Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Pelayanan publik di Indonesia masih rendah. Demikian salah satu kesimpulan Bank Dunia yang dilaporkan dalam World Development Report 2004 dan hasil penelitian Governance and Desentralization Survey (GDS) 2002. Buruknya pelayanan publik memang bukan hal baru, fakta di lapangan masih banyak menunjukkan hal ini. Tiga masalah penting yang banyak terjadi di lapangan dalam penyelenggaraan pelayanan publik, yaitu :
a) pertama, besarnya diskriminasi pelayanan. Penyelenggaraan pelayanan masih amat dipengaruhi oleh hubungan pertemanan, kesamaan afiliasi politik, etnis, dan agama. b) Kedua, tidak adanya kepastian biaya dan waktu pelayanan. Ketidakpastian ini sering menjadi penyebab munculnya KKN, sebab para pengguna jasa cenderung memilih menyogok dengan biaya tinggi kepada penyelenggara pelayanan untuk mendapatkan kepastian dan kualitas pelayanan. c) Dan ketiga, rendahnya tingkat kepuasan masyarakat terhadap pelayanan publik. Ini merupakan konsekuensi logis dari adanya diskriminasi pelayanan dan ketidakpastian tersebut. Optimalisasi pelayanan publik dalam birokrasi pemerintahan memang bukanlah pekerjaan mudah seperti halnya membalikkan telapak tangan mengingat pembaharuan tersebut menyangkut berbagai aspek yang telah terkultur dalam lingkaran birokrasi pemerintahan kita. Di antara beberapa aspek tersebut adalah kultur birokrasi yang tidak kondusif yang telah lama mewarnai pola pikir birokrat sejak era kolonial dahulu. Prosedur dan etika pelayanan yang berkembang dalam birokrasi kita sangat jauh dari nilai-nilai dan praktik yang menghargai warga bangsa sebagai warga negara yang berdaulat. Prosedur pelayanan, misalnya, tidak dibuat untuk mempermudah pelayanan, tetapi lebih untuk melakukan kontrol terhadap perilaku warga sehingga prosedurnya berbelit-belit dan rumit. Tidak hanya itu, mulai masa orde baru hingga kini, eksistensi PNS (ambtennar) merupakan jabatan terhormat yang begitu dihargai tinggi dan diidolakan publik, khususnya jawa. Sehingga filosofi PNS sebagai pelayan publik (publik servant) dalam arti riil menghadapi kendala untuk direalisasikan. Hal ini terbukti dengan sebutan pangreh raja (pemerintah negara) dan pamong praja (pemelihara pemerintahan) untuk pemerintahan yang ada pada masa tersebut yang menunjukkan bahwa
mereka siap dilayani bukan siap untuk melayani. Di samping itu, kendala infrastruktur organisasi yang belum mendukung pola pelayanan prima yang diidolakan. Terlihat dengan belum terbangunnya kaidah-kaidah atau prosedur-prosedur baku pelayanan yang memihak publik serta standar kualitas minimal yang semestinya diketahui publik selaku konsumennya di samping rincian tugas-tugas organisasi pelayanan publik secara komplit. Standard Operating Procedure (SOP) pada masing-masing service provider belum diidentifikasi dan disusun sehingga tujuan pelayanan masih menjadi pertanyaan besar. Akibatnya, pada satu pihak penyedia pelayanan dapat bertindak semaunya tanpa merasa bersalah (guilty feeling) kepada masyarakat. Secara singkat, permasalahan dalam pelaksanaan pelayanan publik yang terjadi di Indonesia adalah sebagai berikut :
a. Rendahnya kualitas pelayanan publik yang dilaksanakan oleh sebagian aparatur pemerintahan atau administrasi negara dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Di dalam kerangka hukum administrasi positif Indonesia saat ini telah diatur tentang standar minimum kualitas pelayanan, namun kepatuhan terhadap standar minimum pelayanan publik tersebut masih belum terlihat manifestasinya dalam pelaksanaan tugas aparatur pemerintahan. Hal ini terbukti dari masih sangat banyaknya keluhan dan ketidakpuasan yang dilontarkan masyarakat Perlu dikaji lebih lanjut adalah upaya untuk membuat agar standar minimum pelayanan publik tersebut dapat menjadi pedoman yang efektif, sehingga dapat tercipta kepastian dan perlindungan hukum, baik bagi para penyelenggara pelayanan publik sendiri maupun bagi masyarakat/anggota masyarakat. b. Birokrasi yang panjang (red-tape bureaucracy) dan adanya tumpang tindih tugas dan kewenangan, yang