Anda di halaman 1dari 14

VOLKANISMA DAN EVOLUSI GEOLOGI 1.

Distribusi Batuan Beku

Gunungapi adalah fenomena utama yang menyertai evolusi kulit bumi. Hal ini merupakan hasil nyata dapat dijumpai dalam seluruh waktu geologi. Mengambil konsep kevulkanikan dalam arti luas, sebagai sebuah proses internal maupun eksternal yang menyeluruh merupakan faktor utama dalam evolusi kerak bumi. Kepulauan Indonesia merupakan reprasentasi singkat dari tesis ini. Sejumlah busur orogen dapat dicirikan dengan baik sejak zaman Paleosoikum sampai Resen. Sebagian besar diikuti oleh intrusi dan ekstrusi batuan beku dari berbagai umur. Pencirian dapat dibuat oleh batuan beku pra orogen, ofiolit hasil geosinklin, batuan hasil geantiklin berafinitas Pasifik, variasi orogen akhir dari batuan berafinitas Mediteran serta ekstrusi basal olivin pasca orogen.

Kepulauan di Paparan Sunda.

Paparan Sunda membentuk tepi kontinen yang kurang stabil, dikelilingi oleh sistem busur vulkanik Sunda. Ini dikonsolidasikan oleh orogenesa yang terjadi di daerah ini pada Palaesoikum Muda Mesosoikum Tua. Siklus diatrofisma ini berawal di kepulauan Anambas dan menyebar ke arah timur laut ke Natuna dan ke arah barat daya ke kepulauan Riau dan Bangka Beliton. Di kepulauan Anambas batuan beku basa (gabro, gabro porfiri, diabas dan andesit) merupakan kelompok batuan tua yang diintrusi oleh batolit granit berumur Permo Trias. Kelompok batuan ini sebanding dengan batuan Permokarbon Pulu Melayu di Kalimantan Barat. Di kepulauan Natuna batuan tertua terdiri dari batuan beku basal (gabro, diorit, diabas, norit, ampibolit, serpentinit dan tufa) yang berasosiasi dengan rijang radiolaria. Ini merupakan tipikal asosiasi ofiolit radiolaria yang dapat dikorelasikan dengan batuan berumur Permokarbon bagian dari Formasi Danau (Molengraff) di bagian utara Kalimantan Barat. Seri yang lebih muda terdiri dari serpih dan konglomerat dengan batuan vulkanik basa berhubungan dengan batuan berumur Trias bagian atas di Kalimantan Barat dan di daerah paparan Sunda. Batuan ini diintrusi oleh batolit granit pasca Trias. Pulau Midai yang sangat kecil di barat daya kepulau Natuna merupakan vulkanik basal sub resen.

Kepulauan Riau-Lingga

Batuan vulkanik dapat disebandingkan dengan batuan gunugapi seri Pahang di Malaysia. Mereka sebagian merupakan batuan berumur Permokarbon dan Trias. Intrusi granit kemungkinan terjadi antara zaman Permokarbon dan Trias Atas. Batolit granit di daerah ini sebagian besar berumur pasca Trias, atau mungkin Yura. Cebakan timah di daerah ini berhubungan dengan granit pasca Trias. Cebakan timah jarang dijumpai di sebelah timur (Bintan dan Lingga) dan banyak dijumpai di sebelah barat (Karimun, Kundur, Singkep). Jalur timah ini meluas ke tenggara sampai Bangka dan Biliton. Pulau ini terdiri dari serpih dan kuarsit yang dapat disamakan dengan batuan berumur Trias Atas di kepulauan Riau-Lingga, sebagai busur yang diintrusi oleh batolit granit yang mengandung timah. Batolit granit yang sekarang tersingkap, kemungkinan merupakan merupakan batuan dasar (basement) regional dari batuan plutonik granit. Karakter kulit bumi paparan Sunda sangat berhubungan dengan intrusi granit pasca Trias (atau intra Yura), dan pengaruh ikutannya.

Kalimantan

Evolusi geologi jalur utara Kalimantan barat dimulai dengan adanya penurunan geosinklin setelah pembentukan batuan dasar sekis kristalin Pra Karbon. Kegiatan ini diikuti intrusi batuan basa (gabro) dan ekstrusi (batuan basalan dan basalan andesit dari Seri Molengraaffs Pulau Melayu). Fase awal dari perlipatan Permotrias, diikuti oleh penempatan batolit, terutama tonalitik. Setelah denudasi kuat sehingga batolit-batolit tersingkap, terjadi proses transgresi Trias Atas. Sedimentasi berlanjut di bagian barat jalur ini sampai Lias, dan diikuti oleh volkanisme asam sampai menegah. Fasa kedua adalah perlipatan kuat pada zaman Yura. Transgresi Yura atas dan Kapur di daerah Seberuang berumur Kapur (Zeylmans Van Emmichoven, 1939) menunjukkan adanya interkalasi lava asam dan tufa asam. Pelipatan lemah terjadi akibat tekanan intrusi diorit pada zaman Kapur Atas. Intrusi berlanjut sebagai intrusi hipabisal dan ekstrusi batuan vulkanik Oligomiosen (terutama andesit hipersten horblenda, dengan berbagai verietas asam lainnya). Di bagian Tersier bawah Cekungan Ketunggan juga merupakan diorit holokristalin seperti dikemukakan Zeylmans Van Emmichoven (1939). Pada zaman Kwarter, batuan basal muncul di seputar andetis horblena Niut, sehingga dapat dikomparasikan dengan erupsi efusif basal Sukadana di Sumatra.Batuan plutonik Schwaner Zona merupakan bagian terdalam yang tersingkap di Kalimantan Barat. Di sini, dari timur ke barat membentuk pusat sumbu sistem pegunungan Palezoikum muda sampai Mezosoikum tua Kalimantan Barat. Evolusi daerah ini dimulai dari pembentukan kompleks batuan dasar sekis kristalin dan geneis. Transgresi terjadi pada Permokarbon yang menghasilkan fasies pelitik dan psamitik dan sebagian endapan batugamping. Pada Permo Trias terjadi intrusi plutonik yang dimulai dengan gabro dan diakhiri batuan lebih asam yang kebanyakan tonalit, batuan beku dalam, dengan lampopir, aplit dan pegmatit. Setelah batuan plutonik tersingkap, pengendapan pelitik dan psamitik terjadi pada zaman Trias Atas. Tidak ada fasies vulkanik Trias Atas yang ditemukan di Zona Schwaner. Selanjutnya terjadi perlipatan yang diikuti oleh alterasi hidrotermal epimagmatik. Pengangkatan berlangsung sampai sekarang dengan disisipi intrusi selama Tersier .Bagian selatan Zona Schwaner ini terdapat tiga kelompok batuan utama, yaitu batuan plutonik, batuan vulkanik Komplek Matan dan batuan sedimen klastik Komplek Ketapang. Bagian dari batuan komplek

