Bab 4 Sifat Material
Bab 4 Sifat Material
SIFAT MATERIAL
Banyak material yang terdapat di sekitar kita, dan telah menjadi bagian dari pola berpikir manusia bahkan telah menyatu dengan keberadaan kita. Apakah hakikat bahan atau material itu? Bahan dengan sendirinya merupakan bagian dari alam semesta, secara terperinci bahan adalah benda yang dengan sifat-sifatnya yang khas dimanfaatkan dalam bangunan, mesin, peralatan atau produk. Seperti : logam, keramik, semikonduktor, polimer, gelas, dielektrik serat, kayu, pasir, batu berbagai komposit dan lain-lain. Pada dasarnya bahan atau material mempunyai beberapa sifat yang diklasifikasikan menjadi sifat mekanik, sifat fisik dan sifat kimia. 4.1 SIFAT MEKANIK 4.1.1. Hardness (Kekerasan) Makna nilai kekerasan suatu material berbeda untuk kelompok bidang ilmu yang berbeda, bagi insinyur metalurgi kekerasan adalah ketahanan material terhadap penetrasi sementara untuk para insinyur disain nilai tersebut adalah ukuran dari tegangan alir, untuk insinyur lubrikasi kekerasan berarti ketahanan terhadap mekanisme keausan, untuk para insinyur mineralogi nilai itu adalah ketahanan terhadap goresan, dan untuk para mekanik work-shop lebih bermakna kepada ketahanan material terhadap pemotongan dari alat potong. Begitu banyak konsep kekerasan material yang dipahami oleh kelompok ilmu, walaupun demikian konsep-konsep tersebut dapat dihubungkan pada satu mekanisme yaitu tegangan alir plastis dari material yang diuji.
50
Meterial Teknik
Metode pengujian kekerasan: a. Metode Gores : Metode ini tidak banyak digunakan dalam dunia metalurgi, tetapi masih dalam dunia mineralogi. Metode ini dikenalkan oleh Friedrich Mohs yaitu dengan membagi kekerasan material di dunia ini berdasarkan skala (yang kemudian dikenal sebagai skala Mohs). Skala ini bervariasi dari nilai 1 untuk kekerasan yang paling rendah, sebagaimana dimiliki oleh material talk, hingga skala 10 sebagai nilai kekerasan tertinggi, sebagaimana dimiliki oleh intan. Dalam skala Mohs urutan nilai kekerasan material di dunia ini diwakili oleh: 1. Talc 4. Gipsum 4. Calcite 4. Fluorite Prinsip pengujian: bila suatu mineral mampu digores oleh Orthoclase (no. 6) tetapi tidak mampu digores oleh Apatite (no. 5), maka kekerasan mineral tersebut berada antara 5 dan 6. Berdasarkan hal ini, jelas terlihat bahwa metode ini memiliki kekurangan utama berupa ketidak akuratan nilai kekerasan suatu material. Bila kekerasan mineralmineral diuji dengan metode lain, ditemukan bahwa nilai-nilainya berkisar antara 1-9 saja, sedangkan nilai 9-10 memiliki rentang yang besar. b. Metode Elastik/Pantul (Rebound) Dengan metode ini, kekerasan suatu material ditentukan oleh alat Scleroscope yang mengukur tinggi pantulan suatu pemukul (hammer) dengan berat tertentu yang dijatuhkan dari suatu ketinggian terhadap permukaan benda uji. Tinggi pantulan (rebound) yang dihasilkan mewakili kekerasan benda uji. Semakin tinggi pantulan tersebut, yang ditunjukkan oleh dial pada alat pengukur, maka kekerasan benda uji dinilai semakin tinggi. c. Metode Indentasi Pengujian dengan metode ini dilakukan dengan penekanan benda uji dengan indentor dengan gaya tekan dan waktu indentasi yang ditentukan. Kekerasan suatu 5. Apatite 6. Orthoclase 7. Quartz 8. Topaz 9. Corundum 10. Diamond (intan)
51
Meterial Teknik
