Anda di halaman 1dari 8

Climate change, flooding, urbanisation and leptospirosis: fuelling the fire?

1. Introduction

Leptospirosis merupakan suatu penyakit infeksi yang mengglobal yang diakibatkan bakteri Spirochetes genus Leptospira dan terdapat dua puluh jenis spesies dengan serovar lebih dari dua ratus. Sebagian besar dari serovar ini bersifat patogen pada manusia dan hewan peliharaan dan ternak, dimana tikus merupakan sumber penularannya. Penularan terjadi melalui adanya baik kontak langsung maupun tidak langsung dengan lingkungan yang terkontaminasi urin hewan yang terinfeksi, misalnya dengan mengonsumsi makanan dan minuman yang terkontaminasi, adanya kontak langsung pada bagian kulit yang luka. Resiko pekerjaan juga menjadi faktor penyebaran infeksi, misalnya pada bidang pertanian, peternakan, kegiatan olah raga air, kebiasaan mandi di sungai, dan keadaan sosial ekonomi yang kurang berhubungan dengan kondisi sanitasi yang tidak baik.

Masa inkubasi Leptospirosis terjadi antara dua sampai tiga puluh hari yang diawali fase akut atau Leptospiraemic yang berlangsung sekitar tujuh sampai sepuluh hari, kemudian diikuti fase imun dimana produksi Imunoglobulin meningkat sebagai upaya menghilangkan bakteri patogen dari host yang terinfeksi.Infeksi penyakit ini menunjukkan berbagai gejala klinis yang bersifat non spesifik seperti demam, gagal ginjal, gagal hati, bahkan perdarahan paru, dan Meningoencephalitis. Hal ini dapat berujung pada kematian hingga 30%. Pengobatan dilakukan dengan pemberian antibiotik Doxycycline, Penisilin G, Ceftriaxone, dan Sefotaksim. Sementara pasien dengan kasus berat mungkin memerlukan bantuan alat nafas dan tindakan Hemodinamik.

Sering terjadi salah diagnosis pada kasusu Leptospirosis dan cenderung diremehkan dan diabaikan. Sehingga World Health Organization (WHO) meyatakan bahwa Leptospirosis merupakan penyakit endemis tropis yang terabaikan dan perlu ditindak lanjuti.

2. Ecology of leptospirosis

Hubungan Leptospirosis dengan tikus sebagai sumber penularan terhadap manusia menjadikan suatu resiko yang tidak dapat dihindari, mengingat ketiganya hidup berdampingan.

Oleh karenanya di pedesaan, resiko penularan biasa terjadi pada sektor pertanian dan peternakan yang meningkatkan saat musim hujan. Sementara perkotaanresiko penularan berhubungan dengan jumlah penduduk berlebih dan buruknya sanitasi yang biasanya terdapat di negara berkembang. Sedangkan untuk di negara maju, penyebaran infeksi didapatkan dari kegiatan alam dan kunjungan wisata ke daerah endemis Leptospirosis.

3. Environmental drivers of leptospirosis

Pengetahuan mengenai Leptospirosis cenderung kurang meskipun penyakit ini telah menyebar secara global. Studi epidemiologi telah dilakukan untuk mempelajari faktor resiko seperti perubahan iklim dan adanya urbanisai.

3.1. Rainfall and flooding

Musim penghujan dan adanya banjir meningkatkan resiko penyebaran infeksi Leptospirosis secara signifikan, khususnya di daerah endemis.

Di negara endemis beriklim tropis seperti Argentina, India, Filipina, dan beberapa negara lainnya menunjukkan adanya peningkatan kasus Leptospirosis pada saat musim penghujan yang menicu terjadinya banjir, baik di kota besar maupun daerah pedesaan.

Bencana alam seperti banjir yang mengakibatkan rusaknya fasilitas kesehatan, terkontaminasinya sumber air besih dan sanitasi yang memburuk didukung jumlah populasi yang tinggi meningkatkan resiko infeksi Leptospirosis.

3.2. Temperature

Bakteri Leptospira dapat bertahan hidup di alam bebas dalam jangka waktu yang cukup lama, khususnya pada suhu hangat dan basah yang memembentuk kondisi lembab seperti pada iklim tropis.

