Anda di halaman 1dari 4

Menulis dalam Tradisi Pemberdayaan1

Oleh: Firdaus Putra A.2

Sebutlah nama, Pramoedya Ananta Toer, Goenawan Mohammad, Radhar Panca Dahana, dan lain
sebagainya. Sederet nama itu mewakili zamannya masing-masing. Namun ada benang merah dari
ketiganya, sekurang-kurangnya mereka memaknai tulisan sebagai media perlawanan atau media
pemberdayaan. Tulisan-tulisannya sangat kaya makna dan sarat nilai. Mereka itulah yang menulis
berangkat dari gagasan besar sebagai basis pemikiran yang diyakini dan diperjuangkan.

Nah, seperti itulah menulis dalam tradisi pemberdayaan. Mungkin dalam terminologi inilah proses
menulis untuk amar ma’ruf wa nahyi munkar. Dalam poin ini, isu nilai-nilai etis menjadi pembahasan
utama. Namun sebelum sampai ke sana, terlebih dahulu kita harus mampu dan mau untuk menulis.
Karena seribu langkah selalu saja harus dimulai dengan satu langkah di awal.

Menulis itu Mudah


Ada kecenderungan yang sama ketika saya menyampaikan materi ihwal tulis-menulis. Mayoritas
peserta di awal sesi selalu saja mengeluhkan bahwa menulis itu sulit. Menulis merupakan momok
yang menakutkan. Apalagi kalau sedang dikejar deadline. Sedangkan yang lain, mengeluh kehabisan
ide saat sedang menulis di depan komputer atau di atas kertas. Tiba-tiba saja otak nge-blank dan ide
tidak keluar.

Berbeda dengan itu, saya mengatakan kalau menulis itu mudah. Semudah menceritakan pengalaman
Anda pada orang lain. Meskipun, dalam kaidah bahasa Indonesia, kita kenal adanya ragam bahasa
tulis dan ragam bahasa lisan. Menulis, tentunya berada di kaidah yang pertama. Sayangnya, ragam
bahasa tulis seringkali membuat sebagian orang merasa kesulitan.

Ragam bahasa tulis membuat otak kita dipenuhi oleh berbagai aturan Ejaan yang Disempurnakan
(EYD). Yang paling mudah kita kenali melalui gaya penulisan artikel, karya ilmiah dan sebagainya.
Berbeda dengan itu, ragam bahasa lisan memungkinkan kita untuk bercerita secara mengalir, tidak
kaku dan menarik. Ragam bahasa lisan tidak terlalu terpaku pada aturan EYD.

Oleh karenanya, di awal proses pembelajaran, saya menyarankan untuk menulis dalam “tradisi
bertutur”. Sederhananya, Anda tinggal menyampaikan apa-apa yang ada di benak tanpa harus
terbebani dengan berbagai macam kaidah kebahasaan.

Sedangkan dalam perjumpaan mutakhir, “tradisi bertutur” seringkali digunakan oleh para blogger
untuk mengkomunikasikan ide, pengalaman, sikap, perhatian, kepedulian, dan lain sebagainya. Lihat
saja gaya tulisan para blogger yang renyah, sederhana, dan tidak ndakik-ndakik.

Bermula dari “tradisi bertutur” saya yakin kita akan semakin jejeg ketika dituntut atau belajar menulis
dalam tradisi ilmiah. Karena melalui proses tersebut, secara tidak sadar kita sudah mulai bisa
merangkai kata, frasa dan kalimat dengan baik. Selain itu, perbendaharaan pilihan kata (diksi),
metafora atau peribahasa, dan lain sebagainya akan semakin kaya.

Beberapa Catatan Penting


• Berbobot atau bermakna. Menurut saya, kategori berbobot masuk dalam tulisan-tulisan
yang mengandung analisis yang bersifat obyektif. Artinya sesuai dengan kaidah-kaidah
ilmiah. Sedang tulisan bermakna, menurut saya, merupakan sisi subyektif dari tulisan itu yang
coba disuguhkan oleh penulis yang bersangkutan.

1
Disampaikan pada Journalist Training for Beginner dalam materi “Menulis dan Aktualisasi Diri”, Sabtu, 22
November 2008 yang diselenggarakan oleh Pimpinan Cabang IMM Banyumas.
2
Direktur LS Profetika, Direktur Writing and Empowering Press (WE-Press) Purwokerto, Mahasiswa Sosiologi FISIP
UNSOED. Kontak | Phone: 085647788101 | Email: firdausputra@ymail.com | Blog: www.firdausputra.co.cc
• Stock of knowledge. Merupakan stok pengetahuan kita yang mendasari kita menulis.
Ibaratkan menulis adalah memasak makanan. Maka, stok pengetahuan adalah bahan-bahan
makanan, bumbu dan seterusnya. Stok pengetahuan ini bisa berasal dari; buku yang kita baca,
pengalaman dalam perjalanan, televisi, koran, radio, lingkungan sekitar, obrolan santai
dengan teman, diskusi serius, dan sebagainya.
• Sensitivitas. Sering kita lihat ada sebagian orang yang bisa menulis topik tertentu, yang bagi
kita topik tersebut sama sekali tidak atau belum pernah terpikirkan. Entah topik tersebut
memang benar-benar baru, atau hanya perspektifnya saja yang baru. Kuncinya, agar kita
mempunyai sense of sensitivity yang tinggi, maka kita harus menerima realitas (pengalaman,
peristiwa, dsb.) dengan cara penuh keheranan, penuh kecurigaan, penuh penasaran, penuh
keterpesonaan, penuh kekagetan, dan sebagainya. Ketika kita menerima realitas apa adanya
atau taken for granted maka sesitivitas kita akan menjadi rendah.