Matan dan Ketapang teralterasi oleh intrusi batolit granit. Batuan metamorf dari komplek Matan dapat dikorelasikan dengan batuan gunugapi seri Pahang di Malaysia dan Kompleks Ketapang berumur Trias Atas. Batuan non metamorf di komleks tersebut diasumsikan sebanding dengan endapan Tersier Bawah dan batuan vulkanik di jalur sebelah utaranya.Di Kalimantan Tenggara terbentang Pegunungan Meratus berumur Pra Tersier berarah utara selatan. Di Meratus perkembangan batuan beku relatif lebih muda dibanding dengan Kalimantan Barat. Kompleks batuan dasar sekis kristalin di sini berumur Mesosoikum akhir. Orogenesa di Zona Meratus baru terjadi ketika proses pembentukan pegunungan di Kalimantan Barat akan selesai. Zaman Yura geosinklin terbentuk, berikut pengendapan ofiolit dan radiolaria dari Formasi Alino. Kemungkinan Formasi Alino berumur Yura di Kalimantan Tenggara sama dengan batuan Permokarbon Formasi Danau di jalur utara Kalimantan Barat. Formasi Alino dan Paniungan dari zona Meratus diintrusi oleh batuan plutonik. Intrusi yang pertama ini merupakan variasi batuan plutonik asam yang sangat beragam (dunit, peridodit) yang diakhiri dengan batuan granit plagioklas dan porfirtik. Setelah pengangkatan pertama batuan non-vulkanik ini Zona Meratus mengalami penurunan kembali. Pada zaman Kapur tengah sampai atas terjadi pengendapan dari hasil erosi kuat batuan berumur Yura yang terlipat serta masa batuan plutonik peridotit dan granit. Kapur terdiri dari fasies vulkanik dan non-vulkanik. Pada akhir Kapur Zona Meratus mengalami pengangkatan kedua, dan aktivitas vulkanik berlangsung sampai Tersier Bawah. Pengangkatan kedua ini menutup aktivitas siklus orogenesa Zona Meratus. Zona Meratus merupakan contoh baik untuk siklus pembentukan pegunungan. Pada zaman Yura dimulai dengan penurunan geosinklin yang diikuti dangan vulkanik bawah laut dengan proses ofiolitnya, sebagai awal mulainya pembentukan batuan plutonik basa dan ultrabasa. Penurunan geosinklin ini disertai dengan dua kali pengangkatan. Geantiklin pertama terjadi pada zaman Kapur Bawah. Ini didominasi batuan non-vulkanik, berupa batolit granit yang diintrusikan ke pusat geantiklin. Pengangkatan kedua merupakan aktivitas vulkanik dengan inti magmatik dari geantiklin sampai ke permukaan.

Filipina
Kepulauan Filipina sebagian besar terdiri dari batuan beku, sedang batuan sedimen hanya tipis di bagian permukaan. Seperti halnya yang terjadi di Kalimantan barat dan tenggara, evolusi orogenik di Filipina dimulai dari penurunan geosinklin, yang diikuti dengan intrusi dan ekstrusi batuan basa dan ultrabasa (ofiolit). Hanya saja prosesnya terjadi dalam umur yang lebih muda. Batuan plutonik basa dan ultrabasa merupakan kerangka dasar kepulauan ini dengan intrusi granit yang jarang terjadi. Batuan ini dianggap sebagai batuan yang paling tua, walaupun banyak beberapa argumen bahwa batuan ini lebih muda dari yang diperkirakan. Maluku Utara.

Evolusi geologi Maluku Utara dan aktivitas magmatisme kawasan ini sama dengan di Filipina. Penurunan geosinklin mulai terjadi pada Mesosoikum awal. Transgresi di kelompok Halmahera kemungkinan terjadi setelah kepulauan Sula dan Obi. Batuan abisal di kelompok Halmahera secara umum terdiri aas gabro, norit, peridotit tersepentinitsasi, diorit, kuarsa dan granodiorit. Ofiolit basa dan ultrabasa diitrusi selama penurunan geosinklin. Ada jeda stratigrafi antara Eosen dan Neogen. Pada endapan Neogen dan Kwarter hadir batuan vulkanik menengah sampai asam. Aktivitas vulkanik hadir di Halmahera utara, Ternate dan pulau-pulau kecil lainnya.

