Anda di halaman 1dari 26

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN MENGENAI PENGGUNAAN VAKSIN MENINGITIS MENURUT HUKUM ISLAM DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN

2009 TENTANG KESEHATAN

A. Pengertian, Sejarah, dan Jenis-jenis Vaksin. 1. Pengertian Vaksinasi Vaksin berasal dari bahasa inggris yaitu vaccine dan bahasa latin yaitu vaccinum, yang artinya suspensi bibit penyakit yang hidup, tetapi telah dilemahkan atau dimatikan untuk menimbulkan kekebalan.13 2. Sejarah Vaksinasi Masalah-masalah penting yang kita hadapi tidak dapat dipecahkan dengan pemikiran yang sama tingkatannya, seperti ketika kita menciptakan masalah-masalah tersebut (Albert Einstein).14 Dengan berpegang pada kata-kata Albert Einstein di atas dapat dibayangkan bagaimana kehidupan masyarakat pada zaman dimana cacar merajalela, hidup dihantui dengan kecemasan. Cacar air telah dikenal sejak sebelum masehi. Diduga Raja Mesir Ramses V yang meninggal pada tahun 1156 sebelum masehi, berdasarkan gambaran diwajahnya diduga pernah terkena cacar air. Angka kematian cacar antara 20%-60%, bahkan saat cacar menyerang anak-anak di London saat itu, 80% anak yang terkena meninggal.
13. 14.

M. Ahmad Ramali, Kamus Kedokteran, Djambatan, Jakarta, 2003, hlm. 473. J.B. Suharjo B. Cahyono, Vaksinasi, Kanisius, Yogyakarta, 2010, hlm. 18.

19

20

Jika kemungkinan tidak meninggal, cacar akan meninggalkan bekas goresan yang menyeramkan di wajah, karena adanya cacar vaksinasi ditemukan.15 Ahli pengobatan tradisional di Afrika, India, dan Cina, sebelum abad ke-18 telah berusaha melakukan pencegahan terhadap cacar air melalui metode variolation atau inoculation. Ahli pengobatan (dokter) pada zaman itu menggoreskan cairan penderita cacar dengan menggunakan pisau kecil atau lancet dan digoreskan pada seorang yang belum terkena penyakit cacar. Berdasarkan pengamatan dan pengalaman mereka, orang-orang yang di inokulasi16 dengan cairan tersebut mengalami serangan cacar lebih ringan atau tidak terkena cacar sama sekali. Cara inokulasi saat itu ternyata juga mengundang kontroversi. Sebagian dokter waktu itu tidak setuju inokulasi digunakan sebagai cara untuk mencegah serangan cacar. Karena menurut pengamatan mereka inokulasi berarti mempercepat penularan penyakit cacar.17 Pada tahun 1721, dokter Boylston dan Mather melakukan penelitian dengan menggunakan metode statistik untuk membandingkan angka kematian kelompok yang menderita cacar karena tertular secara alami dan yang terkena cacar akibat dilakukan inokulasi. Pada saat itu wabah cacar terjadi sebanyak 12.000 orang mendapatkan inokulasi untuk mencegah infeksi cacar. Pada akhir penelitian, Boylston dan Mather menyimpulkan bahwa kelompok yang
15. 16. 17.

Ibid. hlm. 18. Lihat Kamus Lengkap Biologi, hlm. 240. J.B. Suharjo B. Cahyono, op.cit. hlm. 19.

21

tertular cacar secara alami yang meninggal sebanyak 14% dibandingkan kelompok yang memperoleh inokulasi hanya 2%. Artinya, pemberian inokulasi atau yang kini dikenal dengan vaksinasi atau imunisasi memberikan perlindungan lebih baik dibandingkan dengan tanpa inokulasi. Tonggak sejarah vaksinasi dicanangkan oleh Edward Jenner. Jenner bukan penggagas orisinal vaksinasi. Tetapi dia orang yang pertama kali memberikan istilah vaksinasi dan melakukan pengkajian secara ilmiah. Vaksinasi menurut asal katanya, berasal dari bahasa latin vacca (sapi) dan vaccinia (cacar sapi). Apa yang dilakukan Jenner saat itu didasari oleh pemikiran bahwa memberikan cairan atau materi dari cacar sapi kepada seorang yang sehat akan memberikan efek perlindungan terhadap orang tersebut dari serangan cacar, dengan demikian Edward Jenner dikenal sebagai pelopor vaksinasi.18 Upaya dalam pencegahan terhadap penyakit cacar saat itu, yaitu melalui inokulasi atau vaksinasi, memang belum memberikan efek perlindungan yang optimal. Pada abad ke-19 diketahui bahwa pemberian inokulasi vaksinasi tidak cukup sekali. Pemberian vaksin harus diulang karena sistem kekebalan yang dibentuk dengan hanya memberikan satu kali vaksinasi belum mencukupi. Metode vaksinasi terus diperbaiki. memberikan inokulasi begitu saja tanpa mengolah antigen virus terlebih dahulu, yang berasal dari pasien yang menderita cacar dan diberikan kepada orang lain yang sehat merupakan tindakan yang tidak bijaksana. Dengan semakin majunya ilmu dan
18.

