Anda di halaman 1dari 47

REFERAT

Pembimbing:
Dr. Rivai Usman, SP.A

Disusun Oleh:
Riski Faldian F
030.00.202

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RSUD BEKASI
PERIODE 15 DES 2008 21 FEB 2009
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA

STATUS PASIEN
I.

IDENTITAS
Nama pasien

: An. D

Umur

: 11 tahun

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Tempat/tanggal lahir : Jakarta, 16 Januari 1995


Orangtua

Ayah

Ibu

Nama

: Tn.R

Ny. S

Umur

: 43 thn

40 thn

Pendidikan

: SMP

SD

Alamat

: Jl. Podomoro 3 RT 07/07 No. 11


Jakarta utara

II.

ANAMNESIS
Auto dan alloanamnesis (dengan ibu pasien ) dilakukan pada tanggal 3 Juni 2006.
A. Keluhan utama :
Bengkak di kaki, perut dan mata sejak 1 bulan SMRS
B. Keluhan tambahan : (-)
C. Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang ke poliklinik anak dengan keluhan bengkak di kaki, perut
dan mata sejak 1 bulan SMRS. Awalnya bengkak dirasakan pasien di kedua mata
setiap bangun tidur. Bengkak juga timbul di kedua kaki pasien yang terjadi secara
cepat. Bengkak tersebut awalnya hilang timbul, tetapi kemudian bengkak bersifat
menetap, dan pasien menyangkal adanya rasa nyeri. Bengkak juga kemudian
timbul juga di perut dan semakin lama tambah membesar dan tegang. Pasien
mengatakan muka dan badan pasien bertambah gemuk walaupun nafsu makan
pasien tidak meningkat. Selain itu kantong kemaluan pasien juga bengkak Pasien
menyangkal adanya demam, sesak nafas (-), BAB mencret (-), BAK warna
kuning jernih, nyeri (-), rasa tidak puas saat BAK (-). Riwayat sakit tenggorok (-),
riwayat penyakit kulit (-)

Pasien menyangkal adanya riwayat penggunaan obat-obatan tertentu.


Pasien juga menyangkal adanya riwayat trauma. Selama ini pasien belum pernah
berobat dan baru pertama kali datang ke RSUD Koja.
D. Riwayat penyakit dahulu
Pasien belum pernah menderita penyakit seperti ini sebelumnya. Riwayat
alergi makanan dan obat (-).
E. Riwayat penyakit keluarga
Di dalam keluarga pasien tidak ada anggota keluarga pasien yang
menderita penyakit seperti ini.
F. Riwayat kehamilan dan persalinan
Selama kehamilan ibu pasien mengaku rutin kontrol ke bidan. Pasien lahir
spontan, ditolong oleh bidan, cukup bulan. Pada saat lahir pasien langsung
menangis, dengan BB 2800 gr dan panjang badan saat lahir 48 cm.
G. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan
Gigi I

: 6 bulan

Tengkurap

: 3 bulan

Duduk

: 6 bulan

Berdiri

: 10 bulan

Berjalan

: 11 bulan

Bicara

: 14 bulan

Kesan : riwayat pertumbuhan dan perkembangan baik


H. Riwayat makanan
Pasien diberi ASI sampai usia 2 tahun, setelah itu diberikan susu
pengganti ASI. Bubur susu mulai diberikan pada usia 4-9 bulan dan mendapat
nasi pada usia 1,5 tahun.

I. Riwayat Imunisasi
BCG

: 2 bulan

DPT

: 3,4,5 bulan

Polio

: 3,4,5 bulan

Campak

: 9 bulan

Hepatitis

: 3 dan 6 bulan

Kesan : - Imunisasi dasar tidak lengkap


- Imunisasi lanjutan belum didapat
III.

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : sakit sedang
Kesadaran

: compos mentis

Nadi

: 108 x/menit, reguler

RR

: 28 x/menit

Suhu

: 36,7 oC

Berat Badan

: 32 kg

Berat Badan yang sebenarnya :


Pasien dengan asites, edema palpebra, edema tungkai 30 %
32 Kg (30%BB) = 32 9,6
= 22,4 Kg
Status generalis
Kepala : normocephali
Rambut : hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut.
Mata

: CA -/-, SI -/-, RCL +/+, RCTL +/+, pupil bulat isokor, edema palpebra

Telinga : normotia, sekret -/Hidung : septum deviasi -, sekret -/Mulut

: bibir kering (-), lidah kotor (-)

Tenggorok : T1-T1 tenang, tidak hiperemis


Thoraks

: Paru
Ins

: bentuk simetris dalam keadaan statis dan dinamis

Pa

: vokal fremitus sama kanan dan kiri

Per

: sonor

Aus

: suara nafas vesikuler, ronchi -/-

Jantung
Ins

: ictus cordis tidak terlihat

Pa

: teraba di ICS IV midclavikularis sinistra

Per

: Jantung dalam batas normal

Aus

: S1S2 reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen

: buncit, supel, NT (-), shifting dullness +, BU (+) normal

Ekstremitas

:Atas : akral hangat, oedem +/+, sianosis -/Bawah : akral hangat, pitting oedem +/+, sianosis -/-

Genitalia eksterna : skrotum tampak membesar, licin, perabaan kenyal.


IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Lab Tanggal 1 Juni 2006
Darah lengkap
Hb

Fungsi ginjal
: 15 g/dl

Lekosit

Kreatinin : 0,7 mg/dL

: 7400 /uL

Ureum

: 37 mg/dL

Ht

: 45 %

Eritrosit

: 4,95 juta/uL2

Fungsi hati

VER

: 79 fl

Albumin :1,13 g/dl

HER

: 26 pg

Globulin : 2,17 g/dl

KHER

: 34 g/dL

Total protein : 3,84 g/dl

Hitung jenis

Lemak

Basofil

: 1%

Eosinofil

:0%

Batang

:0%

Limfosit

: 46 %

Monosit

: 44 %

Trombosit

: 295.000 /uL

LED

: 115 mm/jam

Immnuserologi

kolesterol total : 517 mg/dL

ASTO : negatif
Urine Lengkap
Warna

: Kuning keruh

Sedimen

Berat jenis

: 1.030

Lekosit

pH

: 6,5

Eritrosit

: 1-3

Albumin

: 3+

Silinder

: negatif

Glukosa

: negatif

Epitel

: positif

Keton

: negatif

Bakteri

: negatif

Bilirubin

: negatif

: 15-20

Darah samar : 3+
Nitrit

: negatif

Urobilinogen : 0,2
Kristal
Ca oksalat

: negatif

Karbonat

: negatif

Fosfat

: negatif

Asam urat

: negatif

Amorf

: negatif

Sel ragi

: negatif

V.

RESUME
Pasien seorang anak laki-laki datang dengan keluhan bengkak di kaki, perut dan

mata sejak 1 bulan SMRS. Awalnya bengkak dirasakan pasien di kedua mata setiap
bangun tidur. Bengkak kemudian timbul di kaki, perut , dan kantong kemaluan. Pasien
mengatakan muka dan badan pasien bertambah gemuk walaupun nafsu makan pasien
tidak meningkat
Pada pemeriksaan fisik ditemukan :
Keadaan Umum : sakit sedang
Kesadaran

: compos mentis

Nadi

: 108 x/menit, reguler

RR

: 28 x/menit

Suhu

: 36,7 oC

Berat Badan

: 32 kg

Berat Badan yang sebenarnya :


Pasien dengan asites, edema palpebra, edema tungkai 30 %
32 Kg (30%BB) = 32 9,6
= 22,4 Kg
Status generalis
Mata

: edema palpebra

Abdomen

: buncit, supel, NT (-), shifting dullness +, BU (+) normal

Ekstremitas

Bawah : akral hangat, pitting oedem +/+, sianosis -/Genitalia eksterna : skrotum tampak membesar, licin, perabaan kenyal.
Pemeriksaan penunjang :
Darah lengkap :

Urine Lengkap :

Albumin

:1,13 g/dl

Albumin

Globulin

: 2,17 g/dl

Darah samar : 3+

Total protein

: 3,84 g/dl

Kolesterol total

: 517 mg/dL

LED

: 115 mm/jam

VI. DIAGNOSIS KERJA


Sindroma Nefrotik
VII. PENATALAKSANAAN
IVFD dextrose 5% 16 tetes/ mnt
Taxegram 2 x 1 g
Lasix

2 x 30 mg

Albumin 20 %
VIII. PROGNOSIS

: 3+

Ad vitam

: dubia

Ad fungsionam : dubia
Ad sanationam : dubia
FOLLOW UP
3 juni 2006
S

: bengkak berkurang

: Keadaan umum : sakit sedang


Kesadaran : CM
Tanda Vital : TD : 110/70 mmHg

N :112x/mnt,

S : 36oC

RR : 28 x/mnt

Mata : edem palpebra (+)


Thorax :
C/ S1S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
P/ Suara nafas vesikuler, ronchi -/Abdomen : ascites (+), NT (-), shifting dullness (+), BU (+) normal
Ekstremitas

Bawah : akral hangat, pitting oedem +/+, sianosis -/Genitalia eksterna : skrotum : edem (-)
A

: SN

P:

IVFD D5% 16 tts/m


Taxegram 2 x 1 g
Lasix

2 x 30 g

Prednison 3 x 2 tablet
5 juni 2006
S: bengkak berkurang, BAK lancar
O:: sakit sedang/ CM
TD:110/70mmHg N:98x/mnt,
RR : 20 x/mnt

S : 36oC

Mata : edem palpebra (+)


Thorax : C/ S1S2 reguler,m (-), g (-)
P/ Sn vesikuler, ronchi -/-

Abdomen: ascites (+), NT (-),shifting dullness (+), BU (+) N


Ekstremitas :Bawah:akral hangat, pitting oedem +/+
Genitalia eks:skrotum : edem (-)
A

: SN

P:

IVFD D5% 16 tts/m


Taxegram 2 x 1 g
Lasix

2 x 30 g

Prednison 3 x 2 tablet
Albumin (keluarga pasien menolak membeli albumin)
BB : 31 Kg, LP : 65 cm
Diuresis : 1 ml/KgBB/jam22,4 ml/jam
Pada pasien ini :
Urin 750 ml/19 jam 37,5 ml/jam
Kesan : diuresis baik

Lab
Darah lengkap
Hb

: 13.7 g/dl

Lekosit

Hitung jenis

: 9400 /uL

Basofil

: 1%

Ht

: 40 %

Eosinofil

:2%

Eritrosit

: 5,14 juta/uL2

Batang

:0%

VER

: 78 fl

Limfosit

: 54 %

HER

: 27 pg

Monosit

: 36 %

KHER

: 34 g/dL

Trombosit

: 352.000 /uL

LED

: 89 mm/jam

6 juni 2006
S: bengkak berkurang, panas(+), batuk(+), BAK>>
O:: sakit sedang/ CM
TD:110/70mmHg N:98x/mnt,
RR : 20 x/mnt