Sulawesi Batuan beku dari berbagai komposisi menyusun pulau ini. Bagian utara dan barat Sulawesi disusun oleh batuan beku alkali kapur berumur Tersier. Sepanjang pantai barat sampai lengan selatan dari vulkanik terdiri dari batuan beku alkali-kapur yang melampar luas. Terpisah dengan batuan ini terdapat dilengan utara. Di Sulawesi timur dan tenggara peridotit dan batuan ofiolit lainnya tersingkap luas, dengan batuan vulkanik dan granitit hampir tidak ada. Di Sulawesi utara, barat dan tengah hanya didapatkan ampibol granit. Di Sulawesi terdapat intrusi pada ofiolit berupa batuan beku basa (peridodit dan serpentinit), gabro dan basal (splite). Ofiolit banyak terdapat di Sulawesi utara, barat dan tengah, tetapi tidak tersingkap di lengan timur.

Maluku Utara dan Busur Banda.


Kepulauan ini merupakan ujung yang terpisah dari Sistem Pegunungan Sunda. Pada Mesosoikum jalur orogen kawasan ini masih merupakan satu kesatuan dengan Sistem Pegunungan Circum-Australia. Pada Paleozoikum akhir, orogenesa dimulai dengan penurunan geosinklin di Cekungan Banda bagian tengah. Daerah ini merupakan pusat diatrofisma. Dari sini deformasi menyebar ke arah utara (Sistem Seram) dan selatan (Sistem Tanimbar), yang di dihubungkan oleh sektor Kai dan busur Banda yang hadir sampai Tersier. Evolusi busur banda ini secara umum sesuai dengan proses pembentukan pegunungan dari Kepulauan Indonesia.Saat ini Sistem usur Banda mempunyai anomali isostatik negatif yang kuat. Ini menunjukkan bahwa pada jalur ini terdapat energi potensial yang diperkirakan merupakan busur inti dan kerak batuan sialik dengan densitas rendah. Busur ini belum terkonsolidasi dengan kuat, mempunyai temperatur tinggi, dan banyak mengandung gas dengan kekentalan rendah. Kondisi ini menunjukkan adanya magma aktif yang memberikan gaya vertikal jika kondisi memungkinkan. Kepulauan Sunda Kecil.

Kepulauan Sunda Kecil merupakan bagian dari Sistem Pegununggan Sunda. Evolusi orogenesa di kawasan berhubungan dengan Busur Banda. Ada dua deret jenis batuan beku dalam sistem ini (Roevei, 1940). Batuan tertua di Timor berumur Perm, berupa kelompok basal trakit yang mempunyai karakter Atlantik lemah. Batuan vulkanik ini dierupsikan pada awal pembentukan geosinklin. Setelah itu Sistem Orogenesa Timor berkembang. Seri lain berupa komplek ofiolit split, yang berumur Pra Miosen. Batuan ini merupakan bagian dalam dari geosinklin, yang juga dapat dijumpai secara luas lingkaran luar Busur Banda. Batuan beku ini mempunyai karakter Mediteran yang kontras dengan seri Atlantis. Seri Mediteran bersifat potasik, dierupsikan pada saat akhir siklus orogenesa, di bagian dalam busur vulkanik. Contoh dari batuan ini adalah lava yang mengandung leusit dari erupsi G. Batu Tara, Tambora dan Soromandi. Tipe lain di bagian dalam busur vulkanik Kepulauan Sunda Kecil dibentuk oleh granodiorit Tersier. Di Flores terdapat bantuan berumur intra Miosen, sedang di Lirang maupun Wetar yang diduga berumur Neogen. Di dalam busur vulkanik ini terdapat tiga siklus aktivitas vulkanik: Neogen Tua, Neogen muda dan Kwarter sampai Resen. Dua siklus tertua didorong oleh intrusi batolit granodiorit yang naik sampai beberapa kilometer di bawah permukaan. Pengangkatan terakhir terjadi pada PlioPlistosen disebabkan oleh pengaktifan kembali vulkanik yang akan padam. Ini merupakan tipikal pembentukan gunungapi di Maluku yang merupakan jalur vulkanik di luar cekungan.

Jawa.
Jawa merupakan bagian dalam dari busur vulkanik Sistem Pegunungan Sunda. Pada zaman Mesosoikum jalur ini berada di bagian geantiklin yang jauh di sebelah utara. Di sini ofiolit bercampur dengan sedimen Pra Tersier, misalnya di daerah Luk Ulo dan Ciletuh, Jawa Barat. Batuan Pra Tersier di Luh Ulo terdiri dari sepertinit, gabro dan diabas (Harloff, 1933). Batuan Pra Tersier di Ciletuh juga mengandung batuan beku basa dan asam yang termetamorfosakan (gabro, peridotit dan serpentinit) dengan sekis klorit dan filit. Pada akhir geantiklin Mesosoikum terjadi proses pengangkatan. Pengangkatan pertama bukan merupakan aktivitas non-vulkanik. Akhir Tersier merupakan perioda penurunan. Endapan non-vulkanik berumur Eosen diendapkan secara trangresi di atas komplek batuan dasar Pra Tersier. Selanjutnya pada akhir Paleogen magma sampai permukaan, dan perioda vulkanik kuat dimulai, dengan beberapa menunjukkan karakter bawah laut (Andesit tua, siklus awal dari vulkanik Pasifik).Pada Miosen tengah jalur vulkanik Jawa didorong oleh batolit granit sampai granodiorit, sehingga menghasilkan vulkanikvulkanik Andesit Tua yang sangat basa. Batuan beku holokristalin Intra Miosen sekarang tersingkap di Merawan, Jiwo, Luh Ulo, Tenjo Laut, Cilaju, Bayah dan lainnya (misalnya tufa dasit atau dasit di Genteng, selatan Tenjolaut) yang mengakhiri siklus vulkanik berafinitas Pasifik.Siklus vulkanik kedua terjadi pada zaman Neogen akhir, yang diakhiri oleh pengngkatan kedua dari busur vulkanik. Selanjutnya siklus ketiga berlangsung terus sejak Kwarter sampai sekarang. Kenampakan khas dari siklus kedua dan ketiga vulkanik ini adalah intrusi dan ekstrusi sepanjang tepi selatan geantiklin Jawa yang menunjukkan keanekaragaman batuan-batuan alkali. Intrusi Neogen akhir di Zona Bogor (Jawa Barat) dan Pegunungan Serayu Selatan di Jawa Tengah menunjukkan karakter essexitic. Pada zaman Kwarter gunungapi yang menghasilkan leusit hadir di timur laut Jawa yang merupakan sisi dalam geantiklin vulkanik (Muria, Ringgit).