Ibid. hlm. 20.

22

teknologi kedokteran, kini telah ditemukan bagaimana cara pembuatan vaksin yang aman. Virus atau kuman harus dimatikan atau dilemahkan sehingga antigen yang ada pada virus atau kuman tersebut mampu meningkatkan antibodi atau sistem kekebalan tubuh tanpa harus membahayakan orang yang menerima vaksinasi. Berkat vaksinasi, cacar telah hilang dari peredaran bumi. Sebelum penyakit cacar ditemukan, penyakit ini menewaskan 15 juta orang setiap tahunnya. Kasus terakhir cacar dilaporkan di Somalia pada tahun 1977. Saat ini teknologi kedokteran makin maju dan makin banyak mikro organisme terungkap. Demikian pula cara pencegahannya dengan mengetahui pola penularan, perbaikan gizi, higienis diri dan lingkungan, serta penemuan vaksin, maka angka kejadian beberapa penyakit infeksi dapat ditekan. Berbagai jenis vaksin telah dikembangkan untuk mencegah berbagai macam penyakit infeksi. Tidak ada cara efektif dalam menangkal penyakit kecuali dapat dicegah melalui vaksinasi, harus diakui bahwa tidak semua penyakit dapat dicegah melalui vaksinasi, namun sebagian penyakit infeksi dapat dicegah melalui vaksinasi. Berikut ini beberapa jenis penemuan awal vaksin, yaitu:19

19.

Ibid, hlm. 24.

23

Penemuan Awal Jenis Vaksin 1798 vaksin cacar air (smallpox) 1855 vaksin rabies 1897 vaksin sampar 1923 vaksin difteri 1926 vaksin pertusis 1927 vaksin tuberculosis 1927 vaksin tetanus 1935 vaksin yellow fever 1955 vaksin polio injeksi 1962 vaksin polio oral 1964 vaksin campak 1967 vaksin gondongan (mumps) 1970 vaksin Rubella 1981 vaksin hepatitis B

Karya Jenner telah disempurnakan oleh Louis Pasteur pada tahun 1881, Pasteur melakukan penelitian pada penyakit kolera ayam (Chicken cholera). Saat itu Pasteur membuat suatu hipotesis bahwa kuman patogen dapat dilemahkan melalui berbagai cara, misalnya dengan cara pemanasan, oksigen, dan cara kimiawi. Pasteur kemudian membuktikan hipotesisnya dengan melakukan kultur virus campak dan rabies. Dengan menggunakan virus campak dan rabies yang dilemahkan, Pasteur menemukan vaksin untuk mengatasi kedua penyakit tersebut. tidak lama berselang, berbagai macam vaksin berhasil ditemukan melengkapi vaksin yang telah dikembangkan oleh Pasteur.

24

Berdasarkan laporan WHO tahun 2002, setiap tahun terjadi kematian sebanyak 2,5 juta anak dibawah lima tahun (balita) yang disebabkan oleh penyakit yang dapat dicegah melalui vaksinasi. Radang paru yang disebabkan oleh Pneumokokus20 menduduki peringkat utama (716.000 kematian), diikuti oleh penyakit campak (525.000 kematian), rotavirus (diare), Haemophilus influenza tipe B, pertusis, dan tetanus. Dari jumlah semua kematian tersebut, 76% kematian balita terjadi di negara-negara yang sedang berkembang, khususnya di Afrika dan Asia Tenggara (termasuk Indonesia). Keampuhan vaksinasi tidak perlu diragukan. Smallpox atau cacar sebagai buktinya. Penderita polio ialah menurun 99%. Jumlah penderita kanker hati menurun berkat vaksinasi hepatitis B. Di Amerika, setelah pemerintah setempat menerapkan vaksinasi hepatitis A secara Universal pada tahun 1999, infeksi virus hepatitis A menurun 73%. Menurut Carol Belamy, Direktur Eksekutif UNICEF, di Afrika setiap tahun sebanyak 130.000 anak dapat diselamatkan dari kematian campak. WHO mengatakan bahwa penyakit infeksi yang dapat dicegah melalui vaksinasi akan dapat diatasi bilamana sasaran imunisasi global tercapai. Dalam hal ini bisa tercapai bila lebih dari 90% populasi telah mendapatkan vaksinasi terhadap penyakit tersebut. Akan tetapi sasaran tersebut belum sepenuhnya tercapai. Sebagai contoh, vaksinasi global pada tahun 1980 baru mencapai 20% dan pada tahun 2006 baru 78%. Pemberian vaksinasi
20.

