Anda di halaman 1dari 19

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

1.1. Fisiologi Penyembuhan Luka Penyembuhan luka merupakan suatu proses yang kompleks dan melibatkan banyak sel. Proses penyembuhan luka terdiri dari beberapa fase yakni : fase koagulasi (hemostasis), inflamasi, proliferasi dan remodeling 1. Fase penyembuhan Luka a. Fase Koagulasi Fase koagulasi merupakan proses awal dari penyembuhan luka dengan melibatkan platelet. Aktivasi platelet akan menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah dan diikuti dengan proses koagulasi. Proses hemostasis ini bertujuan untuk mencegah pendarahan yang lebih luas. Pada tahap ini terjadi proses adhesi, agregasi dan degranulasi dari platelet yang diikuti dengan pembentukan benang-benang fibrin. Kemudian beberapa sitokin akan dilepaskan seperti Transforming Growth Factor- (TGF- ), platelet derived growth factor (PDGF), Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF), Platelet-activating Factor (PAF), Insuline like Growth Factor-1 (IGF-1) yang akan mengawali proses inflamasi pada jaringan yang luka 1, 2. b. Fase Inflamasi Fase inflamasi dimulai beberapa menit setelah luka dan berlangsung sampai beberapa hari. Selama fase ini, sel-sel inflamasi akan mengaktifkan leukosit terutama neutrofil sebagai komponen sel dengan densitas yang lebih tinggi di dalam sirkulasi. Neutrofil ini akan memfagosit bakteri yang masuk ke dalam jaringan dan juga mensekresikan beberapa sitokin yang kemudian akan mengaktifkan fibroblas dan keratinosit. Neutrofil juga mengaktifkan makrofag yang berperan dalam proses fagositosis bakteri dan makrofag ini juga mensekresikan sitokin dan faktor pertumbuhan seperti Fibroblast Growth Factor (FGF), Epidermal Growth Factor (EGF), Vascular Endothelial

Growth Factor (VEGF), Tumor Necrosis Factor- (TNF- ), Interferon- (IFN-), dan Interleukin-1 )IL-1). Mediator ini akan merangsang proliferasi dan migrasi dari fibroblas dan sel endotel yang dikenal dengan proses angoigenesis. Proses inflamasi ini adalah suatu mekanisme perlawanan terhadap infeksi dan sebagai jembatan pada jaringan yang mengalami cedera untuk pertumbuhan sel-sel baru 1,2. c. Fase Proliferasi Apabila tidak ada infeksi dan kontaminasi pada fase inflamasi, maka fase proliferasi akan cepat terjadi. Pada fase proliferasi ini terjadi proses granulasi dan kontraksi. Dalam proses granulasi, makrofag dan limfosit turut berperan untuk proliferasi dan migrasi dari sel-sel epitel, fibroblast dan endotel. Sel-sel epitel yang mencakup sebagian besar keratinosit akan bermigrasi dan mengalami stratifikasi serta diferensiasi untuk menyusun kembali barrier epidermis. Selain itu, proses epitelialisasi ini juga meningkatkan produksi matriks ekstraseluler, faktor pertumbuhan, dan sitokin melalui pelepasan Keratinocyte Growth Factor (KGF). Pada fase proliferasi fibroblast, sel-sel ini akan menghasilkan sejumlah kolagen yang berperan dalam rekonstruksi jaringan. Proliferasi dari sel endotel dalam membentuk struktur pembuluh darah kapiler yang baru dikenal sebagai angiogenesis juga terjadi pada fase ini. secara klinis, proses ini akan tampak sebagai kemerahan pada luka. Kemudian fase kontraksi akan memfasilitasi proses penutupan luka yang disertai dengan sintesis kolagen. Hasil dari kontraksi secara klinis akan terlihat dimana ukuran luka akan semakin mengecil dan menyatu 1, 2. d. Fase Remodelling Pada fase ini banyak terdapat komponen matriks ekstraseluler seperti hyaluronic acid, proteoglycan, serta kolagen yang berdeposit selama perbaikan untuk memudahkan perekatan pada migrasi seluler dan menyokong jaringan. Serabut-serabut kolagen meningkat secara bertahap dan bertambah tebal dan kemudian disokong oleh proteinase untuk

perbaikan sepanjang garis luka. Serabut kolagen menjadi unsur utama pada matriks ekstraseluler dan menyebar dengan saling terikat dan menyatu dan berangsur-angsur menyokong pemulihan jaringan.