Sumatra
Bukit Barisan di Sumatra dibentuk dengan cara seperti geantiklin Jawa Selatan. Selama Mesosoikum jalur ini merupakan bagian muka busur dari geantiklin yang berukuran lebih luas dari Bukit Barisan saat ini. Endapan di geosinklinal terlipat kuat membetuk isoklin dengan arah gerak dari timur laut ke barat daya. Proto Barisan masih terdapat batuan non-vulkanik. Sepanjang lereng timur dari geantiklin Barisan berumur Kapur masih terdapat granit yang telah mengalami perlipatan kuat. Busur ini dimulai dari pulau Berhala di selat Malaka utara, meluas di sepanjang Suligi-Lipat Kain dan Lisun-Kuantan, serta melipat kuat sampai sebelah timur danau Singkarak dan Jambi. Umur granit di bagian utara jalur (pada granit pembawa timah di Berhala dan Suligi-Lipat Kain) diperkirakan Yura. Di bagian lebih selatan berumur Karbon dan Permokarbon, dan sebagian pasca Trias. Kemungkinan granit di Lampung yang mengintrusi sekis kristalin dan geneis dari komplek batuan dasar tua merupakan bagian dari lipatan ini.Seperti halnya busur vulkanik Pulau Jawa dan Sunda Kecil, pulau Sumatra mengalami tiga siklus aktivitas vulkanisma. Siklus pertama terjadi pada akhir Paleogen dan diakhiri oleh pengangkatan intra Miosen. Pengangkatan ini diikuti oleh intrusi batolit granodiorit, yang menjadi dasar dari batuan vulkanik Andesit tua. Di permukaan kenaikan magma granit ini diikuti oleh erupsi paroksismal dari letusan Katmaian yang mengeluarkan aliran tufa asam dengan jumlah yang sangat besar.Sepanjang Neogen atas, siklus kedua aktivitas vulkanik Pasifik terbentuk dan diakhiri oleh pengangkatan Plio-Plistosen. Selanjutnya erupsi paroksismal itu ditutup oleh letusan magma batolit granit yang berada di dekat permukaan (Semangko, Ranau, Toba). Demikian juga tufa asam Lampung di Sumatra selatan dan tufa Bantam di Jawa Barat dan di selat Sunda dierupsikan pada periode ini. Akhirnya siklus ketiga terbentuk, menumbuhkan kerucutkerucut vulkanik di sepanjang Bukit Barisan. Sedikit berbeda terdapat pada erupsi efusif basal olivin resen yang terjadi di Sukadana Lampung. Irupsi celah ini terdapat di tepi perisai kontinen Dataran Sunda, dan dapat disebandingkan dengan erupsi efusif basal di Midai, Niut Karimun Jawa.

Pulau Barat Sumatra. Kepulauan ini memberi gambaran yang berbeda dari busur luar Sistem Pegunungan Sunda. Selama zaman Tersier jalur ini merupaka palung busur dari Zona Barisan. Pada zaman Eosen, intrusi basa dan ultrabasa yang terserpentinitisasi hadir. Pada zaman Kwarter pembentukan busur geantiklin pada jalur ini dimulai, dan berlanjut sampai saat ini. Anomali isostatik negatif pada jalur ini menandakan adanya energi potensial yang mmungkin muncul. Pengangkatan pertama dari palung busur ini seluruhnya batuan non-vulkanik, dan sesuai dengan aturan umum dari evolusi orogen di Kepulauan Indonesia.

Kepulauan Andaman dan Nikobar

Peristiwa magmatisma dan orogenesa yang serupa terjadi di kepulauan ini. Seri Serpentinit representasi dari ofiolit vulkanik palungbusur lebih tua dari Eosen. Tetapi menurut Chiber (1934) lapisan basal Eosen juga bercampur dengan batuan vulkanik ultrabasa, seperti yang terjadi di Nias.

New Guinea.

Di pulau ini terdapat dua sistem orogenesa. Rangkaian pegunungan bagian tengah merupakan dari Sistem Cir-cum-Australian, dan bagian utara merupakan bagian dari Sistem Melanisia. Sistem Melanesia terdiri dari busur vulkanik di bagian dalam dan busur non-vulkanik di bagian luar. Bagian tengah dari busur vulkanik ini aktif pada zaman Neogen. Bagian utara dibentuk oleh busur luar non-vulkanik dari Sistem Melanisia. Di bagian utara New Guenea juga terdapat aktifitas diatrofisma Pra Tersier yang diikuti dengan aktivitas pembentukan batuan beku. Di pegunungan Cyclope utara tersingkat batuanbatuan ofiolit berupa serpentinit dan gabro yang diintrusi oleh batuan plutonik asam (diorit dan granit). Di Vogelkop intrusi granit mengalami metamorfosa kontak dengan endapan-endapan berumur Yura yang teralterasi. Bagian tengah New Guinea mengalami penurunan geosinklin sejak zaman Silur. Aktivitas geosinklin pada zaman Oligosen tidak memunculkan batuan vulkanik. Aktivitas vulkanik baru hadir selama Miosen, berikut intrusi batuan plutonik monsonit, syenodiorit, diorit, granodiorit, granit dan lainnya. Akhirnya morfologi saat ini dibentuk akibat aktivitas vulkanisma selama Kwarter.