S : 37,8oC

Mata : edem palpebra (+)


Thorax : C/ S1S2 reguler,m (-), g (-)

P/ Sn vesikuler, ronchi -/Abdomen: ascites (+), NT (-),shifting dullness (+), BU (+) N


Ekstremitas :Bawah:akral hangat, pitting oedem +/+
Genitalia eks:skrotum : edem (-)
A

: SN

P:

IVFD D5% 16 tts/m


Taxegram 2 x 1 g
Lasix

2 x 30 g

Prednison 3 x 2 tablet
BB : 30 Kg, LP : 63,5 cm
7 juni 2006
S: panas(+), batuk(+), BAK>>
O:: sakit sedang/ CM
TD:110/70mmHg N:104x/mnt,
S : 38oC

RR : 20 x/mnt

Mata : edem palpebra (+)


Thorax : C/ S1S2 reguler,m (-), g (-)
P/ Sn vesikuler, ronchi -/Abdomen: ascites (+), NT (-),shifting dullness (+), BU (+) N
Ekstremitas :Bawah:akral hangat, pitting oedem +/+
Genitalia eks:skrotum : edem (-)
A

: SN

P:

IVFD D5% 16 tts/m


Taxegram 2 x 1 g
Lasix

2 x 30 g

Prednison 3 x 2 tablet
BB : 30 Kg, LP : 63,5 cm
8juni 2006
S: panas(+), batuk(+), BAK>>
O:: sakit sedang/ CM
TD:120/80mmHg N:120x/mnt,
RR : 20 x/mnt

S : 38oC

Mata : edem palpebra (+)


Thorax : C/ S1S2 reguler,m (-), g (-)
P/ Sn vesikuler, ronchi -/Abdomen: ascites (+), NT (-),shifting dullness (+), BU (+) N
Ekstremitas :Bawah:akral hangat, pitting oedem +/+
Genitalia eks:skrotum : edem (-)
A

: SN

P:

IVFD D5% 16 tts/m


Taxegram 2 x 1 g
Lasix

2 x 30 g

Prednison 3 x 2 tablet
Plasma 2 x 200cc
BB : 30 Kg, LP : 63,5 cm

Lab
Urine Lengkap
Warna

: Kuning jernih

Sedimen

Berat jenis

: 1.025

Lekosit

pH

:7

Eritrosit

: 2-3

Albumin

: 3+

Silinder

: negatif

Glukosa

: negatif

Epitel

: 1+

Keton

: negatif

Bakteri

: negatif

Bilirubin

: negatif

Darah samar : 1+
Nitrit

: negatif

Urobilinogen : 0,2
Kristal
Ca oksalat

: negatif

Karbonat

: negatif

Fosfat

: negatif

Asam urat

: negatif

Amorf

: negatif

Sel ragi

: negatif

: 1-2

9juni 2006
S: bengkak berkurang, panas(-), batuk(+),
O:: sakit sedang/ CM
TD:110/70mmHg N:112x/mnt,
S : 36,5oC

RR : 20 x/mnt

Mata : edem palpebra (+)


Thorax : C/ S1S2 reguler,m (-), g (-)
P/ Sn vesikuler, ronchi -/Abdomen: ascites (+), NT (-),shifting dullness (+), BU (+) N
Ekstremitas :Bawah:akral hangat, pitting oedem +/+
Genitalia eks:skrotum : edem (-)
A

: SN

P:

IVFD D5% 16 tts/m


Taxegram 2 x 1 g
Lasix

2 x 30 g

Prednison 3 x 2 tablet
Plasma 2 x 200cc
BB : 29 Kg, LP : 60 cm

Lab
Hb

: 12,1 g/dl

Lekosit

: 10700 /uL

Ht

: 35 %
Trombosit

10juni 2006
S: O:: sakit sedang/ CM
TD:110/70mmHg N:88x/mnt,
RR : 20 x/mnt

S : 37oC

Mata : edem palpebra (-)


Thorax : C/ S1S2 reguler,m (-), g (-)
P/ Sn vesikuler, ronchi -/Abdomen: ascites (+), NT (-),shifting dullness (+), BU (+) N
Ekstremitas :Bawah:akral hangat, pitting oedem +/+
Genitalia eks:skrotum : edem (-)

: 158.000 /uL

: SN

P:

IVFD D5% 16 tts/m


Taxegram 2 x 1 g
Lasix

2 x 30 g stop

Prednison 3 x 2 tablet
Plasma ke-III 200cc
BB : 28,5 Kg, LP : 58 cm

Lab
Rontgen thorax : kesan sugestif efusi pleura kiri
Hb

: 10,6 g/dl

Lekosit

: 7300 /uL

Ht

: 34 %

Trombosit

: 278.000 /uL

11juni 2006
S: O:: sakit sedang/ CM
TD:110/70mmHg N:120x/mnt,
RR : 20 x/mnt

S : 38oC

Mata : edem palpebra (-)


Thorax : C/ S1S2 reguler,m (-), g (-)
P/ Sn vesikuler, ronchi -/Abdomen: ascites (+), NT (-),shifting dullness (+), BU (+) N
Ekstremitas :Bawah:akral hangat, pitting oedem +/+
Genitalia eks:skrotum : edem (-)
A

: SN

P:

IVFD D5% 16 tts/m


Taxegram 2 x 1 g
Lasix

2 x 30 g stop

Prednison 3 x 2 tablet
BB : 28,5 Kg, LP : 58 cm

Lab
Hb

: 11,5 g/dl

Ht

: 33 %

Lekosit

: 11300 /uL

Trombosit

: 351.000 /uL

Urine Lengkap
Warna

: Kuning keruh

Sedimen

Berat jenis

: 1.025

Lekosit

pH

: 7,5

Eritrosit

: 1-3

Albumin

: 3+

Silinder

: negatif

Glukosa

: negatif

Epitel

: 1+

Keton

: negatif

Bakteri

: negatif

Bilirubin

: negatif

Darah samar : negatif


Nitrit

: negatif

Urobilinogen : 0,2
Kristal
Ca oksalat

: negatif

Karbonat

: negatif

Fosfat

: negatif

Asam urat

: negatif

Amorf

: negatif

Sel ragi

: negatif

: 4-5

ANALISA KASUS
Pada pasien ini ditegakan diagnosis sindrom nefrotik berdasarkan :
Anamnesis
Adanya oedem di kaki, perut dan mata sejak 1 bulan SMRS.
Awalnya oedem dirasakan pasien di kedua mata setiap bangun tidur.
Oedem yang terjadi secara cepat.
Oedem tersebut awalnya hilang timbul, tetapi kemudian oedem bersifat menetap.
Berat badan Pasien bertambah gemuk walaupun nafsu makan tidak meningkat
Pemeriksaan fisik
Dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya oedem di palpebra, preorbita, ascites, skrotum,
dan adanya pitting oedem pada ekstrimitas.
Hal ini sesuai dengan gejala klinis sindrom nefrotik :
Edema umumnya terlihat pada kedua kelopak mata. Edema dapat menetap atau
bertambah, baik lambat atau cepat atau dapat menghilang dan timbul kembali. Lambat
laun edema menjadi menyeluruh, yaitu ke pinggang, perut dan tungkai bawah sehingga
penyakit yang sebenarnya menjadi tambah nyata. Sebelum mencapai keadaan ini orang
tua sering mengeluh berat badan anak tidak mau naik, namun kemudian mendadak berat
badan bertambah dan terjadinya pertambahan ini tidak diikuti oleh nafsu makan yang
meningkat. Timbulnya edema pada anak dengan SN dapat bersifat perlahan-lahan, atau
timbul secara lebih cepat dan progresif dalam beberapa hari atau minggu. Edema
berpindah dengan perubahan posisi dan akan lebih jelas di kelopak mata dan muka
sesudah tidur sedangkan pada tungkai tampak selama dalam posisi berdiri. Edema pada
anak pada awal perjalanan penyakit SN umumnya dinyatakan sebagai lembek dan
pitting. Pada edema ringan dapat dirasakan pada pemakaian baju dan kaos kaki yang

menyempit. Kadang pada edema yang masif terjadi robekan pada kulit secara spontan
dengan keluarnya cairan. Pada keadaan ini, edema telah mengenai semua jaringan dan
menimbulkan asites, pembengkakan skrotum atau labia, bahkan efusi pleura. Muka dan
tungkai pada pasien ini mungkin bebas dari edema dan memperlihatkan jaringan seperti
malnutrisi sebagai tanda adanya menyeluruh sebelumnya.
Pada pemeriksaan penunjang :
Darah lengkap :

Urine Lengkap :

Albumin

: 1,13 g/dl

Albumin

: 3+

Globulin

: 2,17 g/dl

Darah samar : 3+

Total protein

: 3,84 g/dl

Kolesterol total

: 517 mg/dL

LED

: 115 mm/jam

Hal tersebut sesuai dengan definisi Sindrom nefrotik,yaitu suatu sindrom klinis dengan
gejala :
1. Proteinuria masif (40 mg/m2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urin
sewaktu >2mg/mg atau 2+)
2. Hipoalbuminemia 2.5 g/dl
3. Edema
4. Hiperkolesterolemia (>250 mg/dL)
Walaupun jarang, SN sering disertai dengan hematuria, hipertensi, dan penurunan
fungsi ginjal.
Penatalaksanaan sindrom nefrotik adalah dengan pengobatan imunosupresif
seperti kortikosteroid, obat sitotoksik dan siklosporin. Pengobatan suportif sangat penting
untuk pasien yang tidak memberikan respons terhadap obat-obat imunosupresif dan oleh
karena itu mudah mendapat komplikasi.
Pada kasus ini pasien diberikan prednison, karena merupakan kortikosteroid
pilihan pertama untuk kasus yang pertama kali terjadi. Dosis prednison yang diberikan
pada pasien ini masih kurang efektif. Seharusnya dosis yang diberikan adalah 45 mg
(2mg/kgBB/hr). Pengobatan imunosupresif diberikan dalam jangka panjang oleh karena
itu harus diperhatikan efek samping dari pemberian kortikosteroid.

Efek samping :
gastritis
ulkus peptikum
hipotrofi otot skelet
osteoporosis
penurunan daya tahan tubuh
hipotrofi korteks kelenjar adrenal
gangguan elektrolit : retensi Na dan kehilangan K
efek katabolik : kehilangan protein
edema
gangguan pertumbuhan
kulit :pioderma, dermatosis akneformis, hipotrofi, purpura, telangiektasi,
hiperpigmentasi
moon face
hipertrikosis
sindrom chusing
Pemberian antibiotic pada kasus ini bertujuan untuk mencegah adanya komplikasi
infeksi oleh karena hipoalbuminemia maupun karena paemberian steroid yang dapat
menurunkan daya tahan tubuh.
Pengobatan suportif dengan memberikan albumin atau plasma. Pasien ini
diberikan plasma 600 cc. Pemberian plasma pada pasien ini masih belum cukup. Karena
dengan kadar albumin 1,13 g/dl seharusnya pasien mendapatkan 860 cc.
0,8 x BB x Alb = 0,8 x 22,4 x (3,5 -1,1) = 43 g
Plasma 5 gr/100cc
Jumlah pemberian plasma = 43/ 5 gr/100cc = 860 cc.