material ditentukan oleh dalam ataupun luas area indentasi yang dihasilkan (tergantung jenis indentor dan jenis pengujian). Berdasarkan prinsip bekerjanya metode uji kekerasan dengan cara indentasi dapat diklasifikasikan sebagai berikut: c.1 Metode Brinell Metode ini diperkenalkan pertama kali oleh J.A. Brinell pada tahun 1900. Pengujian kekerasan dilakukan dengan memakai bola baja yang diperkeras (hardened steel ball) dengan beban dan waktu indentasi tertentu, sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar.1. Pengukuran nilai kekerasan suatu material diberikan oleh rumus: 4..1 D2 d 2 dimana P adalah beban (kg), D diameter indentor (mm) dan d diameter jejak (mm). Hasil penekanan adalah jejak berbentuk lingkaran bulat, yang harus dihitung diameternya di bawah mikroskop khusus pengukur jejak. BHN =
( D )(D
2P
Prosedur standar pengujian mensyaratkan bola baja dengan diameter 10 mm dan beban 3000 kg untuk pengujian logam-logam ferrous, atau 500 kg untuk logam-logam non-ferrous. Untuk logam-logam ferrous, waktu indentasi biasanya sekitar 10 detik sementara untuk logam-logam non-ferrous sekitar 30 detik. Walaupun demikian pengaturan beban dan waktu indentasi untuk setiap material dapat pula ditentukan oleh
52
Meterial Teknik
karakteristik alat penguji. Nilai kekerasan suatu material yang dinotasikan dengan HB tanpa tambahan angka di belakangnya menyatakan kondisi pengujian standar dengan indentor bola baja 10 mm, beban 3000 kg selama waktu 115 detik. Untuk kondisi yang lain, nilai kekerasan HB diikuti angka-angka yang menyatakan kondisi pengujian. Contoh: 75 HB 10/500/30 menyatakan nilai kekerasan Brinell sebesar 75 dihasilkan oleh suatu pengujian dengan indentor 10 mm, pembebanan 500 kg selama 30 detik.
c.2 Metode Vickers Pada metode ini digunakan indentor intan berbentuk piramida dengan sudut 136o, seperti diperlihatkan oleh Gambar 4. Prinsip pengujian adalah sama dengan metode Brinell, walaupun jejak yang dihasilkan berbentuk bujur sangkar berdiagonal. Panjang diagonal diukur dengan skala pada mikroskop pengujur jejak. Nilai kekerasan suatu material diberikan oleh:
VHN =
1.854 P d2
4.2
dimana d adalah panjang diagonal rata-rata dari jejak berbentuk bujur sangkar.
53
Meterial Teknik
Metode Rockwell merupakan uji kekerasan dengan pembacaan langsung (directreading). Metode ini banyak dipakai dalam industri karena pertimbangan praktis. Variasi dalam beban dan indetor yang digunakan membuat metode ini memiliki banyak macamnya. Metode yang paling umum dipakai adalah Rockwell B (dengan indentor bola baja berdiameter 1/6 inci dan beban 100 kg) dan Rockwell C (dengan indentor intan dengan beban 150 kg). Walaupun demikian metode Rockwell lainnya juga biasa dipakai. Oleh karenanya skala kekerasan Rockwell suatu material harus dispesifikasikan dengan jelas. Contohnya 82 HRB, yang menyatakan material diukur dengan skala B: indentor 1/6 inci dan beban 100 kg. Berikut ini diberikan tabel yang memperlihatkan perbedaan skala dan range uji dalam skala Rockwell:
54
Meterial Teknik
55
Meterial Teknik
4.1.2 Ketangguhan
Ketangguhan (impak) merupakan ketahanan bahan terhadap beban kejut. Inilah yang membedakan pengujian impak dengan pengujian tarik dan kekerasan dimana pembebanan dilakukan secara perlahan-lahan. Pengujian impak merupakan suatu upaya untuk mensimulasikan kondisi operasi material yang sering ditemui dalam perlengkapan transportasi atau konstruksi dimana beban tidak selamanya terjadi secara perlahan-lahan melainkan datang secara tiba-tiba, contoh deformasi pada bumper mobil pada saat terjadinya tumbukan kecelakaan.