• Waktu. Menulislah sesegera mungkin ketika ide itu muncul. Jangan menunda-nunda.
Bilamana tidak ada kesempatan untuk menuliskan secara penuh, maka catatlah poin ide
tersebut di kertas. Atau jika di perjalanan, catatlah di sembarang kertas yang bisa kita pakai,
atau menggunakan ponsel kita. Jika memang tidak memungkinkan semuanya, ingat-ingatlah.
Jangan sampai ide yang pernah terbesit di pikiran kita menguap dengan percuma.

• Keuletan. Menulis layaknya mencoba satu resep makanan. Sikap ulet merupakan keharusan.
Coba perhatikan, ketika Anda menulis satu topik, rasanya tulisan Anda benar-benar
sempurna. Tapi ketika Anda membacanya esok atau lusa, Anda akan menilainya buruk. Ini
merupakan kecenderungan alamiah dimana stok pengetahuan kita memang senantiasa
berkembang dan berubah. Justru hal itu membuktikan kecerdasan, sensitivitas kita semakin
berkembang.

• Tulislah apapun. Jangan membatasi diri pada satu topik saja. Selain membuat Anda
senantiasa dapat menulis (tidak kehabisan ide), menulis tentang segala sesuatu akan membuat
cara berpikir, perspektif Anda, semakin terasah dan konsisten.

Stock of Knowledge and Sensitivity


Seperti saya sampaikan di atas bahwa stock of knowledge manusia tidaklah terbatas. Yang terbatas
adalah kemampuan untuk mengenali stok pengetahuan tersebut. Sebagai berikut;
Diagram 1. Stok Pengetahuan

Imajinasi Gosip dll … Kuliah Televisi

Traveling Film

Internet Peristiwa

SMS Kenangan

Obrolan Diskusi

Buku Surat kabar dll … Daily activity Lagu


Lantas bagaimana cara mengenali atau membuat diri kita sensitif terhadap stok pengetahuan tersebut?
Sebagai berikut;
Diagram 2. Sensitivitas

Sikap Mental Jangan taken for granted atau menerima


• Heran kenyataan sebagaimana adanya
• Takjub
• Penasaran
• Curiga Dipertanyakan, dicurigai, dipikirkan,
• Tidak sreg diresapi, direfleksikan, dll
• Kaget
• Ndesani
• Dll. Tuliskan!

Dengan tidak menerima realitas/ peristiwa/ kasus/ masalah sebagaimana adanya, maka sebenarnya
kita sedang berusaha berfikir kritis. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh P. Hadono
Hadi, P.Hd., sebagai berikut;
Diagram 3. Berfikir Kritis

Fenomena 2

Dipahami 3

Kritis Diperiksa 4

Kreatif Beri solusi 5

Bijaksana Beri solusi yang


lebi h baik

Isu Etis dalam Menulis


Tulisan merupakan produk pemikiran. Artinya, tulisan merupakan representasi cara berfikir seseorang
yang dimaterialkan dalam bentuk coretan kata, frasa, kalimat, dan paragraf yang menggambarkan cara
berfikir, sudut pandang, keyakinan-kepercayaan si penulis. Oleh karenanya, tulisan merupakan
sesuatu yang sifatnya tak dapat dipisahkan dengan si penulis. Tulisan merupakan “bagian” dari diri si
penulis.

Sayangnya, selepas tulisan kita publikasikan, meminjam bahasa Derrida, “penulis mati”. Sehingga
tafsir terhadap suatu teks (tulisan) diserahkan sepenuhnya kepada pembaca. Mengingat persoalan
inilah, seorang penulis seyogyanya mawas diri terkait dengan apa-apa yang ditulisnya. Karena ia tidak
akan pernah tahu, tulisan tersebut akan menggelinding liar bak bola salju.

