Anda di halaman 1dari 37

Pembahasan ayat yang berkenaan dengan sifat Allah adalah pembahasan tentang tauhid.

Didalam pembahasan ini kita wajib bersandar kepada : Pertama, Niat yang ikhlas dalam pembahasan, maknanya kita benar-benar ingin mencari kebenaran bukan kemenangan dalam berdialog. Kedua, Pemahaman tersebut wajib merujuk kepada Al-Quran dan Hadis mengikut pemahaman Rasulullah saw dan para sahabatNya. Sebagaimana firman Allah SWT : Artinya : Dan sesiapa Yang menentang (ajaran) Rasulullah sesudah terang nyata kepadanya kebenaran pertunjuk (yang dibawanya), dan ia pula mengikut jalan Yang lain dari jalan orang-orang Yang beriman, Kami akan memberikannya Kuasa untuk melakukan (kesesatan) Yang dipilihnya, dan (pada hari akhirat kelak) Kami akan memasukkannya ke Dalam neraka jahanam; dan neraka jahanam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.An-Nisa : 115 Firman Allah diatas di perkuat juga oleh sabda Rasulullah saw ; ) Maksudnya : Sesungguhnya, orang yang hidup di antara kalian selepasku akan melihat banyak perselisihan yang timbul ; maka tetaplah kalian dengan sunnahku dan sunnah Khulafa al-Mahdiyyin al-Rashidiin, berpeganglah dengannya, dan gigitlah ia dengan geraham . [HR Abu Daud : 4607, al Tirmidzi : no.2676] Keharusan kita untuk berpegang kepada pemahaman Nabi saw dan para sahabatnya adalah perintah Allah dan RasulNya. Kaedah ini bukan rumusan ulama, ianya satu pegangan untuk hambaNya dan umat Nabi saw dalam memahami Qur an, untuk mengelakkan diri dari menggunakan akalfikiran sepenuhnya, fanatik kepada teori ulama yang berunsurkan falsafah. BAGAIMANA MEMAHAMI BAHAWA ALLAH SWT DI LANGIT? Diantara ucapan sunnah adalah mengatakan bahwa Allah dilangit( bukan Allah duduk dilangit, sebagaimana selalu disebutkan oleh golongan asyaairah sebagai tuduhan kepada pengikut salaf ), sebagaimana bertanya dimanakah Allah adalah sunnah juga. Perkara ini mungkin masih asing di setengah kalangan masyarakat. Jika seseorang ditanya dimanakah Allah, kecenderungan secara umum terkadang orang akan menjawab bahwa Allah didalam hati atau Allah berada dimana-mana. Bagaimana kita memahami bahwa Allah memang dilangit? Artinya : Ia itu (Allah) Ar-Rahman, Yang bersemayam di atas Arasy.

Didalam memahami sifat Allah ( Istawaa ) pada surah Thaha ayat diatas, kita akan dapati beberapa golongan yang berlainan pendapat, misalnya : 1. Golongan yang mentatilkan sifat Allah SWT. Golongan ini adalah golongan yang bathil, karena mereka menafikan sifat Allah, paham seperti ini lebih cenderung kepada mengutamakan akal daripada nash, golongan ini di pegang oleh Muazilah. Pemahaman Mutazilah adalah batil karena paham mereka tidak merujuk kepada sunnah Nabi saw dan para sahabatnya. 2. Golongan Musyabbihah/ Mujassimah. Golongan ini adalah golongan yang batil, karena mereka menyerupakan sifat Allah dengan makhlukNya. Pemahaman Musyabbihah/ Mujassimah ini adalah batil karena paham mereka tidak merujuk kepada sunnah Nabi saw dan para sahabatnya.

3. Golongan yang mentawilkan sifat Allah. Golongan ini adalah batil, karena mereka mencari -cari tawil sifat Allah. Sehingga mereka mentawilkan sifat Allah Istawaa pada surah Thaha ayat diatas dengan Istaula. Paham ini dikenal dengan paham Asyaairah Kullabiyah, yang sangat bertentangan dengan paham Ahlu sunnah wal jamaah dan generasi salaf ( 3 generasi dari kalangan para sahabat Nabi saw, tabiin, tabiit tabiin, dan orang-orang yang mengikuti mereka hingga hari kiamat ). Golongan ini adalah diantara golongan yang digambarkan oleh Allah didalam surah ali imran ayat 7, yaitu golongan dimana didalam hati mereka ada cenderung kesesatan untuk mencari-cari takwil ayat mutasyabihat serta menimbulkan fitnah dengannya, golongan ini adalah golongan yang tidak menyadari bahwa tidak ada sisiapa yang mampu mentakwilkan sifat Allah kecuali Allah sendiri. 4. Golongan yang mengitsbatkan ( menetapkan ) sifat-sifat Allah. Golongan ini memahami setiap ayat yang berkenaan sifat Allah, seperti makna Istawaa. Golongan ini adalah golongan yang benar, mereka memahami setiap makna sifat Allah dan beriman dengannya. Mereka beriman kepada namanama Allah s.w.t. dan sifat-sifat-Nya, sebagaimana yang diterangkan dalam al-Quran dan Sunnah Rasul-Nya s.a.w., menurut apa yang layak bagi Allah s.w.t., tanpa tawil (adalah merubah makna dari maknanya yang Haq)dan tathil (adalah menghilangkan makna atau sifat Allah ), tanpa takyif(adalah mempersoalkan hakikat asma dan sifat Allah dengan bertanya bagaimana.), dan tamtsil/ tasybih/ tajsim (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), berdasarkan firman Allah s.w.t.: Tiada sesuatupun yang serupa dengan (ZatNya, sifat-sifatNya, dan pentadbiranNya) dan Dia lah yang Maha Mendengar, lagi Maha Melihat. (asy-Syura 42: 11). Pemahaman yang mengitsbatkan sifat Allah adalah pemahaman yang merujuk kepada Qur an dan sunnah RasulNya, serta para sahabatnya, yang diikuti oleh generasi selanjutnya termasuklah 4 imam mazhab. Golongan yang mengitsbatkan sifat-sifat Allah adalah golongan yang benar dalam memahami sifat sifat Allah dengan merujuk kepada pemahaman generasi salaf. Walaupun golongan ahli bidah senantiasa melemparkan tuduhan dengan berbagai tuduhan, seperti ada yang menuduh mereka berpaham Hasyawiyah, Musyabbihah dan Mujassimah dll. Tiada maksud dari berbagai tuduhan tersebut kecuali mereka ( ahli idah ) ingin menjauhkan manusia dari pemahaman yang haq. Diantara contoh gelar yang melemparkan kepada pengikut hadis dan atsar adalah Fakhruddin ar-Razi, dimana beliau melemparkan gelar terhadap ahli hadis bahwa mereka adalah Hasyawiyah, maka tidak samar lagi bahwa ini adalah termasuk gelar-gelar buruk yang biasanya dilontarkan oleh para ahli bidah dengan tujuan untuk melarikan manusia dari jalan yang benar. Ucapan ar-Razi diatas dibantah dengan ucapan Imam Abu Hatim ar-Razi : Tanda-tanda ahli bidah adalah mencela ahli atsar (hadis). Dan tanda tand ahli kaum Zindiq adalah menggelari ahli atsar dengan Hasyawiyah, dengan bertujuan untuk menggugurkan atsar ( Syarh Ushul Itiqad Ahli Sunnah, al-Lalikai,1/204) Dibantah juga oleh Imam ash-Shabuni yang berkata, Tanda-tanda ahli bidah itu sangat nampak. Tanda-tanda mereka yang paling menyolok adalah permusuhan mereka yang sangat terhadap para pengemban hadis Nabi saw , pelecehan mereka dan gelar mereka terhadap ahli hadis dengan Hasyawiyah, jahalah, Zhahiriyah, dan Musyabbihah. (Aqidah salaf ashabul hadis, hal. 116 ). Dibawah ini saya paparkan satu persatu pembahasan dan pendapat, beserta dalil-dalil tentang benarnya pemahaman golongan yang mengitsbatkan sifat-sifat Allah. Satu golongan yang benar dalam memahami sifatsifat Allah dengan merujuk kepada pemahaman generasi salaf. Semoga dapat

dipahami oleh orang-orang yang senantiasa menuduh bahwa pengikut salaf adalah Mujassimah dan Musyabbihah dan berbagai tuduhan tanpa mengetahui perkara sebenarnya. Dan semoga dapat diterima oleh orang-orang pencari kebenaran yang ikhlas semata-mata ingin memahamai Islam dan taat kepada Allah mengikut pemahaman RasulNya dan para sahabatnya. Sekiranya dapat dipahami : 1. Allah SWT berfirman :


Iaitu (Allah) Ar-Rahman, Yang bersemayam di atas Arasy. (Thohaa: 5) Kata Istawaa didalam surahThaha, ayat 5 diatas adalah sifat Allah. Ayat ini di katagorikan sebagai ayat mutasyabihat. Berkenaan dengan ayat mutasyabihat ini, maka kami mengajak saudara untuk menyemak tafsir surah ali imran ayat 7 yang diambil dari tafsir al azhar, Buya Hamka dibawah ini : Allah berfirman yang artinya : "Dia yang telah menurunkan kepada engkau sebuah Kitab, sebahagian daripadanya adalah ayat-ayat yang muhkam, yaitulah Ibu dari Kitab, dan yang lain adalah (ayat-ayat) yang mutasyabih. " (pangkal ayat 7). Di sini dijelaskanlah bahwasanya ayat-ayat dalam al-Qur'an itu ada dua macam, pertama muhkam; kedua mutasyabih. Misalnya ayat-ayat yang mengenai hukum, memerintahkan sembahyang, membayar zakat, mengerjakan puasa dan naik haji dan sebagainya. Demikian juga tentang pembahagian waris harta pusaka, muhkam sebab jelas diterangkan, misalnya laki-laki rnendapat dua kali sebanyak yang diterima oleh perempuan. Ayat-ayat yang muhkam disebut sebagai Ibu dari Kitab. Ibu Kitab artinya menjadi sumber hukum, yang tidak bisa diartikan lain lagi. Tetapi ada lagi ayat yang mutasyabih. Arti yang asli dari kata mutasyabih ialah serupa-serupa, macam-macam, tidak tepat kepada suatu arti. Panjang lebar perbincangan ulama tentang maksud mutasyabih itu. Kita ambil suatu misal, yaitu ayat-ayat yang mengenai penyendirian hubungan bercampur-gaul di antara suami dengan isteri. Tidak berjumpa satu ayatpun dalam al-Qur'an yang menerangkan hal bersetubuh dengan terang-terang. Yang ada hanyalah perkataan seumpama awlamastumun nisa' yang berarti: atau menyentuh kamu akan perempuan. Atau ma lam tamas suhunna yang berarti: selama belum kamu sentuh mereka. Atau rafatsu ila nisa-ikum yang asal arti kata rafats itu ialah bercakap "main-main" antara suami-isteri seketika akan seketiduran. Atau libasun artinya yang asli ialah pakaian. Kata-kata yang demikian mengandung dua arti yaitu arti yang tersurat dan arti yang tersirat. Sebab itu tidak heran kalau ada ulama fiqh yang berfaham bahwa wudhu' baru batal kalau bersetubuh dan setengah ulama fiqh lagi berfaham wudhu telah batal karena bersentuhan saja. Dimasukkan orang juga dalam ayat-ayat mutasyabih, huruf-huruf yang ada di pangkal surat seperti Alim-Lam-Mim, Alif-Lam-Ra , Ha- Mim , dan sebagainya itu. Karena dia mungkin hanya semata-mata huruf untuk permulaan surat, dan mungkin dia mengandung arti sendiri di belakang yang tertulis. Tetapi yang lebih masyhur dimasukkan ke dalam ayat yang mutasyabih ialah membicarakan beberapa hal berkenaan dengan ketuhanan. seumpama ayat yang menerangkan bahwa Tuhan mempunyai tangan, atau Tuhan mempunyai banyak tangan, atau mempunyai dua tangan, atau Tuhan mempunyai banyak mata, atau Tuhan duduk bersemayam di atas 'Arsy.