SINDROM NEFROTIK
SEJARAH
Pada tahun 1905 Friedrich Muller menggunakan istilah nefrosis untuk
membedakan degenerasi lemak tubulus dengan glomerulus normal daripada nefritis yang
menunjukkan kelainan inflamasi glomerulus. Namun istilah nefrosis sekarang tidak
dipakai lagi. Tahun 1913 Munk melaporkan adanya butir-butir lipoid (Lipoid droplets)
dalam sedimen urin pasien dengan nefritis parenkimatosa kronik. Kelainan ini
ditemukan terutama atas dasar adanya lues dan diberikan istilah nefrosis lipoid. Istilah
sindrom nefrotik (SN) kemudian digunakan untuk menggantikan istilah terdahulu yang
menunjukkan suatu keadaan klinik dan laboratorik tanpa menunjukkan satu penyakit
yang mendasari.

DEFINISI
Sindrom nefrotik adalah sindrom klinis dengan gejala :
5. Proteinuria masif (40 mg/m2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urin
sewaktu >2mg/mg atau 2+)
6. Hipoalbuminemia 2.5 g/dl
7. Edema
8. Hiperkolesterolemia (>250 mg/dL)
Walaupun jarang, SN sering disertai dengan hematuria, hipertensi, dan penurunan
fungsi ginjal.
Remisi adalah proteinuria negatif atau trace 3 hari berturut-turut dalam satu minggu.
Relaps adalah timbulnya proteinuria kembali (40 mg/m2 LPB/jam atau 2+) 3 hari
berturut-turut dalam satu minggu.
Relaps jarang adalah relaps terjadi <2 kali dalam 6 bulan pertama setelah respon awal
atau < 4 kali dalam satu tahun.
Relaps sering adalah relaps terjadi 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah respon awal
atau 4 kali dalam satu tahun.

Dependen steroid adalah SN yang mengalami relaps ketika dosis steroid diturunkan atau
dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan dan hal ini terjadi 2 kali berturut-turut
Resisten steroid adalah SN yang tidak mengalami remisi dengan prednison dosis penuh
(full dose) 2 mg/kgBB/hr selama 4 minggu

EPIDEMIOLOGI
Sindrom nefrotik yang tidak menyertai penyakit sistemik disebut sindrom nefrotik
primer. Penyakit ini ditemukan 90% pada kasus anak. Apabila penyakit ini timbul
sebagai bagian daripada penyakit sistemik atau berhubungan dengan obat atau toksin
maka disebut sindrom nefrotik sekunder. Insidens penyakit sindrom nefrotik primer ini 2
kasus per-tahun tiap 100.000 anak berumur kurang dari 16 tahun, dengan angka
prevalensi kumulatif 16 tiap 100.000 anak. Insidens di Indonesia diperkirakan 6 kasus
per-tahun tiap 100.000 anak kurang dari 14 tahun. Rasio antara lelaki dan perempuan
pada anak sekitar 2:1. Laporan dari luar negeri menunjukkan duapertiga kasus anak
dengan SN dijumpai pada umur kurang dari 5 tahun.
Pada penelitian di Jakarta di antara 364 pasien SN yang dibiopsi 44,2%
menunjukkan KM. Kelompok responsif steroid sebagian besar terdiri atas anak-anak
dengan sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM)

ETIOLOGI
Sindom nefrotik pada anak sebagian besar disebabkan oleh SN primer (idiopatik):
Sindrom Nefrotik Kelainan minimal (SNKM) dan Glomerulosklerosis fokal segmental
(GSFS). Penyebab-penyebab lain dari sindrom nefrotik dikategorikan menjadi SN
sekunder dan genetic disorders .
Genetic disorders
Nephrotic-syndrome typical :
Finnish-type congenital Nephrotic syndrome
FSGS
Diffuse mesangeal sclerosis
Denys-Drash syndrome
Schimke immuno-osseous dysplasia
Proteinuria with or without Nephrotic syndrom :
Galloway-mowat syndrome
Charcot-Marie tooth disease

Jeunes syndrome
Cockaynes syndrome
Metabolic disorders with or without Nephrotic syndrom :
Alagille syndrome
-1 antitrypsin defeciency
Fabry disease
Glutaric acidaemia
Gycogen storage disease
Hurlers syndrome
Lipoprotein disorders
Mithocondrial cytopathies
Sickle-cell disease
SN primer
MCNS
FSGS
Membranous nephropathy
SN sekunder
Infeksi
Hepatitis B,C
HIV
Malaria
Sfilis
Toxoplasmosis
Obat
Penicilamine
Gold
AINS
Pamidronate
Interferon
Mercury
Heroin
Lithium

Immunological disorders
Castlemans disease
Kimuras disease
Food allergens

Malignant disease
Lymphoma
Leukemia

Klasifikasi Histopatologis
Klasifikasi kelainan histopatologis pada SN yang digunakan sesuai dengan
rekomendasi Komisi Internasional (1982). Kelainan glomerulus ini sebagian besar
ditegakkan dengan pemeriksaan mikroskop cahaya, ditambah dengan pemeriksaan
mikroskop elektron dan imunofluoresensi. Pada tabel di bawah ini dipakai

istilah/terminologi yang sesuai dengan laporan ISKDC (1970) dan Habib dan
Kleinknecht (1971).
Tabel Klasifikasi Kelainan Glomerulus Pada SN Primer
Kelainan minimal (KM)
Glomerulosklerosis (GS)
Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)
Glomerulosklerosis fokal global (GSFG)
Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus (GNPMD)
Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus eksudatif
Glomerulonefritis kresentik (GNK)
Glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP)
GNMP tipe I dengan deposit subendotelial
GNMP tipe II dengan deposit intramembran
GNMP tipe III dengan deposit transmembran/subepitelial
Glomerulopati membranosa (GM)
Glomerulonefritis kronik lanjut (GNKL)
Sindrom nefrotik yang terjadi sebelum bayi berumur 3 bulan disebut sindrom
nefrotik kongenital (SNK), sedang SN yang menunjukkan gejala dalam tahun pertama
kehidupan (3-12 bulan) disebut sindrom nefrotik infantil (SNI). SNK adalah sindrom
nefrotik yang terdapat pada bayi pada saat lahir ataupun sebelum lahir. Namun gejala
proteinuria berat, edema dan hipoalbuminemia ditemukan beberapa minggu atau bahkan
beberapa bulan kemudian. Klasifikasi SN dengan awitan dini haruslah memenuhi
beberapa kriteria, termasuk riwayat keluarga, perjalanan penyakit, pemeriksaan
laboratorium dan histopatologi ginjal. Klasifikasi sindrom nefrotik kongenital dan
infantil.
Tabel Klasifikasi SN Kongenital dan Infantil
Idiopatik
Sindrom nefrotik kongenital tipe Finlandia

Sklerosis mesangial difus


Kelainan glomerulus lainnya
Sekunder
Sifilis kongenital
Infeksi perinatal lainnya
Intoksikasi merkuri
Sindromatik
Sindrom Drash
Sindrom malformasi lainnya

PATOFISIOLOGI
Proteinuria
Proteinuria umumnya diterima sebagai kelainan utama pada SN, sedangkan gejala
klinis lainnya dianggap sebagai manifestasi sekunder. Proteinuria dinyatakan berat
untuk membedakan dengan proteinuria yang lebih ringan pada pasien yang bukan
sindrom nefrotik. Ekskresi protein sama atau lebih besar dari 40 mg/jam/m2 luas
permukaan badan, dianggap proteinuria berat.
Selektivitas protein
Jenis protein yang keluar pada sindrom nefrotik bervariasi bergantung pada
kelainan dasar glomerulus. Pada SNKM protein yang keluar hampir seluruhnya terdiri
atas albumin dan disebut sebagai proteinuria selektif. Pada SN dengan kelainan
glomerulus yang lain, keluarnya protein terdiri atas campuran albumin dan protein
dengan berat molekul besar, dan jenis proteinuria ini disebut proteinuria non selektif.
Derajat selektivitas proteinuria dapat ditetapkan secara sederhana dengan membagi rasio
IgG urin terhadap plasma (BM 150.000) dengan rasio urin plasma transferin (BM
88.000). Rasio yang kurang dari 0,2 menunjukkan adanya proteinuria selektif. Pasien SN
dengan rasio rendah umumnya berkaitan dengan KM dan responsif terhadap steroid.
Namun karena selektivitas protein pada SN sangat bervariasi maka agak sulit untuk

membedakan jenis KM dan BKM (Bukan kelainan minimal) dengan pemeriksaan ini
sehingga pemeriksaan ini dianggap tidak efisien.

Perubahan pada filter kapiler glomerulus


Umumnya karakteristik perubahan permeabilitas membran basal tergantung pada
tipe kelainan glomerulus pada SN. Pada SNKM terdapat penurunan klirens protein netral
dengan semua berat molekul, namun terdapat peningkatan klirens protein bermuatan
negatif seperti albumin. Keadaan ini menunjukkan bahwa kelainan utama pada SNKM ini
ialah hilangnya sawar muatan negatif selektif. Namun pada SN dengan glomerulonefritis
proliferatif klirens molekul kecil menurun dan yang bermolekul besar meningkat.
Keadaaan ini menunjukkan bahwa di samping hilangnya sawar muatan negatif juga
terdapat perubahan pada sawar ukuran celah pori atau kelainan pada kedua-duanya.
Proteoglikan sulfat heparan yang menimbulkan muatan negatif pada lamina rara
interna dan eksterna merupakan sawar utama penghambat keluarnya molekul muatan
negatif, seperti albumin. Dihilangkannya proteoglikan sulfat heparan dengan heparitinase
mengakibatkan timbulnya albuminuria.
Di samping itu sialoprotein glomerulus yaitu suatu polianion yang terdapat pada
tonjolan kaki (foot procesus) sel epitel, tampaknya berperan sebagai muatan negatif di
daerah ini yang penting untuk mengatur sel viseral epitel dan pemisahan tonjolantonjolan kaki sel epitel. Suatu protein dengan berat molekul 140.000 dalton, yang disebut
podocalyxin rupanya mengandung asam sialat ditemukan terbanyak pada daerah ini.
Sialoprotein menurun ditemukan pada berbagai kelainan glomerulus termasuk kelainan
pada model eksperimental nefrosis aminonukleosid. Pada SNKM, kandungan sialoprotein
kembali normal sebagai respons pengobatan steroid yang menyebabkan hilangnya
proteinuria.
Hipoalbuminemia
Jumlah albumin di dalam badan ditentukan oleh masukan dari sintesis hepar dan
pengeluaran akibat degradasi metabolik, ekskresi renal dan gastrointestinal. Dalam