Remodeling kolagen selama pembentukan jaringan parut tergantung pada sintesis dan katabolisme dari kolagen yang berlangsung secara simultan 1,
2

Proses Penyembuhan Luka Secara garis besar prose penyembuhan dapat berlangsung atas 2 proses: a. Penyembuhan Primer Sebagian besar luka akan sembuh secara primer, penyembuhan terjadi dengan melibatkan tepi luka yang diaproksimasikan melalui simpul, staples, lem atau plester. Aproksimasi ini betrujuan untuk menghindari dead space dengan tetap memperhatikan kebutuhan ruang yang minimal untuk pembentukan jaringan granulasi. Reepitelialisasi jaringan luka dapat dicapai dalam 4 hari pasca operasi. Seharusnya luka sudah harus dinilai dalam 4 hari setelah pembedahan. Jika reepitelialisasi telah berlangsung dan luka tertutup, luka dapat dibiarkan terbuka. Namun, jika pasien tidak ingin lukanya terlihat, luka dapat ditutup dengan dressing film atau dressing yang tingkat perlekatannya lebih rendah untuk menjamin kenyamanan (pakaian dapat mengiritasi luka). Jika eksudat keluar dari pembalut, setidaknya dalam 48 jam pertama, pembalut harus diganti.

b. Penyembuhan Sekunder Luka bedah yang terkontaminasi yang akhirnya terbuka atau luka yang terbuka pascaoperasi akan sembuh dengan pendekatan sekunder, melalui proses inflamasi, proliferasi, kontraksi dan remodeling yang lebih panjang.

Apabila telah terjadi luka sekunder, penymbuhan masih dapat diharapkan, tetapi harus memperhatikan prinsip: Membiarkan drainase eksudat dengan menggunakan pembalut yang sesuai Meminimalkan infeksi pada luka Memperkuat pembentukan jaringan granulasi dan kontraktur luka dengan menjamin suasana luka yang lembab dan hangat, dimana sel baru dapat bermultiplikasi Hindari nyeri pada penutupan luka dengan menggunakan produk yang tidak lengket dengan luka atau menyebabkan kerusakna pada jaringan. Faktor-faktor yang Mepengaruhi Penyembuhan Luka 1, 2 Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penyembuhan luka dapat dibagi menjadi faktor sistemik dan faktor lokal. Faktor Sistemik

a. Usia Pada usia lanjut, proses penyembuhan luka lebih lama dibandingkan pada usia muda. Hal ini dikarenakan adanya proses degenerasi, tidak adekuatnya pemasukan makanan, menurunnya kekebalan dan menurunnya sirkulasi 1, 2. b. Hormonal Faktor hormonal juga turut berperan dalam proses penyembuhan luka. Hormon estrogen pada wanita mempunyai efek terhadap proses regenerasi, produksi matriks ekstraseluler, inhibisi protease, fungsi epidermis dan inflamasi. Sehingga wanita pada usia subur mempunyai kemampuan dalam penyembuhan luka bila dibandingkan dengan wanita yang telah memasuki masa klimakterium. Hal ini juga berlaku untuk pria, sehingga dapat disimpulkan bahwa proses penyembuhan luka pada wanita lebih baik dan lebih cepat dari pria 2.

c. Faktor Stress Stress dapat mencetuskan pengeluaran hormon kortisol, ACTH, katekolamin (epinefrin dan norepinefrin) dan prolaktin. Hormon glukokortikoid dapat menganggu aktivasi dari sitokoin-sitokin seperti IL-1, IL-6, TNF- yang berperan dalam fase inflamasi dari proses penyembuhan luka 2. d. Nutrisi Karbohidrat diperlukan sebagai sumber ATP untuk proses

