Anda di halaman 1dari 25

BAB I PENDAHULUAN

Epilepsi ditandai dengan aktivitas berlebihan yang tidak terkendali dari sebagian atau seluruh system saraf pusat. Orang yang mempunyai faktor predisposisi timbulnya epilepsi akan mendapat serangan bila nilai basal dari eksitabilitas system saraf (atau bagian yang peka terhadap keadaan epileptic ) meningkat diatas nilai ambang kritisnya. Selama besarnya eksitabilitas tetap dijaga dibawah nilai ambang ini, maka serangan epilepsi tidak akan terjadi.1 Epilepsi merupakan salah satu penyakit neurologis yang utama. Epilepsi sering dihubungkan dengan disabilitas fisik, disabilitas mental, dan konsekuensi psikososial yang berat bagi penyandangnya (pendidikan yang rendah, pengangguran yang tinggi, stigma sosial, rasa rendah diri, kecenderungan tidak menikah bagi penyandangnya). Sebagian besar kasus epilepsi dimulai pada masa anak-anak.1 Epilepsi dapat terjadi pada siapa saja di seluruh dunia tanpa ada batasan ras dan sosio-ekonomi. Angka kejadian epilepsi masih tinggi terutama di negara berkembang dibanding dengan negara industri. Hal ini belum diketahui penyebanya, diduga terdapat beberapa faktor ikut berperan, misalnya perawatan ibu hamil, keadaan waktu melahirkan, trauma lahir, kekurangan gizi dan penyakit infeksi.1 Klasifikasi Internasional Kejang Epilepsi menurut International League Against Epilepsy (ILAE) 1981 terdiri dari bangkitan parsial, bangkitan umum, dan bangkitan yang tidak terklasifikasi. Epilepsi dengan bagkitan tonik-klonik (grand mal)

merupakan tipe kejang tipikal yang paling sering (meliputi 75% kasus epilepsi). Bangkitkan epilesi grand mal ditandai dengan hilang kesadaran dan bangkitan toniktonik.2,3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) dan International Bureau for Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 epilepsi didefinisikan sebagai suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor predisposisi yang dapat mencetuskan kejang epileptik, perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat kejang epilepsi sebelumnya. Epilepsi adalah sindrom klinis yang ditandai dengan dua atau lebih bangkita. Sebagian besar timbul tanpa provokasi, akibat kelainan abnormal primer di otak dan bukan sekunder oleh penyebab sisitemik.2 Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan (seizure) berulang sebagai akibat dari adanya gangguan fungsi otak secara intermiten, yang disebabkan oleh lepas muatan listrik abnormal dan berlebihan di neuron-neuron secara paroksismal, dan disebabkan oleh berbagai etiologi.4 Bangkitan epilepsi (epileptic seizure) adalah manifestasi klinis dari bangkitan serupa (streotipik), berlangsung secara mendadak dan sementara dengan atau tanpa

perubahan kesadaran, disebabkan oleh hiperaktivitas listrik sekelompok sel saraf di otak(unprovoked).4 B. Epidemiologi Data dari seluruh dunia, didapatkan hampir 40 juta manusia menderita epilepsi. Menurut WHO prevalensi epilepsi ini lebih tinggi pada wanita daripada pria. Angka prevalensi untuk pria 0.32:1000 dan wanita 0.46: 1000.5 Berapa banyak pasien epilepsi di Indonesia, sampai sekarang belum pernah dilakukan penyelidikan epidemiologi, tetapi dapat dikatakan bahwa epilepsi tidak jarang dijumpai dalam masyarakat. Jika dipakai angka-angka prevalensi dan insidensi epilepsy yang didapatkan dalam kepustakaan, yakni untuk prevalensi 5-10%dan insiden 0,5% maka dapat diperkirakan, bahwa diindonesia yang berpenduduk hamper 200 juta, sedikit nya terdapat 1.000.000-2.000.000 orang penyandang epilepsi.6 C. Etiologi Ditinjau dari penyebab, epilepsi dapat dibagi menjadi 3 golongan yaitu :7 1. Idiopatik epilepsi: biasanya berupa epilepsi dengan serangan kejang umum, penyebabnya tidak diketahui. Meliputi 50% dari penderita epilepsi anak dan umumnya mempunyai predisposisi genetik, awitan biasanya pada usia > 3 tahun. 2. Kriptogenik epilepsi: Dianggap simptomatik tapi penyebabnya belum diketahui. Kebanyakan lokasi yang berhubungan dengan epilepsi tanpa disertai lesi yang mendasari atau lesi di otak tidak diketahui. Termasuk disini