Cuaca yang panas cenderung mendorong kegiatan yang berhubungan dengan air meningkat, dimana ini justru meningkatkan resiko manusia kontak dengan air yang terkontaminasi bakteri Leptospira.

3.3. Exposure to animals

Penularan dari hewan terjadi dipengaruhi dengan adanya kontak baik secara langsung maupun tidak langsung dengan urin tikus sebagai sumber penularan maupun hewan peliharaan dan ternak yang juga dipengaruhi faktor sanitasi yang kurang baik.

Adanya kontak baik langsung maupun tidak langsung dengan tikus sebagai sumber penularan Leptospirosis menunjukkan peningkatan faktor resiko yang signifikan.

3.4. Poor sanitation and inadequate waste disposal

Pengelolaan sanitasi dan libah yang buruk akan meningkatkan populasi tikus dan tentu saja juga meningkatkan faktor reiko penyebaran Leptospirosis.

4. Climate change and effects on the environmental drivers of leptospirosis 4.1. Flooding

Intensitas musim hujan yang meningkat memicu terjadinya banjir dan pergeseran iklim akibat pemanasan global yang dipengaruhi pola hidup manusia yang kurang baik.

Baik di negara maju maupun berkembang, banjir merupakan bencana alam kedua yang sering dihadapi.

Badai hujan dan bajir bandang pada tahun 2007 mengakibatkan terjadinya wabah Leptospirosis.

Curah hujan diperkirakan akan meningkatkan di daerah tropis yang merupakan daerah endemis Leptospirosis.

4.2. Rising temperatures

Pemanasan global sehingga dapat memperpanjang musim dan memperluas wilayah geografis untuk kelangsungan hidup yang optimal dan transmisi leptospira.

4.3. Animal reservoirs

Sanitasi yang buruk mendukung terbentuknya habitat yang disukai tikus dan melakukan perkembangbiakan didukung dengan adanya banjir yang membuat jarak manusisa dengan hewan ini semakin dekat dan memungkinkan terjadinya kontak.

Penurunan curah hujan diikuti sumber makanan bagi tikus yang menipis mengakibatkan mereka menuju ke habitat manusia untuk mencari makanan. Ini tentu saja mejadi ancaman dalam penularan Leptospirosis.

Perubahan iklim mengakibatkan terjadinya perubahan pola perilaku hewan akibat adanya pergeseran dan perubahan sumber makanan, perkembangbiakan, dan kegiatan migrasi.

5. Where can we expect an increase in leptospirosis disease burden?

5. Dimana Dugaan Peningkatan Ancaman Leptospirosis ?

Resiko banjir dan suhu yang meningkat, kepadatan penduduk, kemiskinan yang mengarah pada sanitasi yang buruk, dan populasi tikus yang meningkat merupakan resiko tinggi yang sebagian besar terjadi di daerah kumuh perkotaan negara berkembang yang didukung dengan adanya perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, dan urbanisasi.

5.1. Megacities and urban slums

Kegiatan urbanisasi diikuti dengan pola hidup manusia akan sanitasi yang buruk akan mendorong terjadinya banjir saat musim hujan tiba dan memberikan peluang meningkatnya pennyebaran Leptospirosis.

Peningkatan populasi secara terus menerus di seluruh dunia dan kegiatan urbanisasi menuju perkotaan akan membentuk suatu ruang lingkup yang kumuh.

Saat ini kegiatan urbanisasi tertinggi terjadi di Afrika dengan pertumbuhan populasi yang tinggi dengan ruang lingkup yang kumuh akibat adanya wabah kekeringan dan banjir.

Kurang tersedianya sanitasi yang baik, sumber air bersih, jalan beraspal, dan selokan mendukung berkembangnya penyebaran Leptospirosis. di negara maju.

Peningkatan jumlah penduduk serta urbanisasi juga meningkatkan resiko banjir yang dapat mendukung terjadinya wabah Leptospirosis. Ini akan menambah para penduduk yang rentan dan miskin.

Tidak hanya di negara berkembanag, wabah Leptospirosis juga pernah terjadi di negara maju seperti Jepang dan Amerika, meski mereka dapat menanganinya secara signifikan.

