Anda di halaman 1dari 4

PELANGGARAN HAM DI INDONESIA: KEKERASAN TERHADAP ANAK-ANAK PENCARI SUAKA Oleh: Riyad Febrian Anwar

LATAR BELAKANG Indonesia menahan dan menelantarkan migran dan pencari suaka anak, demikian dinyatakan Human Rights Watch dalam laporan yang diluncurkan hari ini. Setiap tahun, ratusan ditahan dalam kondisi yang sangat buruk, tanpa akses kepada bantuan hukum, dan kadang-kadang mengalami pemukulan. Ada juga yang dibiarkan menyelamatkan diri sendiri, tanpa bantuan pangan atau tempat berlindung. Indonesia Sebagai Rute Migrasi Pencarian Suaka HRW mengatakan ada hampir 2.000 pencari suaka dan anak-anak pengungsi di Indonesia sampai Maret, dan lebih dari 1.000 sampai di Indonesia pada 2012. Mereka melarikan diri dari penyiksaan, kekerasan dan kemiskinan di Somalia, Afghanistan, Pakistan, Burma dan negara-negara lain.

Lebih dari 1.000 anak-anak tanpa pendamping tiba di Indonesia tahun 2012. Banyak dimasukkan dalam tahanan bersama dengan orang-orang dewasa yang bukan kerabat, kondisi yang meningkatkan risiko mereka mengalami kekerasan dan pelanggaran hak yang menjadi ciri fasilitas detensi imigrasi Indonesia. Semenjak Maret 2013, hampir 2.000 pencari suaka dan pengungsi anak berada di Indonesia; jumlah inimengalami peningkatansetiap tahun dalam kurun waktu lima tahun terakhir ini.

Laporan Kekerasan Terhadap Pencari Suaka di Indonesia Laporan HRW sepanjang 86 halaman menggambarkan secara rinci perlakuan buruk Indonesia terhadap migran dan pencari suaka anak.1 Anak-anak tersebut tiba di Indonesia setelah melarikan diri dari pengejaran, kekerasan dan kemiskinan di Somalia, Afghanistan, Pakistan, Birma, dan tempat-tempat lain. Setiap tahun, Indonesia menahan ratusan migran dan pencari suaka anak-anak tanpa menyediakan jalan bagi mereka untuk menggugat penahanan yang mereka alami. Hukum Indonesia memungkinkan detensi imigrasi selamalamanya 10 tahun.2 Anak-anak yang menjadi migran dan mencari suaka sudah menjalani risiko ancaman mati atau luka berat dengan berusaha melarikan diri untuk sampai di Indonesia, kata Alice Farmer, peneliti hak-hak anak di Human Rights Watch. Namun, sebagai tujuan aman, Indonesia hanya menyediakan fasilitas detensi yang buruk, di mana anak-anak kehilangan berbulan-bulan atau bertahun-tahun kehidupannya tanpa pendidikan dan tanpa harapan bagi masa depan.3 HRW mewawancarai 102 orang migran berumur antara 5 hingga 66 tahun. 42 di antara orang-orang yang kami wawancarai masih berumur anak-anak ketika memasuki Indonesia. Peneliti Human Rights Watch bertemu dengan sejumlah pejabat/petugas pemerintah yang berurusan dengan migrasi, dan mewawancarai anggota-anggota staf organisasi-organisasi antar-pemerintah maupun non-pemerintah. Dalam testimony mereka kepada peneliti HRW, anak-anak maupun dewasa menggambarkan penjaga-penjaga keamanan yang menendang, meninju, dan menempelengi mereka atau orang-orang lain dalam tahanan. Beberapa melaporkan bahwa mereka diikat, dipukuli dengan pentungan, disundut dengan rokok, dan disengat dengan alat listrik oleh penjaga. Terdapat satu kasus di mana orangtua mengatakan bahwa penjaga imigrasi memaksa anak-anak mereka, termasuk anak-anak berumur 4 dan 6 tahun untuk menonton penjaga memukuli migran-migran lain. Beberapa anak laki-laki tanpa pendamping mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa mereka mengalami pemukulan oleh penjaga imigrasi Indonesia di dalam detensi.