adalah sindroma West, Sindroma Lennox Gastaut dan epilepsi mioklonik. Gambaran klinis berupa ensefalopati difus. 3. Simptomatik epilepsi: Pada simptomatik terdapat lesi struktural di otak yang mendasari, contohnya oleh karena sekunder dari trauma kepala, infeksi susunan saraf pusat, kelainan kongenital, proses desak ruang di otak, gangguan pembuluh darah diotak, toksik (alkohol, obat), gangguan metabolik dan kelainan neurodegeneratif. 7 D. Factor pencetus Faktor-faktor pencetusnya dapat berupa : 6 1. kurang tidur 2. stress emosional 3. infeksi 4. obat-obat tertentu 5. alkohol 6. perubahan hormonal 7. terlalu lelah 8. fotosensitif

E. Klasifikasi Klasifikasi Internasional Kejang Epilepsi menurut International League Against Epilepsy (ILAE) 1981: 2 I . Kejang Parsial (fokal) a. Kejang parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran) 1. Dengan gejala motorik 2. Dengan gejala sensorik b. Kejang parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)

c. kejang parsial yang menjadi umum (tonik-klonik, tonik atau klonik) II. Kejang umum (konvulsi atau non-konvulsi) a. lena/ absens b. mioklonik c. tonik d. atonik e. klonik f. tonik-klonik III. Kejang epileptik yang tidak tergolongkan. 2

F. Patofisiologi Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan transmisi pada sinaps. Ada dua jenis neurotransmitter, yakni neurotransmitter eksitasi yang memudahkan depolarisasi atau lepas muatan listrik dan neurotransmitter inhibisi (inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik saraf dalam sinaps) yang menimbulkan hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih stabil dan tidak mudah melepaskan listrik. Di antara neurotransmitter-neurotransmitter eksitasi dapat disebut glutamate, aspartat, norepinefrin dan asetilkolin sedangkan neurotransmitter inhibisi yang terkenal ialah gamma amino butyric acid (GABA) dan glisin. Jika hasil pengaruh kedua jenis lepas muatan listrik dan terjadi transmisi impuls atau rangsang. Dalam keadaan istirahat, membran neuron mempunyai potensial listrik tertentu dan berada dalam keadaan polarisasi. Aksi potensial akan mencetuskan depolarisasi membran neuron dan seluruh sel akan melepas muatan listrik.

Oleh berbagai faktor, diantaranya keadaan patologik, dapat merubah atau mengganggu fungsi membran neuron sehingga membran mudah dilampaui oleh ion Ca dan Na dari ruangan ekstra ke intra seluler. Influks Ca akan mencetuskan letupan depolarisasi membran dan lepas muatan listrik berlebihan, tidak teratur dan terkendali. Lepas muatan listrik demikian oleh sejumlah besar neuron secara sinkron merupakan dasar suatu serangan epilepsi. Suatu sifat khas serangan epilepsi ialah bahwa beberapa saat serangan berhenti akibat pengaruh proses inhibisi. Diduga inhibisi ini adalah pengaruh neuron-neuron sekitar sarang epileptic. Selain itu juga sistem-sistem inhibisi pra dan pasca sinaptik yang menjamin agar neuron-neuron tidak terus-menerus berlepas muatan memegang peranan. Keadaan lain yang dapat menyebabkan suatu serangan epilepsi terhenti ialah kelelahan neuron-neuron akibat habisnya zat-zat yang penting untuk fungsi otak.