Lihat Kamus Lengkap Biologi, hlm. 366.

25

mendekati 100% berarti akan menciptakan pagar kuat yang tidak dapat ditembus oleh kuman. Seandainya kuman atau virus menginfeksi seseorang, namun kuman atau virus tersebut tidak akan menyebar ke orang lain karena mereka telah memiliki proteksi yang diperoleh melalui vaksinasi. Pada akhirnya kuman atau virus akan frustasi karena tempat hidupnya (manusia) telah dijaga oleh tentara atau antibodi, dan mereka akan hilang dari bumi menyusul virus smallpox.21 3. Jenis-jenis Vaksin Berikut ini beberapa jenis vaksin dibuat berdasarkan proses produksinya antara lain: a. Vaksin hidup (Live attenuated vaccine) Vaksin yang terdiri dari kuman atau virus yang dilemahkan, masih antigenik namun tidak patogenik. Contohnya adalah virus polio oral. Oleh karena itu, vaksin diberikan sesuai infeksi alamiah (oral), virus dalam vaksin akan hidup dan berkembang biak di epitel saluran pencernaan, sehingga akan memberikan kekebalan lokal. Sekresi antibodi lgA lokal yang ditinggatkan akan mencegah virus liar yang masuk ke dalam sel tubuh. b. Vaksin mati (Killed vaccine / Inactivated vaccine) Vaksin mati jelas tidak patogenik dan tidak berkembang biak dalam tubuh. oleh karena itu diperlukan pemberian beberapa kali.
21.

J.B. Suharjo B. Cahyono, op.cit. hlm. 25.

26

c. Rekombinan Susunan vaksin ini (misal hepatitis B) memerlukan epitop organisme yang patogen. Sintesis dari antigen vaksin tersebut melalui isolasi dan penentuan kode gena epitop bagi sel penerima vaksin. d. Toksoid Bahan yang bersifat imunogenik dibuat dari toksin kuman. Pemanasan dan penambahan formalin biasanya digunakan dalam proses pembuatannya. Hasil dari pembuatan bahan toksoid yang jadi disebut sebagai natural fluid plain toxoid, dan merangsang terbentuknya antibodi antitoksin. Imunisasi bakterial toksoid efektif selama satu tahun. Bahan adjuvan digunakan untuk memperlambat rangsangan antigenik dan meningkatkan imunogensitasnya. e. Vaksin Plasma DNA (Plasmid DNA vaccines) Vaksin ini berdasarkan isolasi DNA mikroba yang mengandung kode antigen yang patogen dan saat ini sedang dalam perkembangan penelitian. Hasil akhir penelitian pada binatang percobaan menunjukan bahwa vaksin DNA (virus dan bakteri) merangsang respon humoral dan selular yang cukup kuat, sedangkan penelitian klinis pada manusia saat ini sedang dilakukan.22

Atikah Proverawati dan Citra Setyo Dwi Andhini, Imunisasi dan Vaksinasi, Nuha Offset, Yogyakarta, 2010, hlm. 21.

22.

27

Tidak semua negara menerapkan kebijakan vaksinasi yang sama pada masyarakatnya. Namun biasanya rekomendasi vaksinasi lebih diprioritaskan bagi bayi dan anak-anak, karena kelompok usia ini dianggap belum mempunyai sistem kekebalan tubuh yang sempurna. Di Indonesia, pemerintah mengambil kebijakan dalam pemberian vaksinasi menjadi dua, yaitu vaksin wajib (sebagai program imunisasi nasional), khususnya ditujukan bagi bayi dan anak serta vaksin yang dianjurkan (bukan program imunisasi nasional) diperuntukan bagi kelompok dewasa. Vaksinasi wajib diberikan pada anak secara gratis karena menjadi program nasional, sedangkan vaksin yang dianjurkan belum menjadi vaksin wajib mengingat pendanaan yang harus dikeluarkan pemerintah sangat besar. Berikut adalah tabel penggolongan vaksinasi menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia:23

23.

J.B. Suharjo B. Cahyono, op.cit, hlm. 33.

28

Vaksin sesuai dengan program imunisasi nasional (Vaksinasi wajib) Tuberkulosis Hepatitis B DFT (diftri, tetanus, pertusis) Poliomielitis Campak

Vaksin bukan program imunisasi nasional (Vaksin yang dianjurkan) MMR (campak, gondong, rubella) Haemophilus influenza tipe B (HiB) Demam tifoid Varisela Hepatitis A Rabies Influenza Pneumokokus Rotavirus Kolera + ETEC Yellow Fever Japannese encephalitis Meningokokus Human Papiloma Virus (HPV)

Kemudian terdapat ketentuan penggunaan vaksinasi bagi pelancong menurut Internasional Travel and Health tahun 2005, meskipun setiap negara mempunyai pola infeksi yang berbeda-beda. Misalnya penyakit yellow fever24 tidak dijumpai di Indonesia, Penyakit demam tifoid di Amerika jarang ditemukan, sedangkan di negara tropis banyak ditemukan penyakit ini. Oleh karena itu, kebijakan setiap negara dalam memberikan jenis imunisasi juga berbeda. Pemberian vaksinasi tersebut sebaiknya diberikan 4-6 minggu sebelum

24 .

