi aktif dalam pencegahan dan pemberantasan penyakit DBD. 1. Oleh petugas/pejabat kesehatan, sektor lain, masyarakat yang mempunyai pengetahuan tentang DBD di berbagai kesempatan 2. Melaui berbagai jalur informasi dan komunikasi kepada masyarakat 3. Secara intensif sebelum musim penularan penyakit DBD terutama di daerah rawan.

3.2.2 Pemberantasan penyakit (P2) Malaria Penyakit malaria sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia. Di Jawa Timur angka kesakitannya cukup tinggi serta menimbulkan kerugian social ekonomi bagi masyarakat. Masalah yang dihadapi dalam pengobatan malaria yaitu adanya

90 penyulit-penyulit yang ditemukan (malaria berat) dan adanya kekebalan parasit malaria terhadap obat malaria seperti chloroquine (Tjokroprawiro, 2007). Penyakit malaria adalah penyakit menular yang menyerang dalam bentuk infeksi akut ataupuan kronis. Penyakit ini disebabkan oleh protozoa genus plasmodium bentuk aseksual, yang masuk ke dalam tubuh manusia dan ditularkan oleh nyamuk Anhopeles betina. Istilah malaria diambil dari dua kata bahasa italia yaitu mal = buruk dan area = udara atau udara buruk karena dahulu banyak terdapat di daerah rawa rawa yang mengeluarkan bau busuk. Penyakit ini juga mempunyai nama lain seperti demam roma, demam rawa, demam tropik, demam pantai, demam charges, demam kura dan paludisme ( Prabowo, 2004 ). Malaria disebabkan oleh protozoa darah yang termasuk ke dalam genus Plasmodium. Plasmodium ini merupakan protozoa obligat intraseluler. Pada manusia terdapat 4 spesies yaitu Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium malariae dan Plasmodium ovale. Penularan pada manusia dilakukan oleh nyamuk betina Anopheles ataupun ditularkan langsung melalui transfusidarah atau jarum suntik yang tercemar serta dari ibu hamil kepada janinnya. (Harijanto P.N.2000) Malaria vivax disebabkan oleh P. vivax yang juga disebut juga sebagai malaria tertiana. P. malariae merupakan penyebab malaria malariae atau malaria kuartana. P. ovale merupakan penyebab malaria ovale, sedangkan P. falciparum menyebabkan malaria falsiparum atau malaria tropika. Spesies terakhir ini paling berbahaya, karena malaria yang ditimbulkannya dapat menjadi berat sebab dalam waktu singkat dapat menyerang eritrosit dalam jumlah besar, sehingga menimbulkan berbagai komplikasi di dalam organ-organ tubuh. (Harijanto P.N.2000) Siklus hidup Plasmodium malaria terdiri dari fase seksual eksogen (sporogoni) dalam tubuh nyamuk Anopheles dan fase aseksual (skizogoni) dalam tubuh hospes vertebra termasuk manusia. a. Fase aseksual Terbagi atas fase jaringan dan fase eritrosit. Pada fase jaringan, sporozoit masuk dalam aliran darah ke sel hati dan berkembang biak membentuk skizon hati yang mengandung ribuan merozoit. Proses ini disebut skizogoni pre-eritrosit. Lama fase ini berbeda untuk tiap fase. Pada akhir fase ini,

91 skizon pecah dan merozoit keluar dan measuk aliran darah (sporulasi). Pada P.vivax dan P.ovale sebagian sporozoit membentuk hipnozoit dalam hati sehingga dapat mengakibatkan relaps jangka panjang dan rekuren. Fase eritrosit dimulai dan merozoit dalam darah menyerang eritrosit membentuk trofozoit. Proses berlanjut menjadi trofozoit-skizon-merozoit. Setelah 2-3 generasi merozoit dibentuk, sebagian merozoit berubah menjadi bentuk seksual. Masa antara permulaan infeksi sampai ditemukannya parasit dalam darah tepi adalah masa prepaten, sedangkan masa inkubasi intrinsic dimulai dari masuknya sporozoit dalam badan hospes sampai timbulnya gejala klinis demam. b. Fase seksual Parasit seksual masuk dalam lambung nyamuk betina. Bentuk ini mengalami pematangan menjadi mikro dan makrogametosit dan terjadilah pembuahan yang disebut zigot (ookinet). Ookinet kemudian menembus dinding lambung nyamuk dan menjadi ookista. Bila ookista pecah, ribuan sporozoit dilepaskan dan mencapai kelenjar liur nyamuk (Mansjoer dkk, 2009).

Patogenesis malaria ada 2 cara : 1. Alami, melalui gigitan nyamuk ke tubuh manusia. 2. Indksi, jika stadium aseksual dalam eritrosit masuk ke dalam darah manusia melalui transfuse, suntikan, atau pada bayi baru lahir melalui plasenta ibu yang terinfeksi/congenital (Mansjoer dkk, 2009).

Malaria sebagai penyebab infeksi yang disebabkan oleh Plasmodium mempunyai gejala utama yaitu demam. Demam yang terjadi diduga berhubungan dengan proses skizogoni (pecahnya merozoit atau skizon), pengaruh GPI (Glycosyl

Phosphatidylinositol) atau terbentuknya sitokin atau toksin lainnya. Pada beberapa penderita, demam tidak terjadi (misalnya pada daerah hiperendemik) banyak orang dengan parasitemia tanpa gejala. Gambaran karakteristik dari malaria ialah demam periodic, anemia dan splenomegali. (Mansjoer A dkk, 2009).

92 Manifestasi umum malaria adalah sebagai berikut: 1. Masa inkubasi Masa inkubasi biasanya berlangsung 8-37 hari tergantung dari spesies parasit (terpendek untuk P. falciparum dan terpanjanga untuk P. malariae), beratnya infeksi dan pada pengobatan sebelumnya atau pada derajat resistensi hospes. Selain itu juga cara infeksi yang mungkin disebabkan gigitan nyamuk atau secara induksi (misalnya transfuse darah yang mengandung stadium aseksual). (Harijanto P.N, 2000). 2. Keluhan-keluhan prodromal Keluhan-keluhan prodromal dapat terjadi sebelum terjadinya demam, berupa: malaise, lesu, sakit kepala, sakit tulang belakang, nyeri pada tulang dan otot, anoreksia, perut tidak enak, diare ringan dan kadang-kadang merasa dingin di punggung. Keluhan prodromal sering terjadi pada P. vivax dan P. ovale, sedangkan P. falciparum dan P. malariae keluhan prodromal tidak jelas. (Harijanto P.N, 2000). 3. Gejala-gejala umum Gejala-gejala klasik umum yaitu terjadinya trias malaria (Malaria proxym) secara berurutan: a. Periode dingin Dimulai dengan menggigil, kulit dingin, dan kering, penderita sering membungkus dirinya dengan selimut atau sarung pada saat menggigil, sering seluruh badan gemetar, pucat sampai sianosis seperti orang kedinginan. Periode ini berlangsung antara 15 menit sampai 1 jam diikuti dengan meningkatnya temperature. (Mansjoer A dkk, 2009) b. Periode panas Wajah penderita terlihat merah, kulit panas dan kering, nadi cepat dan panas tubuh tetap tinggi, dapat sampai 40o C atau lebih, penderita membuka selimutnya, respirasi meningkat, nyeri kepala, nyeri retroorbital, muntah- muntah dan dapat terjadi syok. Periode ini berlangsung lebih lama dari fase dingin dapat sampai 2 jam atau lebih, diikuti dengan keadaan berkeringat. (Harijanto P.N, 2006) c. Periode berkeringat

93 Penderita berkeringan mulai dari temporal, diikuti seluruh tubuh, penderita merasa capek dan sering tertidur. Bila penderita bangun akan merasa sehat dan dapat melakukan pekerjaan biasa. (Harijanto P.N, 2006)

