Anda di halaman 1dari 12

JMS Vol. 4 No. 1, hal.

20 - 31 April 1999

Antaraksi Fisik Padatan Pada Kombinasi Senyawa Aprobarbital dan Isopropilantipirina


Sundani Nurono Jurusan Kimia FMIPA ITB Jl. Ganesa 10 Bandung 40132
Diterima tanggal 16 Desember 1998, disetujui untuk dipublikasikan 12 April 1999

Abstrak Telah diteliti pengaruh energi mekanik dan termik terhadap suatu campuran fisika (1:9), (3:7), (1:1), (7:3) dan (9:1) dari dua senyawa obat yaitu aprobarbital dan isopropilantipirin, masing-masing sebagai representatif kelompok sedatif dan analgetikantipiretik. Ternyata, kedua senyawa tersebut dapat berantaraksi sebagian secara fisika membentuk senyawa molekular dengan dua titik eutektik masing-masing pada suhu 96oC dan 123oC. Suhu lebur senyawa molekular yang terbentuk adalah 129oC (Metode Analisis Termal). Pembentukan senyawa molekular antara aprobarbital dan isopropilantipirina dibuktikan melalui metode kristalografi antara lain difraktogram dari Difraksi sinar-X, Metode Kontak, Analisis Termal (Differential Scanning Calorimetry = DSC) dan juga mikrofoto dari Mikroskop Elektron Rabaan. Kata kunci : senyawa molekular, kristalografi Abstract The influence of mechanical and thermal energy to the physical mixture of (1:9), (3:7), (1:1), (7:3) and (9:1) of two drugs namely aprobarbital and isopropylantipyrin as representative model of sedative and analgetic-antipyretic groups has been carried out. In fact, both of those substances could part of physically interact to form a molecular compound. Such compound has two eutectic points at 96oC and 123oC, each. Whilst the melting point of the formed molecular compound is 129oC (Thermal analysis method). The molecular compound formation between aprobarbital and isopropylantipyrin was proved by crystallography methods i.e. diffractogram produced by x-ray diffraction, contact methode, thermal analysis (DSC) and microphoto of scanning electron microscope. Keywords : molecular compound, crystallography

1. Pendahuluan Sebagian besar sediaan farmasi yang beredar di masyarakat, umumnya merupakan kombinasi dari dua atau lebih senyawa aktif1). Sangat jarang ditemukan sediaan farmasi yang hanya mengandung satu bahan aktif. Jika perhatian para ahli, baik yang berlatar belakang pendidikan kedokteran maupun farmasi, masih banyak terpaku kepada kerasionalan kombinasi obat melalui aspek farmakologisnya, maka masih sangat sedikit

20

JMS Vol. 4 No. 1, April 1999

21

ahli yang mengantisipasi adanya kemungkinan ketidakrasionalan kombinasi senyawa obat dari sisi antaraksi fisik padatannya. Sedangkan perubahan aspek fisika obat seringkali menyebabkan terjadinya ketidakrasionalan efek farmakologis sediaan yang dihasilkan2). Khususnya jika tidak terjadi apa yang dikenal sebagai pembentukan fase eutektikum. Terbentuknya fase yang disebut terakhir ini umumnya tidak menimbulkan konsekuensi negatif pada aktivitas farmakologis sediaan, kecuali pada aspek teknologi farmasetiknya. Hal itu dikarenakan dua zat aktif pembentuknya akan kembali memisah menjadi senyawa aslinya. Kondisi semacam itu dapat dipenuhi jika kedua zat pembentuknya bersifat monomorf. Jika kombinasi dua zat mampu membentuk senyawa molekular ataupun kristal campuran dengan adanya pengaruh energi, maka antaraksi fisik padatan menjadi fenomena fisika yang besar kemungkinannya terjadi pada suatu sediaan yang mengandung dua atau lebih bahan obat. Hal ini disebabkan karena pada setiap proses teknologi farmasetik selalu melibatkan energi mekanis maupun termis. Disamping itu, diprediksi pula terjadinya pertukaran fase padat diantara permukaan dua partikel obat yang bersentuhan2). 2. Bahan dan Metode 2.1. Bahan Aprobarbital dan isopropilantipirin, diperoleh dari industri farmasi, Firma Hoffmann La Roche. 2.2. Metodologi Metode Kontak dilakukan dengan menggunakan kaca obyek dan gelas penutup serta bantuan mikroskop polarisasi dan meja pemanas elektrik. Dalam hal ini, sejumlah tertentu aprobarbital (A) yang suhu leburnya lebih tinggi 142o C diletakkan pada kaca obyek lalu dipasangkan gelas penutup diatasnya dan A I

dipanaskan. Usahakan leburannya tidak menutupi seluruh bidang dibawah gelas penutup. Lalu didinginkan sampai mengkristal kembali.