Pulau Christmas.

Pulau ini terdiri dari batuan dasar berupa batuan vulkanik bersifat basa dari afinitas Atlantik berumur Tersier. Komposisi batuan beku berhubungan dengan aktivitas vulkanik lainnya yang berada di Samudera Atlantik, Pasifik dan Hinidia. Yang membedakan dengan kepulauan Indonesia adalah kehadiran alkali kapur dari seri Pasifik yang dominan.

2. Evolusi Magmatik dan Orogenesa

Tinjauan terhadap hubungan antara orogenesa dan aktivitas batuan beku di kepulauan Indonesia akan mengikuti kecdenderungan aturan umum. 1. Batuan-batuan dengan afinitas Atlantik berada di luar jalur orogen. Erupsi akan terjadi selama tahap awal proses penurunan cekungan geosinklin, sebagai awal pembentukan pegunungan.2. Siklus pembentukan pegunungan dimulai dengan penurunan geosinklin. Pada pusat geosinklin diatrofisma terbentuk. Orogenesis memencar secara radial sebagai gelombang permukaan yang besar (Anambas, Banda) 3. Batuan-batuan ofiolit dengan komposisi basa dan ultrabasa dierupsikan dari cekungan muka busur dari gelombang permukaan tersebut. Gunungapi bawah laut ini berasosiasi dengan rijang radiolaria dan endapan-endapan laut dalam. 4. Setelah perioda penurunan geosinklin berlangsung (dalam jutaan atau puluhan juta tahun) muka busur melengkung ke atas membentuk struktur geantiklin. Secara umum beberapa peristiwa pengangkatan terjadi, dan disisipi oleh fase penurunan yang tenang. 5. Pengangkatan geantiklin jalur orogen secara umum menghadirkan batuan non-vulkanik, yang selanjutnya diikuti oleh aktifitas vulkanik orogen dengan batuan-batuan alkali-kapur dari afinitas Pasifik. Hanya geantiklin termuda dari Sistem Pegunungan Sunda dan Filipina yang menunjukkan cekungan samudra selama terjadi pengangkatan. Tahap akhir dari evolusi jalur orogen selalu menghadirkan batuan beku potasik dengan afinitas Mediteran. 6. Setelah melewati beberapa fase diatrofisma dengan berbagai pengaruh intrusi dan ekstrusi batuan beku, jalur orogen terkonsolidasikan menjadi kerak yang kaku seperti karakter kontinen. Fokus diatrofisma yang asli akhirnya terkonsolidasikan ke blok kerak yang kaku, yaitu pada jalur orogen yang telah menyebar radial setahap demi setahap ke seluruh busur. 7. Jalur orogen ini, yang berada di sekitar daerah diatrofisma tua yang telah terkonsolidasi, dapat dibedakan dari busur dalam vulkanik dan busur luar non-vulkanik melalui struktur lipatan sentrifugal. Daerah yang terkonsolidasikan dapat membentuk peneplain di bawah permukaan, atau berada di bawah kerak utama sehingga mencapai kedalaman beberapa kilometer di bawah permukaan laut. 8. Di sepanjang tepi Sistem Dataran Sunda basal olivin dierupsikan pada zaman Kwarter (Midai, Niut, Murai, Beluh, Karimunjawa, Sukadana).

3. Asal Batuan beku

Sulit menguraikan hubungan timbal balik antara berbagai gejala tektonogenesis, vulkanik, anomali gravitasi dan gempabumi, apabila tidak mempunyai hipotesis kerja tentang asal mula magma. Penting melalukan penafsiran evolusi dan merekontruksi hubungannya agar mampu mempunyai konsep yang umum mengenai asal mula batuan beku, yang selaras dengan semua hal yang berhubungan dengan geologi, vulkanologi dan geofisika. Sebagian besar teori geotektonik yang diusulkan di masa lalu melalaikan sisi ini. Nampaknya evolusi geokimia bumi mempunyai arti penting bagi evolusi orogen ( van Bemmelen, 1948).

Problem Granit

Asal mula granit menjadi topik hangat pada setiap dikusi. Tulisan mengenai hal tersebut antara lain dikemukakan oleh Grout (1941), P. Niggli (1942), Reinhard (1943), Read (1943), Holmes (1945), Backlund (1945), Raguin (1946), Reynolds (1947), Eskola (1948), Glangeaud (1948), Bowen (1948), Brouwer (1947), King (1947), Nieuwenkamp (1948). Ada dua pendapat yang saling berlawanan. Pertama, granit berasal dari erupsi efusif magma yang mengintrusi kerak bumi. Teori ini berdasarkan penelitian kimiafisika pelelehan silikat di laboratorium. Bowen, Nigli dan peneliti lain mengeluarkan teori diferensiasi kristalisasi fraksinasi. Berdasarkan teori ini magma granit berasal dari magma induk yang lebih basa dari komposisi basal. Faktor utama dari diferensiasi adalah kristalisasi dan fraksinasi dibawah pengaruh gaya gravitasi. Konsep ini tidak dianggap bertentangan dengan klasifikasi klasik tentang batuan beku menurut Rosenbusch. Asal mula magma granit ini diadopsi oleh sebagian besar ahli petrologi.Konsep lain mengikuti alur pemikiran yang dikemukakan oleh ahli petrologi Perancis Ami Bout, Fournet, Ter-mier,