Satu keterangan dari Imam as-Syaukani di dalam tafsir Fathul-Qadir tentang muhkam dan mutasyabih ini, yakni setelah beliau memperbincangkan pendapat ulama tentang ini, adalah menarik hati kita buat melengkapkan tafsir ini. Kata beliau, (kita simpulkan): Kalau kita renungkan, dapatlah kita mengambil kesimpulan bahwa seluruh ayat di dalam al-Qur'an itu adalah muhkam yaitu apabila kita meniliknya dari segi ayat-ayat yang lain. Di ayat lain Tuhan bersabda:


"Kitab yang telah dijelaskan ayat-ayatnya.' (Hud:1) Dan sabda Tuhan lagi:


"Itulah ayat-ayat dari kitab yang Hakim " (Yunus: 1) Yang dimaksud adalah kitab yang penuh dengan kebijaksanaan Kata Imam as-Syaukani selanjutnya: "Maksud muhkam di sini ialah benar ucapannya itu, jitu maknanya, penuh dengan balaghah fashahah, melebihi segala perkataan." Dan ada pula ayat yang menerangkan bahwa seluruh ayat ayat al-Qur'an itu mutasyabih. Ada sabda Tuhan di ayat lain:


"Kitab yang berserupa-serupaan !' (az-zumar 23) Maksud mutasyabih dengan rnakna ini ialah bahwa ayat yang satu menyerupai ayat yang lain dalam kebenarannya, dalam kefasihannya, dalam keindahan dan dalam balaghahnya. Demikian kesan asSyaukani. Setengah ahli ilmu berkata bahwa terdapatnya ayat-ayat yang mutasyabih dalam al-Qur'an banyak pula faedahnya. Diantaranya ialah bahwa untuk mencapai arti dan maksudnya dan kebenaran yang terkandung di dalamnya, lebih sukar daripada ayat yang muhkam. Dengan sebab yang demikian niscaya lebih besarlah pahala bagi orang-orang yang mujtahid, yang bersungguh-sungguh mengkajinya. Mufassir az-Zamakhsyari dan ar-Razi setelah menguraikan beberapa pendapat tentang muhkam dan mutasyabih ini, akhirnya sampai kepada kesimpulan yang seperti ini. Yang maksudnya, adanya ayat yang mutasyabih bukanlah menutup pintu buat berfikir, tetapi menambah pahala bagi kesungguhan


"Adapun orang-orang yang didalam hatinya ada kesesatan, maka mereka cari-carilah yang mutasyabih daripadanya itu, karena hendak membuat fitnah dan karena hendak menta'wil." Ayat ini menjelaskan bahwa ayat yang mutasyabih itu dapat dipergunakan oleh orang yang di dalam hatinya sudah ada bibit kesesatan untuk membuat fitnah. Atau untuk mencari penafsiran sendiri. Ta'wil artinya ialah tafsir. Misalnya bertemu ayat bahwa Tuhan bersemayam di 'Arsy . lalu dibuatnya arti sendiri sehingga terbayanglah seakan-akan Allah itu seorang raja yang sedang duduk enak-enak

di atas kursi singgasana mahligai. Atau Tuhan bertangan, dibuatnya ta'wil menurut seenaknya sendiri. sehingga melanggar hak Tuhan. Maksudnya salah satu dari dua pertama karena membuat fitnah, membuat onar, sehingga i'tikad orang jadi rusak. Kedua hendak menunjukkan bahwa maksud itu timbul dari hati yang sesat dan jahat. "Padahal tidaklah mengetahui akan ta 'wilnya itu, melainkan Allah." Oleh sebab itu maka ta'wil yang sah dari ayat Allah hanyalah ta'wil yang datang dari Allah sendiri. Adapun segala ta'wil yang timbul dari hati yang sesat, pasti tidak benar. Dengan ini bukanlah berarti bahwa semua orang dilarang menta'wilkan ayat yang mutasyabih. Dia boleh dita'wilkan asal menurut tuntunan Tuhan. Itulah sebabnya maka lanjutan ayat berbunyi: "Dan orang-orang yang telah mendalam padanya ilmu, berkata mereka. Kami percaya kepadanya, semuanya itu adalah dari sisi Tuhan kami." Artinya bahwa ayat-ayat yang mutasyabih itu diterimanya dalam keseluruhan, dan tidak dia mencari ta'wil yang timbul dari hati tersesat; melainkan dengan hati tunduk kepada Allah. Dan selalu ia memohon kepada Tuhan agar Tuhan menambah lagi ilmunya. " Ya Tuhanku! Tambahkan untukku ilmu." Ar-Rasikhuna fil-ilmi , orang yang telah rasikh ilmunya, artinya telah dalarn, telah berurat, telah dianugerahi Tuhan segala kunci-kunci ilmu. Maka menurut kebiasaannya, apabila orang yang telah amat mendalam ilmunya mengakuilah dia akan kekurangannya. Sebagaimana Imam Syafi'i yang termasuk barisan orang rasikh, pernah berkata: " Tiap-tiap Tuhan menambah ilmuku, bertambahlah aku faham akan kejahilanku." Oleh sebab itu maka pada pokoknya Tuhan Allah sendiri yang tahu akan ta'wil ayat-ayatNya , Tuhan pun bisa memberikan ilmu ta'wil itu kepada barang siapa yang Dia kehendaki dari hambaNya. Nabi kita saw pernah memohonkan kepada Tuhan Allah, agar Ibnu Abbas diberi ilmu: " Ya Tuhan! Berilah dia faham tentang agama dan ajarlah kiranya dia menta'wilkan." Itu pula sebabnya maka ulama-ulama dan penganut Madzhab Salaf tidak mau mencari ta'wil atau tafsir dari ayat-ayat yang mengenai sifat Tuhan tadi. Misalnya tentang Allah bertangan, Allah mempunyai banyak mata, Allah bersemayam di `Arsy. Ketika Imam Malik ditanyai orang tentang tafsir ayat Tuhan bersemayam di `Arsy itu, beliau berkata: "Arti `Arsy kita tahu , arti bersemayam kita faham, tetapi bagaimana caranya Tuhan bersemayam itu tidaklah dapat kita ketahui. Sedang menanyakan hal yang demikian adalah haram." 2. Pemahaman tentang adanya Allah dilangit dalam surah Thaha ayat 5 diperkuat oleh keterangan Rasulullah saw didalam hadis Muawiyah Ibn hakam as-Sulamy saat dia bertanya kepada budak perempuan dengan soalan dimanakan Allah SWT ?Lantas budak tersebut menjawab bahwa Allah di langit. Rasulullah mendiamkan jawaban itu, diamnya nabi saw berarti bersetuju dengan jawaban itu. Pemahaman ini juga yang dipegang oleh Nabi saw dan para sahabat ya , dimana mereka adalah orang

arab yang sangat memahami bahasa arab, tidak ada dalam sejarah mereka memahami kata istawa dengan makna istaula, sehingga mengatakan bahawa Allah berada dimana-mana, sebagaimana pemahaman sebahagian masyarakat hari ini. Adapun hadis tersebut adalah : sabda Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam, Tidakkah kalian percaya padaku sedangkan aku adalah kepercayaan Yang berada di atas langit. Datang kepadaku wahyu dari langit di waktu pagi dan petang. (HR. Bukhori-Muslim). Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam juga bersabda, Orang-orang yang penyayang akan disayangi oleh Yang Maha Rahman, sayangilah siapa saja yang ada di bumi niscaya kalian akan disayangi oleh Yang berada di atas langit. (HR Abu Dawud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Imam Al -Albani).

: . . . . : : : : : . : .
"Berkata Muawiyah bin Hakam as-Sulami: Aku memiliki seorang hamba wanita yang mengembalakan kambing di sekitar pergunungan Uhud dan Juwainiyah. Pada suatu hari aku melihat seekor serigala menerkam dan membawa lari seekor kambing gembalaannya. Sedang aku termasuk seorang anak Adam kebanyakan. Maka aku mengeluh sebagaimana mereka. Kerananya wanita itu aku pukul dan aku marahi. Kemudian aku menghadap Rasulullah, maka baginda mempersalahkan aku. Aku berkata: Wahai Rasulullah, adakah aku harus memerdekakannya!" Jawab Rasullullah: Bawalah wanita itu ke sini. Maka Rasulullah bertanya kepada wanita itu. Di mana Allah? Dijawabnya: Di langit. Rasullullah bertanya lagi: Siapa aku? Dijawabnya: Engkau Rasullullah. Maka baginda bersabda: Merdekakanlah wanita ini kerana dia adalah seorang mukminah". (H/R Muslim dan Abi Daud) -sabda Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam, Tidakkah kalian percaya padaku sedangkan aku adalah kepercayaan Yang berada di atas langit. Datang kepadaku wahyu dari langit di waktu pagi dan petang. (HR. Bukhori-Muslim). -Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam juga bersabda, Orang-orang yang penyayang akan disayangi oleh Yang Maha Rahman, sayangilah siapa saja yang ada di bumi niscaya kalian akan disayangi oleh Yang berada di atas langit. (HR Abu Dawud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Imam Al -Albani). Para sahabat Nabi saw juga berpendirian sebagaimana apa yang di firmankan Allah dan apa yang disabdakan RasulNya di atas, seperti : -Abdullah bin Abbas , pakar tafsir dari kalangan sahabat Nabi saw, Mujahid-murid beliau, Abul Aliyah, dan Ishaq bin Rahawaih menafsirkan Istawaa pada surah alAraf, ayat 54 : Allah berada di atas arsy dan tinggi. ( Bukari, kitab tauhid ). Inilah pendapat yang dipilih ulama tafsir Ibnu Jarir ath-Thabari dalam tafsirnya. -Umar al-Khathab menyatakan bahawa: Bahawasanya segala urusan itu (datang) dari sana (sambil mengisyarat-kan tangannya ke langit).

(al-Imam az-Zhahabi di dalam kitab-nya menyatakan bahawa riwayat ini sahih.) -Daripada Ibnu Abbas (ia berkata) bahawa Rasulullah s.a.w. berkhutbah kepada manusia pada hari Nahr (tanggal 10 Zulhijjah) kemudian Ibnu abbas menyebutkan khutbah Nabi s.a.w. kemudian beliau mengangkat (mendongakkan) kepalanya ke arah langit sambil mengucapkan: Ya Allah bukankah aku telah menyampaikan! Ya Allah bukankah aku telah menyampaikan! (Riwayat Imam Bukhari, juz.2 halaman 191) -Zainab binti jahsyi, berbangga terhadap para isteri Rasulullah saw lainnya dengan mengatakan , kalian dinikahkan dengan Rasulullah saw oleh keluarga kalian sedangkan aku dinikahkan oleh Allah dari atas langit yang ketujuh". HR Bukhari. Begitu banyak dalil-dalil al-Quran yang lain yang mana begitu jelas yang menunjukkan bahawa Allah itu bersemayam di arsy di langit. Tidak harus wujud penamaan sifat yang lain dengan nama yang lain bagi menggantikan kalimah istawa, yang mana telah ditetapkan oleh Allah s.w.t. sendiri kepada diriNya. Siapa kita yang mahu menukarkan makna kalimah istawa (bersemayam) kepada istawla (berkuasa)? Sehingga mengatakan bahawa Allah SWT berada dimana-mana. Adakah kita orang yang layak, sedangkan kita tidak langsung mengetahui. Adakah akal kita telah benar-benar bijak sehingga mampu menukar ketetapan yang telah ditetapkan oleh Allah s.w.t. sendiri ke atas diri-Nya? Allah berfirman :


Maka tidak ada Yang lebih zalim dari orang-orang Yang berdusta terhadap Allah. (al-Kahfi: 15) Terdapat banyak ayat, di mana Allah menyatakan dan menetapkan yang Dirinya itu bersemayam di ). Dan andainya Allah mahu arsy dengan menggunakan kalimah istawa alal arsy ( menamakannya dengan nisbahan yang lain, tentu Allah sudah menunjukkannya dengan jelas. Adalah kesilapan yang disengajakan yang paling besar andainya ada di antara mereka (manusia) menukarnukar kalimah al-Quran yang telah sedia ditetapkan oleh Allah dengan kalimah-kalimah yang lain menurut akal, prasangka, dan hawa nafsu. Maha Suci Allah dari semua itu. Berikut kami sampaikan perkataan Sheikh Soleh Abdullah Fauzan di dalam Kitab Tahid-nya ) : (maksudnya) dalam menafsirkan ayat yang berkenaan dengan istawa alal arsy ( Bahawa wajib - Menetapkan nama-nama (asma) untuk Allah s.w.t. seperti mana Allah menetapkannya, dan maka siapa yang menafikannya bererti ia telah menafikan apa yang telah ditetapkan Allah dan juga bererti dia telah menentang Allah s.w.t. Bahawasanya Allah s.w.t. mengancam orang-orang yang ilhad (menyelewengkan) dalam asma-Nya dan Dia akan membalas perbuatan mereka yang buruk itu. Berkata Sheikh Soleh Abdullah Fauzan seterusnya; dalam tujuh ayat di dalam Quran ini (7:54 , 12:3, 13:2, 20:5, 25:59, 32:4, 57:4) lafaz istawa datang dalam bentuk dan lafaz yang sama. Maka hal ini menyatakan bahawa yang dimaksudkan adalah maknanya yang hakiki yang tidak menerima tawil, iaitu ketinggian dan keluhuran-Nya di atas arsy. Arsy menurut bahasa Arab adalah singgahsana untuk raja. Sedangkan yang dimaksudkan dengan

Arsy di sini adalah singgahsana yang mempunyai beberapa kaki yang dipikul oleh malaikat, ia merupakan atap bagi semua makhluk (rujuk al-Mumin ayat 7 dan al-Haqqah ayat 17). Sedangkan bersemayamnya Allah di atasnya (arsy) adalah yang sesuai dengan keagungan-Nya. Kita tidak mengetahui kaifiyah (cara-nya), sebagaimana kaifiyah sifat-sifat-Nya yang lain. Akan tetapi kita hanya menetapkannya sesuai dengan apa yang kita fahami dari maknanya dalam bahasa Arab, sebagaimana sifat-sifat lainnya, kerana memang al-Quran diturunkan dengan bahasa Arab. Saat membincangkan adakah Allah bertempat, karena kita mengatakan bahwa Allah dilangit? Jawabannya tentu Allah adalah Dzat tanpa tempat.

