Anda di halaman 1dari 6

BAB I PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang Emetropia berasal dari kata yunani emetros yang berarti ukuran normal

atau dalam keseimbangan wajar sedang arti dari opsis adalah penglihatan. Mata yang bersifat emetropia adalah mata tanpa adanya kelainan refraksi pembiasan sinar mata dan berfungsi normal. Pada mata ini daya bias mata adalah normal, dimana sinar jauh difokuskan sempurna didaerah makula lutea. Keseimbangan dalam pembiasan sebagian besar ditentukan oleh dataran depan dan kelengkungan kornea dan panjangnya bola mata. Kornea mempunyai daya pembiasan sinar terkuat dibandingkan dengan bagian mata lainnya. Lensa memegang peranan membiaskan sinar terutama pada saat melakukan akomodasi atau melihat benda dengan jarak yang dekat. Jika terjadi kelainan pembiasan sinar oleh kornea atau adanya perubahan panjang bola mata maka sinar normal tidak dapat terfokus pada makula. Keadaan ini disebut sebagai emetropia yang dapat berupa miopia, hipermetropia, atau astigmat (Ilyas, 2010). Miopia adalah anomali refraksi pada mata dimana bayangan difokuskan didepan retina, ketika mata tidak dalam kondisi berakomodasi. Ini juga dapat dijelaskan pada kondisi refraktif dimana cahaya yang sejajar dari suatu objek yang masuk pada mata akan jatuh didepan retina, tanpa akommodasi. Miopia berasal dari bahasa Yunani miopia yang memiliki arti menutup mata. Miopia merupakan manifestasi kabur bila melihat jauh, istilah populernya adalah nearsightedness (American Optometric Association,2006).

Miopia merupakan salah satu gangguan mata yang mempunyai prevalensi yang tinggi. Kejadian miopia semakin lama semakin meningkat dan diestemasikan bahwa separuh penduduk dunia akan menderita miopia pada tahun 2020 (WHO,2008). Prevalensi miopia di Amerika Serikat danEropa adalah 3040% daripada jumlah penduduk dan penderita miopia di Asia mencapai kira-kira 70% daripada jumlah penduduk (Walling,2002). Dalam sebuah penelitian di Cina, 83,1 % anak- anak rerata umur 14,6 tahun mempunyai miopia 0.5 D. Di Swedia, satu penelitian menunjukkan anak-anak dengan usia 12-13 tahun menderita miopia dan 23.3 % dari populasi tersebut membutuhkan kacamata. (Gerando dkk,2000). Dari satu penelitian dilakukan disebuah sekolah di Jakarta, enam puluh anak (47%) menderita miopia dan sisanya (22%) mengalami kelainan refraksi nonmiopia maupun kelainan organik yang memang tidak dinilai pada penelitian ini. (Ferry dkk,2006). Anak-anak dengan miopia menggunakan waktu lebih lama untuk belajar dan membaca dan kurang waktu olahraga daripada anakanak normal (Donald dkk,2002). Sekitar 23,7% anak-anak dengan kedua orang tua menderita miopia dan membaca lebih daru dua buku dalam satu minggu mempunyai mata dengan panjang aksial 0,7 mm (miopia berat) berbanding 2.5 % anak-anak tanpa kedua orang tua menderita miopia dan membaca dua atau kurang buku dalam satu minggu (Saw dkk,2002). Prevalensi miopia meningkat sesuai dengan peningkatan umur (10,53% pada anak umur 12 tahun dan kebawah, 54.4 % pada anak-anak usia 12 tahun keatas) (lam dll,2002) ) selain itu, anak-anak yang banyak menghabiskan waktu dengan aktivitas luar memmpunyai risiko yang rendah terkena miopia (Donald dkk,2009).

Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya insidensi miopia pada anak, yakni adanya peranan keturunan, kebiasaan pada saat membaca, dan