keadaan seimbang, laju sintesis albumin, degradasi dan hilangnya dari badan adalah
seimbang. Pada anak dengan SN terdapat hubungan terbalik antara laju ekskresi protein
urin dan derajat hipoalbuminemia. Namun keadaan ini tidak merupakan korelasi yang
ketat, terutama pada anak dengan proteinuria yang menetap lama dan tidak responsif
steroid, albumin serumnya dapat kembali normal atau hampir normal dengan atau tanpa
perubahan pada laju ekskresi protein. Laju sintesis albumin pada SN dalam keadaan
seimbang ternyata tidak menurun, bahkan meningkat atau normal. Satu penelitian pada
anak ditemukan kenaikan laju sintesis dua kali pada SN (dan pada anak dengan
hipoalbuminemia dengan penyebab non hepatik lainnya) menunjukkan bahwa kapasitas
meningkatkan sintesis hati terhadap albumin tidak cukup untuk mengkompensasi laju
kehilangan albumin yang abnormal.
Jumlah albumin absolut yang didegradasi masih normal atau di bawah normal,
walaupun apabila dinyatakan terhadap pool albumin intravaskular secara relatif, maka
katabolisme pool fraksional yang menurun ini sebetulnya meningkat. Meningkatnya
katabolisme albumin di tubulus renal dan menurunnya katabolisme ekstrarenal dapat
menyebabkan keadaan laju katabolisme absolut yang normal atau menurun. Jadi pada
keadaan hipoalbuminemia yang menetap, konsentrasi albumin plasma yang rendah
tampaknya disebabkan oleh meningkatnya ekskresi albumin dalam urin dan
meningkatnya

katabolisme

fraksi

pool

albumin

(terutama

disebabkan

karena

meningkatnya degradasi di dalam tubulus renal) yang melampaui daya sintesis hati.
Gangguan protein lainnya di dalam plasma adalah menurunnya globulin, -1 globulin
(normal atau rendah), dan -2 globulin, globulin dan fibrinogen meningkat secara
relatif atau absolut. Meningkatnya -2 globulin disebabkan oleh retensi selektif protein
berberat molekul tinggi oleh ginjal dengan adanya laju sintesis yang normal. Pada
beberapa pasien, terutama mereka dengan SNKM, IgM dapat meningkat dan IgG
menurun.
Kelainan metabolisme lipid
Pada pasien SN primer timbul hiperkolesterolemia dan hiperlipidemia dan
kenaikan ini tampak lebih nyata pada pasien dengan KM. Umumnya terdapat korelasi
terbalik antara konsentrasi albumin serum dan kolesterol. Kadar trigliserid lebih

bervariasi dan bahkan dapat normal pada pasien dengan hipoalbuminemia ringan. Pada
pasien dengan analbuminemia kongenital dapat juga timbul hiperlipidemia yang
menunjukkan bahwa kelainan lipid ini tidak hanya disebabkan oleh penyakit ginjalnya
sendiri. Pada pasien SN konsentrasi lipoprotein densitas sangat rendah (VLDL) dan
lipoprotein densitas rendah (LDL) meningkat, dan kadang-kadang sangat mencolok.
Lipoprotein densitas tinggi (HDL) umumnya normal atau meningkat pada anak-anak
dengan SN walaupun rasio kolesterol-HDL terhadap kolesterol total tetap rendah. Seperti
pada hipoalbuminemia, hiperlipidemia dapat disebabkan oleh sintesis yang meningkat
atau karena degradasi yang menurun. Bukti menunjukkan bahwa keduanya abnormal.
Meningkatnya produksi lipoprotein di hati, diikuti dengan meningkatnya sintesis albumin
dan sekunder terhadap lipoprotein, melalui jalur yang berdekatan. Namun meningkatnya
kadar lipid dapat pula terjadi pada laju sintesis albumin yang normal. Menurunnya
degradasi ini rupanya berpengaruh terhadap hiperlipidemia karena menurunnya aktivitas
lipase lipoprotein. Menurunnya aktivitas ini mungkin sekunder akibat hilangnya glikoprotein asam sebagai perangsang lipase. Apabila albumin serum kembali normal,
baik secara spontan ataupun dengan pemberian infus albumin, maka umumnya kelainan
lipid ini menjadi normal kembali. Gejala ini mungkin akibat tekanan onkotik albumin
serumnya, karena efek yang sama dapat ditimbulkan dengan pemberian infus
polivinilpirolidon tanpa mengubah keadaan hipoalbuminemianya. Pada beberapa pasien,
HDL tetap meningkat walaupun terjadi remisi pada SN-nya pada pasien lain VLDL dan
LDL tetap meningkat pada SN relaps frekuen yang menetap bahkan selama remisi. Lipid
dapat juga ditemukan di dalam urin dalam bentuk titik lemak oval dan maltese cross.
Titik lemak itu merupakan tetesan lipid di dalam sel tubulus yang berdegenerasi. Maltese
cross tersebut adalah ester kolesterol yang berbentuk bulat dengan palang di tengah
apabila dilihat dengan cahaya polarisasi.
Edema
Keterangan klinik pembentukan edema pada sindrom nefrotik sudah dianggap
jelas dan secara fisiologik memuaskan, namun beberapa data menunjukkan bahwa
mekanisme hipotesis ini tidak dapat memberikan penjelasan yang lengkap. Teori klasik
mengenai pembentukan edema ini (underfilled theory) adalah menurunnya tekanan

onkotik intravaskular yang menyebabkan cairan merembes ke ruang interstitial. Dengan


meningkatnya

permeabilitas

kapiler

glomerulus,

albumin

keluar

menimbulkan

albuminuria dan hipoalbuminemia (lihat gambar 16-1). Hipoalbuminemia menyebabkan


menurunnya tekanan onkotik koloid plasma intravaskular. Keadaan ini menyebabkan
meningkatnya cairan transudat melewati dinding kapiler dari ruang intravaskular ke
ruang interstitial yang menyebabkan terbentuknya edema.
Kelainan glomerulus
Albuminuria
Hipoalbuminemia
Tekanan onkotik koloid plasma
Volume plasma
Retensi Na renal sekunder
Edema
Sebagai akibat pergeseran cairan ini volume plasma total dan volume darah arteri
dalam peredaran menurun dibanding dengan volume sirkulasi efektif. Menurunnya
volume plasma atau volume sirkulasi efektif merupakan stimulasi timbulnya retensi air
dan natrium renal. Retensi natrium dan air ini timbul sebagai usaha badan untuk menjaga
volume dan tekanan intravaskular agar tetap normal dan dapat dianggap sebagai peristiwa
kompensasi sekunder. Retensi cairan, yang secara terus-menerus menjaga volume
plasma, selanjutnya akan mengencerkan protein plasma dan dengan demikian
menurunkan tekanan onkotik plasma dan akhirnya mempercepat gerak cairan masuk ke
ruang interstitial. Keadaan ini jelas memperberat edema sampai terdapat keseimbangan
hingga edema stabil.
Dengan teori underfilled ini diduga terjadi kenaikan kadar renin plasma dan
aldosteron sekunder terhadap adanya hipovolemia. Hal ini tidak ditemukan pada semua
pasien dengan SN. Beberapa pasien SN menunjukkan meningkatnya volume plasma
dengan tertekannya aktivitas renin plasma dan kadar aldosteron, sehingga timbul konsep
teori overfilled. Menurut teori ini retensi natrium renal dan air terjadi karena mekanisme

intrarenal primer dan tidak bergantung pada stimulasi sistemik perifer. Retensi natrium
renal primer mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan ekstraselular.
Pembentukan edema terjadi sebagai akibat overfilling cairan ke dalam ruang interstitial.
Teori overfilled ini dapat menerangkan adanya volume plasma yang tinggi dengan kadar
renin plasma dan aldosteron menurun sekunder terhadap hipovolemia.
Kelainan glomerulus
Retensi Na renal primer
Albuminuria
Volume plasma

Hipoalbuminemia

Edema
Meltzer dkk mengusulkan 2 bentuk patofisiologi SN, yaitu tipe nefrotik dan tipe
nefritik. Tipe nefrotik ditandai dengan volume plasma rendah dan vasokonstriksi perifer
dengan kadar renin plasma dan aldosteron yang tinggi. Laju filtrasi glomerulus (LFG)
masih baik dengan kadar albumin yang rendah dan biasanya terdapat pada SNKM.
Karakteristik patofisiologis kelompok ini sesuai dengan teori tradisional underfilled yaitu
retensi natrium dan air merupakan fenomena sekunder. Di pihak lain, kelompok kedua
atau tipe nefritik, ditandai dengan volume plasma tinggi, tekanan darah tinggi dan kadar
renin plasma dan aldosteron rendah yang meningkat sesudah persediaan natrium habis.
Kelompok kedua ini dijumpai pada glomerulonefritis kronik dengan LFG yang relatif
rendah dan albumin plasma lebih tinggi dari kelompok pertama. Karakteristik
patofisiologi kelompok kedua ini sesuai dengan teori overfilled pada SN dengan retensi
air dan natrium yang merupakan fenomena primer intrarenal.
Pembentukan edema pada SN merupakan suatu proses yang dinamis dan mungkin
saja kedua proses underfilled dan overfilled berlangsung bersamaan atau pada waktu
berlainan pada individu yang sama, karena patogenesis penyakit glomerulus mungkin
suatu kombinasi rangsangan yang lebih dari satu dan ini dapat menimbulkan gambaran
nefrotik dan nefritis. Akibat mengecilnya volume intravaskular akan merangsang