Yellow Fever adalah demam penyakit kuning

29

melakukan perjalanan. Vaksinasi bagi orang yang hendak melakukan perjalanan atau travelling dibagi menjadi 3, berdasarkan tabel dibawah ini:25 Kategori

Vaksin

Vaksinasi Rutin

DPT (difteri, pertusis,dan tetanus) Hepatitis B Haemophilus influenza tipe B (HiB) MMR (campak, gondong, rubella) Polio Kolera Influenza Hepatitis A Japannese encephalitis vaccine Pneumokokus Rabies Tuberkolusis Demam tifoid Yellow Fever Tick Borne encephalitis Yellow Fever Meningitis (terutama yang mempunyai tujuan menunaikan ibadah haji)

Vaksinasi selektif

Vaksinasi Wajib

Dengan demikian sesuai dengan judul dari penulisan hukum ini, secara khusus penulis membahas mengenai vaksin meningitis, terjadi kontroversi di negara Indonesia ini mengenai penggunaan vaksin meningitis karena terdapat unsur babi dalam proses pembuatannya sehingga menjadi polemik bagi umat Islam dalam pelaksanaan ibadah haji. Maka dengan ini penulis membahas tentang
25.

J.B. Suharjo B. Cahyono, op.cit. hlm. 36.

30

vaksin meningitis, penyebab terjadinya meningitis, penyebaran dan cara penularan, gejala dan tanda, pengobatan, serta pencegahan.

B. Pengaturan Penggunaan Vaksin Meningitis Menurut Hukum Islam dan Undang-Undang Kesehatan 1. Pengertian Penyakit Meningitis Meningitis meningokokus adalah infeksi bakterial akut yang disebabkan oleh Neisseria meningitidis. Bakteri ini merupakan penyebab utama meningitis (radang selaput yang melindungi otak dan sumsum tulang belakang). Pada manusia, menjalar ke selaput otak lewat darah dari nasofaring. Juga dapat menyebabkan kematian dalam waktu 6 sampai 12 jam. Timbulnya luka-luka patogenik pada kulit, tulang, dan kelenjar adrenalin diduga disebabkan karena endotoksin. Di Amerika Serikat setiap tahun diperkirakan terjadi 18.000 kasus meningitis bakterial dengan 2.500 kematian. Neisseria adalah diplokokus gram negatif dan tidak bergerak sel-selnya berbentuk khas seperti ginjal dengan sisi-sisi cekungnya terletak bersebelahan. Bakteri ini bergaris tengah 0,6 sampai 1,0 m. Masa inkubasi rata-rata seminggu setelah terkenai. Gejala mula-mulanya ialah sikresi berlebihan dari hidung, radang pangkal tenggorok, pusing, demam, rasa sakit di leher dan punggung, hilangnya ketajaman mental, dan mungkin adanya ruam. Fluida tulang belakang, darah, dan ulasan dari nasofaring, serta olesan dan biakan dari kulit, dapat diwarnai dan diperiksa untuk melihat diagnosis diferensial

31

yang cepat sehingga dapat dilakukan kemoterapi dini secara efektif, identifikasi akhir bergantung pada uji fermentasi gula dan uji serologis kultur biakan hasil isolasi.26 Kejadian meningitis terbanyak terdapat di Afrika yang dikenal dengan daerah sabuk Meningitis dan Arab Saudi. Daerah ini terbentang dari Senegal di barat ke Ethiopia di timur. Dilaporkan bahwa pada tahun 1996, terjadi wabah meningitis yang menyebabkan 250.000 orang terinfeksi dan sebanyak 25.000 jiwa diantaranya meninggal dunia. Meningitis jarang menyerang anak usia kurang dari 3 bulan. Lebih dari setengah kasus terjadi pada usia 1-10 tahun dan paling banyak terjadi pada usia kurang dari 2 tahun. Kejadian meningkat lagi pada usia 15-24 tahun. Pada usia di atas 45 tahun, kejadiannya kurang dari 10%. Penyebaran penyakit ini sangat cepat sehingga dapat mengakibatkan kejadian endemik (angka kejadiannya selalu ada setiap tahunnya meskipun dalam jumlah yang kecil) dan kejadian epidemik / wabah (tingginya angka kejadian yang sebelumnya tidak ada). Ironisnya, meskipun mendapatkan penanganan yang cepat dengan pengobatan yang maksimal, jumlah kematian akibat meningitis masih sangat tinggi, yakni sebanyak 5%10% orang meninggal dalam 24-48 jam setelah timbul gejala. Selain itu,

26.