pengaruh aktivitas sehari-hari. Selama beberapa dekade terkahir, faktor lingkungan telah diyakini memainkan peran penting dalam penentuan kesalahan bias. Meskipun sebagian besar kasus miopia dapat dijelaskan oleh faktor keturunan,hal ini tidak mengesampingkan pengaruh lingkungan yang cukup kuat sebagai faktor yang berpengaruh terhadap peningkatan prevalensi miopia dari waktu ke waktu (American Optometric Association,2006). Beberapa faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap progresivitas miopia saat ini masih belum teridentifikasi dengan baik, namun dalam dekade terakhir telah terjadi peningkatan besar dalam jumlah studi observasional yang menyelidiki hipotesis bahwa adanya pengaruh waktu yang dihabiskan diluar dan didalam ruangan terhadap progresivitas miopia pada anak (American Optometric Association,2006). Perlunya identifikasi dan evaluasi pengaruh waktu yang dihabiskan diluar (outdoor activity) dan waktu yang dihabiskan didalam ruangan (indoor activity), cukuplah penting terkait peranan yang cukup tinggi dalam penanganan terhadap progresvitas miopia pada anak terutama didekade saat ini (Justin dkk,2012). Menurut perspektif Islam, segala penyakit yang diberikan merupakan ujian dari Allah SWT. Manusia harus berusaha mengobati penyakitnya dengan cara yang dihalalkan dan berobat ke ahlinya. Allah tidak akan meturunkan suatu penyakit tanpa menyiapkan obatnya. (Zuhroni, 2008) Sesuai dengan hadits Rasulullah SAW berikut Bahwa Allah-lah yang menurunkan penyakit dan

obatnya dan Dia Menjadikan setiap penyakit ada obatnya, berobatlah dan jangan berobat dengan hal yang haram (HR. Abu Dawud). Mata merupakan indera penglihatan yang diberikan Allah SWT dengan berbagai fungsi visualisasi tentang hal-hal yang terjadi di hadapannya. Gangguan kesehatan mata adalah salah satu dari sekian banyak masalah yang dapat dialami oleh manusia. Semua penyakit, termasuk miopia pada anak merupakan sebuah cobaan yang mendatangkan pahala apabila disikapi dengan sabar, ikhlas dan tawakal. Sedangkan menentukan jenis kegiatan outdoor dan indoor yang baik untuk penglihatan merupakan usaha untuk mencegah terjadinya miopia guna menyempurnakan penglihatan (Zuhroni, 2008). Berdasarkan hal tersebut diatas mendorong penulis untuk mengetahui lebih lanjut mengenai evaluasi kegiatan aktivitas outdoor dan aktivitas indoor terhadap progresivitas ,miopia pada anak ditinjau dari kedokteran dan Islam.

1.2

Permasalahan a. Bagaimanakah kegiatan outdoor dan indoor berperan dalam progresivitas miopia pada anak? b. Yang manakah diantara kegiatan outdoor dan indoor yang berperan dalam miopia pada anak beserta alasannya? c. Bagaimana peranan aktivitas outdoor dan indoor yang lebih efektif dalam mencegah progresivitas miopia pada anak? d. Bagaimana pandangan Islam mengenai aktivitas kegiatan outdoor dan indoor terhadap progresivitas miopia pada anak?

1.3

Tujuan 1. Tujuan Umum Membahas tentang evaluasi keaktivitas outdoor dan indoor terhadap progresivitas miopia pada anak ditinjau dari kedokteran dan islam. 2. Tujuan Khusus a. Mendapatkan informasi dan dapat menjelaskan tentang kegiatan outdoor dan kegiatan indoor yang berperan dalam progresivitas miopia pada anak. b. Mendapatkan informasi dan dapat menjelaskan kegiatan mana yang lebih efektif antara kegiatan outdoor dan indoor terhadap progresivitas miopia pada anak. c. Mendapatkan informasi dan dapat menjelaskan tentang kegiatan yang lebih efektif dalam mencegah progresivitas miopia pada anak. d. Mendapatkan informasi dan dapat menjelaskan pandangan Islam mengenai peranan kegiatan aktivitas outdoor dan indoor terhadap progresivitas miopia.

1.4.

Manfaat 1. Bagi penulis, untuk lebih memahami mengenai kegiatan aktivitas outdoor dan indoor terhadap progresivitas miopia pada anak ditinjau dari kedokteran dan islam. 2. Bagi universitas Yarsi, diharapkan skripsi ini dapat menambah sumber pengetahuan dalam kepustakaan Universitas Yarsi

khususnya mengenai peranan aktivitas outdoor dan indoor terhadap progresivitas miopia pada anak ditinjau dari kedokteran dan islam. 3. Bagi masyarakat, diharapkan skripsi ini dapat menambah khasanah pengetahuan masyarakat sehingga dapat lebih memahami tentang kegiatan aktivitas outdoor dan indoor guna mencegah progresivitas miopia pada anak ditinjau dari kedokteran dan islam.

Anda mungkin juga menyukai