keluarnya renin dan menimbulkan rangsangan nonosmotik untuk keluarnya hormon


antidiuretik. Dengan meningkatnya produksi renin terjadi rentetan aktivasi sistem renin
angiotensin aldosteron. Akibat akhir ialah terjadinya retensi natrium dan air dengan
keluarnya volume urin yang sedikit dan pekat dengan sedikit natrium. Berkaitan dengan
teori ini masih merupakan teka-teki bahwa pada pasien analbuminemia kongenital
terdapat sedikit atau tanpa edema dan umumnya diagnosis tidak dibuat sampai anak
menjadi dewasa.
Terjadinya edema pada pasien-pasien ini rupanya dapat dicegah dengan
menurunkan tekanan hidrostatik kapiler yang bersamaan. Hal ini menimbulkan
pertanyaan kenapa tidak terjadi mekanisme kompensasi yang sama pada SN? Apabila
volume plasma pada pasien diukur ternyata tidak menurun semua. Meltzer dkk
melaporkan pada dua kelompok pasien dewasa, yang pada satu kelompok keadaannya
sesuai dengan teori klasik dengan SNKM, hipovolemia, konsentrasi plasma renin dan
aldosteron tinggi dan responsif steroid. Kelompok kedua, volume darah meningkat
dengan renin dan aldosteron rendah dan pasien ini resisten steroid dengan kelainan BKM.
Penelitian lain memperkuat edema nefrotik dengan volume plasma renin dan aldosteron
yang meningkat normal atau rendah. Apabila diteliti selama retensi natrium dan
peningkatan berat badan yang progresif maka banyak pasien mempunyai konsentrasi
renin dan aldosteron yang normal atau rendah menunjukkan bahwa retensi natrium tidak
bergantung pada rangsangan sistem renin angiotensin aldosteron. Bahkan pada mereka
dengan renin dan aldosteron yang tinggi reabsorpsi natrium terus berlangsung walaupun
dilakukan supresi renin baik dengan infus albumin atau kaptopril. Bila reabsorpsi natrium
pada tubulus proksimal menurun maka seharusnya retensi natrium terjadi pada nefron
distal. Observasi ini menyokong observasi klinik yang menunjukkan bahwa retensi
natrium pada SN disebabkan oleh faktor-faktor intrarenal.
Karena pasien dengan hipovolemia disertai renin dan aldosteron yang tinggi
umumnya menderita penyakit SNKM dan responsif steroid, sedangkan mereka dengan
volume darah normal atau meningkat disertai renin dan aldosteron rendah umumnya
menderita kelainan BKM dan tidak responsif steroid, maka pemeriksaan renin dapat
merupakan petanda yang berguna untuk menilai seorang anak dengan SN responsif
terhadap steroid atau tidak di samping adanya SNKM. Namun derajat tumpang tindihnya

terlalu besar, sehingga sukar untuk membedakan pasien antara kedua kelompok
histologis tersebut atas dasar pemeriksaan renin. Peran peptida natriuretik atrial (ANP)
dalam pembentukan edema dan diuresis masih belum pasti. Anak-anak dengan SN
responsif steroid dalam keadaan relaps dilaporkan mempunyai konsentrasi ANP yang
tidak berbeda dengan kontrol. Namun, dengan pemberian infus albumin atau imersi air
untuk ekspansi volume intravaskular akan terjadi diuresis yang diikuti dengan
peningkatan ANP sebanyak lima kali, yang menunjukkan bahwa ANP berperan pada
diuresis sesudah ekspansi volume.

GEJALA KLINIS
Di masa lalu orang tua menganggap penyakit SN ini adalah edema. Nafsu makan
yang kurang, mudah terangsang, adanya gangguan gastrointestinal dan sering terkena
infeksi berat merupakan keadaan yang sangat erat hubungannya dengan beratnya edema,
sehingga dianggap gejala-gejala ini sebagai akibat edema. Namun dengan pengobatan
kortikosteroid telah mengubah perjalanan klinik SN secara drastis dan dapat dikatakan
bahwa baik oleh anak, orang tua atau dokter SN bukan lagi merupakan masalah edema,
tapi masalah salah satu efek samping obat terutama bagi anak-anak yang tidak responsif
terhadap pengobatan steroid. Dilaporkan kira-kira 80% anak dengan SN menderita
SNKM, dan lebih dari 90% anak-anak ini bebas edema dan proteinuria dalam 4 minggu
sesudah pengobatan awal dengan kortikosteroid.
Walaupun proteinuria kambuh pada hampir 2/3 kasus, kambuhnya edema dapat
dicegah pada umumnya dengan pengobatan segera. Namun edema persisten dengan
komplikasi yang mengganggu merupakan masalah klinik utama bagi mereka yang
menjadi non responder dan pada mereka yang edemanya tidak dapat segera diatasi.
Kelompok ini hampir berjumlah dari semua

pasien dengan SN primer. Edema

umumnya terlihat pada kedua kelopak mata. Edema minimal terlihat oleh orang tua atau
anak yang besar sebelum dokter melihat pasien untuk pertama kali dan memastikan
kelainan ini. Edema dapat menetap atau bertambah, baik lambat atau cepat atau dapat
menghilang dan timbul kembali. Selama periode ini edema periorbital sering disebabkan
oleh cuaca dingin atau alergi. Lambat laun edema menjad menyeluruh, yaitu ke
pinggang, perut dan tungkai bawah sehingga penyakit yang sebenarnya menjadi tambah

nyata. Sebelum mencapai keadaan ini orang tua sering mengeluh berat badan anak tidak
mau naik, namun kemudian mendadak berat badan bertambah dan terjadinya
pertambahan ini tidak diikuti oleh nafsu makan yang meningkat. Timbulnya edema pada
anak dengan SN disebutkan bersifat perlahan-lahan, tanpa menyebut jenis kelainan
glomerulusnya. Tampaknya sekarang pola timbulnya edema bervariasi pada pasien
dengan berbagai kelainan glomerulus. Pada anak dengan SNKM edema timbul secara
lebih cepat dan progresif dalam beberapa hari atau minggu dan lebih perlahan dan
intermiten pada kelainan glomerulus jenis lainnya, terutama pada GN membranoproliferatif (GNMP). Edema berpindah dengan perubahan posisi dan akan lebih jelas di
kelopak mata dan muka sesudah tidur sedangkan pada tungkai tampak selama dalam
posisi berdiri. Edema pada anak pada awal perjalanan penyakit SN umumnya dinyatakan
sebagai lembek dan pitting. Pada edema ringan dapat dirasakan pada pemakaian baju dan
kaos kaki yang menyempit. Kadang pada edema yang masif terjadi robekan pada kulit
secara spontan dengan keluarnya cairan. Pada keadaan ini, edema telah mengenai semua
jaringan dan menimbulkan asites, pembengkakan skrotum atau labia, bahkan efusi pleura.
Muka dan tungkai pada pasien ini mungkin bebas dari edema dan memperlihatkan
jaringan seperti malnutrisi sebagai tanda adanya menyeluruh sebelumnya.
Gangguan gastrointestinal
Gangguan ini sering ditemukan dalam perjalanan penyakit SN. Diare sering
dialami pasien dalam keadaan edema yang masif dan keadaan ini rupanya tidak berkaitan
dengan infeksi namun diduga penyebabnya adalah edema di mukosa usus. Hepatomegali
dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik, mungkin disebabkan sintesis albumin yang
meningkat, atau edema atau keduanya. Pada beberapa pasien, nyeri di perut yang kadangkadang berat, dapat terjadi pada keadaan SN yang kambuh. Kemungkinan adanya
abdomen akut atau peritonitis harus disingkirkan dengan pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan lainnya. Bila komplikasi ini tidak ada, kemungkinan penyebab nyeri tidak
diketahui namun dapat disebabkan karena edema dinding perut atau pembengkakan hati.
Kadang nyeri dirasakan terbatas pada daerah kuadran atas kanan abdomen. Nafsu makan
kurang berhubungan erat dengan beratnya edema yang diduga sebagai akibatnya.
Anoreksia dan hilangnya protein di dalam urin mengakibatkan malnutrisi berat yang

kadang ditemukan pada pasien SN non-responsif steroid dan persisten. Pada keadaan
asites berat dapat terjadi hernia umbilikalis dan prolaps ani.
Gangguan pernapasan
Oleh karena adanya distensi abdomen dengan atau tanpa efusi pleura maka
pernapasan sering terganggu, bahkan kadang-kadang menjadi gawat. Keadaan ini dapat
diatasi dengan pemberian infus albumin dan obat furosemid.
Gangguan fungsi psikososial
Keadaan ini sering ditemukan pada pasien SN, seperti halnya pada penyakit berat
umumnya yang merupakan stres nonspesifik terhadap anak yang sedang berkembang dan
keluarganya. Kecemasan dan merasa bersalah merupakan respons emosional, tidak saja
pada orang tua pasien, namun juga dialami oleh anak sendiri. Perasaan-perasaan ini
memerlukan diskusi, penjelasan dan kepastian untuk mengatasinya. Kecemasan orang tua
dan perawatan yang sering dan lama menyebabkan anak berkembang menjadi berdikari
dan bertanggung jawab terhadap dirinya dan nasibnya. Perkembangan dunia sosial anak
menjadi terbatas. Anak dengan SN ini akhirnya menimbulkan beban pikiran karena akan
membentuk pengertian dan bayangan yang salah mengenai penyakitnya. Para dokter
yang sadar akan masalah ini dapat berbuat sesuatu untuk mencegahnya dan berusaha
mendorong meningkatkan perkembangan dan penyesuaian pasien dan keluarganya serta
berusaha menolong mengurangi cacat, kekhawatiran dan beban pikiran.

KOMPLIKASI
Komplikasi pada SN dapat terjadi sebagai bagian dari penyakitnya sendiri atau
sebagai akibat pengobatan :
Infeksi
Kelainan koagulasi dan timbulnya trombosis
Perubahan hormon dan mineral
Pertumbuhan abnormal dan nutrisi
Peritonitis
Anemia

Gangguan tubulus renal

PENGOBATAN
Pengobatan imunosupresif
Beberapa obat-obat imunosupresif seperti kortikosteroid, obat sitotoksik dan
siklosporin, dapat menimbulkan remisi proteinuria dan melindungi fungsi ginjal paling
tidak pada beberapa jenis glomerulonefritis primer.
Sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM)
SNKM merupakan kelompok yang terbesar meliputi 70-80% kasus dengan SN
pada anak. Menurut Brodehl ada 3 tujuan utama pengobatan pada KM adalah:
1. Membuat SN ini dalam keadaan remisi secepat mungkin untuk mencegah
komplikasi
2. Mencegah relaps, dan
3. Mencegah efek samping iatrogenik pada penyakit yang kambuh berulang dalam
waktu lama.
Kortikosteroid merupakan obat pilihan utama pengobatan awal SNKM.
Proteinuria menghilang 90% pada anak selama pengobatan 8 minggu dengan prednison,
dengan dosis 60 mg/m2/hari untuk 4 minggu, diikuti dengan 40 mg/m2/48 jam untuk 4
minggu berikutnya. Setengah dari pasien ini, remisinya terjadi dalam 4 minggu pertama
dan kebanyakan pasien lainnya terjadi remisi dalam 4 minggu berikutnya. Namun
sayangnya banyak pasien kambuh sesudah remisi. Laju relaps rupanya dipengaruhi oleh
lamanya pengobatan awal. Kira-kira 80% anak relaps dalam satu tahun apabila prednison
diberikan untuk 4 minggu, 60% relaps sesudah pengobatan 8 minggu, dan hanya 36%
relaps apabila prednison diberikan selama 12 minggu. Pada anak lamanya pengobatan
awal mempengaruhi risiko relaps. Untuk mengurangi risiko relaps pengobatan awal harus
diperpanjang. Di samping itu prednison dosisnya diturunkan secara perlahan, tidak
mendadak, untuk mencegah efek rebound yang dapat menimbulkan relaps. Dianjurkan
pemberian prednison dosis 60 mg/m2/hari sampai proteinuria hilang untuk 3 hari

berturut-turut. Kemudian pengobatan dilanjutkan dengan prednison selang sehari dengan