Anemia merupakan gejala yang sering ditemui pada infeksi malaria, dan lebih sering ditemukan pada daerah endemik. Kelainan pada limpa akan terjadi setelah 3 hari dari serangan akut dimana limpa akan membengkak, nyeri dan hiperemis. (Harijanto P.N, 2006) Hampir semua kematian akibat malaria disebabkan oleh P. falciparum. Pada infeksi P. falciparum dapat menimbulkan malaria berat dengan komplikasi umumnya digolongkan sebagai malaria berat yang menurut WHO didefinisikan sebagai infeksi P. falciparum stadium aseksual dengan satu atau lebih komplikasi sebagai berikut (Tjokroprawiro, 2007): a. Malaria serebral, derajat kesadaran berdasarkan GCS kurang dari 11. b. Anemia berat (Hb<5 gr% atau hematokrit <15%) pada keadaan hitung parasit >10.000/l. c. Gagal ginjal akut (urin kurang dari 400ml/24jam pada orang dewasa atau <12 ml/kgBB pada anak-anak setelah dilakukan rehidrasi, diserta kelainan kreatinin >3mg%. d. Edema paru. e. Hipoglikemia: gula darah <40 mg%. f. Gagal sirkulasi/syok: tekanan sistolik <70 mmHg disertai keringat dingin atau perbedaan temperature kulit-mukosa >1oC. g. Perdarahan spontan dari hidung, gusi, saluran cerna dan atau disertai kelainan laboratorik adanya gangguan koagulasi intravaskuler. h. Kejang berulang lebih dari 2 kali/24jam setelah pendinginan pada hipertermis. i. Asidosis (plasma bikarbonat <15mmol/L). j. Makroskopik hemaglobinuri oleh karena infeksi malaria akut bukan karena obat antimalaria pada kekurangan Glukosa 6 Phospat Dehidrogenase (Black Water Fever). k. Diagnosa post-mortem dengan ditemukannya parasit yang padat pada pembuluh kapiler jaringan otak.

94 Diagnosis malaria ditegakkan seperti diagnosis penyakit lainnya berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. Diagnosis pasti infeksi malaria ditegakkan dengan pemeriksaan sediaan darah secara mikroskopik, yaitu dengan tetes tebal untuk mengetahui ada tidaknya Plasmodium,dan tetes tipis untuk identifikasi spesies

Plasmodium/tingkat parasitemia.

Penatalaksanaan Malaria : I. Medikamentosa A. Pengobatan Malaria Falciparum a. Lini Pertama H1 H2-3 : Artesunat, Amodiakuin, Primaquin : Artesunat, Amodiakuin basa 10mg/kgbb/hr, Artesunat 4mg/kgbb/hr, Primakuin

*Amodiakuin

0,75mg/kgbb/hr *Primakuin tidak boleh diberikan pada ibu hamil, bayi<1 tahun, penderita defisiensi G6-PD. b. Lini Kedua H1 : Kina, Doksisiklin/Tetrasiklin, Primakuin

H2-7 : Kina, Doksisiklin/Tetrasiklin *Doksisiklin 10mg/kgbb/hr, Tetrasiklin 4x250mg/hr *Doksisiklin/Tetrasiklin tidak diberikan pada ibu hamil dan anak<8 tahun. B. Pengobatan Malaria Vivax dan Ovale a. Lini Pertama H1-3 : Artesunat, Amodiakuin H1-14 : Primakuin *Primakuin 0,25mg/kgbb/hr b. Lini Kedua H1-7 : Kina H1-14 : Primakuin c. Relaps Pengobatan sama dengan Malaria Vivax, hanya dosis primakuin 0,5mg/kgbb/hr.

95 d. Pengobatan Malaria Mix (Falciparum dan Vivax/Ovale) H1 : Artesunat, Amodiakuin, Primakuin

H2-3 : Artesunat, Amodiakuin, Primakuin H4-14 : Primakuin *Primakuin H1=0,75mg/kgbb/hr, H2-14=0,25mg/kgbb/hr. II. Suportif Pemberian cairan, nutrisi, transfusi darah : 1. Penuhi kebutuhan volume cairan intravaskular dan jaringan dengan pemberian oral atau parenteral. 2. Pelihara keadaan nutrisi. 3. Transfusi darah packed red cell 10 ml/kg bb atau whole blood 20 ml/kg bb apabila anemia dengan Hb < 7,1g/dl. 4. Bila terjadi perdarahan, diberikan komponen darah yang sesuai. 5. Pengobatan gangguan asam basa dan elektrolit. 6. Pertahankan fungsi sirkulasi dengan baik, bila perlu pasang CVP. Dialisis peritoneal dilakukan pada gagal ginjal. 7. Pertahankan oksigenasi jaringan, bila perlu berikan oksigen. Apabila terjadi gagal nafas perlu pemasangan ventilator mekanik (bila mungkin). 8. Pertahankan kadar gula darah normal. 9. Antipiretik diberikan apabila demam > 39 C, kecuali pada riwayat kejang demam dapat diberikan lebih awal.

Prognosis Malaria Berat Prognosis malaria berat tergantung pada kecepatan dan ketepatan diagnosis serta pengobatan. (Depkes RI, 2006)

Pencegahan Malaria Hindari nyamuk dengan cara menghindari paparan pada waktu nyamuk mencari makan (fajar, malam hari). Memakai baju berlengan panjang dan memakai repellent dapat juga mencegah terjadinya infeksi malaria. Hindari memakai parfum dan cologne.

96 Pertimbangkan menggunakan kelambu yang diolesi dengan permethrin untuk melindungi dari gigitan nyamuk. Pertimbangkan kemoprofilaksis dengan antimalaria pada pasien yang akan bepergian ke daerah endemis. Kemoprofilaksis tersedia dalam berbagai bentuk. Pilihan obatnya disesuaikan dengan tujuan daerah yang akan dikunjungi dan kondisi medis yang dimiliki oleh seseorang, yang mungkin dapat menjadi kontraindikasi dari obat tertentu. Obat yang dapat dipergunakan yaitu : a. Klorokuin basa 5 mg/kgbb, maksimal 300 mg, sekali seminggu atau b. Sulfadoksin-pirimetamin (fansidar) dengan dosis pirimetamin 0,5-0,75 mg/kgbb, atau c. Sulfadoksin 10-15 mg/kgbb sekali seminggu (untuk usia > 6 bulan). Telah dilaporkan adanya penelitian vaksin untuk malaria, yaitu RTS,S/AS01. Penelitian ini melibatkan 6000 balita Afrika yang berusia 5-17 bulan yang mendapat vaksin malaria dan vaksin pembanding, diikuti selama 1 tahun. Insidens malaria 0.44 kasus pada kelompok yang menerima vaksin RTS, S/AS01, dibandingkan dengan 0.83 kasus pada kelompok yang menerima vaksin pembanding. Sehingga, derajat efektivitas dari vaksin ini setelah dihitung adalah 55.8% (White, 2011).