angiogenesis dan depsosisi jaringan baru. Protein adalah zat yang paling penting dalam proses penyembuhan luka. Defisiensi protein dapat menggangu proses pembentukan kapiler, proliferasi fibroblas, sintesis proteoglikan dan kolagen, dan remodeling jaringan luka. Protein juga berperan dalam sistem imun yaitu dalam proses fagositosis oleh komponen leukosit. Lemak sebagai sumber energi cadanagan juga dibutuhkan dalam proses penyembuhan luka dan perbaikan jaringan. Struktur asam lemak seperti polyunsaturated fatty acid, yang tidak dapat disintesis dalam tubuh diperlukan dalam proses produksi sitokin, metabolisme sel dan angiogenesis. Beberapa vitamin seperti vitamin C diperlukan dalam proses sintesis kolagen, proliferasi fibroblas dan mencegah fragilitas kapiler. Vitamin E diperlukan sebagai antioksidan dalam stabilisasi membran sel. Zink, Magnesium, Besi juga berperan dalam pemulihan jaringan akibat luka 2. e. Obesitas & Penyakit Sistemik Pada individu dengan obesitas, penyembuhan luka dapat terganggu berkaitan dengan peningkatan traksi (tension) pada tepi luka sehingga meningkatkan tekanan pada jaringan, menurunkan perfusi kapiler sehingga menurunkan ketersediaan oksigen pada jaringan luka. Penderita diabetes melitus juga mempunyai resiko dalam gangguan proses penyembuhan luka, akibat peningkatan produksi advanced

glycation end-products (AGEs), reactive oxygen species, dan kondisi hipoksia serta imunodefisiensi 2. f. Obat-obatan Penggunaan obat-obatan seperti steroid (glukokortikoid), NSAIDs, dan kemoterapi mempengaruhi proses penyembuhan luka.

Glukokortikoid mempunyai efek dalam inhibisi produksi sitokin dalam sifatnya sebagai global anti-inflamatory agent. Beberapa golongan NSAID seperti aspirin memiliki efek dalam menganggu fungsi platelet. Ibuprofen memiliki efek dalam menurunkan produksi fibroblast, gangguan proses epitelialisasi, angiogenesis dan kontraksi luka 2. g. Konsumsi Alkohol & Merokok Etanol dalam alkohol meningkatkan resiko infeksi pada luka, gangguan proses angiogenesis, hipoksia jaringan dan stress oksidatif. Etanol juga dapat menganggu proses produksi kolagen dan keseimbangan protease pada jaringan luka. Nikotin dalam rokok menstimulasi sistem saraf simpatis sehingga mencetuskan pelepasan epinefrin yang menyebabkan vasokonstriksi perifer dan menganggu perfusi darah ke jaringan. Nikotin juga meningkatkan viskositas darah sehingga menggangu proses fibronolitik dan adhesi dari platelet 2.

Faktor Lokal

a. Oksigenasi Oksigen dibutuhkan dalam proses metabolisme sal terutama dalam produksi ATP, angiogenesis, diferensiasi keratinosit, migrasi epitel dan epitelialisasi, proliferasi fibroblas, sintesis kolagen serta membantu kontraksi luka. Oksigenasi berkaitan dengan

vaskularisasi, sehingga pada pasien yang mengalami gangguan vaskularisasi seperti diabetes dapat mengalami kondisi kekurangan oksigen 2.

Pada luka dekubitus juga sering mengalami gangguan dalam proses pemulihan jaringan berkaitan dengan insufisiensi vaskular di daerah tersebut 2. b. Infeksi Infeksi dapat memperlama proses inflamasi sehingga mengakibatkan aktivasi matrix metalloprotease (MMP), suatu derivat dari enzim protease yang dapat mendegradasi komponen matriks ekstraseluler 2.

2.2. Abdominal Wound Dehiscence a. Definisi Laparatomi adalah tindakan pembedahan atau insisi pada dinding abdomen. Tindakan laparotomi dapat dipertimbangkan atas indikasi : akut abdomen, hernia, tumor abdomen, tumor organ reproduksi, kehamilan ektopik terganggu dan tumor saluran kemih. Dalam tindakan laparotomi, insisi pada dinding perut akan melalui 9 lapisan dinding abdomen. Lapisan dinding abdomen anterior dari luar ke dalam adalah 3 : Kulit Fasica Camper Fascia Scarpa M. Obliquus Externus M. Obliquus Internus M. Transversus Fascia Tranversus Lemak Preperitoneal Peritoneum

Abdominal wound dehiscence adalah suatu komplikasi laparatomi berupa rupturnya bekas operasi di sepanjang penjahitan luka pada lapisan musculoaponeurotic. Abdominal wound dehiscence merupakan resiko terjadinya ruptur berulang (repeat dehiscence), infeksi pada luka operasi dan pembentukan hernia insisional 3. 8

b. Insidensi Abdominal wound dehiscence terjadi pada 1-3% pasien yang menjalani operasi abdomen. Dehiscence biasanya terjadi pada hari ke 7-10 pasacoperasi, namun dapat juga terjadi kapan saja dari rentang hari ke 1-20 pascaoperasi 3, 4, 5.