dosis 40 mg/m2/48 jam untuk sekurang-kurangnya 12 minggu dengan penurunan
prednison selanjutnya dengan 5-10 mg/m2/48 jam tiap bulan.
Umumnya kebanyakan anak memberi respons dalam 4 minggu pertama, namun
pada beberapa pasien responsnya dapat tertunda. Jadi pemberian prednison diperpanjang
untuk 8-12 minggu sebelum seorang anak dianggap resisten steroid. Pengobatan baku
ISKDC pada anak terdiri atas 60 mg/m2/hari (dengan maksimal 80 mg/hari) dan dosis ini
diberikan sampai urin bebas protein tiga hari berturut-turut. Kemudian prednison dapat
diberikan selang sehari selama 4 minggu dengan dosis 40 mg/m2/48 jam. Pemberian
prednison maksimum pada pasien yang tidak responsif dini harus sama dengan episode
pertama. Pasien dengan relaps dua kali atau lebih dalam 6 bulan sesudah episode pertama
atau empat kali atau lebih dalam 12 bulan disebut relaps frekuen. Pasien yang relaps
dalam 14 hari sesudah steroid dihentikan atau relaps bila dosis dikurangi disebut
dependen steroid. Pengobatan terhadap pasien ini susah karena pengobatan steroid jangka
lama akan menimbulkan efek samping, seperti hipertensi, kelainan psikiatris,
osteoporosis, obesitas, diabetes, muka cusingoid, infeksi, retardasi pertumbuhan dan lainlain. Siklofosfamid atau klorambusil dapat mengurangi frekuensi relaps pada pasien ini
secara bermakna. Hasil pengobatan sitostatik jelas bergantung pada lama pengobatan.
Barrat dkk membandingkan efek pengobatan siklofosfamid selama 2 minggu dan 8
minggu pada pasien SN sensitif steroid yang sering relaps dan menyimpulkan bahwa
pengobatan jangka lama ternyata lebih efektif.
Rance dkk melaporkan 27% angka remisi selama setahun terhadap anak yang
diberikan siklofosfamid kurang dari 6 minggu, sedangkan 66% pasien masih dalam
remisi apabila pengobatan diperpanjang sampai 12 minggu. Di sisi lain, apabila
pengobatan diberikan terlalu pendek kurang bermanfaat, sedangkan pemberian alkylating
jangka panjang dapat meningkatkan risiko terjadinya efek samping. Untuk mencegah
efek samping yang berat pada SNKM, maka banyak dokter di klinik memberikan
siklofosfamid atau klorambusil untuk tidak lebih dari 8 minggu. Dengan cara pengobatan
ini hampir 70% pasien relaps frekuen tetap remisi, namun kebanyakan pasien dependen
steroid cepat relaps sesudah pengobatan dihentikan. Namun apabila siklofosfamid
diberikan dengan dosis 2 mg/kg/hari untuk 12 minggu daripada seharusnya 8 minggu,

kira-kira 2/3 pasien dengan dependen steroid tetap dalam remisi sesudah 2 tahun. 10
dosis kumulatif ini masih di bawah ambang risiko terjadinya azoospermia.
Siklosporin-A (Cy-A) merupakan abat alternatif lain daripada steroid.
Kebanyakan pasien dependen steroid remisi dipertahankan dengan CyA, yang diberikan
sesudah terjadi remisi dengan steroid. Sesudah obat ini dihentikan, relaps dini terjadi
namun tidak pada semua pasien. Relaps ini tampaknya tidak akan terjadi jika CyA
diberikan dalam jangka waktu lama dan dosisnya diturunkan perlahan-lahan. Untuk
menguji keamanan dan diterimanya CyA sebagai obat pada pasien SN idiopatik, maka
dilakukan penelitian terhsdap 661 pasien pada 10 tempat studi. Efek samping non-renal
yang paling sering ditemukan adalah hipertrikosis (18%), hiperplasia gusi (16%), gejala
gastrointestinal (11%) dan hipertensi (9%). Di antara 225 pasien dengan SNKM yang
diobati dengan CyA, 3 menderita gagal ginjal terminal. Semua pasien ini resisten steroid
dan CyA yang menunjukkan evolusi yang kurang baik ini disebabkan oleh adanya
glomerulosklerosis fokal dan segmental yang mendasari penyakit ini daripada akibat
nefrotoksik CyA. Pada pasien lainnya kadar kreatinin serum rata-rata pada akhir tindak
lanjut tidak berbeda bermakna daripada nilai basalnya. Namun tampaknya kreatinin
serum bukan merupakan ukuran yang memadai untuk memonitor fungsi ginjal pada
pasien yang diberikan obat yang potensial nefrotoksik. Sebenarnya CyA dapat
menimbulkan kelainan histologis bahkan pada pasien dengan ginjal normal sekalipun.
Kasus dengan fibrosis interstitial pernah dilaporkan pada pasien yang diberikan CyA
karena penyakit autoimun nonrenal. Sebagai kesimpulan dapat disebutkan bahwa belum
ada obat baku untuk pengobatan pasien dengan relaps frekuen atau dengan dependen
steroid maka diusulkan cara pengobatan terhadap pasien ini sesuai dengna algoritme.
Siklofosfamid atau klorambusil 8-12 minggu
Relaps
Prednison selang sehari
dosis efektif minimal

Tidak relaps

Toleransi baik

Efek samping

Siklosporin (CyA)

Relaps

Tidak relaps

Pengobatan

Dikurangi bertahap sampai dosis

simtomatik

sampai dosis efektif minimal

Oleh karena siklofosfamid atau klorambusil dapat menimbulkan remisi yang


stabil pada sejumlah kasus, maka dianjurkan untuk pertama-tama memberikan salah satu
daripada obat-obat ini dalam waktu jangka pendek (8 minggu untuk pasien relaps
frekuen, dan 12 minggu untuk dependen steroid). Siklofosfamid dengan dosis 2
mg/kgbb/hari, kurang gonadotoksik dan lebih baik diberikan kepada anak dan remaja.
Klorambusil yang mungkin lebih efektif dan kurang toksik terhadap kandung kemih,
dapat digunakan untuk pasien lainnya dengan dosis 0.15 mg/kgbb/hari. Apabila terjadi
relaps maka sebaiknya jangan diobati lagi dengan obat alkil karena toksisitasnya akan
kumulatif. Umumnya pasien ini responsif lagi terhadap steroid.
Diantara berbagai cara pemberian, prednison selang sehari sering dipakai secara
luas dan aman untuk beberapa bulan. Apabila timbul gejala hiperkortisisme, steroid
dihentikan dan diganti dengan CyA. Apabila pasien tetap dalam remisi, CyA dapat
diturunkan sesudah 6 sampai 12 bulan sebanyak 25% tiap 2 bulan untuk menetapkan
dosis efektif minimal. Beberapa peneliti meneruskan pemakaian obat ini untuk bertahuntahun. Sebaiknya pemberian CyA perlahan-lahan dihentikan sesudah 2 tahun. Apabila
pasien relaps lagi maka pemberian steroid diulang lagi selama 6-12 bulan dan kemudian
diberikan CyA lagi untuk 1-2 tahun yaitu untuk toksisitas potensial pada pemakaian obatobat ini dalam jangka panjang. Beberapa pasien (10%) dengan diagnosis histologis
SNKM tidak memberikan respons terhadap pengobatan baku dengan steroid.
Kebanyakan

dari

mereka

ini,

cepat

atau

lambat

menunjukkan

gambaran

glomerulosklerosis fokal segmental pada biopsi ginjalnya dan harus diobati sesuai dengan
kelainan tersebut.

Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)


GSFS merupakan penyakit klinikopatologis yang heterogen yang merupakan
komplikasi beberapa penyakit. Dalam bentuk idiopatik, GSFS umumnya dikaitkan
dengan SN. Kebanyakan pasien nefrotik dengan GSFS berlanjut menjadi gagal ginjal
kronik terminal dalam 10 tahun sesudah awitan klinis. Nasib kelainan ginjal GSFS pada
anak dan orang dewasa adalah sama, walaupun anak kadang-kadang menunjukkan
respons lebih baik terhadap pengobatan. Adanya kelainan tubulointerstitial pada sediaan
biopsi menunjukkan prognosis yang kurang baik, sedangkan peran prognostik kelainan
glomerulus seperti kelainan hilus, proliferasi mesangial dan glomerulus kolaps masih
diperbincangkan. Belum ada penelitian prospektif terkontrol dengan pemakaian obat
kortikosteroid atau sitostatik pada penyakit ini. Kebanyakan literatur didasarkan pada
penelitian retrospektif, dan mungkin beberapa makalah dengan hasil yang kurang baik
namun belum dipublikasi. Kesan umum ialah bahwa hanya sebagian kecil pasien dengan
GSFS mencapai remisi komplit dengan prednison dosis tinggi dalam pemberian jangka
pendek. Berdasarkan respons yang kurang baik ini banyak ahli klinik enggan untu
mengobati pasien dengan GSFS.
CyA juga mulai dipakai untuk mengobati GSFS. dari kepustakaan dilaporkan
40% pasien dipertahankan tanpa SN dengan pengobatan CyA. Tidak jelas apakah CyA
merusak atau melindungi fungsi ginjal pada GSFS. Beberapa penelitian melaporkan
memburuknya kelainan histologis pada beberapa pasien yang mendapat CyA. Untuk
pasien nefrotik dengan GSFS tindakan pertama adalah memberikan prednison dosis
tinggi (60 mg/m2/hari) selama 2 bulan untuk mengetahui berapa pasien yang responsif.
Prednison selama 2 bulan (60 mg/m2/hari)
Respons
Tidak relaps

Relaps

Tidak responsif
Pengobatan

Prednison selang

Prednison

sehari selama

dan obat

4-6 bulan

sitotoksik
selama 6
bulan

Respons

tidak responsif

Pengobatan

Siklosporin

simtomatik

(CyA)

Tidak responsif

responsif

Untuk pasien ini pengobatan selanjutnya sama dengan SNKM, termasuk


penanganannya bila ada relaps. Apa yang harus diperbuat terhadap pasien yang tidak
responsif masih kontroversial. Banyak dokter tidak mau memberi pengobatan, namun
dari data menunjukkan pemberian obat yang lebih lama dapat menimbulkan remisi SNnya dan fungsi ginjalnya tetap stabil pada 50% pasien. Dianjurkan pemberian steroid
diteruskan sesudah tidak memberikan respons selama 2 bulan. Apabila tidak terdapat
toksisitas steroid, prednison diteruskan selang sehari dengan penurunan dosis selama 4-6
bulan. Dapat juga digunakan sebagai alternatif protokol pengobatan dengan
kortikosteroid selang sehari dengan obat sitostatik selama 6 bulan. Apabila SN menetap
dengan kedua cara pengobatan tersebut, maka pengobatan diubah dengan memberikan
CyA kecuali ditemukan fungsi ginjal dan tekanan darah yang abnormal, atau bila
ditemukan fibrosis interstitial pada biopsi ginjal. Apabila tidak terdapat remisi dalam 3
bulan, maka pasien tersebut selanjutnya tidak akan responsif dan sebaiknya CyA
dihentikan. Terhadap pasien yang responsif CyA dosis diturunkan perlahan-lahan dalam
beberapa bulan untuk mengetahui dosis efektif yang paling kecil. Sesudah pengobatan 1
atau 2 tahun biopsi renal dianggap perlu untuk mengetahui kelainan histologis yang
disebabkan oleh CyA.
Glomerulonefritis membranoproliferatif (GNMP)
GNMP merupakan penyakit yang jarang pada anak. Umumnya penyakit terjadi
pada semua umur tetapi sering terjadi pada umumr 8-30 tahun. GNMP dibagi dalam tipe