Letakkan sejumlah tertentu isopropilantipirin (I) tepat pada batas sisi gelas penutup. Sistem dipanaskan kembali sampai seluruh isopropilantipirin melebur dan leburannya kontak dengan permukaan kristal aprobarbital. Amati terjadinya pertumbuhan

22

JMS Vol. 4 No. 1, April 1999

kristal pada bidang kontak tersebut. Perlakuan mekanik dan termik dilakukan dengan cara membuat campuran fisika aprobarbital dan isopropilantipirin (1:9), (3:7), (1:1), (7:3) dan (9:1) dalam mortir akhat. Khususnya perlakuan termik, untuk memperoleh diagram fasa yang tajam, diperlukan beberapa campuran fisik tambahan. Setiap komposisi campuran digiling dalam penggiling peluru yang berputar sebanyak 200 putaran per menit selama 24 jam. Pengujian akibat adanya pengaruh energi mekanik dilakukan segera setelah masa waktu penggilingan selesai. Perlakuan termik khusus untuk campuran fisika (1:1) diberikan dalam bentuk pemanasan dalam lemari pemanas pada suhu sekitar 130oC. Setelah melebur, sistem segera didinginkan dan direkristalisasikan pada suhu kamar. Sedangkan metode analisis struktur internal produk dilakukan dengan menggunakan generator sinar-X Philips PW 1730 Series, target anode Cu, aliran listrik sebesar 40 mA dan tegangan 50 kV dengan kecepatan rekorder 0,01-0,02o 2/detik, filter Nikel, penghitung impuls sebesar 1x105 /detik dan daerah pengukuran dari 2,5 - 40,5o. Analisis termal dilakukan dengan cara menimbang sampel yang akan ditentukan pada sebuah cawan aluminium kemudian ditutup rapat. Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan alat Du Pont 990 Thermal Analyzer yang diatur pada kecepatan pemanasan 5o/menit. Daerah pengukuran antara 30-150oC dengan ketelitian alat 0,5 mcal/detik inci. Mikrofoto dibuat dengan cara Serbuk zat aktif direkatkan dengan pita tipis perekat dua muka pada sebuah permukaan piringan yang rata. Preparat ini kemudian diuapi uap unsur karbon dan emas dalam ruang hampa udara Combitron CM 30. Mikrofoto dari preparat dihasilkan dengan menggunakan alat Stereoscan 600 yang diatur pada tegangan pemercepat 7,5 kV. 3. Hasil Percobaan dan Pembahasan 3.1. Metode Kontak Metode kontak memberikan kemungkinan untuk mengamati peristiwa fisika yang terjadi pada bidang kontak antara kristal aprobarbital dengan leburan isopropilantipirin secara termomikroskopik. Dibawah pengamatan mikroskop polarisasi, preparat kontak yang dihasilkan tampak seperti Gambar 1 berikut.

JMS Vol. 4 No. 1, April 1999

23

Gambar 1. Preparat kontak antara aprobarbital dan isopropilantipirina secara termomi kroskopik Di bidang sebelah kiri bawah, tampak padatan kristalin yang memanjang, berukuran lebar dan banyak terdapat rongga-rongga berisi udara adalah bagian padatan aprobarbital. Sedangkan di bidang kanan atas, tampak padatan kristal memanjang, berukuran lebih sempit dan lebih rapat dengan ujung runcing, adalah bagian dari isopropilantipirin yang belum mengkristal secara sempurna. Bidang berwarna gelap diantara keduanya adalah leburan isopropilantipirin yang belum mengkristal. Struktur kristalin baru, yang terbentuk pada permukaan bidang kristalin aprobarbital berupa kristalin jarum, memanjang dan berujung runcing adalah senyawa molekular. Senyawa ini merupakan hasil perwujudan integrasi dua senyawa pembentuknya. Persinggungan leburan isopropilantipirin dengan padatan aprobarbital, menimbulkan antaraksi fisik berupa difusi partikel padat ke arah cairan, dimana kedua zat selanjutnya menghasilkan cairan satu fase (larutan). Pada suhu pendinginan tertentu, dimana konsentrasi lapisan difusi yang terbentuk telah mencapai konsentrasi super jenuhnya, maka akan dihasilkan inti kristalin. Inti akan terus tumbuh memanjang sepanjang bidang diantara permukaan kristalin aprobarbital yang telah terbentuk sebelumnya dengan batas maksimum kristalin isopropilantipirin setelah mengkristal secara sempurna. Kristalin senyawa molekular memiliki karakter habitnya yang baru, samasekali berbeda dengan habit kristalin masing-masing pembentuknya, oleh karena senyawa ini sebenarnya merupakan perpaduan antara dua zat.