56
Meterial Teknik
Gambar 4.6 Ilustrasi skematis pengujian impak dengan benda uji Charpy
57
Meterial Teknik
Pada pengujian impak ini banyaknya energi yang diserap oleh bahan untuk terjadinya perpatahan merupakan ukuran ketahanan impak atau ketangguhan bahan tersebut. Pada pengujian impak, energi yang diserap oleh benda uji biasanya dinyatakan dalam satuan Joule dan dibaca langsung pada skala (dial) penunjuk yang telah dikalibrasi yang terdapat pada mesin penguji. Harga impak (HI) suatu bahan yang diuji dengan metode Charpy diberikan oleh :
HI = E A
4.3
dimana E adalah energi yang diserap dalam satuan Joule dan A luas penampang di bawah takik dalam satuan mm4. Secara umum benda uji impak dikelompokkan ke dalam dua golongan sampel standar yaitu : batang uji Charpy banyak digunakan di Amerika Serikat dan batang uji Izod yang lazim digunakan di Inggris dan Eropa. Benda uji Charpy memiliki luas penampang lintang bujur sangkar (10 x 10 mm) dan memiliki takik (notch) berbentuk V dengan sudut 45o, dengan jari-jari dasar 0,25 mm dan kedalaman 2 mm.. Perbedaan cara pembebanan antara metode Charpy dan Izod ditunjukkan di bawah ini:
Gambar 4.8 Ilustrasi skematik pembebanan impak pada benda uji Charpy dan Izod
Serangkaian uji Charpy pada satu material umumnya dilakukan pada berbagai temperatur sebagai upaya untuk mengetahui temperatur transisi. Sementara uji impak dengan metode Izod umumnya dilakukan hanya pada temperatur ruang dan ditujukan untuk material-material yang didisain untuk berfungsi sebagai cantilever. Takik (notch) dalam benda uji standar ditujukan sebagai suatu konsentrasi tegangan sehingga perpatahan diharapkan akan terjadi di bagian tersebut. Selain
58
Meterial Teknik
berbentuk V dengan sudut 45o, takik dapat pula dibuat dengan bentuk lubang kunci (key hole) Pengukuran lain yang biasa dilakukan dalam pengujian impak Charpy adalah penelaahan permukaan perpatahan untuk menentukan jenis perpatahan (fracografi) yang terjadi. Secara umum sebagaimana analisis perpatahan pada benda hasil uji tarik maka perpatahan impak digolongkan menjadi 3 jenis, yaitu: 1. Perpatahan berserat (fibrous fracture), yang melibatkan mekanisme pergeseran bidang-bidang kristal di dalam bahan (logam) yang ulet (ductile). Ditandai dengan permukaan patahan berserat yang berbentuk dimpel yang menyerap cahaya dan berpenampilan buram. 4. Perpatahan granular / kristalin, yang dihasilkan oleh mekanisme pembelahan (cleavage) pada butir-butir dari bahan (logam) yang rapuh (brittle). Ditandai dengan permukaan patahan yang datar yang mampu memberikan daya pantul cahaya yang tinggi (mengkilat). 