Lihat Barely Surviving; Detention, Abuse, and Neglect of Migrant Children in Indonesia , Human Rights Watch Report, Human Rights Watch Publication, United States, 2013. Di Indonesia Anak Pencari Suaka Terlantar dan Mengalami Siksaan , Satu Harapan News, dapat diakses pada http://satuharapan.com/index.php?id=148&tx_ttnews[tt_news]=2109&cHash=56c2c88f89b6dfd63055ddb938 8c9011, diakses pada 13 Oktober 2013 Indonesia Tenlantarkan Anak-Anak Pencari Suaka, Voice of America News, dapat diakses pada http://m.voaindonesia.com/a/1687804.html, diakses pada 13 Oktober 2013
3 2

PEMBAHASAN Situasi Pengungsi dan Pencari Suaka Anak di Indonesia Meskipun dengan meningkatnya jumlah anak-anak migran, Indonesia masih saja gagal untuk menanggapi kebutuhan mereka. Indonesia tidak memberikan akses suaka bagi anak-anak migran dan keluarganya serta memisahkan anak-anak itu sendirian dari orang tua mereka, terlindungi, dan tanpa akses ke layanan. Pemrosesan aplikasi suaka di Indonesia jatuh kepada tanggung jawab UNHCR, yang menyediakan sertifikat mengenali individu dan keluarga sebagai pengungsi. Namun proses UNHCR juga diikuti dengan banyaknya penundaan, meninggalkan ratusan anak-anak migran di dalam tahanan. Indonesia tidak melakukan apapun untuk membantu anak-anak pencari suaka tanpa pendamping yang merupakan kelompok individu yang paling rentan. Indonesia masih lalai menginstruksikan penanganan anak-anak tersebut walau pada kenyataannya Indonesia telah meratifikasi UN Convention on the Rights of the Child yang mewajibkan anak-anak untuk tidak dipisahkan secara paksa dari orang tuanya ataupun pendampingnya. Tanpa adanya perwalian, beberapa anak masih berada dalam tahanan, tidak dapat dilepaskan tanpa adanya pihak yang siap merawat mereka. Di luar tahanan, hanya segelintir anak tanpa pendamping, mendapatkan bantuan pemerintah. Hanya beberapa anak yang dapat tinggal di penampungan. Anak-anak pencari suaka lainnya harus tinggal di jalan atau di akomodasi swasta yang ramai dengan para migran lainnya yang berdampak buruk bagi perkembangan sang anak. Bahkan dengan pengakuan dari UNHCR, migran anak baik disertai dengan atau tanpa pendamping tetap saja tidak memiliki masa depan yang jelas di Indonesia. Mereka tidak memiliki status hukum di bawah hukum Indonesia, tidak bisa bekerja, dan memiliki keterbatasan akses ke pendidikan. Mereka terus-menerus rawan terhadap penangkapan karena melanggar aturan ini ataupun aturan lainnya. Pengungsi enggan untuk mencari perlindungan polisi ketika mereka menjadi korban kejahatan.

Perlindungan HAM bagi Pengungsi dan Pencari Suaka Anak di Indonesia Indonesia belum meratifikasi Refugee Convention tahun 1951 maupun Protokol nya dan juga tidak memiliki regulasi pencari suaka domestik yang memadai. Akibatnya, pemrosesan aplikasi suaka jatuh ke UNHCR, yang menyediakan sertifikat mengenali individu dan keluarga sebagai pengungsi. Convention on Refugee tahun 1951 sendiri belum mengatur perlindungan anak yang dipisahkan dari orang tuanya. Namun perlindungan ini diatur dalam pasal 22 daripada UN Convention on the Rights of Children tahun 1990 yang berbunyi:
3

States Parties shall take appropriate measures to ensure that a child who is seeking refugee status or who is considered a refugee in accordance with applicable international or domestic law and procedures shall, whether unaccompanied or accompanied by his or her parents or by any other person, receive appropriate protection and humanitarian assistance in the enjoyment of applicable rights set forth in the present Convention and in other international human rights or humanitarian instruments to which the said States are Parties.

Penyatuan Anak Pencari Suaka dengan Orang Tuanya Indonesia telah meratifikasi UN Convention on the Rights of the Child yang mewajibkan anak-anak untuk tidak dipisahkan secara paksa dari orang tuanya ataupun pendampingnya. Hak anak pencari suaka untuk tidak dipisahkan dari orang tuanya diatur dalam pasal 9 dari UN Convention on the Rights of Children tahun 1990 yakni: States Parties shall ensure that a child shall not be separated from his or her parents against their will, except when competent authorities subject to judicial review determine, in accordance with applicable law and procedures, that such separation is necessary for the best interests of the child. Such determination may be necessary in a particular case such as one involving abuse or neglect of the child by the parents, or one where the parents are living separately and a decision must be made as to the child's place of residence.

Anda mungkin juga menyukai