3.3. Pemberantasan Penyakit Menular Langsung (P2ML). 3.3.1 Pemberantasan Penyakit Tuberkulosis Paru (P2TB paru). Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan tuberkulosis sebagai Global Emergency. Laporan WHO tahun 2004 menyatakan

bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada tahun 2002, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif. Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis dan menurut regional WHO jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus TB di dunia, namun bila dilihat dari jumlah pendduduk terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk. Diperkirakan angka kematian akibat TB adalah 8000 setiap hari dan 2 - 3 juta setiap tahun. Laporan WHO tahun 2004 menyebutkan bahwa jumlah terbesar kematian akibat TB terdapat di Asia tenggara yaitu 625.000 orang atau angka mortaliti sebesar 39 orang per 100.000 penduduk. Angka mortaliti tertinggi terdapat di Afrika yaitu 83 per

97 100.000 penduduk, dimana prevalensi HIV yang cukup tinggi mengakibatkan peningkatan cepat kasus TB yang muncul (PDPI, 2002). WHO memperkirakan setiap tahunnya di Indonesia terdapat 557.000 kasus baru TB paru, dimana 250.000 diantaranya adalah penderita TB paru BTA positif, dengan jumlah kematian 140.000 (WHO, 2004). Tuberkulosis paru adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dengan gejala yang sangat bervariasi. Penularan penyakit ini melalui udara, dimana dahak yang mengandung kuman Mycobacterium tuberculosis, terhirup orang sehat dalam bentuk droplet (butir-butir/ percikan) dahak ataupun melalui debu yang telah tercampur dahak yang telah mengering. Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah gejala respiratorik (gejala lokal sesuai organ yang terlibat) : 1. Gejala respiratorik batuk lebih dari 2 minggu batuk darah sesak napas nyeri dada Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka pasien mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar. 2. Gejala sistemik Demam Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun

3. Gejala tuberkulosis ekstra paru Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat gejala meningitis,

98 sementara pada pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak napas & kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan. Pasien TB paru menampakkan gejala klinis, yaitu : 1. Tahap asimtomatis 2. Gejala TB paru yang khas, kemudian stagnansi dan regresi 3. Eksaserbasi yang memburuk 4. Gejala berulang dan menjadi kronis Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda-tanda : 1. Tanda-tanda infiltrate (perkusi redup, suara nafas bronchial, ronkhi basah, dll) 2. Tanda-tanda penarikan paru, diafragma, dan mediastinum 3. Sekret di saluran nafas dan ronkhi 4. Suara nafas amforik karena adanya kavitas yang berhubungan langsung dengan bronkus (Mansjoer A dkk, 2009). Diagnosis TB Paru ditegakkan berdasarkan : 1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik 2. Lab darah rutin (LED normal atau meningkat, limfositosis) 3. Foto thorax PA dan lateral. Gambaran foto thorax yang menunjang diagnosis TB, yaitu : Bayangan lesi terletak di lapangan atas paru atau segmen apical lobus bawah Bayangan berawan (patchy) atau berbercak (noduler) Adanya kavitas, tunggal atau ganda Kelainan bilateral, terutama di lapangan atas paru Adanya kalsifikasi Bayangan menetap pada foto ulang beberapa minggu kemudian Bayangan milier 4. Pemeriksaan sputum BTA Pemeriksaan sputum BTA memastikan diagnosis TB paru, namun pemeriksaan ini tidak sensitive karena hanya 30-70% pasien TB yang dapat didiagnosis berdasarkan pemeriksaan ini. Caranya yaitu :

99 a. Sputum semalam (overnight collection sputum) yaitu mengumpulkan dahak selama 24 jam di rumah penderita kemudian dibawa ke laboratorium untuk diperiksa. b. Sputum pagi (early morning sputum) yaitu dahak yang dihasilkan oleh batuk penderita pada waktu bangun pagi hari c. Sputum sewaktu (spot sputum) yaitu sputum yang dihasilkan oleh penderita pada setiap

saat/kunjungan 5. Tes PAP (Peroksidase Anti Peroksidase) Merupakan uji serologi imunoperoksidase memakai alat histogen

imunoperoksidase staining untuk menentukan adanya IgG spesifik terhadap basil TB 6. Tes Mantoux/Tuberculin 7. Enzyme Linked Immunoabsorbent Assay

WHO menyatakan bahwa kunci keberhasilan program penanggulangan tuberculosis adalah dengan menerapkan strategi DOTS, yang juga telah dianut oleh negara kita. Oleh karena itu pemahaman tentang DOTS merupakan hal yang sangat penting agar TB dapat ditanggulangi dengan baik. DOTS mengandung lima komponen, yaitu : 1. Komitmen pemerintah untuk menjalankan program TB nasional 2. Penemuan kasus TB dengan pemeriksaan BTA mikroskopik 3. Pemberian obat jangka pendek yang diawasi secara langsung, dikenal dengan istilah DOT (Directly Observed Therapy) 4. Pengadaan OAT secara berkesinambungan 5. Monitoring serta pencatatan dan pelaporan yang (baku/standar) baik Istilah DOT diartikan sebagai pengawasan langsung menelan obat jangka pendek setiap hari oleh Pengawas Menelan Obat (PMO) A. Tujuan : o Mencapai angka kesembuhan yang tinggi

100 o Mencegah putus berobat o Obat Anti Tuberkulosi (OAT) harus tepat obat, tepat dosis, tepat interval o Mengatasi efek samping obat jika timbul o Mencegah resistensi o Mencegah kematian penderita TB aktif o Menurunkan transmisi TB pada orang lain B. Pengawasan Pengawasan terhadap pasien TB dapat dilakukan oleh: Pasien berobat jalan Bila pasien mampu datang teratur, misal tiap minggu maka paramedis atau petugas sosial dapat berfungsi sebagai PMO. Bila pasien diperkirakan tidak mampu datang secara teratur, sebaiknya dilakukan koordinasi dengan puskesmas setempat. Rumah PMO harus dekat dengan rumah pasien TB untuk pelaksanaan DOT ini. Beberapa kemungkinan yang dapat menjadi PMO 1. Petugas kesehatan 2. Orang lain (kader, tokoh masyarakat dll) 3. Suami/Istri/Keluarga/Orang serumah Pasien dirawat Selama perawatan di rumah sakit yang bertindak sebagai PMO adalah petugas RS, selesai perawatan untuk pengobatan selanjutnya sesuai dengan berobat jalan. Kategori penderita TBC: Kategori I: Pasien baru dengan BTA (+) Pasien baru dengan BTA (-) Rntgen (+) dengan sakit berat seperti kelainan paru yang luas atau TB milier Pasien TB extrapulmonal dengan keadaan berat seperti meningitis, perikarditis, peritonitis, pleuritis masif atau bilateral spondilitis dengan gangguan neurologis, TB usus, gagal atau penghentian pengobatan Kategori II Kambuh Gagal pengobatan

101 Lalai berobat Kategori III Kasus baru dengan BTA (-), kelainan paru tidak luas atau TB extrapulmonal selain yang termasuk pada kategori I

Panduan obat anti tuberculosis Untuk Kategori I Dimulai dengan fase intensif paduan Iso Niazid hidrasin(INH)Rifampisin-Pyrazinamide-Streptomisin (2HRZS) atau INH-Rifampisin-

Pyrazinamide-Ethambutol (2HRZE). Obat diberikan setiap hari selama 2 bulan. Bila setelah 2 bulan BTA tetap (+), maka diperpanjang 2-4minggu lagi, kemudian masuk fase lanjutan tanpa pemeriksaan sputum lagi. Bila setelah 2 bulan pertama (fase intensif), BTA sudah (-), maka langsung dimulai fase lanjutan. Fase lanjutan : INH-Rifampisin sebanyak 3x seminggu selama 4 bulan (4H3R3). Dosis INH : 300, Rifampisin : 450, Pyrazinamide = 1500, Ethambutol : 750 Untuk Kategori II Dimulai dengan fase intensif dengan regimen: 3HRZES / 1HRZE. Bila setelah 3 bulan, BTA menjadi (-), maka dilanjutkan dengan fase lanjutan. Bila dalam 3 bulan BTA masih (+), maka fase intensif dilajutkan 1 bulan lagi. Apabila setelah 4 bulan, BTA masih (+) maka pengobatan dihentikan 2-3 hari lalu diperiksa biakan dan tes resistensi, dan pengobatan diteruskan dengan fase lanjutan. Bila pasien mempunyai data sensitifitas sebelumnya dan menunjukkan masih sensitif terhadap semua obat, serta setelah fase intensif BTA menjadi (-) maka fase lanjutan bisa diubah sepert kategori I dengan pengawasan ketat. Fase lanjutan adalah bila dapat dilakukan supervisi maka selama 5 bulan berikutnya diberikan INH-Rifampisin-Etambutol masing-masing 3x seminggu (5H3R3). Bila tidak dapat dilakukan supervisi maka selama 5 bulan berikutnya diberikan INH-Rifampisin-Etambutol setiap hari gr 2 bulan (5HRE). Dosis INH : 300,

Rifampisin : 450, Pyrazinamide = 1500, Ethambutol : 750 Streptomisin: injeksi, 5

102 Untuk Kategori III Fase intensif menggunakan 2 HRZ dilanjutkan dengan fase lanjutan 4 HR atau 4H3R3. Bila lesi di paru lebih luas dari 10cm2 atau pada penderita TB extrapulmonal dimana remisi belum sempurna, maka dilanjutkan dengan INH saja selama 4 bulan lagi.