M. J. Pelcaar dan E. C. S. Chan, Dasar-Dasar Mikrobiologi, UI Press, Jakarta, 2009,

hlm. 664.

32

angka kecacatan yang timbul akibat penyakit ini mencapai 20% dari kasus yang selamat.27 Pencegahan terhadap meningitis dapat ditempuh dengan pencegahan umum dan khusus. Pencegahan umum dilakukan dengan cara menjaga kebersihan diri sendiri, menutup mulut dengan tangan jika sedang bersin atau batuk, manghindari jarak yang dekat dengan orang yang sedang batuk atau saat orang tersebut sedang bersin. Pencegahan khusus dilakukan dengan pemberian vaksin. Vaksin meningitis pertama diperkenalkan pada tahun 1978. Awalnya, vaksin ini hanya mampu melindungi dari 2 subtipe bakteri meningokokus (A&C). namun vaksin ini telah mengalami banyak perkembangan, sekarang dapat melindungi 4 subtipe dari bakteri

meningokokus, yaitu: A, C, Y, dan W-135. Mengingat kejadian meningitis terbanyak terjadi di Arab Saudi yang juga menjadi tujuan melaksanakan ibadah haji, maka demi melindungi para jemaah dari penyakit meningitis, duta besar Arab Saudi di Jakarta mewajibkan setiap calon jemaah haji, tenaga kerja, dan umrah mendapat vaksinasi meningitis sebagai syarat untuk mendapatkan visa.28

27. 28.

J.B. Suharjo B. Cahyono, op.cit. hlm. 136. Ibid. hlm. 140

33

2. Pengertian Vaksin Meningitis Vaksin meningitis adalah vaksin yang disuntikkan kepada para jemaah haji yang hendak melaksanakan ibadah haji dengan tujuan mencegah penularan meningitis meningokokus.29 3. Tujuan Vaksin Meningitis Tujuan vaksin meningitis adalah untuk mencegah kerusakan otak. Sebab meningitis adalah suatu penyakit infeksi yang menyerang selaput pelapis otak dan sumsum tulang belakang. Penyakit ini pertama kali ditemukan pada tahun 1805, pada saat terjadi wabah di Geneva, Swiss. Setiap tahun kejadian penyakit ini terus meningkat, yang menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), diperkirakan ada 223.000 kasus baru pada tahun 2002.30 Tujuan vaksinasi bagi calon jemaah haji adalah meningkatkan kesehatan jemaah haji sebelum keberangkatan, menjaga agar jemaah haji dalam kondisi sehat selama menunaikan ibadah sampai tiba kembali di tanah air dan mencegah terjadinya transmisi penyakit menular yang mungkin menular oleh jemaah haji. jika ada calon jemaah haji tidak bisa dilakukan vaksinasi karena ada indikasi alergi atau hal lainnya yang menurut indikasi medis tidak boleh dilakukan vaksinasi, maka untuk warga negara Indonesia

29. 30.

M.Shiddiq Al-Jawi, Loc. cit. J.B. Suharjo B. Cahyono, Loc. cit.

34

yang akan berpergian keluar negeri maka akan dibuat surat keterangan dari kantor kesehatan pelabuhan bukan dari dinas kesehatan.31 4. Penggunaan Vaksin Meningitis Menurut Hukum Islam dan Undang-Undang Kesehatan a. Penggunaan barang haram dalam pengobatan menurut hukum Islam terdapat dalam Al Quran, hadist dan pandangan ulama dijelaskan sebagai berikut: 1) Surat Al-Baqarah (2) ayat 173 Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu: bangkai, darah, daging babi dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa

(memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi Maha Penyayang. 2) Surat An-Nahl (15) ayat 115 Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu: bangkai, darah, daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah.

Penyelenggaraan kesehatan haji, Pedoman yang dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan, tanpa pengarang dan tanpa tahun.

31.