Silbernagl S. Color Atlas of Pathophysiology. New York: Thieme. 2000

G. Manifestasi Klinis 1. Kejang parsial simplek, seranagan di mana pasien akan tetap sadar. Pasien akan mengalami gejala berupa: - deja vu: perasaan di mana pernah melakukan sesuatu yang sama sebelumnya. - Perasaan senang atau takut yang muncul secara tiba-tiba dan tidak dapat dijelaskan - Perasaan seperti kebas, tersengat listrik atau ditusuk-tusuk jarum pada bagian tubih tertentu.

- Gerakan yang tidak dapat dikontrol pada bagian tubuh tertentu - Halusinasi 2. Kejang parsial (psikomotor) kompleks, serangan yang mengenai bagian otak yang lebih luas dan biasanya bertahan lebih lama. Pasien mungkin hanya sadar sebagian dan kemungkinan besar tidak akan mengingat waktu serangan. Gejalanya meliputi: - Gerakan seperti mengunyah - Melakukan gerakan yang sama berulang-ulang atau memainkan pakaiannya - Melakukan gerakan yang tidak jelas artinya, atau berjalan berkeliling dalam keadaan seperti sedang bingung - Gerakan menendang atau meninju yang berulang-ulang - Berbicara tidak jelas seperti menggumam. 3. Kejang tonik klonik (epilepsy grand mal). - Pada epilepsi grand mal simtomatik selalu didahului aura yang memberi manifestasi sesuai dengan letak fokus epileptogen pada permukaan otak. Aura dapat berupa perasaan tidak enak, melihat sesuatu, mencium bau-bauan tak enak, mendengar suara gemuruh, mengecap sesuatu, sakit kepala dan sebagainya. - Fase awal konvulsi tonik-klonik pada majoritas kasus dimulai dengan kontraksi otot tonik di seluruh bagian badan. Kontraksi tonik pada otot pernapasan dan larynx akan menyebabkan pasien kedengaran mengerang. Pernapasan bisa terganggu, sekresi air liur meningkat di oropharynx, dan

akhirnya menimbulkan gejala sianosis. Kontraksi otot rahang kadang bisa menyebabkan pasien tergigit lidahnya sendiri. Tonus simpatetis meningkat, menyebabkan nadi, tekanan darah, dan pelebaran diameter pupil turut meningkat. - Setelah 10 hingga 20 detik, fase tonik akhirnya berubah menjadi fase klonik, ditandai dengan relaksasi otot-otot secara menyeluruh. Periode relaksasi ini bertahan sehingga hampir 1 menit sebelum pasien memasuki fase post-ictal, di mana pasien secara umumnya hilang kesadaran, tonus otot melemah, dan sekresi saliva yang banyak bisa menyebabkan obstruksi saluran napas. Inkontinensia kandung kemih atau rektum bisa terjadi pada waktu ini. - Pasien secara perlahan-lahan kembali sadar dalam jangka waktu menit ke jam, dan seringkali disertai dengan kebingungan. Gejala-gejala post-ictal seperti sakit kepala, capek, dan nyeri otot biasanya muncul dan bisa bertahan sehingga beberapa jam. Fase kesadaran menurun bisa berlangsung selama beberapa jam pada pasien dengan penyakit sistem saraf pusat, seperti pada pasien serebral atropi disebabkan oleh intoksikasi alkohol.

10

H. Diagnosis Diagnosis epilepsi ditegakkan atas dasar adanya gejala dan tanda klinik dalam bentuk bangkitan epilepsi berulang (minimum 2 kali) yang ditunjang oleh gambaran epileptiform pada EEG. Secara lengkap urutan pemeriksaan untuk menuju ke diagnosis adalah sebagai berikut: 4 1. Anamnesis (auto dan aloanamnesis) Pola/bentuk bangkitan Lama bangkitan Gejala sebelum, selama, dan pasca bangkitan Frekuensi bangkitan Faktor pencetus Ada/tidak adanya penyakit lain yang diderita sekarang Usia pada saat terjadinya bangkitan pertama Riwayat pada saat dalam kandungan, persalinan/kelahiran dan

perkembangan bayi/anak Riwayat terapi epilepsi sebelumnya Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga 2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologik Hal-hal yang perlu diperiksa antara lain adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi, misalnya trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan neurologik fokal atau difus, kecanduan alcohol atau obat terlarang, dan kanker.
11

3. Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai dengan bukti-bukti klinik dan/atau indikasi, serta bila keadaan memungkinkan untuk pemeriksaan penunjang. - Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan diagnosis epilepsi. Akan tetapi epilepsi bukanlah gold standard untuk diagnosis. Hasil EEG dikatakan bermakna jika didukung oleh klinis. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolic. Indikasi pemeriksaan EEG: a. Membantu menegakkan diagnosis epilepsy b. Menentukan prognosis pada kasus tertentu c. Pertimbangan dalam penghentian obat anti epilepsy d. Membantu dalam menentukan letak focus e. Bila ada perubahan bentuk bangkitan (berbeda dengan bangkitan sebelumnya) - Video EEG Pemeriksaan ini dilakukan bila ada keraguan untuk memastikan diagnosis epilepsi atau serangan kejang yang bukan oleh karena epilepsi atau bila pada pemeriksaan rutin EEG hasilnya negatif tetapi serangan kejang masih saja

12

terjadi, atau juga perlu dikerjakan bila pasien epilepsi dipertimbangkan akan dilakukan terapi pembedahan. Biasanya pemeriksaan video-EEG ini berhasil membedakan apakah serangan kejang oleh karena epilepsi atau bukan dan biasanya selama perekaman dilakukan secara terus-menerus dalam waktu 72 jam, sekitar 50-70% dari hasil rekaman dapat menunjukkan gambaran serangan kejang epilepsi.8 - Pemeriksaan pencitraan otak Bertujuan untuk melihat struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan CT Scan maka MRl lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat untuk membandingkan hipokampus kanan dan kiri serta untuk membantu terapi pembedahan. Indikasi: Semua kasus bangkitan pertama yang diduga ada kelainan struktural Adanya perubahan bentuk bangkitan Terdapat defisit neurologik fokal Epilepsi dengan bangkitan parsial Bangkitan pertama di atas usia 25 tahun Untuk persiapan tindakan pembedahan - Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan darah, meliputi hemoglobin, leukosit, hematokrit, trombosit, apus darah tepi, elektrolit (natrium, kalium, kalsium, magnesium), kadar

13

gula, fungsi hati (SGOT, SGPT, gamma gt, alkali fosfatase), ureum, kreatinin, dan lain-lain atas indikasi. Pemeriksaan cairan serebrospinal, bila dicurigai adanya infeksi ssp. I. Tatalaksana - Prinsip-prinsip terapi obat antiepilepsi : a. Menentukan diagnosis yang tepat b. Memilih obat yang paling sesuai Pemilihan obat antiepilepsi didasarkan pada dua hal, tipe serangan dan karakteristik pasien a) Tipe serangan Tabel 1 modifikasi brodie et al (2005) dan panayiotopoulos (2005) Tipe serangan First-line Second-line/ add on Asam valproat Levetiracetam Zonisamid Pregabalin Third line/ add on Tiagabin Vigabatrin Felbamat Pirimidon

Parsial simple & Karbamazepine kompleks dengan atau tanpa general Fenitoin sekunder Fenobarbital Okskarbazepin Lamotrigin Topiramat Gabapentin Asam valproat Karbamazepine

Tonik klonik

Lamotrigin Okskarbazepin

Topiramat Levetiracetam

14

Fenitoin Fenobarbital Asam valproat

Zonisamid Pirimidon Lamotrigin Clobazam Clonazepam Fenobarbital Levetiracetam Zonisamid Felbamat

Mioklonik

Topiramat Levetiracetam Zonisamid

Absence (tipikal Asam valproat dan atipikal) Lamotrigin Atonik Asam valproat

Etosuksimid

Lamotrigin Topiramat Clonazepam Clobazam

Tonik

Asam valproat Fenitoin Fenobarbital absence Asam valproat

Epilepsy juvenil

Clonazepam

Etosuksimid Epilepsy mioklonik Asam valproat juvenil Fenobarbital b) karakteristik pasien