c. Faktor Resiko Beberapa faktor yang berhubungan dengan abdominal wound dehiscence antara lain dibedakan menjadi faktor resiko sebelum operasi, saat operasi, dan setelah operasi: Faktor Resiko Sebelum Operasi Usia Usia yang lebih tua dikaikan dengan kondisi penurunan kemampuan dalam pemulihan jaringan luka 4. Malnutrisi Pasien yang memilki kadar albumin yang rendah, dan beberapa mikronutrien seperti vitamin A, B1, B2, B6, Zink, dan

Tembaga juga berhubungan dengan terganggunya proses penyembuhan luka. Pada studi yang dilakukan Gabrielle dkk. menunjukkan pasien yang mengalami abdominal wound dehiscence rata-rata memiliki kadar albumin yang rendah yaitu dibawah 3,5 g/dl 4. Anemia Anemia sebagai faktor resiko terjadinya dehisens dikaitkan dengan stress perioperatif, transfusi darah berulang, dan rendahnya oksigenasi jaringan. Semua ini dapat menurunkan sistem kekebalan (imunitas) dan proses penyembuhan luka 4.

Faktor Resiko Saat Operasi Jenis Insisi Angka kejadian abdominal wound dehiscence lebih tinggi pada insisi midline dibandingkan insisi transversal. Insisi midline tidak sesuai dengan posisi anatomik. Potongan ini memotong secara melintang di atas serabut aponeurosis, berbeda dengan insisi transversa yang memotong paralel di atas serabut aponeurosis. Kontraksi dinding abdomen akan menyebabkan tarikan secara langsung dari sisi lateral. Pada inisi midline, hal ini dapat menyebabkan material suture akan memotong dan memisahkan arah serabut secara transversal. Sebaliknya pada insisi transversal, serabut semakin dikuatkan jika terjadi kontraksi. Walaupun insisi midline memeiliki kegunaan dan tetap bermanfaat ditinjau dari segi kepentingan pembedahan. Teknik Penutupan Luka Pencegahan terjadinya dehiscence pada luka sangat berkaitan dengan teknik yang dilakukan pada saat menutup fascia. Teknik yang dilakukan harus mencakup jarak penjahitan yang tepat, kedalaman jahitan yang adekuat, relaksasi pasien sepanjang dilakukan penjahitan, dan penjahitan dengan tension yang minimal. Pada populasi yang sehat, teknik penjahitan dengan metode continuous dan interrupted mempunyai kemungkinan yang sama untuk terjadinya dehiscence. Sementara, pada pasien

dengan resiko tinggi (usia tua, menderita penyakit sistemik, malnutrisi berat), teknik penjahitan dengan metode continuous lebih beresiko untuk terjadinya dehisens sehingga teknik penjahitan interrupted direkomendasikan 3. Penutupan dinding abdomen secara langsung satu lapis yaitu seluruh lapisan abdomen di ambil bersamaan adalah sama

10

bahkan lebih baik bila dibandingkan penutupan lapis demi lapis dalam mencegah terjadinya wound dehiscence. Faktor Resiko Postoperasi Peningkatan Tekanan Intraabdominal Batuk dihubungkan dengan peningkatan tekanan

intraabdominal secara tiba-tiba sehingga struktur jaringan yang masih berada dalam masa pemulihan yang belum kokoh dapat mengalami gangguan. Infeksi Infeksi dapat memperpanjang proses inflamasi sehingga proses penyembuhan luka opearsi menjadi lebih lama. Matriks metalaoproteinase (MMP) yang dihasilkan oleh aktivasi neutrofil dapat mendegradasi matriks ekstraseluler. Endotoksin yang dilepaskan bakteri juga mengaktifkan kolagenase yang menghancurkan serabut kolagen 4.

d. Gejala Klinis Wound dehiscence atau dehisensi luka seringkali terjadi tanpa gejala khas, biasanya penderita sering merasa ada jaringan dari dalam rongga abdomen yang bergerak keluar disertai keluarnya cairan serous berwarna merah muda dari luka operasi (85% kasus). Pada pemeriksaan didapatkan luka operasi yang terbuka. Terdapat pula tanda-tanda infeksi umum seperti adanya rasa nyeri, edema dan hiperemis pada daerah sekitar luka operasi, dapat pula terjadi pus atau nanah yang keluar dari luka operasi. Biasanya dehisensi pada luka operasi didahului oleh infeksi yang secara klinis terjadi pada hari ke 4 hingga 9 pascaoperasi. Penderita datang dengan klinis febris, hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan jumlah leukosit yang sangat tinggi dan pemeriksaan jaringan di sekitar