24

JMS Vol. 4 No. 1, April 1999

3.2. Difraksi Sinar X Gambar 2, 3 dan 4 masing-masing merupakan difraktogram campuran fisika aprobarbital dan isopropilantipirin (1:1), hasil setelah diberi perlakuan termik dan hasil setelah diberi perlakuan mekanik. Aturan ekivalensi energi seperti yang dinyatakan dalam hukum termodinamika pertama berlaku pada pemberian perlakuan mekanik. Hal ini tampak dengan identiknya difraktogram campuran zat akibat perlakuan mekanik dan termik. Pengaruh termik menyebabkan kedua zat berada dalam kondisi leburan satu fase dimana partikel kedua zat saling berdifusi satu sama lain. Pada saat mengkristal kembali, hasil perpaduan antara dua kisi kristal menghasilkan suatu struktur internal kristal yang sama sekali lain dalam wujud senyawa molekular. Pada Gambar 2 yang merupakan difraktogram campuran fisika aprobarbital dan isopropilantipirin (1:1), tampak cetak biru dari interferensi kedua zat, sama kuatnya. Misalnya interferensi pada 2 sekitar 8o merupakan interferensi isopropilantipirin dan disekitar 13o interferensi terkuat milik aprobarbital. Interferensi senyawa molekular yang dihasilkan melalui perlakuan termik menunjukkan interferensi yang lebih tinggi intensitasnya daripada hasil perlakuan mekanik (Gambar 3). Hal ini disebabkan oleh tingkat keteraturan atom pada setiap kisi kristalnya yang lebih tinggi. Jadi tingkat entropinya rendah. Sedangkan banyaknya jumlah interferensi yang dihasilkan oleh senyawa molekular menunjukkan bahwa tingkat simetri bidang-bidang kristalnya lebih rendah daripada tingkat simetri kristal dengan struktur internal kubus ataupun tetragonal. Olehkarena semakin simetri bidang kristal di dalam suatu materi, semakin sedikit pula jumlah interferensi yang dihasilkan dan semakin tinggi intensitas interferensi yang diperoleh.

JMS Vol. 4 No. 1, April 1999

25

Gambar 2. Difraktogram campuran fisika apro:iso (1:1)

Gambar 3. Difraktogram akibat perlakuan termik

Gambar 4. Difraktogram akibat perlakuan mekanik Pada Gambar 4, yang merupakan difraktogram senyawa molekular hasil perlakuan mekanik, menunjukkan jumlah interferensi yang sama namun intensitasnya jauh lebih

26

JMS Vol. 4 No. 1, April 1999

rendah serta interferensinya lebih lebar. Hal ini disebabkan oleh karena jumlah kerusakan kisi akibat energi mekanik lebih banyak daripada perlakuan termik. Penggilingan selama 24 jam menyebabkan terjadinya pertukaran partikel padatan dalam wujud amorf. Meskipun energi mekanik pada umumnya menyebabkan terjadinya amorfisasi struktur, namun energi termik yang dihasilkan dari prinsip ekivalensi termodinamika, memungkinkan materi amorf untuk mengkristal. Jadi energi termik yang muncul akibat adanya energi mekanik, besarnya mencukupi untuk mengubah struktur amorf menjadi kristalin memungkinkan terbentuknya senyawa molekular.