Pencegahan Memberikan penyuluhan kesehatan menggunakan bahasa yang sederhana tentang penyakit TB, memberikan informasi tentang pentingnya ventilasi dan pencahayaan yang cukup dalam rumah, mengedukasi untuk menutup mulut bila batuk, menjelaskan perlunya wadah khusus untuk menampung dahak di rumah agar tidak membuang dahak di sembarang tempat. Pencegahan ini dilaksanakan secara berkesinambungan untuk menanamkan kesadaran bila ada pasien yang menderita batuk lama untuk segera memeriksakan diri ke sarana pelayanan kesehatan terdekat.

3.3.2 Pemberantasan penyakit pneumonia. Pneumoni adalah salah satu penyebab kematian terbanyak pada anak-anak di seluruh dunia, diperkirakan terdapat lebih dari 1.4 juta balita meninggal setiap tahunnya (WHO, 2011). Indonesia merupakan negara dengan tingkat kejadian pneumonia tertinggi ke-6 di seluruh dunia menurut laporan UNICEF dan WHO pada tahun 2006. Berdasarkan Survey kesehatan Rumah Tangga (SKRT) pada tahun 1992, 1995 dan 2001 didapatkan pneumonia sebagai urutan terbesar penyebab kematian pada balita. Hasil ini juga sesuai dengan survey mortalitas terhadap 10 propinsi di Indonesia yang dilakukan oleh Subdit ISPA Departemen Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 mencatat pneumonia merupakan salah satu penyebab

kematian terbanyak yaitu sejumlah 15,5% (IDAI, 2009). Pneumonia dalah penyakit peradangan parenkim paru yang disebabkan oleh bermacam etiologi seperti bakteri, virus, mikoplasma, jamur atau bahan kimia/benda asing yang teraspirasi dengan akibat timbulnya ketidakseimbangan ventilasi (keterbatasan terhirupnya oksigen) dengan perfusi (ventilation perfusion mismatch) akibat terisinya alveoli dengan cairan dan pus. Penyebab tersering pneumonia di antaranya adalah : Streptococcus pneumoni (paling sering menyerang anak-anak)

103 Haemophilus influenza type b (Hib) Respiratory syncytial virus (virus penyebab yang paling sering) Pada anak-anak yang terinfeksi HIV, Pneumocystis jiroveci adalah penyebab yang paling umum Patofisiologi pneumonia adalah sebagai berikut. Paru terlindung dari infeksi melalui beberapa mekanisme : filtrasi partikel di hidung, pencegahan aspirasi dengan refleks

epiglotis, ekspulsi benda asing melalui refleks batuk, pembersihan ke arah kranial oleh mukosilier, fagositosis kuman oleh makrofag alveolar, netralisasi kuman oleh substansi imun lokal dan drainase melalui sistem limfatik. Mikroorganisme mencapai paru melalui jalan nafas, aliran darah, aspirasi benda asing, transplasental atau selama persalinan pada neonatus. Umumnya pneumonia terjadi akibat inhalasi atau aspirasi mikroorganisme, sebagian kecil terjadi melalui aliran darah (hematogen). Secara klinis sulit membedakan pneumonia bakteri dan virus. Bronkopneumonia merupakan jenis pneumonia tersering pada bayi dan anak kecil. Pneumonia lobaris lebih sering ditemukan dengan meningkatnya umur. Penyebaran pneumonia dapat dengan berbagai macam cara. Virus dan bakteri yang biasa ditemukan di tenggorokan ataupun hidung anak-anak dapat menginfeksi paru-paru bila terhirup. Virus dan bakteri ini juga dapat menyebar melalui droplet (butir-butir) di udara yang dikeluarkan saat batuk atau bersin. Gejala klinis dari pneumonia akibat virus maupun bakteri adalah sama. Bagaimanapun, gejala pneumonia akibat virus lebih banyak daripada akibat bakteri. Gejalanya meliputi : Nafas cepat dan sulit (sesak) Batuk kental, produktif, sputum kuning kehijauan kemudian berubah menjadi kemerahan Nyeri dada Demam Menggigil Kehilangan nafsu makan Pada bayi muda ditemukan kejang, penurunan kesadaran, kembung, kedinginan

104 Dari pemeriksaan fisik yang dapat ditemukan adalah : Suhu 390 C Dyspnea Inspiratory effort (takipnea) Retraksi dada (chest indrawing) Pernafasan cuping hidung Cyanosis Gerakan dinding dada menurun pada daerah yang terkena Perkusi redup Auskultasi paru : suara nafas melemah, ronchi basah halus +

Faktor risiko terinfeksi pneumoni adalah anak-anak yang memiliki imunitas menurun/ immunokompromais. Sistem kekebalan tubuh seorang anak dapat menurun akibat dari malnutrisi, khususnya pada anak-anak yang tidak mendapatkan ASI eksklusif. Penyakit yang sebelumnya diderita seorang anak juga dapat meningkatkan risiko, seperti campak dan infeksi HIV. Kondisi lingkungan juga menentukan kepekaan anak untuk dapat mengalami pneumonia seperti polusi udara dalam rumah seperti asap memasak atau asap pembakaran kayu, tinggal di rumah yang ditinggali banyak anggota keluarga, lingkungan sekitar rumah yang kumuh dan kotor, hingga adanya perokok dalam keluarga, terutama orangtua.

Penatalaksanaan pneumonia yaitu dengan antibiotik. Pada bayi dibawah 2 bulan atau lebih muda direkomendasikan untuk menjalani rawat inap, juga pada kasus-kasus yang berat.

Pencegahan pneumonia adalah komponen yang penting dalam strategi untuk menurunkan angka kematian. Imunisasi Hib, pneumococcus, campak dan pertusis adalah hal yang paling efektif untuk dapat mencegah terjadinya pneumonia. Nutrisi yang adekuat adalah kunci untuk memperkuat sistem kekebalan tubuh anak, dimulai dengan ASI eksklusif selama 6 bulan pertama kehidupan. Selain itu, memperpendek lamanya sakit pada anak juga dapat membantu mencegah terjadinya pneumonia.

105 Mengurangi polusi udara seperti polusi udara dalam rumah (rajin membersihkan kompor, membuka pintu dapur bila memasak, contohnya) dan menjaga kebersihan makanan di rumah yang padat dapat menurunkan angka kejadian pneumonia. Pada anak-anak yang terinfeksi HIV, antibiotik cotrimoxazole diberikan setiap hari untuk menurunkan risiko terjadinya pneumonia (WHO, 2011).