11

luka operasi didapatkan reaksi radang berupa kemerahan, hangat, pembengkakan, nyeri, fluktuasi dan pus. 3

e. Penatalaksanaan Penatalaksanaa pada kasus abdominal wound dehiscence bergantung pada seberapa besar pemisahan fascia, dan komplikasi yang timbul pada organ-organ abdomen maupun dinding abdomen (defek pada usus, peritonitis). Penatalaksanaan abdominal wound dehiscence dibedakan menjadi penatalaksanaan nonoperatif atau konservatif dan penatalaksanaan operatif tergantung atas keadaan umum penderita. 1. Penanganan Nonoperatif/ Konservatif Penanganan nonoperatif diberikan kepada penderita yang sangat tidak stabil dan tidak mengalami eviserasi. Hal ini dilakukan dengan penderita berbaring di tempat tidur dan menutup luka operasi dengan kassa steril atau pakaian khusus steril. Penggunaan jahitan penguat abdominal dapat dipertimbangkan untuk

mengurangi perburukan luka operasi terbuka. Selain perawatan luka yang baik, diberikan nutrisi yang adekuat untuk mempercepat penutupan kembali luka operasi. Diberikan pula antibiotik yang memadai untuk mencegah perburukan dehisensi luka 3.

2. Penanganan Operatif Penanganan operatif dilakukan pada sebagian besar penderita. Ada beberapa jenis operasi yang dilakukan pada wound dehiscence yang dilakukan antara lain rehecting atau penjahitan ulang luka operasi yang terbuka, mesh repair, vacuum pack, abdominal packing, dan Bogota bag repair. Jenis operasi rehecting atau penjahitan ulang paling sering dilakukan hingga saat ini. Tindakan ini dilakukan pada pasien

12

dengan keadaan stabil, dan penyebab terbukanya luka operasi murni karena kesalahan tekhnik penjahitan. Pada luka yang sudah terkontaminasi dilakukan tindakan debridemen terlebih dahulu sebelum penutupan kembali luka operasi. Dalam perencanaan jahitan ulangan perlu dilakukan pemeriksaan yang baik seperti laboratorium lengkap dan foto throraks. Selain penjahitan ulang dilakukan pula tindakan debridement pada luka; Tindakan awal yang dilakukan adalah eksplorasi melalui dehisensi luka jahitan secara hati-hati dan memperlebar sayatan jahitan lalu mengidentifikasi sumber terjadinya dehisensi jahitan. Tindakan eksplorasi dilakukan dalam 48 72 jam sejak diagnosis dehisensi luka operasi di tegakkan. Tehnik yang sering digunakan adalah dengan melepas jahitan lama dan menjahit kembali luka operasi dengan cara satu lapisan sekaligus. Pemberian antibiotik sebelum operasi dilakukan, membebaskan omentum dan usus di sekitar luka. Penjahitan ulang luka operasi dilakukan secara dalam, yaitu dengan menjahit seluruh lapisan abdomen menjadi satu lapis. Pastikan mengambil jaringan cukup dalam dan hindari tekanan berlebihan pada luka. Tutup kulit secara erat dan dapat dipertimbangkan penggunaan drain luka intraabdominal. Jika terdapat tanda- tanda sepsis akibat luka, buka kembali jahitan luka operasi dan lakukan perawatan luka operasi secara terbuka dan pastikan kelembaban jaringan terjaga. Prinsip pemilihan benang untuk penjahitan ulang adalah benang monofilament nonabsorbable yang besar. Penjahitan dengan tehnik interrupted sekurangnya 3 cm dari tepi luka dan jarak maksimal antar jahitan 3 cm, baik pada jahitan dalam ataupun pada kulit. Jahitan penguat dengan karet atau tabung plastik lunak (5-6 cm) dapat dipertimbangkan guna mengurangi erosi pada kulit. Jangan

13

mengikat terlalu erat. Jahitan penguat luar diangkat setidaknya setelah 3 minggu 3.