5.2. Low-lying areas

5.2. Dataran Rendah Peningkatan ketinggian air laut diikuti dengan meningkatnya populasi manusia di dataran rendah.

Kejadian di atas memicu tingginya insiden Leptospirosis.

5.3. Small island states 5.3. Negara Kepulauan

Pemanasan global meningkatkan curah hujan, ketinggian air laut, dan memicu terjadinya banjir khususnya pada negara kepulauan yang terkena dampak yang cukup besar.

Negara kepulauan sangat rentan terhadap bencana alam dengan kepadatan penduduk yang tinggi, infrastruktur yang buruk, dan sumber daya keuangan dan manusia yang terbatas.

6. Challenges in the diagnosis of infectious diseases following flooding

Diagnosis yang salah sering terjadi akibat gejala yang ditimbulkan Leptospirosis bersifat non spesifik menyerupai demam berdarah, malaria, pneumonia, hepatitis, dan meningitis. Bencana alam yang biasanya diikuti wabah penyakit menular menjadi tantangan dalam bidang kesehatan, apalagi tidak adanya fasilitas laboratorium yang mengakibatkan terjadinya diagnosis yang salah memperburuk keadaan.

Penyakit yang ditularkan melalui makanan dan udara seperti Hepatitis A dan E sulit dibedakan dengan Leptospirosis, dimana gejala yang biasa terlihat adalah demam akut dan penyakit kuning.

Wabah penyakit dengan vektor nyamuk sering terjadi akibat banjir yang menyediakan genangan air tempat perkembangbiakan nyamuk. Penyakit malaria, demam berdarah, dan demam Chikungunya juga sulit dibedakan dengan gejala Leptospirosis, sehingga diagnosis

yang salah sering terjadi.

Infeksi akut dari beberapa patogen juga dapat terjadi dan sulit didiagnosis dan dilakukan manajemennya.

Leptospirosis penting untuk dijadikan diagnosis banding dari keadaan demam setelah banjir, karena bila terdeteksi secara dini akan mendapatkan hasil yang baik.

Pemeriksaan laboratorium menggunakan metode ELISA digunakan selama fase akut untuk mendeteksi adanya anti-Leptospira IgM, penggunaan real-time PCR juga dikembangkan karena sensitivitas dan spesifisitasnya yang cukup tinggi. Sementara MAT merupakan metode standar yang digunakan untuk mendeteksi adanya antibodi spesifik dari serovar Leptospira.

7. Socioeconomic impact of leptospirosis

Leptospirosis memberikan dampak buruk terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat. Oleh karenanya tindakan pencegahan, pengendalian, dan pengawasan harus dilakukan.

Keadaan kumuh perkotaan di negara berkembang disertai kemiskinan serta minimnya akses kesehatan mengakibatkan wabah Leptospirosis tidak dapat dihindari dan berdampak buruk bagi kondisi sosial ekonomi masyarakat.

8. Conclusions

Perubahan iklim yangmengarah ke bencana alam akibat efek pemanasan global dan jumlah populasi yang terus meningkat sangat mendukung terjadinya Leptospirosis yang mengglobal.Kondisi kumuh di perkotaan pada negara berkembang di dataran rendah merupakan situasi yang sangat mendukung pertumbuhan penyakit ini. Penelitian terus dilakukan untuk lebih memahami penularan Leptospirosis sehubungan dengan faktor iklim, lingkungan, dan pola hidup masyarakat.

Sistem Informasi Geografis berguna dalam memperkirakan dan memprediksi beban penyakit akibat dari perubahan lingkungan. Sistem ini juga dapat dikembangkan untuk mengidentifikasi faktor-faktor pemicu wabah, sebagai peringatan dini, memperkirakan, dan memprediksi frekuensi dan intensitas wabah yang dapat digunakan dalam keadaan darurat, mengingat tantangan kedepannya akan semakin berat. Tindakan sosialisasi untuk meningkatkan kesadaran dan kesiapan masyarakat terhadap meningkatnya resiko Leptospirosis akibat adanya perubahan iklim.

Anda mungkin juga menyukai