3.3.3 Pemberantasan penyakit diare. Diare masih merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian anak terutama di negara berkembang, dengan perkiraan sekitar 1.5 milyar episode dan 1.5-2.5 juta kematian balita setiap tahun. Sekitar 85% kematian yang berhubungan dengan diare terjadi pada 2 tahun pertama kehidupan. Menurut laporan Departemen Kesehatan, di Indonesia setiap anak mengalami episode diare sebanyak 2 kali setahun. Diare akut merupakan salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak-anak di berbagai negara yang sedang berkembang, setiap tahun diperkirakan lebih dari satu milyar kasus diare di dunia dengan 3.3 juta kasus kematian sebagai akibatnya (Depkes, 2007). Kombinasi paparan lingkungan yang patogenik, diet yang tidak memadai, dan malnutrisi menunjang timbulnya kesakitan dan kematian karena diare. Hal ini terjadi lebih dari satu milyar episode diare setiap tahunnya dengan 2-3% kemungkinan jatuh ke dalam keadaan dehidrasi. Kejadian diare ini disebabkan karena kesehatan lingkungan pemukiman yang masih tidak memadai, di samping pengaruh dari faktor-faktor lainnya seperti perilaku masyarakat, keadaan gizi, kependudukan, dan keadaan sosial ekonomi yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi penyakit diare ini. Berbagai faktor mempengaruhi kejadian diare di antaranya adalah faktor lingkungan gizi, kependudukan, pendidikan, keadaan sosial ekonomi, dan perilaku masyarakat. Faktor lingkungan yang dimaksud adalah kebersihan lingkungan dan perorangan seperti kebersihan puting susu, botol susu, dan dot susu maupun kebersihan air yang digunakan untuk mengolah susu dan makanan. Faktor gizi yang dimaksud adalah diberikannya makanan tambahan meskipun anak telah berusia 4-6 bulan, faktor pendidikan yang utama adalah pengetahuan ibu

106 tentang masalah kesehatan. Faktor kependudukan menunjukkan bahwa insiden diare lebih tinggi pada penduduk perkotaan yang padat dan miskin atau kumuh. Sedangkan faktor perilaku orang tua dan masyarakat adalah kebiasaan ibu yang tidak mencuci tangan sebelum menyiapkan makanan, setelah BAB atau membuang tinja anak. Semua faktor tersebut di atas berkaitan erat dengan faktor ekonomi masing-masing keluarga (Depkes, 2009). Diare menurut WHO, didefenisikan sebagai bertambahnya defekasi (buang air besar) lebih dari biasanya/ lebih dari tiga kali sehari, disertai dengan perubahan konsisten tinja (menjadi cair) dengan atau tanpa darah. Secara klinik dibedakan tiga macam sindroma diare yaitu diare cair akut, disentri, dan diare persisten. Mekanisme diare, ada yang bersifat sekretorik dan ada yang bersifat osmotik. Pada umumnya, diare akut disebabkan oleh infeksi virus (40-60%), dan hanya 10% disebabkan infeksi bakteri (WHO, 2011). Sebagian besar (sekitar 90%) diare pada`anak disebabkan oleh infeksi rotavirus. Sebagian kecil diare disebabkan diare dapat disebabkan infeksi bakteri, parasit, jamur. Diare dapat dipicu pemakaiaan antibiotik (antibiotic induced diare). Sebagian kecil lagi penyebab keracunan makanan, alergi, faktor psikologis yaitu stres. Penyebab diare pada orang dewasa berbeda dengan pada anak-anak. Sedangkan pada orang dewasa diare lebih sering disebabkan oleh infeksi bakteri, akibat salah makan, gangguan pencernaan malabsorpsi, pengaruh obat-obatan (pencahar) dan faktor stres. Diare pada dewasa disebabkan makanan dan minuman yang tercemar kuman, seperti Eschericia coli (patogen), Salmonella sp, Shigella, virus, parasit seperti amuba, beberapa jamur seperti Candida sp. Obat-obatan juga bisa menyebabkan

diare,yaitu obat-obatan yang bekerja meningkatkan peristaltik usus atau mengencerkan feses seperti obat pencahar. Penularannya disebut dengan 3F yaitu Finger (jari), Food (makanan) dan Fly (lalat). Penanganan diare akut secara umum ditujukan untuk mencegah / menanggulangi dehidrasi serta gangguan keseimbangan elektrolit dan asam basa, kemungkinan terjadinya intoleransi, mengobati kausa dari diare yang spesifik, mencegah dan menanggulangi gangguan gizi serta mengobati penyakit penyerta. Diare pada anak sebagian besar tidak memerlukan antibiotik oleh karena sembuh sendiri (self limiting) karena penyebab

107 terbesar dari diare pada anak adalah virus (Rotavirus). Antibiotika hanya diperlukan pada sebagian kecil penderita diare misalnya kolera, shigella, Kecuali pada bayi berusia di bawah 2 bulan karena potensi terjadinya sepsis oleh karena bakteri mudah mengadakan translokasi kedalam sirkulasi, atau pada anak/bayi yang menunjukkan secara klinis gejala yang berat serta berulang atau yang menunjukkan gejala diare dengan darah dan lendir yang jelas atau gejala sepsis. Untuk itu, manajemen kasus diare harus dilakukan secara komprehensif, efisien dan efektif serta rasional untuk mengurangi angka kematian anak akibat diare (Soebijanto, 2008).

108 BAB 4 HASIL KEGIATAN DAN ANALISA KEGIATAN

Hasil pelaksanaan kegiatan program pengamatan, pencegahan, pemberantasan penyakit dan penanggulangan kejadian luar biasa (KLB) di Puskesmas Gandusari bulan Januari-April tahun 2012 dapat diuraikan sebagai berikut:

4.1 Program Imunisasi. Tahun 2012 jumlah bayi 447. Cakupan imunisasi pada bayi di Puskesmas Gandusari dapat diuraikan sebagai berikut: BCG= 35.57%, Polio 4 = 23.71%; Campak = 26.4 % dan DPT/HB3 = 24.86 %. Secara rinci cakupan imunisasi per bulan di Puskesmas Gandusari dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 4.1 Distribusi Cakupan Imunisasi di Puskesmas Gandusari per Bulan Januari-April 2012

BULAN

BAYI

BCG JMLH % 47 35 38 39 10,515 7,83 8,5011 8,7248

POLIO 4 CAMPAK JMLH % JMLH % 20 24 28 34 4,474 5,369 6,264 7,606 30 32 19 37 6,7114 7,1588 4,2506 8,2774 26,4

DPT/HB III JMLH % 31 25 37 36 6,9351 5,5928 8,2774 8,0537

JANUARI FEBRUARI MARET APRIL JUMLAH

447 447 447 447 447

159 35,57 106 23,71 118

129 28,86

109

Dari tabel diatas dapat dibuat balok sebagai berikut:


50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 Jan Feb Mar Apr BCG POLIO 4 CAMPAK DPT/HB III

Berdasarkan tabel diatas bahwa cakupan BCG tertinggi dicapai pada bulan Januari sebesar 10.51% dan terendah pada bulan Februari sebesar 7.83%. Cakupan Polio 4 tertinggi dicapai pada bulan April sebesar 7.6% dan terendah pada bulan Januari sebesar 4.47%. Cakupan Campak tertinggi dicapai pada bulan April sebesar 8.27% dan terendah pada bulan Maret sebesar 4.25%. Cakupan DPT/HB III tertinggi dicapai pada bulan Maret 8.,27% dan terendah pada bulan Februari sebesar 5.59%. Cakupan imunisasi yang rendah di beberapa daerah pada bulan tertentu mencerminkan lemahnya upaya penanggulangan penyakit yang bisa dicegah dengan imunisasi. Hal ini dipengaruhi oleh lemahnya kesadaran para ibu akan pentingnya imunisasi dalam upaya pencegahan primer melawan penyakit. Mereka cenderung memiliki kepercayaan apabila anaknya sakit, cukup diobati saja, pencegahan penyakit tidaklah perlu bagi mereka. Hal ini diakibatkan oleh kurangnya pemahaman yang memadai akan imunisasi. Ada kemungkinan para ibu merasa fasilitas kesehatan yang menyediakan imunisasi lokasinya terlalu jauh dari rumah. Perubahan perilaku masyarakat juga ikut menghambat pelaksanaan imunisasi, dikarenakan kader posyandu yang minatnya agak menurun untuk secara sukarela mensosialisasikan imunisasi.