( )
Diriwayatkan Imam Bukhori dan Muslim dn Bayhaqi dalam kitab Asma wa al shifat 260 Artinya : "Sesungguhnya Nabi Shollallahu 'alaihi wa Sallam ketika di tanya tentang ayat (Tsumma dana fa tadalla fa kana qoba qowsaini aw adna) Bersabdalah Nabi, IA ADALAH JIBRIL KARENA SESUNGGUHNYA ALLAH DZAT YG WUJUD TANPA TEMPAT, MAKA TIDAK BOLEH DI SHIFATI DG BEBERAPA SHIFATNYA JISIM DAN TIDAK DI SHIFATI DG JARAK JANGKAUAN" Perhatikan hadis diatas,....Nabi saw mengatakan Allah adalah Dzat yang wujud tanpa tempat. Inilah yang dijadikan pegangan imam syafii dan golongan salaf untuk mengatakan bahwa Allah adalah Dzat tanpa tempat. Adakah ia ( perkataan Allah tidak bertempat ) bertentangan dengan sabda Nabi pada Hadis yang lain dimana Beliau mengatakan bahwa Allah dilangit? Jawannya tidak, karena dua duanya adalah sifat Allah yang harus kita pahami maknanya dan beriman kepadaNya daripada mentakwilkannya. Ini kaedah yang Allah dan RasulNya ajarkan kepada kita, ini yang di pahami golongan salaf, ini yang di pahami oleh para 4 imam mazhab ( yang sebagian pengikutnya mengikut paham asyaairah ). Dua sifat diatas akan nampak bertentangan jika kita mengkajinya dengan akal kita saja, tanpa merujuk metode Nabi saw dan para sahabatnya, seperti golongan asyaairah yang akhirnya terpaksa harus mentakwilkan Istawaa kepada Istaula, karena dilihat ketidakcocokan menurut akal mereka. Manakala yang berikut pula adalah dalil-dalil dari Al-Quran yang mengukuhkan lagi kenyataan yang Allah itu di langit : 1. Pusat Pemerintahan Allah juga di Langit (Mentadbir Dari Langit)


Patutkah kamu merasa aman (tidak takut) kepada Tuhan yang pusat pemerintahan-Nya di langit itu: menunggang-balikkan bumi menimbus kamu, lalu bergegarlah bumi itu Dengan serta-merta (melenyapkan kamu di bawahnya)? (al-Mulk: 16) Allah berfirman :

Allah mentadbirkan segala urusan dari langit ke bumi; Kemudian urusan itu naik kepada -Nya... (asSajdah: 5) 2. Manakala berikut, menunjukkan naik-nya amalan Amalan-amalan yang baik itu akan naik kepada Allah. Apabila istilah naik digunakan, bermakna kedudukannya mestilah menghala ke atas. Ke atas adalah dimaksudkan menuju ke tempat yang tinggi, iaitu langit. Allah berfirman : Kepada Allah-lah naiknya Segala perkataan Yang baik (yang menegaskan iman dan Tauhid, untuk dimasukkan ke Dalam kira-kira balasan), dan amal Yang soleh pula di angkatnya naik (sebagai amal Yang makbul - Yang memberi kemuliaan kepada Yang melakukannya). (al-Fatheer: 10) 3. Manakala berikut, dalil menunjukkan bahawa Jibril itu naik menghadap Tuhanya-Nya


Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Rabb. (al-Maarij: 4)

4. Begitu juga dalil yang berikut ini, iaitu di mana Firaun memperolok-olokkan kenyataan nabi Musa a.s.: , Dan Firaun pula berkata: "Hai Haman! binalah untukku sebuah bangunan Yang tinggi, semoga Aku sampai ke jalan-jalan (yang Aku hendak menujunya) "(Iaitu) ke pintu-pintu langit, supaya Aku dapat melihat Tuhan Musa; dan Sesungguhnya Aku percaya Musa itu seorang pendusta!" Demikianlah diperhiaskan (oleh Syaitan) kepada Firaun akan perbuatannya Yang buruk itu untuk dipandang baik, serta ia dihalangi dari jalan Yang benar; dan tipu daya Firaun itu tidak membawanya melainkan ke Dalam kerugian dan kebinasaan. (al-Mumin: 36-37) Maka, barangsiapa mengatakan Allah itu tidak di langit atau memepermainkan (mendustakan) pernyataan yang menunjukkan Allah itu di langit, maka dia menyerupai Firaun yang mempermainkan kata-kata Musa a.s.. 5. Allah Mengangkat (Menunjukkan Naik Ke Atas) Isa Ke Sisi-Nya (ingatlah) ketika Allah berfirman: "Wahai Isa! Sesungguhnya Aku akan mengambilmu dengan sempurna, dan akan mengangkatmu ke sisiKu (Ali Imran: 55)

Allah berfirman : Bahkan Allah telah mengangkat Nabi Isa kepadanya; dan adalah Allah Maha Kuasa, lagi Maha Bijaksana. (an-Nisa: 158) 6. Kedudukan Allah Yang Di Atas Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka dan melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka). (an-Nahl: 50) 7. Perihal Penurunan al-Quran (Dari Langit) ) ( )( ) )( Dan Sesungguhnya Al-Quran (yang di antara isinya kisah-kisah Yang tersebut) adalah diturunkan oleh Allah Tuhan sekalian alam. ia dibawa turun oleh malaikat Jibril Yang amanah. ke Dalam hatimu, supaya Engkau (Wahai Muhammad) menjadi seorang dari pemberi-pemberi ajaran dan amaran (kepada umat manusia). (ia diturunkan) Dengan bahasa Arab Yang fasih serta terang nyata. (asSyuara: 192-195) Allah berfirman : Turunnya Kitab Al-Quran ini dari Allah, Yang Maha Kuasa, lagi Maha Bijaksana. (az-Zumar: 1) 8. Berita-Berita Langit ) ( Dan Bahawa Sesungguhnya Kami telah berusaha mencari berita langit, lalu Kami dapati langit itu penuh Dengan pengawal-pengawal Yang sangat kuat kawalannya, dan (dengan rejaman-rejaman) api Yang menyala. Padahal Sesungguhnya Kami dahulu biasa menduduki tempat-tempat (perhentian) di langit untuk mendengar (percakapan penduduknya para malaikat); maka sekarang sesiapa Yang cuba Mendengar, akan mendapati api Yang menyala Yang menunggu merejamnya. (al-Jin: 8-9) Dan sekian banyak lagi dalil-dalil al-Quran yang jelas menunjukkan Allah itu di langit di arsy-Nya. Begitu juga dengan perihal kisah nabi isra dan mikraj, di mana nabi menuju ke langit. Adapun Dalil daripada atsar (sahabat Rasulullah s.a.w.) adalah : 1. Umar al-Khathab menyatakan bahawa: Bahawasanya segala urusan itu (datang) dari sana (sambil mengisyarat-kan tangannya ke langit). (al-Imam az-Zhahabi di dalam kitab-nya menyatakan bahawa riwayat ini sahih) 2. Riwayat daripada Ibnu abbas pula (maksudnya); Daripada Ibnu Abbas (ia berkata) bahawa Rasulullah s.a.w. berkhutbah kepada manusia pada hari

Nahr (tanggal 10 Zulhijjah) kemudian Ibnu abbas menyebutkan khutbah Nabi s.a.w. kemudian beliau mengangkat (mendongakkan) kepalanya ke arah langit sambil mengucapkan: Ya Allah bukankah aku telah menyampaikan! Ya Allah bukankah aku telah menyampaikan! (Riwayat Imam Bukhari, juz.2 halaman 191) Diantara keterangan para ulamak tentang Allah SWT dilangit adalah : 1.Hujah Para imam Ahlus Sunnah wa-al-Jamaah (dan para Tabi Tabiien): Telah berkata Imam abu Hanifah: Barangsiapa yang mengingkari sesungguhnya Allah berada di atas langit, maka sesungguhnya dia telah kafir. 2. Telah berkata Imam Malik Bin Annas: Allah berada di langit sedangkan ilmu-Nya di tiap-tiap tempat dan tidak tersembunyi sesuatupun dari-Nya. 3. Telah berkata imam as-syafie: Dan Allah di atas arsy-Nya di atas langit-Nya. 4. Telah berkata Imam Ahmad: Benar! Allah di atas arsy-Nya dan tidak sesuatupun yang tersembunyi dari pengetahuan-Nya. 5. Telah berkata imam at-Tirmidzi: Telah berkata ahli ilmu: Dan Ia (Allah) di atas arsy sebagaimana Ia telah menetapkan diri -Nya. (Rujukan daripada Kitab al-Uluw, oleh Imam az-Zhahabi) 6. Telah berkata imam Ibnu Khuzaimah: Barangsiapa yang tidak menetapkan sesungguhnya Allah di atas arsy-Nya Ia istiwa di atas tujuh langit-Nya, maka ia telah kafir dengan Tuhan-Nya (setelah hujah ditegakkan)... (Sahih, dikeluarkan oleh al-Hakim di dalam kitabnya Marifah ulumil-Hadits, halaman 84) 7. Telah berkata Sheikhul Islam imam Abdul Kadir Jailani: Tidak boleh mensifatkan-Nya bahawa Ia (Allah) berada di tiap-tiap tempat (Allah di mana-mana). Bahkan wajib mengatakan, Sesungguhnya Ia di atas langit (iaitu) di atas arsy-Nya sebagaimana Ia telah berfirman: ar-Rahman di atas arsy, Ia istawa, di dalam surah Thoha, ayat ke 5. (Fatwa Hamawiyyah Kubra, halaman 87) 8. Berikut pula saya membawakan kata-kata ibnu Katheer di dalam tafseernya, yang mana ) sebagai di bawah (petikan di bawah). mentafsirkan ayat summas tawa alal arsy ( "Sesiapa mengingkari sesungguhnya Allah berada di atas langit, maka sesungguhnya dia telah kafir. Adapun terhadap orang yang tawaqquf (diam) dengan mengatakan: Aku tidak tahu apakah Tuhanku

di langit atau di bumi? Berkata al-Imam Abu Hanifah: Sesungguhnya dia telah kafir kerana Allah telah berfirman: Ar-Rahman di atas Arasy al Istiwa" (Lihat: Mukhtasar al-Ulum, Hlm. 137. Imam AzZahabi. Tahqiq al Albani) "Allah berada di atas langit sedangkan ilmu-Nya di tiap-tiap tempat (di mana-mana), tidak tersembunyi sesuatupun daripada-Nya" (Lihat: Mukhtasar al-Ulum, Hlm. 137. Imam Az-Zahabi. Tahqiq al Albani, Hlm. 140) "Benar, Allah di atas Arasy-Nya dan tidak sesiapapun yang tersembunyi daripada pengetahuan-Nya" (Lihat: Mukhtasar al-Ulum, Hlm. 137. Imam Az-Zahabi. Tahqiq al Albani, Hln. 188) "Barangsiapa TIDAK menetapkan Allah Ta'ala di atas Arasy-Nya dan Allah istiwa di atas tujuh langitNya, maka ia telah kafir dengan Tuhannya". (Lihat: Ma'rifah Ulum al-Hadis. Hlm. 84. Riwayat yang sahih, dikeluarkan oleh al-Hakim) Berkata lagi Imam Ibnu Khuzaimah (dari kalangan ulama as-Syafieyah): "Kami beriman dengan khabar dari Allah Jalla wa-'Ala sesungguhnya Pencipta kami Ia beristiwa (bersemayam) di atas Arasy-Nya. Kami Tidak mengganti/mengubah kalam (firman) Allah dan kami tidak akan mengucapkan perkataan yang tidak pernah dikatakan (Allah) kepada kami sebagaimana (perbuatan kaum) yang menghilangkan sifat-sifat Allah seperti golongan Jahmiyah yang pernah berkata: Sesungguhnya Dia istawla (menguasai) ArasyNya b ukan istiwa (bersemayam). Maka mereka telah mengganti perkataan yang tidak pernah dikatakan (Allah) kepada mereka, ini menyerupai perbuatan Yahudi tatkala diperintah mengucapkan: Hithtatun (Ampunkanlah dosa-dosa kami), tetapi mereka mengucapkan (mengubah): Hinthah (makanlah gandum)! Mereka (kaum Yahudi) telah menyalahi perintah Allah Yang Maha Agung dan Maha Tinggi maka seperti itulah (perbuatan kaum) Jahmiyah". (Lihat: Kitabut Tauhid Fi Ithbatis Sifat. Hlm. 101. Oleh Ibnu Khuzaimah) Beliau menjelaskan: "Tidak boleh mensifatkan Allah bahawa Ia berada di tiap-tiap tempat. Bahkan (wajib) mengatakan: Sesungguhnya Allah di atas langit (yakni) di atas Arasy sebagaimana Ia telah berfirman: Ar-Rahman di atas Arasy, Ia beristiwa.(Surah Taha, 20:5) Dan wajiblah memutlakkan sifat istiwa tanpa takwil, sesungguhnya Allah istiwa dengan Zat-Nya di atas Arasy. Keadaan-Nya di atas Arasy disebut pada tiap-tiap kitab yang Ia turunkan kepada tiap-tiap Nabi yang Ia utus tanpa bertanya (para nabi yang diutus tidak bertanya): Bagaimana caranya (Allah istiwa di atas ArasyNya)?" (Lihat: Fatawa Hamwiyah Kubra. Hlm. 84) Imam Az-Zahabi, salah seorang ulama besar bermazhab Syafie: Sesiapa mengingkari bahawa Allah Azza wa-Jalla di langit, maka dia seorang yang kafir. (Lihat: oleh al-Hafiz Syamsuddin az-Zahabi. Hlm. 137). Adapun fatwa kafir, yang ditujukan oleh para ulama diatas adalah bukan untuk semua pengikut asyaairah secara keseluruhan. Fatwa kafir diatas ditujukan kepada sesiapa dari golongan asyaairah ( sebagai contoh ) yang mengetahui kebenaran ( pendapat wajibnya untuk mengitsbatkan sifat-sifat Allah ), tetapi mereka mengingkarinya. Adapun untuk pengikut-pengikut asyaairah yang awam, yang tidak tahu apa-apa dalam pembahasan ini, maka mereka tidak kafir. Mereka tetap ahlu sunnah wal jamaah dengan akidah fitrahnya, akidah ahlu sunnah wal jamaah. Perkara ini penting saya sampaikan karena banyak pendakwah dan pelajar yang salah paham dalam hal ini. Diantara orang yang tidak mengetahui terkadang menuduh pengikut salaf mengkafirkan para ulama tertentu, bahkan dengan