4. Perpatahan campuran (berserat dan granular). Merupakan kombinasi dua jenis perpatahan di atas. Informasi lain yang dapat dihasilkan dari pengujian impak adalah temperatur transisi bahan. Temperatur transisi adalah temperatur yang menunjukkan transisi perubahan jenis perpatahan suatu bahan bila diuji pada temperatur yang berbeda-beda. Pada pengujian dengan temperatur yang berbeda-beda maka akan terlihat bahwa pada temperatur tinggi material akan bersifat ulet (ductile) sedangkan pada temperatur rendah material akan bersifat rapuh atau getas (brittle). Fenomena ini berkaitan dengan vibrasi atom-atom bahan pada temperatur yang berbeda dimana pada temperatur kamar vibrasi itu berada dalam kondisi kesetimbangan dan selanjutnya akan menjadi tinggi bila temperatur dinaikkan (ingatlah bahwa energi panas merupakan suatu driving force terhadap pergerakan partikel atom bahan). Vibrasi atom inilah yang berperan sebagai suatu penghalang (obstacle) terhadap pergerakan dislokasi pada saat terjadi deformasi kejut/impak dari luar. Dengan semakin tinggi vibrasi itu maka pergerakan dislokasi mejadi relatif sulit sehingga dibutuhkan energi yang lebih besar untuk mematahkan benda uji. Sebaliknya pada temperatur di bawah nol derajat Celcius, vibrasi atom relatif sedikit sehingga pada saat bahan
59
Meterial Teknik
dideformasi pergerakan dislokasi menjadi lebih mudah dan benda uji menjadi lebih mudah dipatahkan dengan energi yang relatif lebih rendah. Informasi mengenai temperatur transisi menjadi demikian penting bila suatu material akan didisain untuk aplikasi yang melibatkan rentang temperatur yang besar, misalnya dari temperatur di bawah nol derajat Celcius hingga temperatur tinggi di atas 100 derajat Celcius, contoh sistem penukar panas (heat exchanger). Hampir semua logam berkekuatan rendah dengan struktur kristal FCC seperti tembaga dan aluminium bersifat ulet pada semua temperatur sementara bahan dengan kekuatan luluh yang tinggi bersifat rapuh. Bahan keramik, polimer dan logam-logam BCC dengan kekuatan luluh rendah dan sedang memiliki transisi rapuh-ulet bila temperatur dinaikkan. Hampir semua baja karbon yang dipakai pada jembatan, kapal, jaringan pipa dan sebagainya bersifat rapuh pada temperatur rendah.
4.1.3 Keausan
Keausan umumnya didefinisikan sebagai kehilangan material secara progresif atau pemindahan sejumlah material dari suatu permukaan sebagai suatu hasil pergerakan relatif antara permukaan tersebut dan permukaan lainnya. Keausan telah menjadi perhatian praktis sejak lama, tetapi hingga beberapa saat lamanya masih belum mendapatkan penjelasan ilmiah yang besar sebagaimana halnya pada mekanisme kerusakan akibat pembebanan tarik, impak, puntir atau fatigue. Hal ini disebabkan masih lebih mudah untuk mengganti komponen/part suatu sistem dibandingkan melakukan disain komponen dengan ketahanan/umur pakai (life) yang lama.