110 Permasalahan-permasalahan ini dapat diatasi dengan upaya memberikan penyuluhan dan informasi lengkap yang mendalam secara berkala dan rutin agar para ibu tidak lagi memiliki kepercaayaan dan stigma negative akan imunisasi. Apabila ada ibu yang lokasi fasilitas kesehatan terlalu jauh dari rumah atau bayinya tidak dibawa ke posyandu terdekat karena alasan tertentu, maka sebaiknya petugas kesehatan maupun kader mendatangi rumah ibu tersebut agar bayi tidak lolos dari cakupan imunisasi.

4.2

Pemberantasan Penyakit yang ditularkan binatang.

4.2.1 Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD). Berdasarkan hasil penemuan penderita DBD selama tahun 2011 jumlah penderita terbanyak ditemukan dari desa Ngrayung sebanyak 9 penderita. Secara rinci distribusi kasus DBD perdesa dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Kasus DBD per Desa di Wilayah Puskesmas Gandusari Tahun 2012

NO 1 2 3 4 5 6 JML

DESA GANDUSARI NGRAYUNG JAJAR WONOREJO SUKOREJO WONOANTI

JMLH PENDUDUK 6,438 4,161 2,905 4,620 8,230 4,324 30,678

JMLH INSIDENS PENDERITA (%) 4 4 1 1 2 0 12 0.06 0.10 0.03 0.02 0.02 0.00 0.04

Pada bulan Januari-April tahun 2012 tidak didapatkan penderita demam berdarah di sekitar wilayah kerja Puskesmas Gandusari, Hal ini menunjukkan bahwa kinerja puskesmas sudah cukup baik dalam mencegah terjadinya demam berdarah. Namun alangkah baiknya bila

puskesmas terus meningkatkan upaya pencegahan dan pemberantasan dengan menanamkan pemahaman yang mendalam tentang bahaya demam berdarah dan langkah-langkah kecil yang

111 bisa dilakukan sebagai usaha untuk mencegah terjadinya penyakit ini, yaitu dengan penyuluhan berkala. Pemantauan angka bebas jentik selama tahun 2011 dilakukan di Puskesmas Gandusari dengan ABJ tertinggi ada pada desa Gandusari sebesar 97.41% dan terendah oleh desa Sukorejo sebesar 94.78 % seperti terlihat pada tabel berikut :

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Angka Bebas Jentik per Desa di Wilayah Puskesmas Gandusari Tahun 2011
NO 1 2 3 4 5 6 DESA GANDUSARI NGRAYUNG JAJAR WONOREJO SUKOREJO WONOANTI JML YG ADA 2250 1214 921 1412 2664 1286 9747 JML KONTAINER 4782 2531 1935 2650 5264 2565 19727 DIPE RIKSA 4782 2531 1935 2650 5264 2565 19727 JENTIK (+) ABJ (%) 124 99 72 103 275 97 770 97,41 96,09 96,28 96,11 94,78 96,22 96,1

Pemantauan angka bebas jentik selama 4 bulan pertama tahun 2012 dilakukan di Puskesmas Gandusari dengan ABJ tertinggi ada pada desa Ngrayung sebesar 97.2% dan terendah oleh desa Wonoanti sebesar 92.9% seperti terlihat pada tabel berikut :

Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Angka Bebas Jentik per Desa di Wilayah Puskesmas Gandusari Tahun 2012
NO 1 2 3 4 5 6 DESA GANDUSARI NGRAYUNG JAJAR WONOREJO SUKOREJO WONOANTI JML YG ADA 2137 1113 868 1192 2466 1155 8931 JML KONTAINER 2993 1557 1331 1535 3364 1726 12506 DIPE RIKSA 2993 1557 1331 1535 3364 1726 12506 JENTIK (+) ABJ (%) 133 35 61 63 142 67 501 95.4% 97.2% 96.2% 96.2% 96.4% 92.9% 95.8%

112 1. Pemberantasan Penyakit Malaria. Jumlah penderita klinis malaria yang ditemukan positif selama tahun 2011 sebanyak 43 orang. Dari sejumlah 43 penderita klinis tersebut setelah dilakukan pengambilan dan pemeriksaan darah jarinya secara mikroskopis ternyata hanya 11 penderita yang positif malaria dengan plasmodium Vivax 5 orang yang ada di desa Jajar, Wonorejo dan Sukorejo dan jumlah terbanyak ada pada Desa Sukorejo yaitu 3 penderita dab falciparum 6 orang yangada di Desa Ngrayung, Jajar dan Sukorejo. Secara rinci distribusi pengambilan dan pemeriksaan darah jari serta penderita yang positif dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Penderita Malaria per Desa di Wilayah Puskesmas Gandusari Tahun 2011
NO 1 2 3 4 5 6
DESA JML PEND SD DIPEIRIKSA KLINIS ACD PCD SD POSITIF JML % JENIS PLASMODIUM PF 0 2 1 0 3 0 6 PV 0 0 1 1 3 0 5 MIX 0 0 0 0 0 0 0

GANDUSARI NGRAYUNG JAJAR WONOREJO SUKOREJO WONOANTI JUMLAH

1 8 7 11 15 1 43

1 6 2 8 8 0 25

0 2 5 3 7 1 18

0 2 2 1 6 0 11

0,00 100,00 40,00 33,33 85,71 0,00 61,11

113 Dari tabel diatas dapat dibuat balok dibawah ini :

PENDERITA MALARIA DIPERIKSA


16 14 12 10 8 6 4 2 0

KLINIS
GANDUSARI

ACD

PCD
NGRAYUNG

POSITIF
JAJAR

PF

PV
SUKOREJO

MIX
WONOANTI

WONOREJO

Grafik 4.1 Penderita Malaria di Wilayah Kerja Puskesmas Gandusari Tahun 2012

Hasil pelaksanaan kegiatan program pengamatan, pencegahan, pemberantasan penyakit dan penanggulangan kejadian luar biasa (KLB) Malaria di Puskesmas Gandusari bulan JanuariApril tahun 2012 adalah tidak ada penderita yang positif menderita Malaria melalui pemeriksaan darah tetes tebal. Pemeriksaan tetes tebal pada bulan Januari dilakukan pada 3 pasien, ketiganya negatif. Pada bulan Februari dilaksanakan pada 1 pasien, hasilnya negatif. Pada bulan Maret diperiksa 2 pasien, keduanya negatif. Pada bulan April diperiksa 4 pasien, hasilnya negatif.

2.