3.3. Analisis Termal Dengan menggunakan metode termomikroskopik dan bantuan mikroskop polarisasi, suhu lebur dari campuran fisika antara aprobarbital dan isopropilantipirin dapat ditentukan. Dalam hal ini, yang diamati dan dicatat adalah suhu pada saat awal dan saat akhir melebur. Sebagai patokan untuk menentukan suhu lebur adalah suhu padamana terjadi keseimbangan antara padatan dan cairan. Melalui cara ini diperoleh diagram fase seperti tampak pada Gambar 5 berikut. Diagram fase semacam ini juga dapat diperoleh melalui DSC (Gambar 6.a) dan dibandingkan secara langsung dengan perolehan dari metode kontak. Keunggulan metode kontak dalam hal ini adalah adanya kesempatan untuk mengamati pertumbuhan kristal senyawa molekular yang terbentuk. Disamping itu, dua titik eutektik yang dihasilkan dan suhu lebur senyawa molekular dapat diamati secara seksama dan tepat. Seperti halnya yang tampak pada Gambar 1, jalur gelap diantara kristalin senyawa molekular menunjukkan terbentuknya titik eutektik 1 disekitar suhu 93oC. Titik eutektik 2 pada suhu 117oC akan tampak juga sebagai jalur gelap, namun lokasinya berada diantara kristalin senyawa molekular dengan kristalin aprobarbital. Pada pemanasan selanjutnya, kristalin isopropilantipirin akan melebur terlebih dahulu, sehingga kristalin senyawa molekular tampak seperti jalur kristalin yang diapit oleh dua jalur gelap yang berasal dari leburan di titik eutektik 1 dan 2. Senyawa molekularnya sendiri baru akan melebur sempurna pada suhu 125oC. Setelah itu diikuti dengan meleburnya kristalin aprobarbital. Pada kondisi demikian, seluruh bidang pengamatan dibawah mikroskop akan berubah menjadi amorf, atau gelap. Termogram yang tampak pada Gambar 6a merupakan termogram campuran fisika, menunjukkan adanya kurva endotermik 1 yang setara dengan

JMS Vol. 4 No. 1, April 1999

27

titik eutektik 1 pada suhu 96oC. Kurva endotermik 2 disekitar suhu 123oC, tampak tumpul dan ini setara dengan titik eutektik 2 pada diagram fase. Sedangkan kurva endotermik3) pada suhu sekitar 129oC, setara dengan suhu lebur senyawa molekular. Perbedaan suhu antara hasil metode kontak dengan data DSC lebih disebabkan karena kenaikan suhu pemanasan pada metode kontak sekitar 2o/menit, sedangkan DSC 5o/menit. Termogram pada Gambar 6b, hasil perlakuan mekanik hanya menunjukkan satu kurva endotermik yang setara dengan suhu lebur senyawa molekular. Kondisi ini diduga akibat dari tingginya konsentrasi kerusakan kisinya, sehingga antaraksi fisik antara senyawa molekular dengan kedua zat pembentuknya tidak lagi terdeteksi. Sedangkan Gambar 6c hasil perlakuan termik tidak menunjukkan kurva endotermik yang setara dengan titik eutektik 1. Hal ini mungkin disebabkan oleh ketidaksempurnaan rekristalisasi isopropilantipirin, akibat kecepatan rekristalisasinya yang lebih lambat dibadingkan kecepatan rekristalisasi senyawa molekular dan aprobarbital.

Gambar 5. Diagram fase campuran aprobarbital dan isopropilantipirin

28

JMS Vol. 4 No. 1, April 1999

Gambar 6. Termogram campuran aprobar bital dan isopropilantipirin 3.4. Mikrofoto Gambar 7 menunjukkan mikrofoto isopropilantipirin perdagangan dimana ukuran partikelnya sangat variatif, dari 40-227m. Partikelnya berupa agregat yang terbentuk dari akumulasi kristalin batang pendek dan pipih. Habitnyapun tidak seragam, namun umumnya bundar. Sedangkan Gambar 8 menunjukkan habit dan dimensi kristalin aprobarbital perdagangan. Partikelnya lebih berupa aglomerat dari sekelompok monokristalin yang umumnya berbentuk batang panjang.

Gambar 7. Mikrofoto isopropilantipirin

Gambar 8. Mikrofoto aprobarbital

JMS Vol. 4 No. 1, April 1999

29

Dimensinya sendiri sukar untuk ditentukan akibat dari wujud aglomeratnya itu. Paling tidak, kedua bahan obat ini menunjukkan perbedaan dimensi dan habit yang sangat signifikan. Jika campuran fisika aprobarbital:isopropilantipirin (7:3) diberi perlakuan mekanik, maka produknya tampak seperti terlihat pada Gambar 9. Gambar ini tidak lagi menunjukkan keberadaan wujud asal kedua bahan obat, melainkan telah berubah wujud menjadi kristalin senyawa molekular berupa sulur-sulur panjang.