35

3) Surat Al-Anam (7) ayat 145 Katakanlah (Ya Muhammad): Tiada aku dapati wahyu yang diturunkan kepadamu sesuatu yang diharamkan memakannya bagi seseorang, kecuali bangkai, darah yang cair, daging babi, karena ia itu kotor, membahayakan atau fasik yaitu yang disembelih menyebut selain nama Allah. Penggunaan barang haram dalam pengobatan berdasarkan penjelasan dari hadits adalah sebagai berikut: 1. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abi Darda, yang menerangkan bahwa Rasulullah bersabda: Sesungguhnya Allah menurunkan penyakit dan obat dan Ia menjadikan bagi tiap-tiap penyakit ada obatnya, maka berobatlah kamu tetapi janganlah kamu berobat dengan yang

haram.(H.R: Abu Daud). Hadits lain yang dirawi oleh Wail bin Hajar. Bahwa Thariq bin Suwaid pernah bertanya kepada Rasulullah tentang Khamar, maka Rasulullah melarangnya, lalu Thariq berkata pula: Saya hanya membuatnya untuk berobat. Nabi s.a.w. pun berkata: Itu bukan obat, tetapi penyakit (dirawi oleh R. Ahmad, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi dan dishahihkannya). 2. Hadits riwayat Ibnu Qayyim, bahwa Nabi s.a.w. pernah ditanya orang tentang khamar yang dimasukan ke dalam obat, Nabi s.a.w. bersabda: Sesungguhnya khamar itu penyakit, bukan obat.

36

3. Dalam hadits lain disebutkan pula: Rasulullah s.a.w. melarang berobat dengan obat yang khubuts. (HR Muslim, Ahmad, Ibnu Majah, dan alTurmudzi). Pendapat ulama tentang pengobatan dengan barang haram adalah sebagai berikut:32 1. Mazhab Syafii Menurut mazhab Syafii berobat dengan semua najis atau barang haram itu diperbolehkan kecuali barang yang memabukan. Sebagaimana dalam kitab Nailul Authar, juz VIII, hal 170 yang dikutip oleh Jurnalis Uddin dalam bukunya berjudul Islam untuk Disiplin Ilmu Kesehatan dan Kedokteran mengatakan: Berkatalah Ibnu Ruslan dalam kitab Syarah Sunan: Yang sahih dalam mazhab syafii ialah boleh berobat dengan semua najis, kecuali barang yang memabukkan, bersandarkan hadist Araniyyin dalam shaihain karena telah menyuruh Rasullulah s.a.w. memimun kencing onta sebagai obat. Selanjutnya, pendapat yang lebih sah dikalangan syafii ialah bolehnya berobat dengan tiap-tiap najis, kecuali dengan khamar (minuman yang memabukan). 2. Pendapat Imam Abu Hanifah Bahwasannya boleh berobat dengan khamar seperti bolehnya meminum kencing, darah, dan lain-lain najis untuk berobat. (dikutip dari kitab Subulus Salam, juz IV, hal 36).
32.

Jurnalis Uddin, Loc. cit.

37

3. Menurut sebagian ahli fiqih membolehkan dalam keadaan darurat setelah diyakini bahwa satu-satunya obat yang mungkin didapatkan sebagai penyembuh dan tidak ada obat lain yang dapat menggantikannya. Para ulama fiqih membuat batasan darurat, bahwa apa yang dibolehkan karena suatu halangan akan hilang kebolehan manakala halangan tersebut lenyap, dan sesuatu bahaya tidak boleh dihilangkan dengan mendatangkan bahaya yang lain. Dalam konteks darurat ini, menurut sebagian ulama, orang sakit diperbolehkan meminum darah, kencing, atau bangkai untuk obat jika seorang dokter muslim mengatakan itulah penyembuhannya dan jika tidak diperoleh obat lain sebagai pengganti. Namun menurut dokter akan lekas sembuhnya dengan menggunakan hal-hal tersebut, ada dua pendapat ulama, sebagian membolehkan dan sebagian melarangnya.33 Penggunaan vaksin meningitis diatur dalam bab Sembilan tentang penyakit menular Pasal 152, Pasal 153, Pasal 154, Pasal 155 dan Pasal 156 Undang-Undang nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan. Kemudian bunyi Pasal 152, sebagai berikut: (1) Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat bertanggung jawab melakukan upaya pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit menular serta akibat yang ditimbulkannya. (2) Upaya pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit menular sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk melindungi masyarakat dari tertularnya penyakit, menurunkan jumlah yang sakit, cacat dan/atau meninggal dunia, serta untuk mengurangi dampak sosial dan ekonomi akibat penyakit menular.
33.

Ibid. hlm. 121.

38

(3) Upaya pencegahan, pengendalian, dan penanganan penyakit menular sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif bagi individu atau masyarakat. (4) Pengendalian sumber penyakit menular sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan terhadap lingkungan dan/atau orang dan sumber penularan lainnya. (5) Upaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan harus berbasis wilayah. (6) Pelaksanaan upaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan melalui lintas sektor. (7) Dalam melaksanakan upaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dapat melakukan kerja sama dengan negara lain. (8) Upaya pencegahan pengendalian, dan pemberantasan penyakit menular sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penggunaan vaksin meningitis dihubungkan dengan Pasal 152, karena wilayah Arab Saudi sebagai endemik penyebaran penyakit meningitis maka pemerintah pusat, pemerintah daerah dan peran serta calon jemaah haji untuk melakukan upaya pencegahan, pengendalian dan pemberantasan penyebaran penyakit meningitis meningokokus. Upaya tersebut dilakukan untuk melindungi masyarakat dari tertularnya penyakit, mengurangi jumlah calon jemaah haji yang sakit, cacat, meninggal dunia, serta dampak sosial dan ekonomi akibat penyakit meningitis tersebut. Pencegahan, pengendalian dan penanganan penyakit meningitis dilakukan melalui tahapan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif bagi calon jemaah haji. Pengendalian penyakit meningitis ini dilakukan melalui pelaksanaan vaksinasi meningitis bagi calon jemaah haji di masing-masing wilayah. Dalam melaksanakan vaksinasi ini pemerintah dapat melakukan