menyebabkan penyelenggaraan pelayanan publik menjadi panjang dan melalui proses yang berbelit-belit, sehingga tidak mustahil memperbesar kemungkinan timbulnya ekonomi biaya tinggi, terjadinya penyalahgunaan wewenang, korupsi, kolusi dan nepotisme, perlakuan diskriminatif, dsb. c. Rendahnya pengawasan external dari masyarakat (social control) terhadap penyelenggaraan pelayanan publik, sebagai akibat dari ketidak jelasan standar dan prosedur pelayanan, serta prosedur peyampaian keluhan pengguna jasa pelayanan publik. Karena itu tidak cukup dirasakan adanya tekanan sosial (social pressure) yang memaksa penyelenggara pelayanan publik harus memperbaiki kinerja mereka. Salah satu wujud dari peningkatan kontrol sosial ini, misalnya,
melalui pembenahan sistem dan prosedur pelayanan keluhan publik (publik complaints/grievance system & procedure) yang baik. Lebih jauh lagi, penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa peraturan perUUan yang tampaknya dipersiapkan sebagai umbrella regulation di bidang pelayanan publik yang berlaku secara nasional, juga sangat sedikit menghadirkan ketentuan-ketentuan yang secara tegas menetapkan sistem dan standar pelayanan atas keluhan publik (publik complaints, publik grievance standards and procedure). Beberapa alasan kenapa berbagai masalah tersebut muncul dalam upaya pelaksanaan pelayanan publik adalah :
a. Kegiatan pemerintah bersifat monopoli, tanpa kompetisi tidak akan tercapai efisiensi. b. Lebih mengandalkan kewenangan daripada mekanisme pasar maupun kebutuhan konsumen. c. Belum adanya akuntabilitas secara lengkap pada kegiatan pemerintahan. d. Lebih mengutamakan pandangan diri sendiri daripada pandangan konsumen yg dilayaninya. e. Kesadaran masyarakat sbg konsumen produk pemerintahan masih sangat lemah, sehingga masyarakat lebih banyak berposisi sbg obyek.
Contoh kasus
Berdasarkan hasil pemeriksaan aparat terkait terhadap pelayanan publik di lingkungan dinas, dan instansi termasuk di tingkat kelurahan dan kecamatan di Kota Palembang, ternyata kasus gratifikasi cenderung masih tinggi, kata Kepala Inspektorat Kota setempat Toto Suparman. Meskipun, tahun lalu Pemkot Palembang menjadi salah satu terbaik zona integritas dari KPK, tetapi sampai kini pemberian gratifikasi atau hadiah ucapan terima kasih belum bisa ditekan, katanya ketika workshop Peran Serta Aparatur Pemerintah Daerah dalam Pemberantasan Korupsi di Palembang yang dihadiri Komisioner KPK, Adnan Pandu Praja, Kamis (22/8/2013). Menurut dia, sulitnya menekan praktek gratifikasi tersebut lebih karena budaya terima kasih dalam masyarakat masih terjaga. Budaya terima kasih itu berimbas dalam setiap menerima pelayanan dari aparatur pemerintah, padahal dilarang memberikan imbalan apapun yang tidak sesuai dengan peraturan telah ditetapkan.
Ia mengatakan, pihaknya mengawasi di lingkungan pemkot setempat sampai ke kelurahan. Dimana, mereka memeriksa dan membina langsung aparat yang kedapatan menerima gratifikasi sesuai dengan larangan. Dia menjelaskan, pemeriksaan dan pembinaan itu menjadi langkah untuk mendorong integritas pejabat sehingga mampu menjauhi celah korupsi. Dengan demikian, pemkot setempat dipastikan secara bertahap akan terbebas dari berbagai upaya merugikan negara. Toto menambahkan, beroperasinya Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu juga menjadi salah satu upaya pemkot setempat mempersempit ruang untuk korupsi. Komitmen pemimpin daerah untuk menjadi pemerintahan yang bersih teruji dengan optimalisasi pelayanan publik transparan dan bebas korupsi,
Kesimpulan
Penyakit dalam pelayanan publik dan sistem birokrasi, seperti pungli, korupsi, kolusi, nepotisme, diskriminasi pelayanan, proseduralisme dan berbagai macam kegiatan yang tidak efektif dan efisien, Telah mengakibatkan terpuruknya pelayanan publik yang dilakukan pemerintahan kita. Hal ini akan dapat memperparah keadaan apabila tidak ada peningkatan keseriusan dalam penangannya. Lebih kurang inilah yang terjadi saat sekarang ini. Peran pemerintah dan swasta sangat di butuhkan demi terciptanya kenyamanan dalam pelayanan masyarakat.