Secara umum nilai-nilai etis dalam menulis bisa kita sebutkan sebagai berikut;
1. Bukan pornografi. Bedakan dengan ketika kita menulis yang berisi eksplorasi seks, seperti
pada novel Saman karya Ayu Utami atau Mereka Bilang Aku Monyet karya Djenar Mahesa
Ayu, Jakarta Undercover karya Moammar Emka, Sex in The Kost karya Iip Wijayanto dan
lain sebagainya. Pornografi dalam konteks ini mengacu pada teks yang murni berisi kisah
hubungan seks, seperti yang dapat kita temukan pada situs www.17tahun2.com,
www.ceritadewasa.com, dan sebagainya.
2. Tidak memuat dis-informasi. Hal ini agar tentunya tulisan kita tidak menyesatkan pihak-
pihak atau para pembaca yang memanfaatkan tulisan tersebut. Caranya dengan memperketat
referensi, literatur, data, informasi, dan lain sebagainya.
3. Tidak berisi kebencian atau diskriminasi SARA. Bedakan dengan tulisan yang memuat
kajian budaya (suku), agama dan sebagainya. Dalam konteks ini yang dimaksud dengan
tulisan yang mengandung unsur kebencian atau diskriminasi SARA adalah tulisan yang
berisi hasutan dan tidak bisa dipertanggungjawabkan.
4. Jika akan disebarkan/dipublikasikan, cantumkan nama penulis. Ini sangat penting agar
tulisan kita tidak menjadi “Surat Kaleng”. Dengan asumsi, bilamana ada kesalahan data atau
informasi, komplain dari pihak tertentu, dan sebagainya, si penulis bisa diminta klarifikasi
agar tidak terjadi kesimpang-siuran informasi.
5. Tidak berisi caci-maki pada individu atau kelompok. Poin ini hampir seperti poin SARA.
Misal, silahkan kunjungi situs www.indonesia-faithfreedom.org yang lebih berisi caci maki
terhadap golongan (Islam).
6. Menulislah dengan penuh tanggung jawab. Jika ada pihak yang keberatan, si penulis harus
bertanggungjawab secara penuh untuk mengoreksi, merevisi, bahkan memohon maaf atau
merehabilitasi nama baik orang atau lembaga. Misal, lihatlah situs www.firdausputra.co.cc
dalam judul “Sempati dan Garuda”. Awalnya saya menulis “Simpati dan Garuda” baik
sebagai judul atau dalam keseluruhan isi. Namun ada pembaca yang mengoreksi tulisan
tersebut bahwa yang benar adalah “Sempati” bukan “Simpati”. Setelah saya cek via Google,
akhirnya saya koreksi tulisan tersebut dan berterima kasih pada korektor.

Menulis untuk Pemberdayaan


Ada beberapa poin yang perlu diperhatikan saat kita menulis yang ditujukan guna pemberdayaan;
1. Gunakan bahasa sesederhana mungkin. Hal ini agar gagasan perubahan kita mudah dicerna
orang. Meskipun pada titik tertentu, bahasa akan mereduksi atau mengurangi makna sebuah
tulisan (mengurangi rigoritas atau kesempurnaan).
2. Namun, bilamana memang ada masalah yang harus disampaikan secara “sulit” maka jangan
“dipermudah”. Para pemikir Jerman lebih senang mengatakan “Kalau memang sebuah
masalah itu pada dasarnya sulit, mengapa harus dipermudah”. Berbeda dengan orang
Indonesia, “Kalau bisa dipermudah, mengapa harus dipersulit”. Padahal seringkali
pemermudahan atau pemersulitan sebuah tulisan akan mempengaruhi kandungan dan makna
gagasan yang sedang diangkat. Sehingga lebih baik kita berada di antaranya, misal bilamana
ada diksi yang tidak bisa diterjemahkan secara efektif ke dalam bahasa Indonesia, maka lebih
baik menyerap diksi aslinya. Misal, kata “toleransi” dengan “ko-eksistensi” atau “pro-
eksistensi”, dan sebagainya.
3. Eksplorasi masalah harus tuntas dan bila perlu sampai detail. Agar tentunya gagasan besar
kita tidak hanya mengawang-awang. Bilamana diperlukan, jangan memaksa sebuah gagasan
besar harus tuntas dalam satu judul tulisan.

Penutup
Seribu langkah pasti harus diawali dengan langkah pertama. Untuk itu, sebagai pemula hendaknya
kita tidak memaksakan diri (perfeksionis) ketika belajar menulis. Karena pada dasarnya aktivitas
menulis merupakan tindakan untuk mengekspresikan (dan mengaktualisasikan) segala uneg-uneg
yang ada di benak kita. Memaksakan diri hanya akan membuat proses belajar dan proses menulis
menjadi tidak bisa dinikmati.

Dan tidak boleh dilupakan, menulis bukanlah sekedar pengetahuan teoritik. Menulis merupakan
kecakapan. Sehingga semakin sering kita menulis, maka kualitas tulisan kita akan semakin bagus.
Sekurang-kurangnya “bagus” menurut penilaian diri kita sendiri. So, mulailah menulis, kapan dan
dimanapun. Terakhir, perlu kita resapi bersama postulat, “Scripto Manent, Verba Volent” yang
maknanya, “Apa yang ditulis akan abadi dan apa yang dikatakan akan sirna”. Dalam konteks inilah,
sebagai para pegiat organisasi atau sosial, kemampuan untuk mendokumentasi dalam bentuk tulisan
menjadi sebuah keniscayaan. Agar gagasan-gagasan tidak sirna, meski pun kita (penulis) telah mati.
Selamat belajar dan selamat menulis! [Finished: 22/11/2008 | 3:26]

Anda mungkin juga menyukai