39

kerja sama dengan negara lain mengenai penyediaan vaksin tersebut. Kemudian bunyi Pasal 153, sebagai berikut: Pemerintah menjamin ketersediaan bahan imunisasi yang aman, bermutu, efektif, terjangkau, dan merata bagi masyarakat untuk upaya pengendalian penyakit menular melalui imunisasi. Bahwa pemerintah berkewajiban memberikan imunisasi yang aman baik secara medis dan aman menurut hukum Islam, maka pemberian vaksinasi meningitis bagi calon jemaah haji harus menggunakan vaksin yang halal. Pasal 154 berbunyi, sebagai berikut: (1) Pemerintah secara berkala menetapkan dan mengumumkan jenis dan persebaran penyakit yang berpotensi menular dan/atau menyebar dalam waktu yang singkat, serta menyebutkan daerah yang dapat menjadi sumber penularan. (2) Pemerintah dapat melakukan surveilans terhadap penyakit menular sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Dalam melaksanakan surveilans sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah dapat melakukan kerja sama dengan masyarakat dan negara lain. (4) Pemerintah menetapkan jenis penyakit yang memerlukan karantina, tempat karantina, dan lama karantina. Pasal 155 berbunyi, sebagai berikut: (1) Pemerintah daerah secara berkala menetapkan dan mengumumkan jenis dan persebaran penyakit yang berpotensi menular dan/atau menyebar dalam waktu yang singkat, serta menyebutkan daerah yang dapat menjadi sumber penularan. (2) Pemerintah daerah dapat melakukan surveilans terhadap penyakit menular sebagaimana dimaksud pada ayat (1) (3) Dalam melaksanakan surveilans sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemerintah daerah dapat melakukan kerja sama dengan masyarakat. (4) Pemerintah daerah menetapkan jenis penyakit yang memerlukan karantina, tempat karantina, dan lama karantina. (5) Pemerintah daerah dalam menetapkan dan mengumumkan jenis dan persebaran penyakit yang berpotensi menular dan/atau menyebar dalam

40

waktu singkat dan pelaksanaan surveilans serta menetapkan jenis penyakit yang memerlukan karantina, tempat karantina, dan lama karantina berpedoman pada ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 156 berbunyi, sebagai berikut: (1) Dalam melaksanakan upaya pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit menular sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 ayat (1), Pemerintah dapat menyatakan wilayah dalam keadaan wabah, letusan, atau kejadian luar biasa (KLB). (2) Penentuan wilayah dalam keadaan wabah, letusan, atau kejadian luar biasa (KLB) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan berdasarkan hasil penelitian yang diakui keakuratannya. (3) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat melakukan upaya penanggulangan keadaan wabah, letusan, atau kejadian luar biasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Penentuan wilayah dalam keadaan wabah, letusan, atau kejadian luar biasa dan upaya penanggulangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kemudian penggunaan vaksin meningitis dihubungkan dengan Pasal 154, Pasal 155 dan Pasal 156 adalah menjelaskan mengenai kewajiban pemerintah untuk memberikan informasi secara berkala kepada calon jemaah haji tentang jenis penyakit dan daerah yang berpotensi penyebaran penyakit menular dalam pelaksanaan ibadah haji salah satunya penyakit meningitis, pemerintah melakukan upaya pencegahan penyebaran penyakit meningitis tersebut melalui pemberian vaksin meningitis bagi calon jemaah haji sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah.