I, II dan III atas dasar gambaran yang berbeda di bawah mikroskop cahaya,
imunofluoresensi dan mikroskop elektron, tetapi prognosis dan perjalanan penyakit dari
ketiga tipe ini sama. Prognosisnya sering kurang baik terhadap pasien dengan insufisiensi
ginjal dan atau adanya gejala SN. Lebih dari 50% pasien dengan SN berlanjut menjadi
gagal ginjal terminal dalam 10 tahun sesudah awitan klinis. Umumnya penyakit lebih
berat pada orang dewasa. McEnery dkk menekankan peran yang menguntungkan dengan
memberikan prednison dosis tinggi jangka panjang selang sehari (2-2,5 mg/kgbb/48 jam)
pada GNMP. ISKDC menyimpulkan dalam penelitian terkontrol bahwa pengobatan
steroid selang sehari dapat mengurangi laju progresivitas GNMP tipe I, namun
pengobatan jangka panjang diikuti hipertensi berat dan kejang-kejang pada beberapa
pasien. Penelitian terkontrol lainnya, Donadio dan Offord melaporkan bahwa pasien
GNMP tipe I dengan kombinasi aspirin (975 mg/hari) dan dipiridamol (225 mg/hari)
menurunkan laju gagal ginjal sampai 4 tahun namun pada analisis 10 tahun tidak terdapat
perbedaan antara pasien yang diobati (49%) dan tidak (41%) mengenai kerusakan
ginjalnya.
Sebagai ringkasan pengobatan terhadap GNMP masih belum jelas. Pengobatan
simtomatik dan pengawasan yang baik terhadap tekanan darah merupakan hal yang
penting. Cara ini dapat menyelamatkan pasien sampai 10 tahun, sesuai dengan harapan
pada populasi umumnya. Pada kasus dengan SN yang mempunyai prognosis ginjal yang
buruk, pengobatan dengan steroid dapat dicoba. Dalam hal demikian lebih dini diberikan
pengobatan hasilnya lebih baik. Dianjurkan pengobatan dengan prednison selang sehari
dengan dosis 2.0 mg/kgbb/48 jam untuk 2 bulan, dengan penurunan dosis secara
berangsur pada periode berikutnya. Apabila tidak terdapat respons dalam waktu 4-6
bulan, obat steroid harus dihentikan. Apabila terdapat perbaikan proteinuria yang
bermakna pengobatan steroid dapat diteruskan dengan dosis efektif minimal. Beberapa
pasien dengan GNMP dapat terjadi penurunan fungsi ginjal secara progresif cepat, yang
kadang-kadang didorong oleh infeksi atau oleh pemberian obat-obatan. Untuk pasien
demikian perlu dilakukan biopsi ginjal. Pada pasien dengan glomerulonefritis
ekstrakapiler atau bila disertai dengan nefritis interstitial, pengobatan yang lebih agresif
dengan pulse metil-prednisolon dosis tinggi secara intravena, ditambah dengan prednison

oral dengan siklofosfamid dapat dicapai perbaikan fungsi ginjal yang bermakna pada
beberapa pasien.
Glomerulopati membranosa (GM)
Penyakit ini lebih sering ditemukan pada orang dewasa. Prognosisnya sulit diduga
sebelumnya, karena kadang-kadang fungsi ginjal tetap normal dan bahkan dapat terjadi
remisi spontan, sedangkan 30-50% berlanjut menjadi gagal ginjal terminal dalam waktu
10 tahun sejak awitan klinis. Proteinuria berat yang menetap dan adanya kelainan
tubulointerstitial pada biopsi awal merupakan faktor yang berhubungan dengan
menurunnya fungsi ginjal secara progresif. Sebaliknya pasien dengan remisi proteinuria
komplit mempunyai prognosis lebih baik walaupun dalam jangka lama. Penelitian
dengan kontrol menggunakan obat sitotoksik juga memberikan hasil yang bertentangan
walaupun menunjukkan efek perbaikan terhadap proteinurianya. Ada anggapan bahwa
GM secara alamiah mempunyai perjalanan penyakit yang lebih baik dan diberikan
pengobatan simtomatik saja. Yang lain mengkhawatirkan terhadap toksisitas potensial
dan lebih suka memakai kortikosteroid saja, sedang yang lain menggunakan kombinasi
kortikosteroid dan obat alkil. Berdasarkan data dari literatur dianjurkan algoritme di
bawah ini dengan fungsi ginjal normal.
Diagnosis GM Idiopatik
A

Prednisolon

Metilprednisolon

selama 6 bln

selama 6 bulan <

Responsif

Tidak

Tidak responsif

Pengobatan
simtomatik

responsif

Remisi

responsif

atau insufisiensi
Terapi

Relaps

Tidak

SN menetap

CyA

simtomatik

Tidak

Relaps

ginjal

relaps

relaps

Obati dengan
Tidak responsif

Respons

A atau B

Kurangi CyA
Kapan pengobatan dimulai masih merupakan masalah yang diperdebatkan.
Beberapa ahli klinik menganjurkan untuk menunggu 1 atau 2 tahun sesudah timbulnya
gejala klinik SN untuk mencegah pengobatan bagi pasien yang mungkin timbul remisi
spontan. Ada yang berpendapat lebih baik menunggu sampai timbul insufisiensi ginjal.
Anjuran yang baik adalah memulai pengobatan dini yaitu dengan beberapa alasan:
1. Pengobatan yang efektif akan mencegah timbulnya komplikasi SN
2. Kemungkinan timbulnya respons lebih besar untuk pasien yang belum timbul
kelainan glomerulus dan tubulointerstitial yang lanjut.
3. Pengobatan lebih baik ditoleransi oleh pasien dengan fungsi ginjal yang normal,
dan
4. Pasien yang telah menderita gagal ginjal akan tidak mempan terhadap pengobatan
atau responsnya tidak lengkap.
Sekarang apa yang harus diperbuat terhadap pasien dengan fungsi ginjal yang
menurun? Pertama diusahakan untuk mendeteksi dan mengobati semua komplikasi yang
mungkin ada, seperti trombosis vena, nefritis interstitial, glomerulonefritis ekstrakapiler,
dan sebagainya. Jenis pengobatan apa yang digunakan terhadap pasien dengan gagal
ginjal progresif? Banyak laporan di dalam kepustakaan, namun yang terbaik diantaranya
ialah penelitian Reichert Koene dan Wetzels yang memberikan metil prednisolon dan
klorambusil untuk 6 bulan. Anjuran dosis klorambusil tidak melebihi 0,1 mg/kg/hari,
karena pada insufisiensi ginjal efek sampingnya meningkat.
Pengobatan Suportif
Dalam penanganan pasien SN harus diperhatikan tidak saja pendekatan
farmakologis khusus terhadap penyakit glomerular yang mendasarinya tetapi juga
tindakan yang ditujukan terhadap pencegahan dan pengobatan sekuele klinis oleh
proteinuria yang masif. Pengobatan suportif sangat penting untuk pasien yang tidak
memberikan respons terhadap obat-obat imunosupresif dan oleh karena itu mudah
mendapat komplikasi SN yang berkepanjangan.

Pengobatan diitetik
Masukan natrium harus dibatasi 2 gram/hari untuk mengurangi keseimbangan
natrium yang positif. Dari sudut praktis umumnya cukup dengan menganjurkan tidak
menambahkan garam ke dalam makanan. Pembatasan garam yang ketat hanya diperlukan
terhadap pasien yang tidak memberi respons terhadap diuretika. Dahulu masukan protein
tinggi dianjurkan untuk mengimbangi keluarnya protein dalam urin. Namun cara ini akan
meningkatkan permeabilitas glomerulus terhadap makromolekul yang berakibat
peningkatan proteinuria lebih lanjut sedangkan keseimbangan protein tetap negatif dan
kadar albumin serum yang rendah akan menetap. Di pihak lain penelitian dengan diit
rendah protein memberikan hasil yang bertentangan. Telah dilaporkan oleh beberapa
peneliti bahwa ekskresi albumin urin menurun dan kadar albumin serum meningkat,
sedangkan peneliti lain tidak menemukan adanya penurunan proteinuria, setidaknya pada
GM.
Bila kadar ureum dan kreatinin normal diberikan diet nefrotik dengan protein 2-3
g/kg/hari, rendah garam 1 g/hari. Bila kadar ureum dan kreatinin tinggi diberikan diet
nefrotik dengan protein 1 g/kg/hari, rendah garam 1 g/hari.
Sambil menunggu hasil penelitian jangka panjang sebaiknya pemberian diit
protein tinggi pada SN dicegah dan menganjurkan diit yang mengandung protein 2
gram/kgbb/hari. Diit penurunan lipid (<200 mg/hari kolesterol, jumlah lemak <30% dari
kalori total dan asam lemak tidak jenuh 10% dari jumlah seluruh kalori), umumnya
dianjurkan untuk pasien dengan hiperkolesterolemia. Namun respons individu terhadap
diit ini agak susah bahkan tidak mungkin untuk menduga penurunan sekurang-kurangnya
15-20% kadar kolesterol LDL. Di samping itu makin ketat regimen makanan makin tidak
patuh pasien, terutama untuk jangka waktu lama. Oleh karena itu agak susah untuk
menangani hiperlipidemia pada SN dengan diit saja. Akhir-akhir ini diit vegetarian yang
mengandung kedelai yang ditambah dengan asam amino esensial tampaknya lebih efektif
menurunkan hiperlipidemia, daripada diit menurunkan lipid secara tradisional. Penurunan

proteinuria juga dijumpai, namun tidak terdapat data mengenai kepatuhan jangka lama,
efisiensi dan toleransi terhadap diit demikian.