60
Meterial Teknik
Pembahasan mekanisme keausan pada material berhubungan erat dengan gesekan (friction) dan pelumasan (lubrication). Telaah mengenai ketiga subyek ini yang dikenal dengan nama ilmu Tribologi. Keausan bukan merupakan sifat dasar material, melainkan response material terhadap sistem luar (kontak permukaan). Material apapun dapat mengalami keausan disebabkan mekanisme yang beragam. Pengujian keausan dapat dilakukan dengan berbagai macam metode dan teknik, yang semuanya bertujuan untuk mensimulasikan kondisi keausan aktual. Salah satunya adalah dengan metode Ogoshi dimana benda uji memperoleh beban gesek dari cincin yang berputar (revolving disc). Pembebanan gesek ini akan menghasilkan kontak antar permukaan yang berulang-ulang yang pada akhirnya akan mengambil sebagian material pada permukaan benda uji. Besarnya jejak permukaan dari material tergesek itulah yang dijadikan dasar penentuan tingkat keausan pada material. Semakin besar dan dalam jejak keausan maka semakin tinggi volume material yang terlepas dari benda uji. Ilustrasi skematis dari kontak permukaan antara crevolving disc dan benda uji diberikan pada gambar dibawah. P B
h b
Dengan B adalah tebal revolving disc (mm), r jari-jari disc (mm), b lebar celah material yang terabrasi (mm) maka dapat diturunkan besarnya volume material yang terabrasi (W): W = B.b 3 12 r 4.4
Laju keausan (V) dapat ditentukan sebagai perbandingan volume terabrasi (W) dengan jarak luncur x (setting pada mesin uji):
Bab 4 Sifat Material 61
Meterial Teknik
V =
W B.b 3 = x 12r.x
4.5
A. Keausan adhesive: terjadi bila kontak permukaan dari dua material atau lebih
mengakibatkan adanya perlekatan satu sama lain dan pada akhirnya terjadi pelepasan/pengoyakan salah satu material, seperti diperlihatkan oleh Gambar ini.
B. Keausan abrasif: terjadi bila suatu partikel keras (asperity) dari material tertentu
meluncur pada permukaan material lain yang lebih lunak sehingga terjadi penetrasi atau pemotongan material yang lebih lunak. Tingkat keausan pada mekanisme ini ditentukan oleh derajat kebebasan (degree of freedom) partikel keras atau sperity tersebut. Sebagai contoh partikel pasir silica akan menghasilkan keausan yang lebih tinggi ketika diikat pada suatu permukaan seperti pada kertas amplas, dibandingkan bila partikel tersebut berada di dalam sistem slury. Pada kasus pertama partikel tersebut kemungkinan akan tertarik sepanjang permukaan dan mengakibatkan pengoyakan sementara pada kasus terakhir partikel tersebut mungkin hanya berputar (rolling) tanpa efek abrasi.
62
Meterial Teknik
mekanisme sebelumnya, yaitu dalam hal interaksi permukaan. Baik keausan adhesive maupun abrasif melibatkan hanya satu interaksi sementara pada keausan lelah dibutuhkan interaksi multi. Permukaan yang mengalami beban berulang akan mengarah pada pembentukan retak-retak mikro. Retak-retak tersebut pada akhirnya menyatu dan menghasilkan pengelupasan material. Tingkat keausan sangat tergantung pada tingkat pembebanan.
Gambar 4.13
Pada prinsipnya mekanisme ini dimulai dengan adanya perubahan kimiawi material di bagian permukaan oleh faktor lingkungan. Kontak dengan lingkungan ini akan menghasilkan pembentukan lapisan pada permukaan dengan sifat yang berbeda dengan material induk. Sebagai konsekuensinya, material pada lapisan permukaan akan mengalami keausan yang berbeda Hal ini selanjutnya mengarah kepada perpatahan interface antara lapisan permukaan dan material induk dan akhirnya seluruh lapisan permukaan itu akan tercabut. Gambar 4.15 memperlihatkan skematis mekanisme keausan oksidasi/korosi ini.
63
Meterial Teknik
4.1.4. Fatik
Fatik merupakan ketahanan suhatu material menerima pembebanan dinamik. Benda yang tidak tahan terhadap fatik akan mengalami kegagalan pembebanan dinamik tegangan jauh di bawah tegangan yang diperlukan untuk pada kondisi (beban berfluktuasi ). Mengalami kegagalan ( patah ) pada membuatnya patah pada
pembebanan tunggal ( statis ). Kegagalan fatik biasanya terjadi pada tempat yang konsentrasi tegangannya besar, seperti pada ujung yang tajam atau notch. Tidak ada indikasi awal terjadinya patah fatik dan retakan fatik yang terjadi bersifat halus, maka patah fatik sulit untuk dideteksi dari awal.