beraninya mereka menuduh bahwa pengikut salaf mengkafirkan 4 imam mamazhab, padahal 4 imam mazhab tidak berakidah asyaairah sebagaimana apa yang mereka pegang dan yakini. Siapakah mereka yang kafir tersebut? Hanya Allah yang tahu, para ulama ahlu sunnah wal jama'ah memfatwakan secara umum berdasarkan pada pendapat dan amalan seseorang, tetapi tidak mengkafirkan orang, sehinggalah memang terbukti menentang hukum Allah secara terang-terangan baik pada ucapan maupun perbuatan. -Berikut kita lihat kata-kata Al-Hafidz Ibnu Katsir Rahimahullah: Adapun firman-Nya: Kemudian Dia bersemayam di atas arsy. (al-araaf: 54) Orang-orang mempunyai berbagai pendapat dalam permasalahan ini dan sekarang bukanlah tempatnya untuk membahasnya secara luas, namun dalam perkara ini, kita menempuh mazhab para salafus-Soleh seperti imam Malik, al-Auzai, ats-Tsauri, al-Laits bin Saad, as-Syafie, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih dan lain-lain dari kalangan para imam kaum muslimin, baik yang dahulu mahupun yang sekarang, iaitu membiarkan sebagaimana datangnya tanpa takyif, tasybih dan tathil. Apa yang terbersit (tergambar) di dalam benak fikiran orang-orang Musyabbih (yang menyamakan sifat Allah dengan makhluk-Nya) tidak terdapat pada Dzat allah s.w.t., sebab Allah sedikitpun tidak sama dengan makhluk-Nya. Allah berfirman (maksudnya): Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia dan Dialah yang maha mendengar lagi Maha melihat. (as-Syuura: 11) Bahkan perkara ini sebagaimana yang dikatakan oleh salah seorang imam yang bernama Nuaim bin Hammad al-Khuzai, guru kepada imam al-Bukhari: Barangsiapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, maka dia telah kafir. Barangsiapa yang mengingkari apa yang telah disifatkan Allah terhadap Dzat-Nya, maka ia telah kafir. Apa yang Allah sebutkan tentang sifat-sifat-Nya dan yang Rasulullah s.a.w. sebutkan tentang sifat-sifat Allah tidak merupakan tasybih (penyerupaan Allah dengan Makhluk). Barangsiapa yang menetapkan untuk allah apa yang dengan jelas telah tercantum dalam ayat dan hadith-hadith sahih yang sesuai dengan kemulian Allah serta menafikan dari Dzat Allah semua sifat kekurangan, bererti ia telah menempuh jalan petunjuk. (Tafseer al-Azim, Ibnu Kather) -Imam Ibnul Arabi , ulama pakar bahasa arab ketika diminta oleh tokoh mutazilah, Ahmad bin abu duwad untuk mencari makna istawa yang artinya istaula ( menguasai ) dalam bahasa arab, maka beliau menjawab, demi Allah itu tidak ada, aku tidak menemukannya ( dikeluarkan oleh khatib alBaghdadi dalam tarikh baghdad, 5/283). Pakar bahasa lainnya Imam khalil bin Ahmad ketika ditanya juga berkata,makna Istaula tidak dikenal oleh orang arab dan tidak ada dalam bahasa mereka ( Majmu Fatawa 5/146 ), Ibnul Jauzi berkata ,makna itu dalam bahasa arab adalah mungkar ( Zadul Masiir,3/213 ), Ibnu Abdil Barr berkata, Ucapan mereka yang mentakwil Istawa menjadi Istaula tidak sesuai, karena tidak didapati dalam bahasa arab ( At- Tamhid, 7/131 ) Jelaslah bahawa, hakikat-nya para imam itu sendiri seperti ibnu Katheer, as-Syafie, imam Ahmad bin Hanbal, imam Malik, dan lain-lain adalah bersama para salaf dalam menyatakan bahawa Allah itu bersemayam di arsy selaras dengan keagungan-Nya tanpa tawil dan tatil. Rujukan: 1 - Kitab al-Ibaanah al-usul ad-Diyanah, Imam Abu Hasan al-Asyary.

2 - Kitab Aqidah Shahih Penyebab Selamatnya Seorang Muslim, al-Hafizd Abu Bakar al-Humaidi, Pustaka Imam as-Syafie, Indonesia. 2 - al-Aqidah at-Thahawiyyah, imam Abu Jaafar at-Thahawi. 3 - al-Uluw, al-imam az-Zhahabi. 4 - Fatwa Hamawiyyah Kubra, Sheikhul Islam Ibnu Taimiyyah. 5 Tafseer Ibnu Katheer, e-Book Terbitan Darussalam (english version). 6 at-Tauhid Lish-Shafil Awwal al-'Ally, Sheikh Dr. Soleh Fauzan Bin Fauzan Bin Abdullah alFauzan.

Tuhan yang Maha Pemurah bersemayam di atas `Arsy. (QS. Thaha: 5) Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali wajah Allah. bagi-Nyalah segala penentuan, dan Hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan. (QS. Al-Qashash: 88) Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu Sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah, tangan Allah di atas tangan mereka. (QS. Al-Fath: 10) Tuhanmu datang dan malaikat berbaris-baris. (QS. Al-Fajr: 22) Allah murka dan mengutuk mereka serta menyediakan bagi mereka neraka jahannam. dan (neraka Jahannam) Itulah sejahat-jahat tempat kembali. (QS. Al-Tafh: 8)

Penafsiran pada masa Rasul bersumber dari rasul sendiri melalui al wahyu al-ilahiyi atau melalui para sahabat yang berdasar pada penafsiran (ijtihad al-sohabi). Para sahabat ini mempunyai keutaman-keutamaan dalam menjelaskan nash-nash. Ilmu penafsiran terus berkembang sejalan waktu, dan muncul pula ilmuilmu lain tentang Al-Quran. Dalam hal ini kemudian para ulama mengkelompokkan sendiri ilmu tentang Al-Quran tersebut dalam wadah ulumul quran. As-Suyuti menuliskan ada 300 lebih ulumul quran, hingga akhirnya beliau memutuskan deadlock untuk membahas banyak ilmu tersebut. Secara garis besar babakan penafsiran dibagi menjadi dua periode yakni periode pertama dimulai oleh Rosullah SAW sebagai penafsir awal (al-mufasirul awal) yang kemudian dilanjutkan oleh para shohabat, serta tabiin, kemudian dilanjutkan periode kedua yang dimulai semenjak tahun 150 H. Dengan demikian ada tiga sumber yang dijadikan rujukan oleh para mufasirin dalam menfsirkan ayatayat Allah tersebut pertama Al-Quran itu sendiri karena terkadang satu hal yang dijelaskan secara global di satu tempat dijelaskan secara lebih terperinci di ayat lain. Kedua Rasulullah SAW melalui sabda-sabda beliau yang termaktub dalamAl-hadits. Ketiga Ijtihad yang telah dilakuan oleh shohabat dan ulama-ulamayang mendalam ilmunya (Arrosikhun fil ilmi). Secara bahasa Tafsir mempunyai makna idhoh dan tabyin yang berarti menjelaskan atau menerangkan, secara istilah tafsir adalah suatu ilmu yang di bahas di dalamnya tentang

keadaan-keadaan Al-Quran dari segi turunnya, segi lafalnya dan segi sanadnya segi cara menyebutkan,segi lafalnya dan segi makna-makna yangberpautan dengan lafal dan yang berpautan dengan hukum Sebagaimanadifirmankan Allah bahwa alquran terdiri dari ayat-ayat yang muhkam danmutasabih. Muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat di ketahui secara langsung tanpa memerlukan keterangan lain, sedangkan mutasyabih memerlukkan penjelasandengan merujuk kepada ayat-ayat lain. Dalam tafsir munir di jelaskan bahwa muhkam adalah ayat yang jelas maksudnya dan tidak ada ikhtilaf dalammaknanya.Mutasyabih ayat yang tidak jelas maknanya dan ada ikhtilaf antaradhohir lafadz dengan makna yang di inginkankan dari lafald itu sendiri. Seperti pada awal-awal surat. Biarpun ayat tersebut adalah ayat yang muhkam, tapi bagaimanapun juga yang namanya tafsir sangat tergantung kepada kemampuan personal yang menjelaskannya.Kemampuan itu bertingkat-tingkat sehingga apa yang dicerna atau diperoleh olehseseorang penafsir dari Al-Quran bertingkat-tingkat pula. Kecenderunganmanusia juga berbeda-beda, sehingga apa yang dihidangkan dari pesan pesanIlahi dapat berbeda antara yang satu dengan yang lain. Selain itu jugakeberadaan seseorang pada lingkungan budaya atau kondisi sosial, danperkembangan ilmu, juga mempunyai pengaruh yang tidak kecil dalam menangkappesan-pesan Al-Quran. Selain itu pengaruh perbedaan penafsiran juga bisadisebabkan perbedaan dalam methode, dan pendekatan, juga tekhnik interpretasiyang mana hal itu bisa melahirkan produk yang berbeda dari pemikiranmufassirun.

Suatu hal yang perlu kita sedari bahawasanya, hadith Al-Jariyyah riwayat Imam Muslim dengan lafaz aina Allah ini setelah kita selidiki, didapati bahawasanya ianya tidak boleh dijadikan sandaran kepada masalah aqidah kerana faktor-faktor yang telah diperbincangkan pada fasal yang pertama sebelum ini. Selain daripada ianya syaz (terasing dengan menyalahi yang lebih banyak) dan mudthorib (marjuh atau lemah berbanding yang lebih kuat) dari sudut matannya, ianya juga merupakan hadith yang kembali kepada berbilang-bilang lafaz sehingga tidak lagi boleh dijadikan dalil yang qat'ie yang membawa kepada ilmu atau keyakinan. Namun, perbahasan tersebut jika dinilai hadith Al-Jariyyah ini dinilai daripada segenap sudut, samada dari sudut perbandingan riwayat, dari sudut perbandingannya dengan usul Islam, perbandingan sanad dan matan dan sebagainya akan membawa kepada keputusan sedemikian (iaitu hadith Al-Jariyyah versi Imam Muslim adalah mudthorib dan sebagainya). Adapun jika kita menilai hadith Al-Jariyyah versi riwayat Imam Muslim ini secara zatnya, berteraskan aqidah yang sejahtera, tanpa membuat perbandingan riwayat dan sebagainya (walaupun pada hakikatnya, pembuktian ilmiah perlu melalui proses perbandingan riwayat ini), kita akan dapati, lafaz aina Allah (di mana Allah) dan lafaz fi As-Sama' (Allah di langit) itu sendiri merupakan daripada nas-nas mutasyabihat, yang mana yang dimaksudkan bukanlah dengan makna zahir bagi nas-nas tersebut.

Ia kembali kepada dua pendirian utama ahlus-sunnah wal jamaah iaitu samada tafwidh, menyerahkan makna kepada Allah tanpa mentapkan makna zahir atau ta'wil memberi makna lain berdasarkan kaedah bahasa Arab dan konsep murni aqidah Islam. Kedua-duanya adalah manhaj salaf dan khalaf dalam berinteraksi dengan nas-nas mutasyabihat ini. Kedudukan Persoalan Aina Allah: Hakiki atau Kiasan? Sebahagian ulama' lain ketika berinteraksi dengan hadith Al-Jariyyah versi riwayat Imam Muslim ini cuba mengambil langkah untuk mendekatkan makna aina dengan kefahaman yang sahih, iaitu dengan kefahaman yang tdak membawa kepada fahaman tajsim atau "Allah s.w.t. bertempat". Mereka adalah seperti Imam Ibn Al-Jauzi, Imam An-Nawawi, Imam Al-Qurthubi, Imam Al-Baji dan sebagainya. Mereka dengan aqidah murni Islam, dengan menolak konsep dan fahaman "Allah bertempat di atas Arasy", lalu mensyarahkan hadith Al-Jariyyah versi Imam Muslim ini dengan syarahan yang menepati aqidah murni Islam. Terlebih dahulu, perkara yang paling perlu difahami oleh mereka yang berinteraksi dengan nasnas mutasyabihat adalah, apa yang zahir daripada mutasyabihat, dengan maknanya dari sudut bahasa, bukanlah yang dimaksudkan oleh Allah s.w.t. dan Rasul-Nya s.a.w.. Ada makna lain yang dimaksudkan oleh Allah s.w.t. dan Rasul-Nya s.a.w. jika zahir sesuatu nas itu mengandungi kesamaran dan membawa kepada tasybih. Maka, kedudukan nas-nas mutasyabihat ini dipalingkan daripada makna zahirnya dengan dua cara iaitu: Pertama: Tafwidh Ma'na: Iaitu menyerahkan makna sebenar nas mutasyabihat tersebut kepada Allah s.w.t. tanpa mendalaminya. Kedua: Ta'wil Qarib: Iaitu memberi makna sebenar (makna lain) kepada nas mutasyabihat tersebut berdasarkan konsep majazi dalam bahasa Arab bersesuaian dengan aqidah Islam yang murni. Dalam berinteraksi dengan nas aina Allah dalam hadith Al-Jariyyah ini juga, para ulama' ahlussunnah wal jamaah, baik salaf mahupun khalaf, menggunakan salah satu daripada dua manhaj tersebut yang mana kedua-duanya sebenarnya adalah ta'wil (palingkan) daripada makna zahir atau daripada maknanya dari sudut bahasa. Perbahasan mengenai mutasyabihat ini telah banyak alfaqir bincangkan dalam beberapa risalah sebelum ini, maka diharap dapat kembali merujuk semula kepadanya. Aqidah Murni Islam: Tanzih (Mensucikan) Allah daripada Kelaziman-kelaziman Jisim Aqidah murni Islam, selain daripada mengandungi konsep tauhid (keesaan), ianya juga mengandungi konsep tanzih, iaitu menyucikan Allah s.w.t. daripada sebarang sifat-sifat kekurangan.