Edema
Apabila edema tidak memberikan respons dengan membatasi pemasukan garam
dalam makanan, maka sering diperlukan pemberian diuretika. Langkah pertama dapat
diberikan obat tiazid, sebaiknya dikombinasi dengan obat penahan kalium, seperti
spironolakton atau triamteren. Namun banyak pasien terutama dengan anasarka, volume
berlebih, atau dengan kongesti paru-paru tidak memberikan respons terhadap obat tiazid.
Untuk keadaan ini diperlukan pemberian furosemid, asam etakrin atau bumetamid. Di
antara obat-obatan ini furosemid yang paling sering dipakai karena toleransi yang baik
bahkan dengan dosis yang sangat tinggi. Furosemid dapat diberikan baik secara intravena
ataupun oral, dengan dosis berkisar antara 25-1000 mg/hari, bergantung pada beratnya
edema dan respons pengobatan. Oleh karena terikatnya obat ini dengan cairan tubulus
albumin dapat mengganggu respons dan dosis furosemid tinggi sering diperlukan untuk
mengatasi berkurangnya efek ikatan senyawa ini. Terhadap pasien yang refrakter
terhadap furosemid sebagai monoterapi, kombinasi obat diuretika yang bekerja pada
tingkat lain dari furosemid, seperti hidroklortiazid (25-50 mg/hari) atau metolazon (2.510 mg/hari) dapat meningkatkan respons diuretika. Selama pengobatan diuretika, pasien
harus dipantau untuk mendeteksi kemungkinan adanya komplikasi seperti misalnya
hipokalemia, alkalosis metabolik atau kehilangan cairan intravaskular berat.
Proteinuria dan hipoalbuminemia
Pemberian albumin per intravena kepada pasien nefrotik merupakan prosedur
yang mahal dan meningkatkan klirens albumin ginjal dan menaikkan konsentrasi albumin
plasma hanya sedikit dan bersifat sementara. Infus albumin hanya diberikan untuk pasien
dengan deplesi volume plasma simtomatik dengan hipotensi. Beberapa obat dapat
mengurangi keluarnya protein di dalam urin antara lain ACE inhibitor mempunyai efek
antiproteinuria yang penting. Walaupun ACE inhibitor secara teoritis menurunkan
tekanan darah dan vasodilatasi pascaglomerulus dapat memberi efek antiproteinuria

namun efek ini mungkin berkaitan dengan adanya perubahan pada permeabilitas
glomerulus terhadap makromolekul. Efek antiproteinuria ini bergantung pada dosis, lama
pengobatan dan masukan natrium. Pengobatan dengan ACE inhibitor umumnya dapat
ditoleransi oleh beberapa pasien namun dapat timbul anemia, hipotensi atau batuk kering.
Dalam praktek, untuk mendapat efek antiproteinuria yang maksimal pasien diminta untuk
mengikuti diet rendah garam. Pemberian ACE inhibitor dimulai dengan dosis rendah
untuk menguji toleransinya. Kemudian dosis dinaikkan secara progresif sampai dosis
toleransi maksimal. Pengobatan diperpanjang untuk beberapa minggu sebelum dinilai
hasilnya. Obat-obat anti-inflamasi nonsteroid dapat menurunkan proteinuria sampai 50%
atau lebih. Efek ini disebabkan karena menurunnya permeabilitas kapiler terhadap
protein, menurunnya tekanan kapiler intraglomerulus dan/atau karena menurunnya luas
permukaan filtrasi. Pada kebanyakan pasien efeknya cepat (dalam 1 minggu) dan kembali
lagi setelah pengobatan dihentikan.
Indometasin (150 mg/hari) dan meklofenamat (200-300 mg/hari) merupakan dua
obat yang sering dipakai. Obat-obat ini dapat menimbulkan hiperkalemia dan pada SN,
dapat memperberat retensi natrium, menurunkan respons terhadap diuretika dan
mengganggu hipertensi arteri. Di samping itu obat-obat ini dapat menyebabkan gagal
ginjal akut karena gangguan hemodinamik, nefritis interstitial akut atau kerusakan ginjal
kronik. Karena itu pemantauan fungsi ginjal yang ketat diperlukan selama pengobatan
pada pasien nefrotik. Obat-obat ini tidak boleh diberikan apabila klirens kreatinin lebih
rendah dari 50 ml/menit. Akhir-akhir ini pengobatan selama 6 minggu dengan dosis
tinggi n-3 asam lemak tak jenuh (poly-unsaturated fatty acid) dapat mengurangi
proteinuria sebanyak 30% tanpa efek samping yang berarti.
Hiperlipidemia
Pada kebanyakan pasien SN, diet saja tidak cukup menurunkan hiperlipidemia.
Berbagai obat penurun lipid seperti probukol, asam nikotinat, resin, derivat asam fibrik,
dan akhir-akhir ini hidroksimetil glutaril ko-enzim A (HGM-A) penghambat reduktase,
telah digunakan pada SN. Probukol tidak begitu efektif dan dapat menurunkan tidak
hanya LDL tetapi juga HDL lipoprotein. Asam nikotinat dapat menurunkan semua
lipoprotein aterogenik bersikulasi secara efektif. Namun ada efek vasodilatasi kulit dan

iritasi gaster dan hepatotoksik. Resin sering menimbulkan gejala abdomen dan
mengganggu absorpsi vitamin larut lemak dan obat-obat lain. Derivat asam fibrik seperti
klofibrat, bezafibrat dan gemfibrozil lebih efektif menurunkan trigliserid daripada
kolesterol. Pada pasien SN klofibrat dapat menimbulkan rabdomiolisis dan gagal ginjal
akut. Di samping itu obat-obat ini mengandung risiko timbulnya miopati dan batu
empedu.
Pada saat ini, penghambat HMG-CoA, seperti lovastatin, pravastatin dan
simvastatin merupakan obat pilihan untuk mengobati hiperlipidemia pada SN. Obat-obat
ini menghambat enzim dalam biosintesis kolesterol. Pada pasien SN obat penghambat
HMG-CoA menurunkan secara bermakna pada kolesterol serum (36%), lipoprotein
densitas rendah (LDL)-(43%) dan apolipoprotein B (30%). Demikian juga terhadap
trigliserid juga terjadi penurunan. Walaupun terjadi perbaikan terhadap komposisi
lipoprotein, namun meningkatnya kadar lipoprotein aterogenik (Lpa) tidak dipengaruhi
oleh penghambat HMG-CoA. Pengobatan dengan penghambat HMG-CoA umumnya
ditoleransi baik oleh pasien SN, walaupun dapat terjadi kenaikan transaminase serum
pada bulan pertama pengobatan. Jarang terjadi miositis dan mialgia, namun ada baiknya
diperiksa fosfokinase kreatinin secara teratur.
Hiperkoagulabilitas
Tromboemboli merupakan komplikasi yang serius dan sering dijumpai pada SN.
Obat-obat anti koagulan dapat menurunkan terjadinya risiko trombosis namun
mengandung risiko timbulnya komplikasi perdarahan. Pemakaiannya terbatas pada
keadaan terjadinya risiko trombosis seperti pada tirah baring yang lama, pembedahan,
saat dehidrasi atau saat pemberian kortikosteroid i.v. dosis tinggi. Namun sekarang
keuntungan pemberian anti-koagulan profilaktik lebih besar pada pasien GM daripada
risiko trombosis intravaskular. Kapan obat harus dihentikan masih belum jelas. Oleh
karena risiko trombosis tetap tinggi selama SN menetap maka secara teoritis pemberian
antikoagulan diteruskan sampai remisi atau diberikan seumur hidup. Pemberian
antikoagulan jangka lama ini merupakan keharusan untuk pasien yang mengalami dua
atau lebih episode trombosis atau satu episode yang mengancam kehidupannya.

Pemantauan (Monitoring)
Terapi dengan pemberian prednison atau imunosupresan lain dalam jangka lama,
maka perlu dilakukan pemantauan terhadap kemungkinan terjadinya efek samping obat.
Prednison dapat menyebabkan hipertensi atau efek samping lain, dan siklofosfamid dapat
menyebabkan depresi sumsum tulang dan efek samping lain. Pemeriksaan tekanan darah
perlu dilakukan secara rutin. Pemeriksaan tekanan darah perlu dilakukan secara rutin.
Pada pemakaian siklofosfamid diperlukan pemeriksaan darah tepi setiap minggu. Apabila
terjadi hipertensi, prednison dihentikan dan diganti dengan imunosupresan lain, dan
hipertensi diatasi dengan obat antihipertensi. Jika terjadi depresi sumsum tulang (leukosit
<3.000/ul) maka obat dihentikan sementara dan dilanjutkan lagi jika leukosit 5.000/ul.
Gangguan tumbuh kembang dapat terjadi sebagai akibat penyakit sindrom
nefrotik sendiri atau efek samping pemberian obat prednison secara berulang dalam
jangka lama. Selain itu, penyakit ini merupakan keadaan imunokompromais sehingga
sangat rentan terhadap infeksi. Infeksi yang berulang dapat mengganggu tumbuh
kembang pasien.
Dosis pemberian albumin, bila kadar albumin serum 1-2 g/dl : diberikan 0,5 g/
kgBB/hari; bila kadar albumin < 1 g/dl diberikan 1 g/kgBB/hari.

DAFTAR PUSTAKA
1. Alatas, Husein dkk, Buku Ajar Nefrologi Anak, Edisi 2, Ikatan Dokter Anak
Indonesia, 2002, Jakarta, hlm. 381 422.
2. Allison A Eddy, Jordan M Symons, Nephrotic syndrom in chilhood, The Lancet, vol :
362, august 2003, page : 629-639.
3. Darmawan John, Remisi lengkap proteinuria dan remisi bebas-terapi sindrom
nefrotik, Majalah kedokteran Indonesia, Vol: 50, No.6, Juni 2000, hal: 312-316.
4. Hutagalung. P, Sindrom nefrotik, Majalah Kedokteran FK. UKI XVIII, No. 44,
Jakarta, September 2000, hal: 1-10.
5. Pardede O. Sudung, Miklofenolat Mofetil sebagai Terapi Sindrom Nefrotik pada
Anak, Majalah Kedokteran Indonesia, Volume : 54, No:10, Jakarta, Oktober 2004,
hal : 431-437.
6. Pardede O. Sudung, Sindrom Nefrotik Infantil, Cermin Dunia Kedokteran No. 134,
Jakarta, 2002, hal: 32-38.
7. Subandiyah Krisni, outcome Sindrom nefrotik pada anak, Journal Kedokteran
Brawijaya, Vol. XX, No. 3, Malang, Desember 2004, hal: 147-151.
8. William W. Hay, Jr., Jessie R, CURRENT Pediatric Diagnosis & Treatment, a
LANGE medical book, 13th edition, Aplleton & Lange, Stamford, Connecticut, 1997,
page: 607-616.
9. www.pediatrics.com, Efficacy of albumin and diuretic therapy in children with
nephrotic syndrome, 2006
10. www.pediatriconcall.com/forpatients/CommonChild/nephroticsyndrome.asp Diet in
Nephrotic Syndrome
11. www.ikcc.com treatment of idiopathic nephrotic syndrome in children
12. www.pediatrics.com, predicting first-year relapses in children with nephrotic
syndrome

13. www.Eurepean Renal Association.com, Mechanisms of oedema in nephrotic


syndrome
14. www. NEJM.com, Nephrotic Syndrome
15. www. Pubmed .com, the nephrotic syndrom

Anda mungkin juga menyukai