Clonazepam Etosuksimid

Dalam pengobatan dengan obat antiepilepsi karakteristik pasien harus dipertimbangkan secara individu. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah : efek buruk obat, dosis yang tepat, harga, pola hidup dan usia pasien. Suatu obat antiepilepsi mungkin efektif pada pasien tertentu namun jika ada kontra indikasi atau terjadi reaksi yang tidak bisa ditoleransi maka

15

sebaiknya penggantian obat dilakukan. Sebagai contoh asam valproat pada wanita, khususnya wanita yang masih dalam usia subur. c. Optimalisasi terapi dengan dosis individu Ketika obat sudah dipilih terapi seharusnya dimulai dari dosis yang paling rendah yang direkomendasikan dan pelan-pelan dinaikkan dosisnya sampai kejang terkontrol dengan efek samping obat yang minimal (dapat ditoleransi). Perlu dilakukan evaluasi respon klinik pasien terhadap dosis obat yang diberikan dengan melihat respon setelah obat mencapai kadar yang optimal dan kemudian memutuskan apakah selanjutnya dibutuhkan penyesuaian atau tidak. Setelah evaluasi dilakukan, baru kemudian dipertimbangkan adanya penambahan dosis. Dosis awal : Terapi obat antiepilepsi harus diberikan secara bertahap dalam satu bulan terapi untuk meminimalkan efek samping gastrointestinal dan neurologik yang biasanya terjadi pada permulaan terapi dengan obat antiepilepsi. Frekuensi efek samping ini cenderung menurun pada beberapa bulan setelah terapi karena dapat ditoleransi. Beberapa cara pemberian dosis awal : Pemberian obat mulai dari dosis subterapetik Sejumlah obat antiepilepsi memberikan efek samping yang dihubungkan dengan dosis awal, di antaranya karbamazepin, etosuksimide, felbamate, lamotrigin, pirimidone, tiagabin, topiramat dan asam valproat. Munculnya ruam pada penggunaan lamotrigin dihubungkan dengan dosis. Untuk
16

meminimalkan efek samping pada pemberian awal ini, obat-obat tersebut biasanya diberikan mulai dengan dosis subterapetik dan dinaikkan secara bertahap sampai beberapa minggu tercapainya range dosis yang dianjurkan. Jika efek buruk tidak dapat ditoleransi selama proses titrasi ini, dosis harus kembali pada kadar sebelumnya yang dapat ditoleransi pasien. Setelah simptom menghilang, proses titrasi dimulai kembali dengan menaikkan dosis yang lebih kecil. Pemberian obat mulai dari dosis terapetik Efek buruk terkait dosis awal pemberian pada obat-obat antiepilepsi seperti gabapentin, fenitoin, dan fenobarbital merupakan masalah yang ringan sehingga terapi dengan obat tersebut dapat diberikan mulai dengan dosis terapetik yang direkomendasikan. Table 3 dosis obat antiepilepsi untuk dewasa diambil dari Brodie et al (2005)

Obat

Dosis awal (mg/hari)

Dosis paling umum

yang

Dosis maintenance (mg/hari)

Frekuensi Efek samping pemberian (kali/hari)

(mg/hari)

Fenitoin

200

300

100-700

1-2

Hirsutisme, distres kabur,

hipertrofi

gusi,

lambung, vertigo,

penglihatan hiperglikemia,

anemia makrositik Karbamazepin 200 600 400-2000 2-4 Depresi sumsum tulang, distress lambung, sedasi, penglihatan

kabur, konstipasi, ruam kulit

17

Okskarbazepin 150-600

900-1800

900-2700

2-3

Gangguan GI, sedasi, diplopia, hiponatremia, ruam kulit

Lamotrigin

12,5-25

200-400

100-800

1-2

Hepatotoksik, steven-johnson,

ruam, nyeri

sindrom kepala,

pusing, penglihatan kabur Zonisamid 100 400 400-600 1-2 Somnolen, ataksia, kelelahan,