Lacroix, Perrin. Roubault, Lelubre, Raguin (1946). Konsep ini menyatakan bahwa magma bermula dari aktifitas pancaran pada pra kondisi batuan (-pra-existing rocks). Menurut pendapat ini granit berasal dari pra kondisi batuan yang berasal dari komposisi kimia dan mineralogi yang berbeda akibat introduksi dan perubahan unsur dalam jumlah yang besar. Proses granitisasi ini terjadi dalam bentuk padat, tanpa melalui bentuk magma granit. Migrasi material terjadi secara difusi (Ramberg, 1944; Bugge, 1945; Wahl, 1946, dll.). Dalam tahun-tahun berikutnya beberapa petrologis Inggris, Scandinavia dan negara lainnya mengikuti teori ini. Teori ini berdasarkan riset kimia fisika tentang difusi dan reaksi intra-kristalin dalam kondisi padat, menggantikan reaksi silika cair. Teori granitisasi ini menempatkan granit pada kelompok batuan metamorf. Granit menurut konsep tersebut adalah hasil metamorfisma lanjut.Teori diferensiasi kristalisasi fraksinasi memberikan klasifikasi batuan beku dan proses-proses yang berhubungan dari pnematolitik dan metamorfosa hidrotermal dalam aura kontak. Tetapi studi mengenai hubungan batuan beku di lapangan dan perubahannya menjadi batuan metamorfik telah memunculkan keraguan dan pantas dipertimbangkan. Kebenaran dari konsep asal mula batuan beku harus melalui langkah magmatisma nyata. Reinhard (1943) menjelaskan hubungan ini, Alam tidak mengambil isyaratnya dari teori, tetapi kita yang harus menyesuaikan teori kita ke alam. Ketika observasi geologi lapang bertentangan dengan magma induk batuan beku, kita perlu mencari kemungkinan lainnya.

Kontroversi Antara Magmatists dan Transformists

Sekian lama setelah Hutton meninggal (1797) beda pendapat tentang mencari kebenaran antara Volcanists dan Neptunist, yaitu kontroversi antara Magmatist dan Transformist, masih terjadi. Pangkal permasalahnnya adalah tentang keberadaan granit. Dalam pemahaman lama mengenai kristalisasi, batuan yang dicairkan merupakan proses yang bisa menjelaskan asal granit. Pendapat lainnya adalah difusi dalam kondisi padat. Alterantif lain adalah kristalisasi ulang dalam status sedimental padat, sebagai perubahan kimia fisika yang disempurnakan oleh difusi melalui kenaikan suhu dan statusnya yang padat.Oleh karena itu pertanyaan pertama yang harus dipecahkan dan penjadi postulat para magmatis adalah melihat magma sebagai magma sebenarnya yang merupakan cairan silikat. Karakter plutonik granit bukanlah suatu jaminan asal magma. Pernyataan behwa batuan plutonik merupakan hasil kristalisasi magma adalah suatu hipotesis murni. Jawaban atas pertanyaan apakah magma? dalam pandangan kaum ortodok adalah suatu cairan pijar berupa larutan molekular dengan komposisi utama silika, dengan unsur-unsur yang mudah menguap, terutama air, yang mendorongnya bersifat mobile. Dalam konsepsi modern, magma dipahami seperti bubur beras (milky rice pudding), campuran

kristal dan air. Magma ini tidak terlalu berbeda dengan konsep sekarang. Menurut konsepsi ortodok, asal granit berasal dari intrusi magma dan mengalami kristalisasi sebagian; sementara fase berikutnya menyebabkan metamorfosa yang melibatkan batuansamping dan merubah komposisinya. Konsep ini nampaknya tidak cukup. Setidaknya untuk kasus Indonesia.Secara teoritis terdapat 3 jenis granit. (1) granit juvenil, yang dibentuk oleh kristalisasi dan deferensiasi magma, (2) granit palingenetic, yang dibentuk oleh anatexix (peleburan) dari batuan dengan komposisi kimia seperti granit (serpih, geneis, batupasir, granit) atau oleh pencampuran batuan yang berbeda komposisi, (3) granit metasomatik, yang dibentuk oleh proses metasomatis dari batuan tua, yang dapat dikenali dengan adanya struktur palimsest. Ketiganya ada dialam ini, tetapi tidak ada ukuran yang tepat untuk masing-masing batuan granit tersebut. Pada saat ini batuan plutonik tersingkap dengan berbagai asal kedalaman, dan granit relatif melimpah. Kita harus mengasumsikan bahwa magma induk (parental) basa harus berada lebih dalam daripada tingkat denudasi. Kita hanya dapat meneliti batuan plutonik, tersingkap sebagai intrusi pada kerak bumi; itu merupakan hasil interaksi dari magma induk bagian atas. Kita tidak dapat meneliti magma plutonik. Untuk menyatakan bahwa batuan plutonik itu berasal dari suatu magma adalah tidak lebih dari sebuah hipotesis yang memerlukan bukti dukungan.Reinolds (1947) menyatakan bahwa banyak kejadian yang membuktikan bahwa pembentukan granit dapat berlangsung melalui transformasi bentuk pada pra kondisi batuan. Alterasi metasomatik progresif memungkinkan merubah bentuk batuan plutonik menjadi lebih asam dan mempunyai kristal lebih kasar. Menurut Hou dan Harwood (1937) konsentrasi energi untuk magmatisasi secara lengkap oleh pancaran adalah suatu konsekuensi dari beberapa faktor: tingkat energi yang memancar, reaksi eksoterm dengan material yang dikenai, serta temperatur setelah proses. Sementara Hausas (1944) menafsirkan bahwa proses magmatisasi dari metasomatisme memerlukan keseimbangan: (1) pancaran yang datang, (2) asal energi, (3) material kerak bumi, dan (4) pancaran lain.Proses granitisasi selalu disertai dengan proses basifikasi atas batuan itu. Bahkan kehadiran granit akan lebih sedikit. Ini disebabkan komposisi endapan geosinklinal lebih banyak mengandung unsur basa dibanding granit. Proses granitisasi dan basifikasi dikenal pula sebagai diferensiasi metamorfosa, yang merupakan hasil difusi metamorfosa.