f. Pencegahan Teknik operasi yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya wound dehiscence antara lain : Menggunakan bahan nonabsorbable yang besar atau setidaknya bahan yang memilik absorbtion rate jangka panjang Pada pasien beresiko, jaringan diambil lebar dari tepi luka (sekitar 3 cm) dengan jarak antar simpul tidak lebih dari 3 cm Tidak mengikat jaringan terlalu kuat Metode penjahitan dengan menjahit sekaligus semua lapisan dari kulit hingga peritoneum, namun metode penjahitan lapisa demi lapis dapat juga dilakukan Bahan-bahan yang tidak memotong luka dapat dipakai mencegah erosi akibat simpul pada kulit, misalnya membuat simpul melalui bahan plastik atau karet yang pendek (5-6 cm)

2.3. Kehamilan Ektopik 2.3.1. Definisi Ektopik berasal dari bahasa Yunani, yaitu kata ektopos, yang artinya di luar tempat. Kehamilan ektopik adalah kehamilan yang implantasi blastosisnya terjadi di luar kavum uteri 6.

2.3.2. Epidemiologi Menurut American College of Obstetricians and Gyenecologists tahun 2008, insidensi kehamilan ektopik adalah 2% dari seuruh kehamilan trimester pertama di Amerika Serikat dan angka mortalitsnya mencapai 6% dari seluruh kematian terkait kehamilan 6.

14

2.3.3. Faktor Resiko 6,7,8 a. Faktor tuba Riwayat kehamilan ektopik, pembedahan tuba, infeksi tuba dan sterilisasi tuba sebelumnya menyebabkan kerusakan dan

peradangan pada tuba. Wanita yang memiliki riwayat kehamilan tuba sebelumnya akan beresiko untuk kembali mengalami kehamilan ektopik kembali sebesar 10%. b. Kontrasepsi intrauterine Kontrasepsi intrauterine dapat menyebbkan peradangan pada endometrium. Sehingga resiko untuk terjadi kehamilan ektopik lebih besar. c. Penggunaan pil kontrasepsi Penggunaan pil kontrasepsi yang mengandung progesterone dapat meningkatkan resiko terjadinya kehamilan ektopik. Karena progesterone dapat mengganggu pergerakan silia tuba. d. Merokok e. Abortus sebelumnya f. Berganti-ganti pasangan g. Seksio sesarea sebelumnya Luka pada uterus akibat seksio sesarea juga meningkatkan resiko terjadinya kehamilan ektopik. 2.3.4. Klasifikasi 6,7,8 Klasifikasi kehamilan ektopik dibagi berdasarkan lokasinya, yaitu: a. Kehamilan Tuba Lebih dari 95% kehamilan ektopik adalah kehamilan tuba. Kehamilan tuba paling sering berada di pars ampula (70%), diikuti dengan pars ismika (12%), pars fimbria (11%), dan pars interstisialis (2%-3%). b. Kehamilan ektopik lain Kehamilan ektopik ini terjadi di serviks, ovarium, atau abdominal.

15

c. Kehamilan intraligamenter d. Kehamilan heterotopik e. Kehamilan ektopik bilateral

2.3.5. Patofisiologi Beberapa hal dapat mengganggu gerakan silia dan kontraksi tuba tersebut. Sehingga hasil konsepsi tidak mencapai kavum uteri dan implantasi terjadi di saluran tuba.Tuba bukan merupakan suatu tempat yan baik untuk pertumbuhan embrio,sehingga dapat terjadi beberapa masalah, antara lain 6,7: a. Embrio mati dini dan direabsorpsi Hasil konsepsi cepat mati akibat kurangnya vaskularisasi dan akhirnya direabsorpsi total. Bila terjadi hal ini, penderita tidak mengeluh apa-apa, kecuali haid yang terlambat. b. Abortus ke dalam lumen tuba Perdarahan yang terjadi karena pembukaan pembuluh-pembuluh darah oleh vili korialis pada dinding tuba di tempat implantasi dapat melepaskan hasil konsepsi dari dinding tersebut bersama dengan robeknya pseudokapsularis. c. Ruptur dinding tuba

16

Faktor utama yang menyebabkan rupture ialah penembusan vili korialis ke dalam lapisan muskularis tuba lalu ke peritoneum. Rupture dapat terjadi secara spontan maupun akibat trauma.