Gambar 10. Mikrofoto aprobarbital : isopropilantipirin (1:1) akibat perlakuan mekanik

Gambar 9. Mikrofoto aprobarbital : isopropilantipirin (7:3) akibat perlakuan mekanik

Tampak sulur-sulur tersebut seolah-olah menghubungkan antara agregat satu dengan agregat lainnya. Jika komposisi campuran diubah menjadi (1:1) seperti tampak pada Gambar 10, maka hasil perlakuan mekanik menunjukkan dominasi dari kehadiran senyawa molekular. Wujudnya sejenis yakni berupa kristalin panjang yang sangat sukar ditentukan ukurannya, kecuali tebalnya yang berkisar antara 0,53-1,10m, dan lebih panjang daripada hasil (7:3). Kondisi demikian ini diduga menjadi penyebab mengapa pada termogram akibat perlakuan mekanik hanya dijumpai satu kurva endotermik. Yaitu suhu lebur senyawa molekular dan tidak ada kurva endotermik yang setara dengan titik eutektik 1 dan 2.

30

JMS Vol. 4 No. 1, April 1999

Gambar 11. Mikrofoto isopropilantipirin akibat perlakuan mekanik Pada Gambar 11 tampak akibat

Gambar 12. Mikrofoto aprobarbital : isopropilantipirin (1:9) akibat perlakuan termik dari perlakuan mekanik terhadap partikel

isopropilantipirin. Perubahan yang terlihat umumnya adalah terjadinya amorfisasi partikel dan hilangnya habit awal berbentuk agregat. Dalam hal ini partikel kristalin batang pendek berubah menjadi memanjang dan satu sama lain tampak teruraikan dan tidak lagi terakumulasi membentuk agregat semula. Panjang kristalin batang berkisar antara 10-20 m, hampir dua bahkan empat kali lipat dari panjangnya semula. Sedangkan pada Gambar 12 tampak hasil perlakuan akibat termik dari komposisi aprobarbital : isopropilantipirin (1:9). Dalam hal ini yang tampak dominan adalah kombinasi kristalin senyawa molekular yang terbentuk dan struktur kristalin dari aprobarbital. Kristalin senyawa molekular berbentuk batang-batang panjang yang muncul di sela-sela struktur kristalin aprobarbital yang berupa bilah-bilah lebar dan tersusun berlapislapis. Adanya konsentrasi kristalin senyawa molekular dalam jumlah cukup tinggi ini, diduga dapat menyebabkan timbulnya perbedaan aktivitas farmakologisnya. Dalam hal ini efek isopropilantipirin kemungkinan akan digantikan oleh adanya senyawa molekular yang baru terbentuk. Disamping itu, keberadaan dari hanya dua jenis kristalin dalam produk hasil perlakuan termik terhadap campuran aprobarbital dan isopropilantipirin dapat digunakan untuk membantu menjelaskan termogram hasil perlakuan termik yang hanya menunjukkan dua kurva endotermik. Dua kurva tersebut masing-masing menyatakan titik eutektik 2 dan suhu lebur senyawa molekular. Jadi, struktur kristalin isopropilantipirin

JMS Vol. 4 No. 1, April 1999

31

dalam hal ini telah lenyap, sehingga titik eutektik 1, yang menyatakan suhu lebur campuran eutektik dari isopropilantipirin dengan senyawa molekular, tidak terdeteksi.

4. Kesimpulan Melalui metode kontak dan penentuan suhu lebur campuran fisika aprobarbital dan isopropilantipirin, diperoleh diagram fase senyawa molekular dengan dua titik eutektikum. Titik eutektik 1 terletak pada suhu 96oC, titik eutektik 2 pada 123oC sedangkan suhu lebur senyawa molekular terletak pada suhu 129oC (metode DSC). Baik energi mekanik maupun termik, keduanya dapat menyebabkan terbentuknya senyawa molekular dari campuran fisika aprobarbital dan isopropilantipirin. Energi mekanik menyebabkan terbentuknya kristalin berupa sulur-sulur panjang. Jumlah kristalin berbentuk batang panjang ini akan semakin besar sejalan dengan meningginya bagian isopropilantipirin. Sedangkan pengaruh energi termik pada kombinasi zat yang sama, menghasilkan dua habit kristalin yaitu kristalin senyawa molekular dan kristalin aprobarbital.

Daftar Pustaka 1. Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia, "ISO Indonesia", Edisi Farmakoterapi, Volume XXVI, ISSN 0854-4492, 1995 2. Sundani N.S. und Fhrer C., "Beitrag zur Aufklrung kristallographischer Vernderungen von Arzneistoffen bei mechanischer Bearbeitung", Dissertation, TU Carolo-Wilhelmina zu Braunschweig, 1983 3. Sundani N.S., "Farmasetika", PAU Ilmu Hayati ITB, 1992

Anda mungkin juga menyukai