Beberapa Massa Granit Plutonik di Indonesia

Orogenesis di Kepulauan Indonesia diikuti oleh intrusi seperti batolit granit sebagai inti geantiklin. Granit ini berumur Permo-Triassic sampai Tersier akhir, sedemikian sehingga mereka menyebar secara berangsur lebih muda di jalur orogenesa dari pusat diastrofisma yang berbeda.Di pusat orogenesa pasti

mempunyai tahap diatrofisma dan granit yang paling tua, kemudian gejalanya menjadi lebih muda ke arah busur sebelah luar. Perkecualian dibentuk oleh granit Sumba berumur Mesosoikum. Di dataran Sunda sebaran massa plutonik dari yang bagian dalam ke sebelah luar sudah jelas. Poros Daratan Sunda dibentuk oleh jalur Anambas-Schwaner yang berumur Permotrias. Perjalanan ke utara dari poros ini, ditemukan pertama Zona Natuna-Semitau dengan umur lebih tua, sekitar Trias. Di Seberuwang didapatkan diorit berumur Kapur Akhir. Di Ketungau batuan berumur Tersier Tengah diduga diorit. Granodiorit berumur Tersier tengah juga di Kalimantan Utara (Kinabalu), yang belakangan menjadi anggota busur orogenesa Pilipina. Intrusi diorit di daerah Telen Kalimantan Timur menduduki suatu posisi terisolasi. Mereka mungkin menjadi anggota Zona Semitau. Dari zona Anambas-Schwaner ke arah selatan dijumpai granit Malaya berumur Yura di Kepulauan Riau-Lingga, Bangka, Billiton, Karimata Pulau dan Kalimantan Barat. Zone ini dapat dibagi menjadi dua jalur. Di bagian dalam cebakan timah jarang dijumpai, dan sebelah luar membentuk jalur timah.Di Sumatra busur bagian dalam dari Sistem Pegunungan Sunda terdapat jalur dengan massa seperti granit di unit terlipat. Jalur berumur Kapur akhir ini meluas dari timur melalui Pulau Jawa ke Flores. Di Ambon, Kaibodo, Manipa dan Kellang tempat busur Banda ini berakhir dijumpai batuan seperti granit berumur Tersier Tengah.Dari Kalimantan ke timur kita bertemu granit berumur Kapur Meratus, dan kemudian granit berumur Tersier di Sulawesi utara. Distribusi granit ini betul-betul menyatakan bahwa telah ada suatu pertumbuhan granit sejak Mesosoikum dari Anambas-Schwaner ke arah Sistem Pegunungan Sunda. Di bagian pusat sekarang membentuk kerak bumi yang kaku seperti karakter kontinental. Intrusi granit terjadi secara bertahap sesuai evolusi orogenesa. Pada puncak dari geantiklin kita temukan aktivitas jenis magma volkanis seri Pacific, dengan komposisi basalik-andesit. Aktivitas ini di dalam jalur geantiklin didahului oleh tekanan dan intrusi ofiolit di geosinklin; langkah-langkah berikutnya terjadi evolusi orogenesa dan magma Mediteran. Oleh karena itu diperlukan memandang masalah dari asal granit Kepulauan Indonesia dalam hubungan dengan formasi dari asal magma granit.

Asal Berbagai Variasi Magma Di Indonesia

Di Indonesia terdapat berbagai rangkaian batuan beku. Hubungan satu dengan yang lainnya dapat dicermati.Tahap pra orogen berupa pembentukan suatu cekungan geosinklin di selama Palaesoikum. Proses ini termasuk yang terjadi di Timor oleh erupsi traki basal dari seri Lautan Atlantik (De Roever, 1940). Tahapan ini diikuti oleh suatu evolusi orogen di dalam geosinklin selama Mesosoikum, Tersier dan Kwarter sebagai proses pembentukan jalur geantiklin dan cekungan geosinklin. Secara bertahap