Pemberantasan Penyakit Menular Langsung (P2ML)2 2.1. Pemberantasan Penyakit Tuberkulolis Paru (P2TB paru). Upaya penemuan suspek penderita TB paru diwilayah Puskesmas Gandusari mulai Januari sampai dengan Desember 2011 telah ditemukan sebanyak 150 suspek TB paru, selanjutnya dilakukan pemeriksaan dahak dengan hasil pemeriksaan BTA + sebanyak 21 orang (6,8 %). Cakupan penemuan suspek terbanyak ada pada Desa Wonorejo sebanyak 40 orang atau ( 0,87 % ) dan terendah dari desa Ngrayung

114 sebanyak 10 orang atau (0,24 % ) serta ada satu desa yang tidak ditemukan suspek yatu Desa Wonoanti. Secara rinci distribusi penemuan penderita per desa dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4.6 Distribusi Penemuan Suspek dan Penderita TB Paru per Desa di Wilayah Puskesmas Gandusari Tahun 2011
JMLH DESA GANDUSARI NGRAYUNG JAJAR WONOREJO SUKOREJO WONOANTI JUMLAH PENDDK 6438 4161 2905 4620 8230 4324 30678 JMLH SUSPEK PROSEN DITEMUKAN 20 10 10 40 70 0 150 BTA % BTA SUSPEK POSITIF POSITIF 0,31 0,24 0,34 0,87 0,85 0,00 0,49 2 1 1 4 7 0 15 10,00 10,00 10,00 10,00 10,00 0,00 10,00

Dari tabel penemuan suspek TB diatas dapat digambarkan dengan diagram berikut;

PENEMUAN SUSPEK DAN PENDERITA POSITIF TB PARU


10000 8000 6000 4000 2000 0

PENDDK

DITEMUKAN

POSITIF

Grafik 4.2 Penemuan Suspek dan Penderita Positif TB Paru

115 Upaya penemuan suspek penderita TB paru diwilayah Puskesmas Gandusari pada Januari 2012 telah ditemukan sebanyak 12 suspek TB paru, selanjutnya dilakukan pemeriksaan dahak dengan hasil pemeriksaan BTA + sebanyak 2 orang (16.67 %). Pada bulan Februari 2012 ditemukan sebanyak 29 suspek TB paru, yang BTA + sebanyak 2 orang (6.89%). Pada bulan Maret 2012 ditemukan sebanyak 20 suspek TB paru, yang BTA + tidak ada. Sedangkan pada bulan April 2012 ditemukan 20 suspek TB paru, dan yang BTA + tidak ada.

Tabel 4.7 Penemuan Suspek dan Penderita TB Paru di Wilayah Puskesmas Gandusari Bulan Januari-April 2012

BULAN

JUMLAH SUSPEK

BTA (+)

%BTA (+)

JANUARI

12

16.67%

FEBRUARI

29

6.89%

MARET

20

APRIL

20

Dari tabel penemuan suspek TB diatas dapat digambarkan dengan diagram berikut;
35 30 25 20 15 10 5 0 JAN FEB MAR APR JML SUSP BTA (+) % BTA (+)

Grafik 4.3 Penemuan Suspek TB

116

Dari diagram diatas dapat diperoleh suatu kesimpulan bahwa penderita TB dengan BTA + kecenderungannya terus menurun dari bulan ke bulan. Hal ini menunjukkan bahwa kinerja puskesmas Gandusari sudah cukup baik dalam menurunkan angka kejadian TB. Saran selanjutnya adalah untuk terus memberikan penyuluhan dan pengertian kepada masyarakat di sekitar wilayah kerja puskesmas tentang seluk-beluk penyakit TB. Tidak lupa juga selalu mengingatkan bahwa TB adalah penyakit infeksi yang bisa sembuh asalkan pengobatannya sejak dini dan teratur. Masyarakat juga perlu diingatkan apabila batuk lama segera memeriksakan diri ke puskesmas, agar dapat dideteksi lebih dini dan mendapatkan pengobatan TB secara gratis sesuai program pemerintah.

3.2. Pemberantasan Penyakit Pneumonia Dalam upaya penemuan penderita penyakit Pneumonia telah ditemukan sebanyak 32 penderita Pneumonia pada Balita (Insidens sebesar 0.09%). Proporsi penemuan penderita terbanyak ada di desa Gandusari sebanyak 10 penderita (0.14%) dan terendah dari desa Wonorejo sebanyak 3 penderita (0.05%). Secara rinci penemuan penderita Pneumonia per desa dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 4.8 Distribusi Frekuensi Penemuan Penderita per Desa di Wilayah Kerja Puskesmas Gandusari Bulan Januari-April 2011

NO

DESA / KELURAHAN

JMLH BALITA 90 56 39 74 131 57 447

JMLH PENDERITA DITEMUKAN 10 4 4 3 7 4 32

PROPORSI (%) 11,11 7,14 10,26 4,05 5,34 7,02 7,16

1 GANDUSARI 2 NGRAYUNG 3 JAJAR 4 WONOREJO 5 SUKOREJO 6 WONOANTI Jumlah

117

Dari tabel penemuan penderita pnemomonia diatas dapat digambarkan dengan diagram balok berikut:

BALITA PENDERITA PENEUMONIA DITEMUKAN


140 120 100 80 60 40 20 0

JMLH BALITA

KASUS DITEMUKANDITEMUKAN

Grafik 4.4 Balita Penderita Pnemonia

Upaya pemberantasan pneumonia salah satunya adalah dengan penemuan penderita. Pada Paling sedikit ditemukan pada Februari 2012 ditemukan 2 pasien (0.15%), dan paling banyak ditemukan pada bulan Maret 2012, yaitu 22 pasien (1.68%). Secara rinci penemuan penderita Pneumonia per bulan dapat dilihat pada tabel berikut :

118 Tabel 4.9 Distribusi Frekuensi Penemuan Penderita Pnemonia di Wilayah Kerja Puskesmas Gandusari Bulan Januari-April 2012

NO

BULAN

JMLH BALITA 1311 1311 1311 1311

JMLH PENDERITA DITEMUKAN 4 2 22 10

PROPORSI (%) 0,31 0,15 1,68 0,76

1 JANUARI 2 FEBRUARI 3 MARET 4 APRIL

Dari tabel penemuan penderita pnemomonia diatas dapat digambarkan dengan diagram pie berikut :

JUMLAH PX PNEUMONIA
JAN FEB MAR APR

Upaya pemberantasan pneumonia salah satunya adalah dengan penemuan pasien dan mengobatinya secara tuntas. Jumlah penderita dari bulan Januari ke bulan Maret cenderung meningkat, namun pada bulan April dapat ditekan kembali; menunjukkan bahwa masyarakat sudah memiliki kesadaran untuk membawa balita ke puskesmas bila batuk pilek lama. Hal ini dapat dicapai karena para petugas kesehatan cukup sering mengadakan penyuluhan pneumoni secara berkala. Pengertian yang perlu ditekankan juga bagi para ibu adalah pentingnya vaksin campak bagi balita, sebagai upaya mencegah komplikasi pneumonia. Selain itu, diperlukan juga penghindaran balita terhadap polusi udara sejak dari dalam rumah, seperti rokok ataupun asap dapur.

119 3.4. Pemberantasan Penyakit Diare. Jumlah penderita Diare yang ditemukan di wilayah Puskesmas Gandusari mulai Januari sampai dengan Desember 2011 sebanyak 577 penderita. Angka insidens diare tahun 2011 sebesar 1.61%. Proporsi penderita terbanyak ditemukan dari desa Ngrayung sebanyak (2.26 %) dan terendah dari desa Wonorejo sebanyak (1.31%). Distribusi penderita diare perdesa dapat dilihat pada table berikut :

TABEL : DISTRIBUSI PENDERITA DIARE PERDESA DI WILAYAH PUSKESMAS GANDUSARI TAHUN 2011
JMLH DESA GANDUSARI NGRAYUNG JAJAR WONOREJO SUKOREJO WONOANTI TOTAL PENDUDUK 6.438 4.161 2.905 4.620 8.230 4.324 30.678 JMLH PENDERITA 126 102 55 77 147 70 577 INSIDEN (%) 1,96 2,45 1,89 1,67 1,79 1,62 1,88

Penderita diare di Puskesmas Gandusari tahun 2011 juga dapat digambarkan dengan diagram berikut:

120

PERBANDINGAN PENDERITA DIARE PERDESA


10,000 8,000 6,000 4,000 2,000 0

PENDUDUK

PENDERITA

Grafik 4.5 Perbandingan Penderita Diare per Desa

TABEL : DISTRIBUSI PENDERITA DIARE PERDESA DIWILAYAH PUSKESMAS GANDUSARI TAHUN 2011
JMLH DESA GANDUSARI NGRAYUNG JAJAR WONOREJO SUKOREJO WONOANTI TOTAL PENDUDUK 6.438 4.161 2.905 4.620 8.230 4.324 30.678 JMLH PENDERITA 126 102 55 77 147 70 577 INSIDEN (%) 1,96 2,45 1,89 1,67 1,79 1,62 1,88

Dari sejumlah penderita yang ditemukan tersebut seluruhnya ditemukan di sarana kesehatan. Hal ini menunjukkan bahwa peran serta masyarakat dalam upaya pemberantasan penyakit diare diwilayah Puskesmas Gandusari masih sangat rendah.