Antara sifat-sifat kekurangan adalah dengan menyamakan samada zat, sifat mahupun perbuatan Allah s.w.t. dengan jisim, sifat mahupun perbuatan makhluk. Antara yang membawa kepada menyamakan Allah s.w.t. dengan makhluk adalah dengan menetapkan ciri-ciri kejisiman kepada Allah s.w.t. seperti mendakwa zat Allah bertempat, berjisim, mempunyai anggota tubuh, bergerak-gerak, dibatasi oleh masa dan sebagainya. Sebagaimana Allah s.w.t. tidak dibatasi oleh masa, begitu juga Dia tidak dibatasi oleh tempat kerana masa dan tempat adalah hasil ciptaan Allah s.w.t.. Mustahil Allah s.w.t. dibatasi oleh makhluk-makhlukNya. Perkataan Salafus-Soleh dalam Menafikan Tempat dan Jisim bagi Allah s.w.t. (Suatu Pentunjuk Ke Arah Memahami Aqidah Tanzih Mereka) Saidina Ali r.a. berkata:

. - - - -
Maksudnya: Sesungguhnya Allah s.w.t. itu tidak bertempat. Dia sekarang dalam keadaan seperti mana Dia sebelum ini (iaitu tetap qadim dan abadi tanpa bertempat). (Al-firaq bainal Firaq karangan Abu Mansur: 333) Beliau berkata lagi


Saidina Ali k.r.w.j. berkata lagi: Sesiapa yang beranggapan bahawa, Tuhan kita mahdud (ada ruang lingkup tertentu atau ada had-had tertentu), bererti dia jahil tentang Tuhan Maha Pencipta lagi Tuhan yang disembah (hilyatul Auliya: 1/73) Imam Ali Zainal Abidin bin Al-Husein r.a. (94 H) berkata:


Maksudnya: Sesungguhnya, Engkaulah Allah, yang tidak bertempat (Ittihaf Saadah AlMuttaqin: 4/380) Imam Jafar As-Sodiq r.a. (148 H) berkata:

.
Maksudnya: Sesiapa yang mengatakan bahawa Allah s.w.t. berada pada mana-mana tempat, atau berada atas sesuatu, atau berasal daripada sesuatu, maka dia telahpun syirik... (risalah Al-Qusyairiyah: 6)

Imam Abu Hanifah r.a. (150H) berkata:


Maksudnya: Allah s.w.t. itu wujud tanpa bertempat sebelum dia menciptakan makhluk. Maka, Allah s.w.t. wujud tanpa di mana, tanpa makhluk dan tanpa sesuatupun (bersamaNya). Dialah yang menciptakan segalanya. (Al-Fiqh Al-Absath: 25) Imam As-Syafie r.a. (204 H) berkata:


Allah s.w.t. wujud tidak bertempat. Dia menciptakan tempat, sedangkan Dia tetap dengan sifatsifat keabadianNya, sepertimana sebelum Dia menciptakan makhluk. Tidak layak Allah s.w.t. berubah sifatNya atau zatNya. (ittihaf saadah Al-Muttaqin: 2/24). Sheikhul Hanabilah Imam Abu Al-Fadhl meriwayatkan daripada Imam Ahmad r.a. yang berkata ketika mensyarahkan makna istiwa':

...
Maksudnya: "Iaitu ketinggian darjat dan keagunganNya. Allah s.w.t. sentiasa Maha Tinggi dan Maha Tinggi (darjatNya) sebelum Dia menciptakan Arasy. Dia di atas setiap sesuatu dan Maha Tinggi (kedudukanNya) daripada setiap sesuatu Tidak boleh seseorangberkata bahawasanya, istiwa itu zat Allah s.w.t. menyentuh Arasy atau menempatinya. Maha Suci Allah s.w.t.daripadanya (bertempat tersebut) setinggi-tinggiNya. Dia tidak akan berubah-ubah, tidak dibatasi dengan sebarang batasan sebelum penciptaan Arasy dan setelah kejadian Arasy tersebut" (Risalah At-Tamimi: 2/265-290) Imam At-Tohawi (321H) berkata juga:

- - " "
Maksudnya: "Maha Tinggi dan Suci Allah s.w.t. daripada sebarang had, sempadan, anggota, dan alat. Dia tidak tertakluk dalam mana-mana sudut yang enam (tidak bertempat). (AlAqidah At-Tohawiyyah) Imam Ibn Hibban (354 H) berkata:

- -
Maksudnya: "Sesungguhnya Allah s.w.t. tidak tertakluk kepada tempat dan masa (Al-Ihsan fi tartib sahih Ibn Hibban: 4/8) Imam At-Tabari r.a. berkata:

...
Maksudnya: "Jelaslah bahawa Allah s.w.t. qadim, Tuhan kepada seluruh makhluk dan Penciptanya. Dialah yang Maha Esa yang wujud sebelum sesuatu wujud. Dia juga kekal setelah kewujudan makhluk. Dialah yang Maha Awal sebelum segala sesuatu dan Maha Akhir setelah segala sesuatu. Allah s.w.t. itu wujud tanpa masa, zaman, siang, malam, tanpa kegelapan dan tanpa cahaya, tanpa langit, tanpa bumi, tanpa matahari, tanpa bulan dan tanpa bintang. Semua selainNya adalah baharu yang ditadbir dan diciptakan (olehNya)." (Tarikh At-Tabari : 1/26) Imam Abu Al-Hasan Al-Asy'ari r.a. (324 H) berkata:


Maksudnya: "Allah s.w.t. wujud tanpa bertempat. Dia menciptakan Arasy dan Kursi tanpa memerlukan kepada tempat." (tabyiin kazbul muftari: 150) Perkataan Ulama' Muhaddith Muktabar dalam Menafikan Tempat dan Jisim bagi Allah s.w.t. (Suatu Pentunjuk Ke Arah Memahami Aqidah Tanzih Mereka) Imam Al-Hafiz Abu Bakr bin Al-Husein Al-Baihaqi As-Syafi'e (458 H) (yang sering menjadi rujukan termasuklah bagi sesetengah kelompok mujassimah dalam cuba menisbahkan tempat bagi Allah) ada berkata:

. ) " ( "
Maksudnya: "Allah s.w.t. itu Maha Zahir kerana (kewujudannya) boleh didapati dengan buktibukti (daripada kekuasaanNya melalui alam ini) dan Maha Bathin kerana tidak boleh didapati (kewujudanNya) secara bertempat. Sebahagian para ulama' kami (aliran ahlus-sunnah) menafikan tempat bagi Allah s.w.t. dengan berpandukan dalil sabda Rasulullah s.a.w. yang berbunyi: "Kamu Maha Zahir yang tiada di atas kekuasaanMu sesuatupun dan Maha Bathin yang tiada di sampingMu sesuatu pun". Jika tiada di atasNya sesuatu dan tiada di sampingNya sesuatu, jelaslah bahawasanya Allah s.w.t. wujud tanpa bertempat" (Al-Asma' wa As-Sifat: 400)

Imam Al-Muhaddith Umar bin Muhammad An-Nasafi (537 H) ada berkata"


Maksudnya: "Adapun yang mewujudkan alam daripada tiada adalah Allah s.w.t.. Dia tidak disifati dengan sebarang sifat mahiyyah, tidak disifati dengan sebarang tatacara dan tidak bertempat pada sebarang tempat" (risalah Aqidah An-Nasafiyyah) Imam Al-Hafiz Ibn 'Asakir Ad-Dimasyqi (571 H) juga ada berkata:


Maksudnya: Allah s.w.t. wujud tanpa tempat. Maka Dia ciptakan Arasy dan Kursi tanpa berhajat kepada tempat. Dia wujud juga setelah menciptakan tempat sebagaimana Dia wujud sebelum menciptakan tempat (iaitu tidak bertempat). (Tabiyyin Kizb Al-Muftari: 150) Al-Hafiz Imam Ibn Al-Jauzi (597 H) juga ada berkata:


Maksudnya: "Wajib bagi kita untuk meyakini bahawasanya zat Allah s.w.t. tidak diliputi oleh tempat dan tidak bersifat dengan sebarang perubahan dan perpindahan" (Shoid Al-Khatir: 47) Bahkan, Imam Ibn Al-Jauzi mengarang satu risalah khusus dalam menolak golongan mujassimah yang berfahaman tuhan berjisim dan bertempat ini dengan nama "Daf Syubah At-Tasybih". Imam Ibn Athir (606 H) juga ada menyebutkan:


Maksudnya: "Yang dimaksudkan dengan dekatnya hamba kepada Allah adalah kehampiran dengan zikir dan amal soleh, bukan dekat secara bertempat kerana bertempat adalah ciri-ciri kejisiman sesuatu jisim sedangkan Maha Suci Allah daripada sifat kejisiman tersebut" (AnNihayah fi Gharib Al-Hadith 4/32) Imam Al-Qurthubi (671 H) ada menyebutkan juga:

" "

Maksudnya: "Adapun Allah "Maha Tinggi" itu bermaksud ketinggian keagungan dan kedudukanNya, bukan ketinggian tempat, kerana Allah s.w.t. tidak bertempat". (Al-Jami'e li Ahkam Al-Qur'an pada Surah Al-Baqarah ayat 255 (3/278) ) Seorang ulama' hadith agung pada zamannya, yang menjadi rujukan utama dalam bidang hadith iaitulah Imam Az-Zahabi yang sering diselewengkan maksud tulisan beliau oleh golongan mujassimah moden, juga ada berkata dalam menjelaskan pendirian dan aqidahnya yang berlepas tangan daripada fahaman "Tuhan bertempat":


Maksudnya: "Maha Suci Allah daripada dibatasi oleh sebarang batasan (samada tempat atau masa) atau Maha Suci Allah juga daripada sebarang sifat melainkan apa yang hanya disifatkan kepada diriNya atau apa yang diajarkan kepada para rasulNya dengan makna yang Dia sendiri kehendaki tanpa sebarang penyerupaan dengan makhluk dan tanpa tatacara(Siyar A'lam AnNubala' 16/97-98) Seorang ulama' hadith agung yang turut menjadi rujukan dalam bidang hadith iaitulah Al-Hafiz Imam An-Nawawi (676 H) juga ada berkata:

,
Maksudnya: "Sesungguhnya Allah s.w.t. tiada yang menyerupaiNya. Dia tidak berjisim, tidak berpindah-pindah, tidak diliputi oleh sebarang tempat dan tidak bersifat dengan sebarang sifat makhluk". (Syarah Sahih Muslim 3/19)

Imam Al-Hafiz Al-Karmani (786 H) menjelaskan tentang aqidah ini:

( (
Maksudnya: "Perkataan Allah "fis sama'" maka makna zahirnya bukanlh yang dimaksudkan oleh Allah s.w.t. kerana Allah s.w.t. tidak bertempat pada sebarang tempat, tetapi oleh kerana posisi di atas adalah posisi yang paling mulia berbanding posisi lain, maka Allah s.w.t. menisbahkan posisi "atas" tersebut kepada diriNya sebagai petunjuk terhadap ketinggian darjat zat dan sifatNya." (fath Al-Bari: 13/412) Imam Al-Muhaddith Al-Hafiz Ahmad Al-Iraqi (826 H) berkata:

... ...

Maksudnya: "sedangkan Allah s.w.t. tidak menetap di sesuatu, tidak mengambil ruang dan tidak bertempat" (Torh At-Tathrib 8/84) Imam Al-Hafiz Ibn Hajar Al-Asqollani (852 H) berkata:


Maksudnya: Golongan yang cuba menetapkan tempat bagi Allah menggunakan hadith ini (hadith nuzul) sebagai hujah bahawa Allah bertempat di atas, sedangkan jumhur ulama' (iaitulah ahlus-sunnah kesemuanya) mengingkarinya kerana perkataan tersebut (Allah bertempat di atas) membawa maksud Allah itu mengambil ruang (bertempat) sedangkan Maha Suci Allah daripada tempat" (Fath Al-Bari 3/30)

Imam Ibn Hajar r.a. berkata lagi:


Maksudnya: "Muktamad sebagai pegangan salaf dari kalangan ahlus-sunnah dan juga khalaf bahawasanya Allah s.w.t. tidak bergerak-gerak, tidak berubah-ubah dan tidak bertempat. Tiada yang menyerupaiNya. (Fath Al-Bari 7/124) Imam Al-Muhaddith Badruddin Mahmud bin Ahmad Al-'Aini Al-Hanafi (855 H) (salah seorang pensyarah hadith Sahih Al-Bukhari) ada menyebut:


Maksudnya: Telah diketahui bahawasanya Allah s.w.t. tidak berjisim dan tidak memerlukan tempat untuk Dia menetap padanya. Dia wujud tanpa tempat ('Umdah Al-Qari 12/25/117) Demikianlah sedikit daripada ungkapan sebahagian para ulama' hadith yang jelas berlepas tangan daripada fahaman tuhan bertempat yang cuba diketengahkan oleh golongan mujassimah sehingga hari ini. Aqidah Islam yang sejahtera adalah aqidah tanzih iaitu menyucikan Allah s.w.t. daripada sebarang kekurangan termasuklah menyucikan Allah s.w.t. daripada bertempat dan berjisim. Hanya mereka yang terus ingin mengikut ta'asub diri mereka terhadap kejahilan dan kesesatan mujassimah sahaja yang terus berkeras kepala untuk terus mempercayai tuhan wujud secara bertempat. Mereka tidak lain hanyalah mengikut hawa nafsu mereka, samada mereka menyedarinya ataupun tidak.