41

C. Halal dan Haramnya Vaksin Meningitis 1. Vaksin Meningitis Kriteria Haram Berdasarkan keterangan resmi pemerintah melalui kementerian agama dan Majelis Ulama Indonesia dinyatakan bahwa vaksin meningitis dari Belgia, yaitu Mancevax ACWY 135 yang diproduksi oleh Glaxo Smith Kline Beecham Parmaceutical haram digunakan bagi calon jemaah haji, karena proses pembuatannya terdapat unsur babi yaitu enzim pankreas babi. Vaksin meningitis yang digunakan untuk calon jemaah haji dikatakan haram karena dari proses pembuatannya menggunakan unsur babi. Walaupun di akhir pembuatan tidak ditemukan adanya unsur babi, tetapi vaksin tersebut tetap dinyatakan haram. Menurut Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM-MUI) wilayah Yogyakarta Tridjoko Wisnu Murti, Majelis Ulama Indonesia dalam menyatakan vaksin meningitis itu haram berpegang teguh pada sistem proses yang diikuti oleh pabrik dalam pembuatan vaksin tersebut. Menurut Wakil Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat, dan Makanan Majelis Ulama Indonesia (LPPOMMUI) wilayah Yogyakarta bidang sertifikasi Umar Santosa, apabila dalam proses produksi tersebut menggunakan unsur babi hal ini telah mengharamkan proses selanjutnya, dalam menentukan haramnya suatu produk itu mendahulukan sistem manajemen produk dan komitmen analisis kimia. Bagi yang tidak mengetahui prinsip-prinsip halal suatu produk memang hanya melihat dari hasil akhirnya saja. Padahal, ia menambahkan, pada prinsipnya

42

segala sesuatu yang diproses dari bahan haram semuanya akan menjadi haram.34 Penggunaan vaksin meningitis dihubungkan dengan kaidah sadd AdzDzariah menurut imam Asy-Syatibi artinya adalah melaksanakan suatu pekerjaan yang semula mengandung kemaslahatan menuju pada suatu kerusakan (Kemafsadatan). Dari pengertian tersebut diketahui bahwa saddDzariah adalah perbuatan yang dilakukan seseorang yang sebelumnya mengandung kemaslahatan, tetapi berakhir dengan suatu kerusakan. Menurut imam Asy-Syatibi, ada kriteria yang menjadi suatu perbuatan itu dilarang, yaitu: (a) perbuatan yang tadinya boleh dilakukan itu mengandung kerusakan, (b) kemafsadatan lebih kuat daripada kemaslahatan, dan (c) perbuatan yang dibolehkan oleh syara mengandung lebih banyak unsur kemafsadatannya. Menurut Ibnu Qayyim kemafsadatan suatu perbuatan lebih kuat daripada kemanfaatannya.35 Penulis berpendapat bahwa benda najis secara substansi benda tersebut yang bersifat qathi (sudah ditentukan secara nash al-Quran tidak bisa dirubah), artinya meskipun menggunakan pencucian secara syariat Islam benda tersebut tetap najis, sangat berbeda sekali dengan benda mutanajis. Sebagai landasan ialah surat al Baqarah ayat 173, dalam surat tersebut terdapat kata harammah yang menunjukan bentuk nahi (larangan)
Nashir Muhammad, Vaksin Meningitis bisa dilihat Proses Buatannya, <www.Republika.co.id>, diakses pada hari senin tanggal 7 November 2010. 35. Rachmat Syafei, Ilmu Ushul Fiqih, Pustaka Setia, Bandung, 2007, hlm. 132.
34.

43

mengharamkan bagimu bangkai, darah, dan daging babi. Ayat tersebut menunjukan bahwa bangkai, darah, daging babi, termasuk kategori haram yang mutlak. Artinya walaupun menggunakan pencucian sesuai dengan syariat pun benda tersebut tetap najis, sebab binatang tersebut termasuk kedalam kategori najis dalam hukum awalnya. Jadi status hukumnya tidak dapat dipersamakan dengan benda mutanajis (ketiban najis).36 Selain itu terdapat kaidah yang artinya: asal dari suatu larangan itu menunjukan adanya kewajiban untuk ditinggalkan. 2. Vaksin meningitis Kriteria Halal Berdasarkan keterangan dari kementerian agama dan majelis ulama Indonesia telah menemukan vaksin meningitis yang halal yaitu Menveo Menigococcal Group A, C, W 135 dan Y Conyugate yang diproduksi oleh Novartis Vaccine and Diagnostics S.r.i, dalam proses produksi vaksin tersebut tidak bersentuhan dengan babi atau bahan yang tercemar babi tetapi bersentuhan dengan bahan najis selain babi dan dapat disucikan kembali dan telah memenuhi ketentuan pencucian secara syara (tahrir Syaran) dan proses pembuatannya tidak mengandung babi tetapi menggunakan sapi sebagai bahan pembuatan vaksin tersebut. Berdasarkan hasil penelitian penulis, bahwa vaksin tersebut dapat dikategorikan halal mengingat bahan dasar dari vaksin tersebut berasal dari

Benda mutanajis adalah benda yang hukum asalnya suci, tapi karena ada benda najis yang mencampurinya maka hukum benda tersebut menjadi najis.

36.

44

benda atau binatang yang suci, yaitu tidak haram atau najis secara substansi. Sedangkan benda atau binatang yang tidak suci atau haram secara substansi bendanya seperti anjing, babi, celeng dan lain sebagainya.

Anda mungkin juga menyukai