121 Selanjutnya dari penderita diare yang ditemukan, umur 1-4 tahun proporsinya penderita diare masih tinggi yaitu sebanyak 164 penderita (proporsi 28.4%) dan pada golongan umur 0 11 bulan sebanyak 77 bayi (proporsi 13.34 %). Secara rinci penderita per golongan umur perdesa dapat dilihat pada tabel berikut :

TABEL DISTRIBUSI PENDERITA DIARE MENURUT GOLONGAN UMUR PERDESA DIWILAYAH PUSKESMAS GANDUSARI TAHUN 2011
0 - 11 BLN JML % 11 25 7 10 13 11 77 8.73 24.51 12.73 12.99 8.844 15.71 13.34 JUMLAH PENDERITA 1 - 4 TH 5 - 14 TH JML % JML % 40 22 15 18 49 20 164 31.7 21.6 27.3 23.4 33.3 28.6 28.4 21 33 10 20 22 8 114 16.67 32.35 18.18 25.97 14.97 11.43 19.76 > 15 TH JML % 54 22 23 29 63 31 222 42.86 21.57 41.82 37.66 42.86 44.29 38.47

DESA GANDUSARI NGRAYUNG JAJAR WONOREJO SUKOREJO WONOANTI JUMLAH

TOTAL 126 102 55 77 147 70 577

Dari tabel diatas dapat dibuat diagram balok seperti berikut : PENDERITA DIARE MENURUT GOLONGAN UMUR
70 60 50 40 30 20 10 0
GANDUSARI NGRAYUNG JAJAR WONOREJO SUKOREJO WONOANTI

0 - 11 BLN

1 - 4 TH

5 - 14 TH

> 15 TH

122 Dalam upaya pengobatan sementara terhadap penderita diare selama tahun 2011 menggunakan oralit. Hal ini menunjukkan bahwa penatalaksanaan penderita diare di wilayah Puskesmas Gandusari masih cukup baik. Jumlah penderita Diare yang ditemukan di wilayah Puskesmas Gandusari mulai Januari sampai dengan April 2012 sebanyak 209 penderita. Proporsi penderita terbanyak ditemukan pada bulan Februari sebanyak 62 (29.53%) dan terendah pada bulan April sebanyak 43 (20.59%). Distribusi penderita diare per bulan dapat dilihat pada table berikut:

TABEL DISTRIBUSI PENDERITA DIARE MENURUT GOLONGAN UMUR JANUARI-APRIL 2012 DI WILAYAH PUSKESMAS GANDUSARI

JUMLAH PENDERITA 0 - 11 BLN BULAN JML % JML 1 - 4 TH % JML 5 TH % TOTAL

JANUARI

1,913876

18

8,61244

36

17,22488

58

FEBRUARI

1,435407

17

8,133971

42

20,09569

62

MARET

0,956938

16

7,655502

28

13,39713

46

APRIL JUMLAH

7 16

3,349282 7,655502

12 63

5,741627 30,14354

24 130

11,48325 62,20096

43 209

Dari tabel diatas dapat dibuat diagram balok seperti berikut :

123
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 JAN FEB MAR APR 0-11 bln 1-4 th 5 th

Tingginya angka kejadian diare menandakan bahwa pemberantasan diare merupakan tantangan tersendiri bagi puskesmas. Penyebabnya mungkin saja faktor kepedulian masyarakat terhadap kebersihan lingkungan yang sangat rendah, mengingat terjadinya diare biasanya diakibatkan oleh makanan yang kurang bersih (food), lalat yang beterbangan (flies), tangan yang kotor (finger), alat makan yang kotor. Balita yang terkena diare mungkin juga karena kurangnya kebersihan makanan yang disuapkan oleh ibu, dapat juga setelah BAB tidak dibersihkan dengan sempurna (faeces). Air tanah yang tercemar juga dapat menjadi salah satu penyebab diare. Permasalahan ini dapat diatasi apabila masyarakat sudah memahami tentang bahaya diare dan cara mencegahnya. Setelah petugas kesehatan memberikan penyuluhan kepada masyarakat, perlu juga melibatkan peran serta masyarakat untuk bekerjasama menjaga kebersihan desanya agar lebih sehat. Kegiatan penyuluhan sebaiknya juga disertai dengan kegiatan kerja bakti, atau gerakan cuci tangan bersama di sekolah-sekolah dasar agar anak-anak juga dapat menerapkan PHBS dalam kehidupan sehari-hari. Pencegahan diare dimulai dari hal-hal kecil seperti PHBS dapat dilakukan dimana saja, di setiap rumah, sekolah, dan fasilitas umum lainnya. Petugas kesehatan juga perlu menanamkan kesadaran pada masyarakat bila ada anggota keluarga yang BAB cair >3x segera dibawa ke puskesmas atau pusat pelayanan kesehatan lainnya, karena bahaya dehidrasi selalu mengintai di tiap kejadian diare.

124 Masyarakat juga perlu mengerti pertolongan dasar yang dapat diberikan, seperti perlunya menyediakan oralit dan cairan rumah tangga yang dapat sewaktu-waktu diminumkan pada penderita diare.

125 DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan & Kesejahteraan Sosial RI. Sensus Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1995, Depkes & Kesos, 1996 dan Profil Kesehatan RI, 2001. Mansjoer, Ali dkk. 2009. Kapita Selekta Kedokteran (472-474). Jakarta. Universitas Indonesia. Martondang, CS & Siregar. 2005. Pedoman Imunisasi di Indonesia : Aspek Imunologi Imunisasi (7-18). Jakarta. Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia. Persatuan Dokter Paru Indonesia. 2002. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia (2-5). Persatuan Dokter Paru Indonesia. Puskesmas Gandusari. 2010. Laporan Evaluasi Tahunan Puskesmas Gandusari 2010. Ranuh, IGN. 2005. Pedoman Imunisasi di Indonesia : Imunisasi Upaya Pencegahan Primer (26). Jakarta. Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia. RSUD Dr. Soetomo. 2008. Pedoman Diagnosis dan Terapi Bagian/SMF Kesehatan Anak (2-11). Surabaya. Universitas Airlangga. Subijanto. 2008. Manajemen Diare pada Bayi dan Anak. Available from: http://www.pediatrik.com/buletin/20060220-s05jfg-buletin.doc Tjokroprawiro, A dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (314-317). Surabaya. Universitas Airlangga. White, NJ. 2011. A Vaccine for Malaria (editorial). N Eng J Med. 2011/Oct : 365. World Health Organization. 2011. Facts Sheet of Pneumonia. Available from : http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs331/en/index.html# World Health Organization. 2008. Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak Di Rumah sakit Rujukan Tingkat Pertama Di Kabupaten (131-155). Jakarta World Health Organization.

Anda mungkin juga menyukai