Ulasan-ulasan Para Muhadithin Muhaqqiqin (yang teliti) Terhadap Hadith Al-Jariyyah Hendaklah difahami bahawasanya, hadith-hadith itu bukanlah suatu nas-nas yang mana semua orang boleh berinteraksi dengannya sesuka hatinya atau berdasarkan apa yang dikehendakinya. Para ahli ilmu khususnya ahli hadith mempunyai suatu manhaj ilmiah yang sangat luas lagi mendalam dalam menjadi panduan ketika berinteraksi dengan nas-nas Islami. Kita akan kupaskan setelah ini, kecelaan bagi mereka yang tidak mempunyai latar belakang ilmu yang mendalam dalam bidang hadith, untuk menyelami perbahasan-perbahasan yang tinggi seperti membahaskan hadith ini dengan makna zahir lalu menyalahi fahaman as-sawadh ala'zhom dalam memahaminya. Imam Abu Hanifah ketika ditanya:

: -
Maksudnya: "Apa pendapatmu kalau kamu ditanya tentang di mana Allah?" Lalu Imam Abu Hanifah menjawab: "Dikatakan kepadanya bahawasanya Allah s.w.t. wujud tanpa bertempat sebelum menciptakan tempat. Maka dia wujud sebelum wujudnya "di mana" it sendiri malah sebelum wujud sebarang makhluk. Allah s.w.t. yang Maha Pencipta bagi segala sesuatu" (AlFiqh Al-Absath, Himpunan risalah-risalah Imam Abi Hanifah yang ditahqiq oleh Imam AlKauthari m/s 25) Ini jelas menunjukkan bahawasanya aqidah salafus-soleh tidak memahami aina Allah tersebut dengan membawa fahaman Allah bertempat di atas langit. Mereka menafikan tempat bagi Allah s.w.t.. Al-Hafiz Imam An-Nawawi berkata dalam syarah beliau terhadap Sahih Muslim tentang hadith aina Allah tersebut:

: : : : : : . : : .
Maksudnya: "Hadith ini adalah daripada hadith-hadith sifat (mutasyabihat) yang dalam memahaminya ada dua mazhab (metod).

"Pertama: ialah beriman dengannya (hadith tersebut) tanpa mendalami apa yang dimaksudkannya disertai dengan aqidah bahawasanya Allah s.w.t. tidak menyerupai sesuatu apa pun dan mensucikanNya daripada segala tanda-tanda atau sifat-sifat makhluk. "Kedua: mentakwilkan hadith tersebut dengan apa yang layak bagi Allah. Maka sesiapa yang berpegang dengan jalan yang kedua ini, berpeganglah dia dengan bahawasanya yang dimaksudkan dengan hadith tersebut ialah Junjungan Nabi s.a.w. menguji jariah tersebut untuk mengetahui sama ada dia seorang ahli tauhid yang mengakui Maha Pencipta, Maha Pentadbir dan Maha Pembuat adalah Allah semata-mata, yang mana Dialah Tuhan yang apabila seseorang memohon kepadaNya maka dia menghadap ke langit sebagaimana apabila seseorang sembahyang dia menghadap kaabah, dan tidaklah perlakuan sedemikian ini (iaitu menghadap ke langit ketika berdoa atau menghadap kaabah ketika bersolat) menunjukkan bahawasanya Allah terbatas di langit sebagaimana juga tidaklah Dia terbatas pada posisi kaabah (yakni Allah tidak dibatasi oleh sebarang tempat kerana Dia Maha Suci daripada segala tempat dan arah, subhanAllah). Bahkan perbuatan menghadap ke langit itu adalah kerana langit itu adalah kiblat orang yang berdoa sebagaimana kaabah itu kiblat bagi orang yang solat". Kemudian, Imam An-Nawawi menukilkan seperti berikut: "Imam Al-Qadhi 'Iyad berkata:

- - )) (( : ...
"Tidak ada khilaf di kalangan umat Islam sekaliannya samada dari kalangan ahli-ahli fiqh, ahliahli hadith mereka, ahli-ahli kalam, para pemuka mahupun pengikut mereka bahawasanya segala nas yang pada zahirnya menyebut Allah di langit seperti firman Allah ta`ala: "Patutkah kamu merasa aman (tidak takut) kepada Tuhan (yang pusat pemerintahanNya) di langit itu, menunggang-balikkan bumi menimbus kamu" dan sebagainya tidaklah dimaksudkan dengan makna zahirnya. Bahkan, ianya ditakwilkan di sisi mereka semua (bukan difahami dengan makna zahir." Imam Al-Qurthubi pula ada menyebut dalam kitab Al-Mufhim yang mensyarahkan lafaz-lafaz hadith dalam Sahih Muslim pada hadith Al-Jariyyah ini:

...

Maksudnya: "Adapun sabda Nabi s.a.w. kepada Al-Jariyyah tersebut dengan perkataan "Aina Allah?" merupakan soalan daripada Rasulullah s.a.w. yang mengkehendaki bukti daripada hamba perempuan tersebut samada dia bukan penyembah berhala mahupun penyembah batu yang di bumi. Maka hamba perempuan menjawab dengan jawapan tersebut seolah-olah cuba menjelaskan bahawasanya Allah bukanlah daripada jenis-jenis tuhan di bumi (yang disembah oleh musyrikin). "Aina adalah perkataan yang ditanya dengan menggunakannya untuk mengetahui sesuatu tempat sebagaimana juga mata adalah perkataan yang ditanyakan untuk mengetahui masa (Adapun pertanyaan dengan aina (di mana) tersebut) tidak boleh ditujukan kepada Allah secara hakikatnya kerana Allah s.w.t. tidak bertempat sebagaimana Dia tidak diliputi oleh sebarang masa. Bahkan Dialah pencipta masa dan tempat sedangkan Dia wujud sejak azali tanpa bertempat dan tanpa diliputi oleh masa. Dia wujud kini sebagaimana Dia wujud sejak azali. Imam Abu Al-'Abbas Ahmad Al-Qurtubi berkata juga lagi:


Maksudnya: Dialah Allah, tanpa di mana dan tanpa tatacara bagiNya. Dia tidak dibatasi oleh sebarang batasan yang meliputi. (Tobaqot As-Syafi'iyyah: terjemah Abi Al-Hasan Al-Asy'ari 3/428) Imam Husein bin Muhammad At-Tayyibi (743 H) ketika mengulas tentang hadith Al-Jariyyah ini berkata:

- - - -
Maksudnya: "Tiada dikehendaki oleh Rasulullah s.a.w. ketika bertanya tersebut untuk bertanya tentang tempat bagi Allah s.w.t. kerana Maha Suci Allah s.w.t. daripada bertempat" (syarh AtTayyibi 'ala Misykat Al-Masobih 6/340) Imam Jahbal (733 H) berkata pula:


Maksudnya: "Tidak dikatakan bagi Allah, di mana dan bagaimana. Dia dilihat oleh orang-orang beriman di Akhirat tanpa bertentangan tanpa berpalingan. Allah wujud tanpa bertempat lalu menciptakan tempat dan mentadbir masa. Dia wujud kini sebagaimana Dia wujud sejak azali (tanpa tempat). Inilah mazhab ahli sunnah. (tobaqot As-Syafi'iyyah Al-Kubra: 9/41) Imam Fakhruddin Al-Razi ada menyebutkan berkenaan hadith Al-Jariyyah ini bahawaasnya, ianya tidak membawa kepada Allah bertempat kerana dalil daripada surah Al-An'aam ayat 12

dan 13 menunjukkan bahawasanya tempat dan masa serta apa yang wujud dalam keterbatasan pada kedua-duanya adalah milik Allah s.w.t.. Oleh yang demikian, Allah s.w.t. tidak bertempat dan tidak diliputi oleh masa sama sekali. (rujuk Asas At-Taqdis dalam mensyarahkan hadith tersebut) Imam Ibn Al-Jauzi ketika mengulas tentang hadith Al-Jariyyah ini menyebutkan


Maksudnya: Telah tetap bagi ulama' bahawasanya Allah s.w.t. tidak diliputi oleh langit mahupun bumi dan tidak terangkum dalam mana-mana tempat. Namun, Rasulullah s.a.w. mengetahui dengan isyarat hamba perempuan tersebut bahawa dia mengagungkan Maha Pencipta" (Daf' Syubah At-Tasybih 189) Imam Abu Bakr Ibn Al-Arabi pula berkata dalam syarh Sunan At-Tirmizi tentang hadith tersebut:


Maksudnya: "Yang dimaksudkan dengan soalan "Aina Allah" adalah bertanyakan kepada hamba perempuan tersebut tentang kedudukan Allah s.w.t. bukan bertanya tentang tentang tempat bagi Allah s.w.t. kerana tempat bagi Allah s.w.t. adalah mustahil" (Syarh Sunan At-Tirmizi 11/273) Imam Muhammad bin Khalifah Al-Ubbi dalam syarah Muslim beliau (Al-Ikmal) mengulas hadith tersebut dengan berkata:


Maksudnya: "Dikatakan bahawasanya Rasulullah s.a.w. bertanya kepada hamba perempuan tersebut dengan soalan "aina" untuk bertanya tentang pegangan hamba tersebut tentang keagungan Allah s.w.t., lalu hamba perempuan tersebut menunjukkan ke langit dalam menjelaskan keagungan Allah dalam dirinya (bukan mengenai tempat Allah)" (Ikmal AlMu'allim pada syarah hadith tersebut) Imam Muhammad As-Sanusi Al-Hasani dalam Mukammil Ikmal turut mensyarahkan hadith AlJariyyah tersebut dengan makna takwilan iaitu keagungan Allah s.w.t.. Imam Al-Baji ketika mensyarahkan hadith ini juga ada menyebut:

Maksudnya: "boleh jadi yang dimaksudkan oleh hamba perempuan tersebut adalah menyifatkan Allah dengan ketinggian, iaitu ketinggian keagunganNya, kerana dikatakan seseorang itu di langit dengan makna ketinggian keadaannya dan ketinggian darjat kemuliaannya". Rujuk kitab Al-Muntaqi. Demikian sedikit sebanyak syarah kepada hadith Al-Jariyyah versi aina Allah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim ini. Majoriti ulama' salaf dan khalaf iaitulah ulama' ahlus-sunnah wal jamaah memalingkan aina Allah daripada makna zahirnya yang membawa kepada kejisiman. Lebih jelas lagi, sebahagian besar daripada mereka (ulama' muktabar) membuat ulasan yang menafikan "sekeras-kerasnya" fahaman tajsim dan fahaman tuhan bertempat daripada hadith Al-Jariyyah ini, dengan memberi makna keagungan, ketinggian kedudukan Allah dan sebagainya. Mereka mensyarahkan hadith Al-Jariyyah dengan makna keagungan dan sebagainya tanpa menetapkan makna zahir Allah di langit pada hadith Al-Jariyyah tersebut bukan berdasakan hawa nafsu mereka, sebagaimana dakwaan sebahagian mujassimah yang jahil lagi menyesatkan, tetapi berteraskan manhaj ilmiah yang sahih lagi mendalam. Para ulama' hadith seperti Imam Al-Baihaqi, Imam Ibn Al-Jauzi, Imam An-Nawawi, Imam AzZahabi, Imam Al-Qurtubi, Imam Ibn Hajar Al-Asqollani dan sebagainya yang terlibat dalam menafikan makna zahir aina Allah daripada Allah s.w.t. merupakan antara rujukan utama umat Islam dalam bidang hadith itu sendiri. Mereka tidak akan mengulas hadith Al-Jariyyah dengan hawa nafsu mereka, sebagaimana sangkaan golongan mujassimah sejak dahulu sehinggalah hari ini. Adapun mereka yang jahil dan terus ta'asub dengan kejahilan serta para pemimpin mereka, lalu terus menisbahkan tempat bagi Allah s.w.t. dengan nas-nas mutasyabihat terutamanya berkenaan hadith Al-Jariyyah versi Imam Muslim ini, maka merekalah sebenarnya yang samada jahil dengan kerangka dan manhaj ilmiah ulama' Islam, ataupun sengaja mengikut hawa nafsu mereka. Sememangnya mengakui kesalahann diri bagi diri yang sudah bersarang dengan ujub di hati, adalah suatu yang amat berat. Ya Allah, sembuhkanlah penyakit ujub daripada hatiku ini dan hati umat Islam khususnya bagi mereka yang sudah terkeluar daripada landasan majoriti umat Islam ini. Amin Bagaimana Orang yang Tiada Asas Ilmu yang Kukuh Berinteraksi dengan Hadith-hadith? Semua orang yang membaca hadith mengakui mengikut hadith. Malah, bukan golongan yang mengikuti kebenaran sahaja, tetapi, golongan syawaz yang tersesat daripada manhaj dan aqidah Islam yang sebenar seperti Muktazilah dan sebagainya juga mengakui mengikut hadith-hadith Rasulullah s.a.w.. Imam Ibn Hajar Al-Haitami dalam kitab Al-Fatawa Al-Hadithiyyah menisbahkan kepada Imam Ibn 'Uyainah sebagai berkata: "Hadith itu menyesatkan kecuali kepada para fuqaha' (orang yang memahami hadith)". Imam Ibn Hajar Al-Haitami dalam kitab tersebut lalu mensyarahkan perkataan tersebut:

"Sesungguhnya hadith-hadith Rasulullah s.a.w. samalah seperti Al-Qur'an dari sudut di mana kedua-duanya mengandungi lafaz umum yang maknanya khusus begitu juga sebaliknya, bahkan ada juga mengandungi nasikh mansukh yang tidak patut lagi beramal dengannya. Bahkan dalam hadith juga mengandungi lafaz-lafaz yang zahirnya membawa kepada tasybih seperti hadith yanzilu Rabbuna yang mana tidak diketahui maknanya melainkan golongan fuqaha' (yang dimaksudkan ahli fiqh di sini merangkumi pelbagai jenis ilmu terutamanya ilmu aqidah dan fiqh itu sendiri). "Berbeza pula dengan mereka yang sekadar mengetahui apa yang terzahir daripada hadith-hadith (khususnya mutasyabihat) sehingga akhirnya dia (yang hanya faham hadith-hadith mutasyabihat dengan makna zahir) pun sesat seperti yang berlaku pada sebahagian ahli hadith terdahulu dan masa kini seperti Ibn Taimiyyah dan para pengikutnya." (Al-Fatawa Al-Hadithiyyah m/s 202) Ini menunjukkan bahawasanya, bukan semua orang mampu berinteraksi dengan nas-nas daripada Al-Qur'an dan hadith tanpa sebarang garis panduan dan ilmu yang mendalam untuk memandunya dalam berinteraksi dengan kedua-duanya tersebut. Kedudukan Golongan yang Menetapkan Tempat bagi Allah Menurut Ulama' Imam Fakhruddin Al-Razi (606 H) pula berkata:

, : : - - , , , . , : , ,
"Fasal Tiga: tentang orang yang menetapkan jisim dan menetapkan tempat khusus bagi Allah, adakah dihukum kafir ke atasnya ataupun tidak? Bagi para ulama' (Ahlus Sunnah), ada dua pendapat: "Pertama: Orang itu (mujassimah) kafir, dan inilah pendapat yang paling jelas (paling banyak ulama' berpegang dengannya, demikian menurut Al-Imam Al-Razi). Ini kerana, pada mazhab kita (Ahlus-Sunnah), setiap sesuatu yang bertempat dengan mana-mana tempat yang khusus,

bererti ia adalah makhluk yang baharu, yang mana baginya ada tuhan selainnya yang menjadikannya... "Kedua: Kita tidak mengkafirkannya (mujassimah) kerana jika mengetahui tanzih (menyucikan Allah s.w.t. dari sebarang kekurangan) merupakan syarat bagi kesahihan iman, maka wajib bagi Nabi s.a.w. untuk tidak menghukum seseorang itu beriman, melainkan setelah Baginda s.a.w. memastikan adakah orang tersebut mengetahui sifat-sifat tanzih bagi Allah s.w.t. ataupun tidak. Oleh kerana hukum imannya seseorang itu tidak memerlukan kepada penelitian (adakah seseorang itu tahu perincian tanzih bagi Allah s.w.t. ataupun tidak), maka kita tahu bahawasanya ia (perincian tanzih bagi Allah s.w.t.) bukanlah daripada syarat kesahihan iman." (Asas At-Taqdis m/s 142) Pun begitu, tidak mengkafirkan ahli bid'ah tidak menafikan kesesatan mereka, kerana kesesatan mereka jelas kerana bercanggah dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Ulama' sememangnya berselisih dalam mengkafirkan golongan ahlul-bid'ah termasuklah mujassimah, namun mereka bersepakat tentang kesesatan golongan bid'ah seperti mujassimah dan sebagainya. Imam Ibn Al-Mu'allim berkata:

... .... " ": .


Maksudnya: Orang yang menyembah jisim di atas Arasy yang besarmaka dia telah menyembah selain Allah s.w.t., maka dia ialah kafir. Sesungguhnya ada juga golongan yang berkata bahawasanya Allah s.w.t. bertempat, bersudut, menetapkan kejisiman bagi Allah s.w.t. dan menafikan cantuman dan susunan dan berkata juga: "saya maksudkan bahawa tuhan itu berjisim ialah kewujudanNya". Mereka juga telahpun kufur. (Najm Al-Muhtadi: 544) Imam Ad-Dasuki berkata: "Adapun para pengikut mujassimah yang lain adalah sepertimana golongan jahmiyyah yang menetapkan sudut atas bagi Allah s.w.t.. Adapun tentang kekafiran mereka, maka ada dua pendapat ulama' mengenainya. Pendapat yang muktamad adalah tidak mengkafirkan mereka (walaupun mereka jelas fasiq)." (Hasyiyah Ad-Dasuki 'ala Ummil Barahin: 83- matba'ah bin halabi, Fathani) Oleh kerana itu, Imam Ibn Najim berkata lagi di hujung perenggan:

,
Maksudnya: Maka ia (menganggap Allah s.w.t. berjisim tetapi tidak seperti jisim-jisim yang lain) tidak membawa kepada kekufuran kerana tidak menetapkan sebarang makna daripada ciri-

ciri kejisiman seperti mengambil ruang dan bertempat, sehigga di mana dia tidak menetapkan sebarang makna (kejisiman) melainkan sekadar menetapkan nama jisim itu semata-mata. Adapun jika tidak, (iaitu, jika seseorang menetapkan tempat dan menisbahkan tempat bagi Allah s.w.t.) maka dia telahpun kufur juga. (1/225) Imam Ibn Najim berkata lagi:

) ( ) ) ( ( , , ,
Maksudnya: Adapun jika seseorang menyifatkan Allah s.w.t. dengan bertempat di atas ataupun di bawah, maka itu suatu tasybih (iaitu menyamakan Allah s.w.t. dengan kejisiman) dan kufur. Boleh jadi (Adapun) jika yang dia maksudkan dari fauq itu ialah ketinggian kedudukan, ketinggian martabat, kekuasaan dan penguasaan, maka tidak kafirlah dia. (1/228) Imam Al-Mulla 'Ali Al-Qari berkata:

: ...
Begitu juga dengan orang yang berkata bahawasanya Allah s.w.t. itu berjisim, Allah s.w.t. itu mempunyai tempat (bertempat), Allah s.w.t. diliputi oleh peredaran zaman dan sebagainya, maka dia ialah kafir kerana tidak tetap baginya akan hakikat keimanan (syarh fiqh Al-Akbar 271) Dalam Al-Fatawa Al-Hindiyyah juga ada menyebut:

: . " "
Dikafirkan bagi mereka yang menetapkan tempat bagi Allah s.w.t.. Kalau seseorang berkata: "Allah fi as-sama' ", jika dia maksudkan untuk menceritakan apa yang zahir dari nas-nas (tanpa makna bertempat), maka tidak kafir. Adapun jika dia maksudkan dengan menetapkan tempat, maka dia telah kafir. (2/259) Imam Abu Bakr Ibn Al-Arabi berkata:

, , ... ,
Maksudnya: Begitu juga dengan perkataan yang membawa kepada tasybih, tajsim, bertempat (mendakwa bahawa Allah s.w.t. itu bertempat) atau terlibat dalam mengingkari sifat ilmu,

kuasa, kehendak, kalam dan sifat hidup (dari Allah s.w.t.), maka ia adalah kesalahan dalam usul yang mana kufurlah yang menafikannya (iaitu, kufurlah orang yang menafikan sifat-sifat ma'nawi tersebut dan yang menetapkan kejisiman dan tempat bagi Allah s.w.t.). (Ahkam AlQur'an 475) Imam Ibn Al-Arabi berkata lagi:

, : ...
Telah berlaku perselisihan tentang masalah mengkafirkan orang mujassim (yang menjisimkan Allah s.w.t.). Ibn 'Urfah berkata: Lebih dekat (pendapat yang dipegang oleh beliau) ialah, kufurlah dia (mujassimah). Imam Al-Izz memilih pendapat bahawasanya tidak dikafirkan orang mujassimah kerana orang awam susah memahami bukti-bukti yang menafikan kejisiman (Al-Fawakih Ad-Diwani 1/94) Imam Al-Kharasyi berkata:

, : ,
Adapun contoh lafaz yang membawa kepada kekufuran ialah, seseorang yang mengingkari apa-apa sahaja yang diketahui secara dhoruri seperti kewajipan solat, walaupun menafikan satu bahagian sahaja daripadanya (solat tersebut), begitu juga, jika seseorang yang berkata: "Allah s.w.t. berjisim dan mengambil ruang" (syarh Al-Kharsyi 'ala Khalil 8/62) Imam Al-'Adawiy berkata dalam hasyiah 'ala Al-Kharsyi:

: , : ) : ( : ,
Kata beliau (Imam Al-Kharasyi): "Beitu juga jika seseorang yang berkata Allah itu berjisim dan mengambil ruang" (Imam Al-'Adawiy berkata: ) Maksudnya: (Orang itu berkata bahawa) Allah s.w.t. itu mengambil suatu ukuran (bahagian) daripada ruang. Maknanya di sini ialah, orang itu berkata bahawa Allah itu jisim seperti jisim-jisim makhluk. Orang yang berkata dengan perkataan tersebut dihukum kafir, begitu juga dengan yang berpegang dengan fahaman tersebut. Walaubagaimanapun, Imam Al-Izz bin Abdil Salam mengambil sikap tidak mengkafirkan golongan mujassimah yang menetapkan tempat dan sudut bagi Allah s.w.t. kerana tetapi tetap mencela fahaman tersebut dan membid'ahkannya. Ini kerana, menurut beliau, dalil menafikan tempat itu agak tinggi perbahasannya dan bukan semua orang mampu memahaminya. (rujuk Qowa'id Al-Izz bin Abdil Salam 1/202)

Imam Al-Ramli menjawab soalan mengenai hukum orang yang menetapkan tempat atau posisi bagi Allah s.w.t. yang mana ia membawa kepada kejisiman, dengan berkata:

" , "
Orang yang berkata sebegitu tetap seorang muslim walaupun seorang pembid'ah (Fatwa AlRamli 4/20) Imam Az-Zarkasyi pula berkata:

. : , : . : " "
Maksudnya: "Adapun orang yang tersalah dalam masalah aqidah dan mujassimah, maka tidak syak bahawasanya dia (mujassimah) berdosa, fasiq dan sesat. Tetapi, para ulama' berselisih pendapat tentang mengkafirkannya (mujassimah). Bagi Imam Al-Asy'ari As-Syafi'e sendiri, ada dua pendapat. Adapun Imam Al-Haramain dan Imam Ibn Al-Qusyairi serta selain daripada mereka berkata: "Apa yang kuat antara dua pendapat ialah, tidak mengkafirkannya (mujassimah). Inilah pendapat yang dipilih oleh Al-Qodhi dalam kitab ikfar al-muta'awwilin." (Al-Bahr Al-Muhith 8/280) Imam Al-Hishni pula menguatkan pendapat Imam An-Nawawi dalam yang mengkafirkan mujassimah dalam syarh Al-Muhazzab, kerana mereka jelas bercanggah dengan ayat-ayat AlQur'an yang jelas. (Kifayah Al-Akhyar m/s: 647) Imam As-Suyuti pula berkata:

, : , : : .
Kaedah: Imam As-Syafi'e berkata: Tidak boleh mengkafirkan seseorangpun dari ahli kiblat (muslim) melainkan mujassim dan orang yang mengingkari ilmu Allah s.w.t. terhadap perkaraperkara juz'iyyat. (Al-Asybah wa An-Nazho'ir m/s 488) Imam Ibn Hajar Al-Haitami juga berkata:


Ketahuilah bahawasanya Imam Al-Qarafi dan sebagainya meriwayatkan daripada Imam AsSyafi'e, Imam Malik, Imam Ahmad dan Imam Abu Hanifah r.a. bahawasanya mereka

berpegang dengan pendapat tentang mengkafirkan orang-orang yang menetapkan tempat dan kejisiman bagi Allah s.w.t.. Mereka benar dalam pegangan tersebut. (Al-Minhaj Al-Qowim m/s: 224) Syeikh Daud bin Abdullah Al-Fathani (wafat 1265H/1297H) berkata: Dan barangsiapa mehinggakan zat Allah Taala pada tempat maka tidak syak ia kufurnya seperti katanya Allah Taala itu terhingga di atas langit atau pada bumi. (Al-Jawahir Al- Saniyah m/s 6) Syeikh Nir Al-Din Al-Rahiri berkata: Tiada sah mengikut bidah yang jadi kafir seperti mengiktikadkan bahawa Allah Taala itu tiada mengetahui akan juziyat dan madum dan yang munkir(mengingkari) akan baath dan hasyr dan demikian lagi kaum mujasimmah dan yang mengiktikad bahawa Allah Taala berjihah. (Sabil Al Muhtadin 1/203) Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari (wafat 1227H) berkata: Adapun yang jadi kafir dengan bidahnya seperti yang beriktikad bahawa Allah Taala tiada mengetahui akan segala juziyat dan yang madum dan yang munkir(mengingkari) akan bangkit dari dalam kuburdan berhimpun di Mashyar dan demikian lagi kaum mujassimah dan yang berikitikad bahawa Allah Taala berjihah maka tiada sah mengikut mungkin dia seperti sekalian kafir yang lain.. (Sabil Al Muhtadin 2 /37) Demikianlah sebahagian pendapat para ulama' mengenai golongan mujassimah. Para ulama' salaf dan khalaf bersepakat dalam menghukum sesat golongan mujassimah yang menetapkan tempat bagi Allah s.w.t., walaupun berbeza pendapat dalam mengkafirkan mereka. Walau bagaimanapun, dengan wujudnya pendapat ulama' yang mengkafirkan golongan mujassimah ini menunjukkan betapa beratnya kesesatan fahaman tajsim dan fahaman tuhan bertempat ini dan sewajarnya para ulama' berusaha sedaya-upaya untuk membenterasnya. Sesiapa yang mengikut dan membela fahaman ahli bid'ah dalam aqidah seperti fahaman tajsim dan fahaman tuhan bertempat ini bererti dia telah mengkhianati umat Islam. Diriwayatkan oleh Ibn Adiy daripada hadith Saidatina Aisyah r.a., bahawa beliau berkata: "Sesiapa yang duduk mendengar daripada ahli bid'ah (tidak menegahnya) bererti dia telah membantu ke atas memusnahkan Islam" (diriwayatkan oleh Imam At-Tabrani, Al-Hafiz Abu Nu'aim dan sebagainya). Hanya sikap ta'asub dan jumud sahaja yang menutupi mata dan hati mereka yang terus mahu memilih kesesatan apabila cahaya kebenaran bersinar jelas di hadapannya. Hanya penyakit ujub dan takabbur sahaja membuatkan seseorang tidak mahu menerima kebenaran apabila ianya terzahir dengan bukti yang nyata. Para ulama' muktabar telah pun mengulas perkara-perkara kesamaran daripada nas-nas yang mengandungi kesamaran, dengan manhaj ilmiah yang teliti berteraskan aqidah Islam yang murni. Namun, hanya mereka yang terus mengikut hawa nafsu sahaja yang akan berpaling daripada kelompok majoriti ulama' dan umat Islam ini seraya menuduh golongan yang mengikut

kebenaran sebagai mengikut hawa nafsu. Ianya sesungguhnya merupakan suatu perkataan yang dusta. Ringkasan Kesimpulan Menyeluruh Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelum ini bahawasanya, hadith Al-Jariyyah ini diriwayatkan dengan banyak jalan dengan pelbagai lafaz yang berbeza-beza. Ia mengundang kepada suatu petunjuk bahawasanya lafaz hadith tersebut adalah kembali kepada pengaruh atau olahan perawi-perawi hadith dalam menyampaikan maksud tentang situasi tersebut. Latar belakang keilmuan seseorang perawi turut mempengaruhi olahan lafaz tersebut. Adapun lafaz aina Allah yang datang daripada riwayat Mu'awiyyah bin Al-Hakam dari satu riwayat (iaitu riwayat Imam Muslim) mengundang pelbagai persoalan kerana ianya bercanggah dengan lafaz hadith yang sama dengan jalan sanad riwayat yang lebih banyak dan kuat. Sehinggakan, sebahagian ulama' meletakkan hadith Al-Jariyyah dengan lafaz aina Allah tersebut sebagai tafarrud (terasing) dan syaz (terasing lagi menyalahi riwayat yang lebih banyak dan kuat) yang tidak boleh dibuat berhujah dengan lafaz aina Allah tersebut. Ini kerana, dalam perbandingan dari sudut sanad sahaja, hadith Al-Jariyyah riwayat Imam Muslim ini, walaupun tidak mencemarkan kesahihan sanadnya, namun tetap marjuh (lemah matanya berbanding riwayat-riwayat lain yang lebih kuat). Bahkan, sebahagian ulama' hadith menilainya sebagai mudthorib (yang menyalahi yang lebih kuat) dari sudut matan. Dari suatu sudut yang lain, kajian secara perbandingan dari sudut matan juga didapati, lafaz aina Allah juga adalah marjuh berbanding lafaz pertanyaan tentang kalimah syahadah yang terkandung dalam riwayat yang lebih kuat dan banyak. Ini jika dibandingkan dengan nas-nas daripada hadith-hadith yang lain yang mencapai darjat mutawatir untuk menilai keislaman seseorang adalah melalui pertanyaan kalimah syahadah. Malah, pertanyaan aina Allah itu sendiri tidak membawa kepada pertanyaan tentang tauhid kerana pegangan orang-orang musyrikin pada ketika itu adalah Allah di langit. Jadi, pertanyaan aina Allah tidak membawa kepada penilaian terhadap tauhid. Oleh yang demikian, lafaz pertanyaan kalimah syahadah sebenarnya adalah lebih kuat berbanding lafaz aina Allah berdasarkan kajian terperinci dari sudut kehendak usul Islam itu sendiri. Jumhur ulama' menguatkan riwayat kalimah syahadah dan sebahagian yang lain menguatkan pendapat bahawasanya hadith ini diriwayatkan dengan makna oleh perawi kerana hamba perempuan tersebut seorang yang bisu. Hadith Al-Jariyyah ini juga dengan lafaz aina Allah merupakan hadith ahaad yang tidak boleh dijadikan dalil dalam masalah aqidah tambahan pula kerana ianya bertentangan dengan prinsip asas penilaian keislaman seseorang yang diajarkan oleh Rasulullah s.a.w. dalam pelbagai hadith yang mutawatir. Pun begitu, ramai ulama' cuba membahaskan hadith Al-Jariyyah ini dengan lafaz yang diriwayatkan oleh Imam Muslim secara majazi dengan mengembalikan hadith Al-Jariyyah

dengan pertanyaan aina Allah kepada nas-nas mutasyabihat. Hal ini diakui sendiri oleh Imam An-Nawawi r.a. dalam syarah beliau. Malah, ramai juga dari kalangan ulama' hadith yang mensyarahkan makna lafaz aina Allah dan fi as-sama' dalam hadith Al-Jariyyah riwayat Imam Muslim ini dengan syarah dan ulasan yang menepati aqidah murni Islam iaitu dengan menta'wilkannya daripada makna zahirnya yang membawa kepada menisbahkan tempat bagi Allah s.w.t. yang dipegang oleh golongan mujassimah. Dalam kajian yang lebih mendalam juga, berbezanya lafaz-lafaz hadith tersebut mengundang kepada kedudukan hadith itu sebagai zhonni (mempunyai ruang yang tidak meyakinkan) yang secara jelas tidak boleh dijadikan hujah dalam masalah aqidah, apatah lagi cuba menetapkan aqidah berdasarkan lafaz yang marjuh (iaitu aina Allah). Malah, Imam Muslim sahaja tidak meriwayatkan hadith tersebut dalam bab iman atau aqidah, sebaliknya dalam bab diharamkan berkata-kata di dalam solat. Hal ini jelas menunjukkan bahawasanya, Imam Muslim sendiri tidak bermaksud menjadikan hadith tersebut sebagai dalil dalam masalah aqidah. Lebih kuat lagi adalah, Imam Al-Baihaqi menjelaskan bahawasanya dalam naskhah sahih Muslim yang beliau miliki, tidak mengandungi kisah Al-Jariyyah tersebut sebagaimana yang telah dibahaskan sebelum ini. Malah, Imam Al-Bukhari juga tidak meriwayatkan hadith ini dalam kitab sahihnya, walaupun ada meriwayatkannya dalam juz'u khalq af'aal namun tanpa kisah Al-Jariyyah juga. Hakikat yang tidak dapat dinafikan lagi bahawasanya, hadith Al-Jariyyah dengan lafaz aina Allah dan fi as-sama' bukan sahaja tidak digunakan sebagai hujah dalam masalah aqidah, malahan juga lafaz tersebut tidak bersesuaian secara zahirnya (atau secara hakikinya) dengan aqidah Islam yang menunjukkan ianya suatu kiasan atau mutasyabihat. Oleh yang demikian, hanya mereka yang mengikut hawa nafsu sahaja cuba mengikuti zahir daripada nas-nas mutasyabihat untuk tujuan menyebarkan fitnah terhadap agama itu sendiri. Al-Faqir ila Rabbihi Al-Qawiy Al-Jalil Raja Ahmad Mukhlis bin Raja Jamaludin 'AmalahuLlahu bi althofiHi Al-Khafiyyah 23 Disember 2008, Selangor

Rujukan Al-Qur'an Al-Karim Sahih Al-Bukhari oleh Imam Al-Bukhari Sahih Muslim oleh Imam Muslim

Sunan An-Nasa'ie oleh Imam An-Nasa'ie Sunan At-Tirmizi oleh Imam At-Tirmizi Al-Muwatho' oleh Imam Malik Al-Musnad oleh Imam Ahmad Al-Musonnaf oleh Imam Abdul Razzak Sahih Ibn Hibban oleh Imam Ibn Hibban As-Sunan Al-Kubra oleh Imam Al-Baihaqi Al-Asma' wa As-Sifat oleh Imam Al-Baihaqi (dengan ta'liqat Al-Kauthari) Tuhfah Al-Asyraf oleh Imam Al-Hafiz Al-Mizzi Kasyf Al-Astar oleh Imam Al-Bazzar Tarikh At-Tabari oleh Imam At-Thobari Muqoddimah Ibn Sholah oleh Imam Ibn Sholah Siyar A'laam An-Nubala oleh Imam Az-Zahabi Al-Muqizhoh oleh Imam Az-Zahabi Al-Mizan oleh Imam Az-Zahabi Syarh Muslim oleh Imam An-Nawawi Tafsir Ibn Kathir oleh Imam Ibn Kathir Fath Al-Bari oleh Imam Ibn Hajar Al-Asqollani Hady As-Sari oleh Imam Ibn Hajar Al-Asqollani At-Takhlish Al-Khabir oleh Imam Ibn Hajar Al-Asqollani Tahzib At-Tahzib oleh Imam Ibn Hajar Al-Asqollani As-Saif As-Saqiloleh Imam As-Subki tobaqot As-Syafi'iyyah Al-Kubra oleh Imam As-Subki Al-Mufhim oleh Imam Abu Al-Abbas Ahmad bin Ibrahim Al-Qurthubi Al-Jami'e As-Shoghir oleh Imam As-Suyuti Majma' Az-Zawa'id oleh Imam Ibn Hajar Al-Haithami Al-firaq bainal Firaq oleh Imam Al-Baghdadi hilyatul Auliya oleh Imam Abu Nu'aim Ittihaf Saadah Al-Muttaqin oleh Imam Az-Zabidi Risalah Al-Qusyairiyah Imam Al-Qusyairi Al-Fiqh Al-Absath himpunan risalah-risalah Imam Abu Hanifah Al-Aqidah At-Tohawiyyah oleh Imam At-Tohawi Tabyiin Kazbul Muftari oleh Imam Ibn 'Asakir Risalah Aqidah An-Nasafiyyah oleh Imam Am-Nasafi Shoid Al-Khatir oleh Ima Ibn Al-Jauzi Daf Syubah At-Tasybih oleh Imam Ibn Al-Jauzi An-Nihayah fi Gharib Al-Hadith Torh At-Tathrib oleh Imam Al-Muhaddith Al-Hafiz Ahmad Al-Iraqi 'Umdah Al-Qari oleh Imam Al-Muhaddith Badruddin Mahmud bin Ahmad Al-'Aini Al-Hanafi (855 H) syarh At-Tayyibi 'ala Misykat Al-Masobih 6/340) oleh Imam Husein bin Muhammad At-Tayyibi (743 H) syarh Sunan At-Tirmizioleh Imam Abu Bakr Ibn Al-Arabi Ikmal Al-Mu'allim syarh sahih Muslim oleh Imam Muhammad bin Khalifah Al-Ubbi Mukammil Ikmal oleh Imam Muhammad As-Sanusi Al-Hasani Al-Fatawa Al-Hadithiyyah oleh Imam Ibn Hajar Al-Haitami

Asas At-Taqdis oleh Imam Fakhruddin Al-Razi Najm Al-Muhtadi oleh Imam Ibn Al-Mu'allim Hasyiyah Ad-Dasuki 'ala Ummil Barahin oleh Imam Ad-Dasuki Syarh Fiqh Al-Akbar oleh Imam Al-Mulla 'Ali Al-Qari Al-Fatawa Al-Hindiyyah Qowa'id Al-Izz bin Abdil Salam oleh Imam Al-Izz bin Abd As-Salam Fatwa Al-Ramli oleh Imam Al-Ramli Al-Bahr Al-MuhithImam Az-Zarkasyi Kifayah Al-Akhyar oleh Imam Al-Hishni Al-Asybah wa An-Nazho'ir oleh Imam As-Suyuti Al-Minhaj Al-Qowim oleh Imam Ibn Hajar Al-Haitami Fath Al-Mu'inoleh Al-Allamah Sheikh Abdullah As-Siddiq Al-Ghumari). Hadith Al-Jariyyah oleh Dr. Umar Abdullah Kamil Nazm Al-Mutanathir oleh Imam Al-Kattani

Anda mungkin juga menyukai