2.3.6. Diagnosis Kehamilan ektopik ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala klinis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang 6,7,8. 1. Tanda dan Gejala Klinis a. Amenorea Amenorea merupakan tanda-tanda adanya kehamilan. Bila terjadi kematian embrio dini dan diikuti reabsorpsi total, maka penderita akan mengalami amenorea yang sementara. b. Nyeri abdominal dan pelvis Nyeri merupakan keluhan utama (95%) pada kehamilan ektopik terganggu. Nyeri biasa timbul di perut bagian bawah, timbul secara tiba-tiba disertai dengan perdarahan pervaginam hingga penderita pingsan. Nyeri tekan juga dijumpai. c. Perdarahan pervaginam Amenorea yang disertai dengan bercak atau perdarahan dialami 60%-80% pasien kehamilan ektopik. Perdarahan biasanya timbul akibat abortus inkomplit.

2. Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan vaginal dijumpai uterus membesar dan lembek walaupun tidak sebesar tuanya kehamilan.

3. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium, pencitraan ultrasonografi (USG), kuldosintesis, dan laparoskopi. a. Pemeriksaan Laboratorium Darah Lengkap

17

Human Chorionic Gondotropin (Beta-hcg) b. Pemeriksaan ultrasonografi (USG) c. Kuldosintesis d. Laparoskopi Algoritme diagnosis inisial pada pasien yang diduga kehamilan ektopik

18

2.3.7. Diagnosis Banding6,8 a. Salfingitis Tes kehamilan negatif, nyeri timbul disertai dengan demam. Selain itu dapat ditemukan secret purulen yang keluar dari serviks. b. Abortus inkomplit dan abortus iminens Keluhan utama adalah terdapat perdarahan pervaginam yang mendahului rasa nyeri. Darah yang keluar biasanya berwarna merah segar dan timbul nyeri kolik. c. Apendisitis Nyeri timbul di daerah fosa iliaka kanan dan disertai demam tinggi. Penderita merasa sangat kesakitan dan tes kehamilan biasanya negatif. Tetapi kehamilan yang juga disertai apendisitis dapat juga terjadi. d. Torsi kista ovarium Massa yang terpalpasi terletak diluar uterus dan dapat timbul demam tinggi jika terdapat perdarahan intraperitoneal. Tanda dan gejala kehamilan tidak ditemukan tetapi dijumpai riwayat nyeri yang hilang timbul. 2.3.8. Penatalaksanaan6,7,8 a. Laparoskopi merpakan terapi pelihan untuk wanita dengan kehamilan ektopik yang hemodinamiknya stabil. b. Laparatomi merupakan suatu proses insisi bedah ke dalam rongga abdomen yang dilakuakan dengan berbagai indikasi seperti trauma abdomen, infeksi pada rongga abdomen, perdarahan saluran cerna, sumbatan pada usus halus dan usus besar serta masa pada abdomen. Sampai saat ini, tindakan laparatomi untuk evakuasi hasil konsepsi yang tidak pada tempatnya adalah tatalaksana pada kasus kehamilan ektopik terganggu. Namun, yang kita hadapi tidaklah berakhir sampai di situ saja. Ada beberapa komplikasi yang mungkin muncul setelah tindakan

19

laparatomi. Salah satu komplikasi yang cukup sering terjadi selain infeksi pada jahitan bekas luka laparatomi adalah abdominal wound dehsiscence atau terbukanya jahitan pada bekas insisi laparatomi. Salfingostomi Salfingostomi adalah prosedur untuk mengembalikan patensi tuba fallopi dengan cara membuat bukaan baru pada tuba. Prosedur ini biasanya digunakan pada kehamilan yang ukurannya kurang dari 2 cm dan terletak di sepertiga distal dari tuba fallopi. Salfingotomi Salfingotomi adalah prosedur yang membuat irisan pada tuba untuk mengeluarkan hasil konsepsi yang ektopik. Kedua prosedur di atas merupakan terapi konservatif, sehingga tuba dapat dipertahankan. Salfingektomi Prosedur ini adalah suatu terapi radikal yang dilakukan dengan cara rmengangkat/reseksi tuba fallopi pada kehamilan ektopik yang rupture maupun yang tidak. 2.3.9. Mortalitas6 Menurut data WHO tahun 2007, kehamilan ektopik menyebabkan kematian sekitar 5% dari seluruh kematian akibat kehamilan pada berkembang.

20

Anda mungkin juga menyukai