Gambar 4.15 Menunjukkan permukaan patahan poros akibat fatik yang bermula dari ujung yang tajam dari tempat pasak
Bersadarkan Penyebab utamanya, yaitu beban (tegangan) yang bekerja, patah Fatik tergantung pada : Besarnya tegangan maksimum yang bekerja Fluktuasi tegangan yang bekerja, yaitu besarnya amplitudo dari tegangan tegangan yang bekerja Siklus tegangan yang bekerja. Adalah banyaknya periode pembebanan yang terjadi Selain tegangan, faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi terjadinya patah fatik, antara lain : 1. Konsentrasi tegangan pada suatu bagian benda. 2. Terdapatnya porositas Korosi akibat lingkungan dan penyelesaian permukaan benda
64
Meterial Teknik
Kondisi lingkungan dapat menimbulkan terjadinya retakan-retakan pada permukaan benda. Sedangkan proses penyelesaian permukaan seperti coating yang dapat melindungi permukaan juga dapat mempengaruhi terjadinya retakan-retakan. Kedua hal tersebut dapat mempengaruhi nilai kekuatan fatik dari material.
Gambar 4.16 Efek dari semburan air kepada kekuatan fatik dari besi perlit ulet/pearlitiductile iron.
A. Temperatur
1. Temperatur yang konstan nilainya, tidak berubah-ubah ( amplitudo=0 ) Pada temperatur yang berbeda, karakteristik material akan berbeda pula. Kekuatan tarik dari material sebenarnya juga merupakan fungsi dari temperatur pula. Karena kekuatan fatik mempunyai hubungan dengan kekuatan tarik, sedangkan kekuatan tarik dipengaruhi temperatur, maka secara tidak langsung, kekuatan fatik dipengaruhi pula oleh temperatur. 2. Temperatur yang berubah-ubah Amplitudo temperatur ini akan menghasilkan thermal fatigue atau kelelahan termal. Thermal fatigue akan menyebabkan terjadinya siklus tegangan dan regangan yang tidak merata pada benda akibat gradien temperatur pada benda. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan thermal fatigue adalah temperatur yang lebih tinggi, amplitudo yang lebih besar dan banyaknya siklus pendinginan dan pemanasan.
65
Meterial Teknik
Untuk menanggulangi efek dari thermal fatigue, sebaiknya gunakan material yang mempunyai sifat konduktivitas thermal yang tinggi, modulus elastisitas yang rendah dan punya kekuatan dan keuletan yang tinggi.
Struktur metalurgi
Cacat permukaan pada permukaan benda kerja akan bertindak sebagai tempat awal terjadinya retakan Efek dari inklusi akan semakin hebat jika kekerasan dari matriks meningkat. Maka secara otomatis, akan mengurangi kekuatan fatik dari material
Gambar 4.17 Efek dari kekerasan mikro matriks dan fraksi volume dari inklusi pada fatigue limit besi ulet/ductile iron
66
Meterial Teknik
Salah satu cara untuk menanggulangi efek dari inklusi dan cacat permukaan bisa dengan cara menggunakan as-cast surface. Hal ini banyak dilakukan pada
ductile iron.
Pengurangan dross dapat meningkatkan kekuatan fatik dari material sebesar 25%. Untuk mengurangi dross, bisa dengan menggunakan filter atau saringan pada
mold filling system. Cara lain yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kekuatan
fatik dari material adalah dengan menggunakan proses pengolahan material yang baik, contohnya dengan minimalisasi kadar residu Mg. Cara ini dapat meningkatkan kekuatan material sampai dengan 5 % dibandingkan dengan dilakukan proses permesinan.
Tegangan sisa
Pengerjaan mekanik baik panas maupun dingin seperti misalnya peening dan surface rolling dapat meninggalkan tegangan sisa pada material.
67
Meterial Teknik
Gambar 4.19 Hubungan antara tegangan sisa akibat peening dengan endurance limit untuk peended ADI gears