Saran
Pemerintah seharusnya lebih berfungsi mengarahkan ketimbang mengayuh, memberi wewenang ketimbang melayani, menyuktikkan persaingan (kompetisi) dalam pemberian pelayanan, digerakkan oleh misi bukan peraturan, berorientasi pada hasil (outcome) bukan masukan (income), berorientasi pada pelanggan bukan pada birokrasi, menghasilkan ketimbang membelanjakan, mencegah ketimbang mengobati, desentralisasi dan pemerintah berorientasi pasar, seharusnya diterapkan oleh pemerintah untuk meningkatkan pelayanan publik kepada masyarakat. Dalam melakukan pelayanan tersebut, harus diadakan langkah- langkah seperti di bawah ini agar berjalan dengan baik dan sesuai dengan yang diharapkan, yaitu :
a. Kesederhanaan pelayanan. b. Kejelasan dan kepastian pelayanan. c. Keamanandan kenyamanan pelayanan. d. Keterbukaan informasi. e. Efisiensi dalam mengurus pelayanan. f. Ekonomis. g. Keadilan. h. Dan ketepatan waktu pelayanan. Dalam Keputusan MENPAN nomor 81 / 1993 dijelaskan sendi-sendi pelayanan prima, hal ini haruslah di pedomani secara baik agar langkah-langkah yang telah terjadwalkan tersebut tidak mengalami kegagalan atau kurang dalam pencapaiannya. Sendi-sendi tersebut adalah : a) Kesederhanaan, dalam arti bahwa prosedur / tata cara pelayanan diselanggarakan secara mudah, lancar, cepat tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan. b) Kejelasan dari kepastian; adanya kejelasan dan kepastian mengenai: o Prosedur / tata cara pelayanan umum. o Persyaratan pelayanan umum, baik teknis maupun administratif. o Unit kerja dan atau pejabat yang berwenang dan bertanggungjawab dalam memberikan pelayanan umum. o Rincian biaya / tarif pelayanan umum dan tata cara pembayarannya. o Jadwal waktu penyelesaian pelayanan umum.
c) Hak dan kewajiban baik dari pemberi maupun penerima pelayanan umum berdasarkan buktibukti penerimaan, permohonan / kelengkapan sebagai alat untuk memastikan mulai dari proses pelayanan umum hingga ke penyelesaiannya. d) Pejabat yang menerima keluhan masyarakat apabila terdapat sesuatu yang tidak jelas, dan atau tidak puas atas pelayanan yang diberikan kepada masyarakat (pelanggan). e) Keamanan dalam arti bahwa proses serta hasil pelayanan umum dapat memberikan keamanan dan kenyamanan serta dapat memberikan kepastian hukum. f) Keterbukaan dalam arti prosedur/tatacara, persyaratan, satuan kerja pejabat penanggung jawab pemberi pelayanan umum, waktu penyelesaian dan rincian biaya /tarif dan hal-hal lain yang berkaitan dengan proses pelayanan umum wajib diinformasikan secara terbuka agar mudah
diketahui dan dipahami oleh masyarakat, baik diminta maupun tidak diminta. g) Efisien dalam : o Persyaratan pelayanan umum dibatasi hanya pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan umum yang diberikan. o Dicegah adanya pengulangan kelengkapan persyaratan pada konteks yang sama dalam hal proses pelayanannya kelengkapan persyaratan dari satuan ketja / intansi pemerintah lain yang berkaitan. f) Ekonomis, dalam arti pengenaan biaya pelayanan umum harus ditetapkan secara wajar dengan memperhatikan: Nilai barang dan atau jasa pelayanan umum/ tidak menuntut biaya yang tinggi di luar kewajaran. Kondisi dan kemampuan masyarakat untuk membayar secara umum. Ketentuan perundang-undangan yang berlaku. g) Keadilan yang merata, dalam arti cakupan/jangkauan pelayanan umum harus diusahakan seluas mungkin dengan distribusi yang merata dan diperlukan secara adil. h) Ketetapan waktu, artinya pelaksanaan pelayanan umum dapat diselesaikan dalam waktu yang telah ditentukan. Selain itu, para pelayan publik harus juga bersifat seperti berikut, juga untuk kelancaran : a) Bertindak jujur, disiplin, proporsional dan profesional. b) Bertidak adil dan tidak diskriminatif. c) Peduli, teliti dan cermat. d) Bersikap ramah dan bersahabat. e) Bersikap tegas, dan tidak memberikan pelayanan yang berbelit-belit. f) Bersikap mandiri dan dilarang menerima imbalan dalam bentuk apapun. g) Transparan dalam pelaksanaan dan mampu mengambil langkah-langkah yang kreatif dan inovatif.