jalur orogen ini menyebar keluar pusat cekungan geosinklin. Foredeep melengkung atas ke dalam suatu geantiklin dan bergeser keluar lebih jauh. Selanjutnya pada dasar cekungan orogen, ofiolit basa sampai ultrabasa mengalami ekstrusi dan intrusi dari asosiasi ofiolit radiolaria dan intrusi peridotit dan serpentinit. Selama proses pembentukan geantiklin batuan ofiolit bercampur dengan naiknya migmatit sehingga dasar tubuh batolit granit terjadi. Biasanya terdapat tiga atau lebih gerakan pengangkatan pada setiap jalur orogen. Pengangkatan pertama masih bukan batuan volkanik, pengangkatan kedua kedua proses erupsi lava basa, menengah maupun asam, dari seri lava Pasifik, dan langkah ketiga vulkanik padam. Masing-masing pengangkatan diikuti oleh intrusi batuan plutonik berkomposisi menegah dan asam. Tahap lanjut dari evolusi jalur orogen ini adalah hadirnya erupsi batuan tipe Mediteran. Akhirnya tahap akhir orogen sebagai tahap pembentukan kontinen terbetuk. Dataran Sunda telah dikonsolidasikan oleh tahap diastrofisme Mesosoikum Tua, sedang proses pembentukan pegunungan berlanjut bergeser ke keluar membentuk orogen jalur Sunda saat ini. Pusat Datara Sunda sekarang membentuk baselevel sebagai suatu peneplain khas. Pada akhir Kwarter di sepanjang tepi blok yang terkonsolidasi ini terjadi aliran lava basal olivine.Cakupan batuan beku begitu luas dan sangat berkaitan dengan evolusi kerak bumi. In memberi kesan bahwa peristiwa yang berkaitan dengan proses yang terjadi pada pembentukan batuan beku merupakan hal penting dalam proses pembentukan pegunungan. Pertanyaan selanjutnya, dengan demikian, sebenarnya adalah, dalam hal ini mana magma juvenile dan mana magma induk? Kelihatannya hanya erupsi awal basal trakitik yang dapat diperlakukan seperti itu. Pra kondisi kerak bumi berkomposisi sialik berumur Perm harus diikuti oleh kekar dan patahan utama agar magma di bawah permukaan dapat hadir ke permukaan. Steinmann, Kossmat, dkk mempertimbangkan ophiolites berasal dari magma juvenil. Tetapi peridotites, di Sulawesi Timur mengalir ke permukaan dengan tenang dan menggantikan seluruh komplek batuan dasar yang kristalin. Dia tidak diproduksi oleh diferensiasi kristalisasi dari intrusi basal yang sangat besar, sebab mereka secara langsung ditimpali oleh endapan bawah laut berumur Kapur yang berumur sama dengan intrusi tersebut. Di Seram Barat, Manipa dan Kellang bagian intrusi tersingkap. Situasi yang sama ditemukan di Kawasan Meratus, ketika tubuh peridotit secara berturut-turut diintrusi dan digantikan (replace) oleh gabro, diorit, diorit kuarsa dan granit plagioklas. Situasi ini justru kebalikan dari apa yang seharusnya terjadi pada kasus diferensiasi kristalisasi dan fragsinasi. Batuan menjadi lebih asam dengan terus bertambahnya kedalaman. Anomali isostatik negatif di Sulawesi Timur dan Seram menunjukkan bahwa peridotit menandakan adanya masa peridotit yang sekarang mendasari kaki pegunungan granit.Situasi ini mendorong ke arah pemikiran bahwa pada seri batuan basa sampai ultrabasa dari geosinklin berukuran sangat besar, bagian permukaannya merupakan akumulasi magma asam (granit). Ini merupakan hasil berbagai proses evolusi kimia di bagian permukaan kerak bumi. Proses hypodifferentiation tersebut merupakan hasil gangguan keseimbangan lapisan tengah basal tectonosphere karena penurunan cekungan. Penurunan cekungan menyebabkan terjadinya pembebasan tekanan akibat relief, sekaligus terjadi peningkatan gradien geotermal di lapisan dasar dan menengah. Dengan proses hypo-differentiation tersebut, dalam waktu berjuta-juta tahun, kerak basal akan terbagi-bagi menjadi batuan ultrabasa (anti root) dan granit (mountain-root).Mengenai gunungapi strato dapat dipahami sebagai konsentrasi saluran-saluran dari peningkatan pancaran dalam jumlah yang besar dari bagian magma yang mudah menguap. Gunungapi itu merupakan cerobong di atas intrusi batolit. Kita tidak bisa bayangkan pernah magma juvenil bisa naik menerobos astenolit dan membuat zona migmatit selama tahapan evolusi geantiklin dari suatu jalur orogen. Kedalaman intrusi dari batolit granodiorit

Tersier Tengah pasti tidak lebih dari 2 km, dan granodiorit Tersier Akhir di Wetar dan Lirang mungkin lebih tinggi. Pada kasus erupsi paroksismal Kwarter Ranau dan Toba di Sumatra, bagian puncak intrusi granit diledakkan. Oleh karena itu magma palingenic Pacific mungkin dibentuk dekat di bawah permukaan. Intrusi dangkal ini berasimilasi dengan batugamping Tersier, sehingga menyebabkan menyimpang dari kebiasaan (menghasilkan produk letusan Mediteran. Akhirnya, setelah konsolidasi dari kerangka batuan beku jalur orogen ini, kekar utama memotong kerak bumi sampai ke lapisan magma. Erupsi efusif basal olivine dari Daratan Sunda lekat menyerupai batuan basal dari jalur orogen. Mereka dicemari oleh material kerak. Oleh karena itu magma induk riil mungkin lebih banyak trakit basal. Ringkasan ini memberi kesimpulan utama dari diskusi di depan. Kita adalah sungguh sadar akan fakta bahwa sebagian dari aktivitas batuan beku berbeda dari konsep petrologi klasik. Tetapi kita sudah mencoba untuk mempertimbangkan dan menghubungkan dengan gejala geofisika dan geologi yang mengikuti evolusi batuan beku ini, untuk memberi suatu sintesis berdasarkan fakta mengenai gambaran umum tentang evolusi orogen. Sintesis ini berdasar pada teori geosinklin dari Hall dan Dana. Baru-baru ini Knoff (1948) telah memberi suatu tambahan ringkasan teori ini. Doktrin geosinklin adalah suatu prinsip dasar dalam ilmu pengetahuan geologi, dan sangat bernilai untuk penafsiran evolusi orogen di Indonesia. Di kepulauan ini kita temukan banyak contoh perubahan bentuk jalur geosinklin ke dalam rantai pegunungan. Lebih dari itu, kita dapat melacak evolusi ke samping daerah ini dari jalur orogen lebih tua ke dalam yang lebih muda, serta hubungan antara jalur orogen dan aktivitas batuan beku, isostasi, dan seismisitas. Sekali lagi perlu ditekankan bahwa sejarah yang berhubungan geologi, baik permukaan bumi maupun planet kita ini secara keseluruhan, tidak cukup memberikan informasi tanpa mempertimbangkan evolusi geokimia.

Anda mungkin juga menyukai