anoreksia, pusing, batu ginjal, leukopenia Ethosuximid 500 1000 500-2000 1-2 Mual, muntah, BB , konstipasi, diare, gangguan tidur Felbamat 1200 2400 1800-4800 3 gg. GI, BB , anoreksia, nyeri kepala, insomnia, hepatotoksik Topiramat 25-50 200-400 100-100 2 Faringitis, insomnia, BB ,

konstipasi, mulut kering, sedasi, anoreksia Clobazam Clonazepam 10 1 20 4 10-40 2-8 1-2 1-2 Mengantuk, kebingungan, nyeri kepala, vertigo, sinkop Fenobarbital Pirimidon Tiagabin 60 125 4-10 120 500 40 60-240 250-1500 20-60 1-2 1-2 2-4 Mulut kering, pusing, sedasi, langkah terhuyung, nyeri kepala, eksaserbasi kejang generalisata Vigabatrin 5001000 Gabapentin 300-400 2400 1200-4800 3 Leukopenia,mulut penglihatan kabur, kering, mialgia, 3000 2000-4000 1-2 Sedasi, distress lambung

penambahan berat, kelelahan

18

Pregabalin Valproat

150 500

300 1000

150-600 500-3000

2-3 2-3 2 Mual, hepatotoksik

Levetiracetam 1000 d. Penggantian Obat

2000-3000 1000-4000

Penggantian obat antiepilepsi pertama dilakukan jika : a) Jika serangan terjadi kembali meskipun obat antiepilepsi pertama sudah diberikan dengan dosis maksimal yang dapat ditoleransi, maka obat antiepilepsi kedua harus segera dipilih. b) Jika terjadi reaksi obat pertama baik efek samping, reaksi alergi ataupun efek merugikan lainnya yang tidak dapat ditoleransi pasien. Terapi dengan obat yang kedua harus dimulai dengan gambaran sebagai berikut: pertama, dosis dari obat kedua harus dititrasi sampai pada range dosis yang direkomendasikan. Obat yang pertama harus diturunkan secara bertahap selama 1-3 minggu. Setelah obat yang pertama diturunkan, dosis obat kedua (monoterapi) harus dinaikkan sampai serangan terkontrol atau dengan efek samping yang minimal. Proses ini harus dilanjutkan sampai monoterapi dengan dua atau tiga obat primer gagal. Setelah proses tersebut dilakukan baru politerapi dipertimbangkan. c) Monoterapi Monoterapi rupanya sudah menjadi pilihan dalam memulai pengobatan epilepsi. Berbagai keuntungan diperoleh dengan cara itu, yakni: - Mudah dilakukan evaluasi hasil pengobatan,
19

- Mudah dievaluasi kadar obat dalam darah, - Efek samping minimal, (dapat ditoleransi pada 50-80% pasien) - Terhindar dari interaksi obat-obat. Dewasa ini terapi obat pada penderita epilepsi, apapun jenisnya, selalu dimulai dengan obat tunggal. Pilihan obat ditentukan dengan melihat tipe epilepsi/bangkitan dan obat yang paling tepat sebagai pilihan pertama. Sekitar 75% kasus yang mendapat obat tunggal akan mengalami remisi dengan hanya mendapat efek samping minimal. Akan tetapi sisanya akan tetap mengalami bangkitan dan memerlukan kombinasi obat. d) Politerapi Penggunaan politerapi memerlukan pengetahuan yang baik dalam

farmakologi klinik, terutama interaksi obat. Berbagai OAE lama, mempunyai mode of action yang sama, karena itu interaksinya sering tidak menguntungkan karena efek sampingnya aditif. Kombinasi OAE yang lebih spesifik mungkin lebih menguntungkan, misalnya: valproat dan etosuksimid dalam manajemen bangkitan absence refrakter. Dibandingkan dengan obatobat lama, obat-obat baru mempunyai mekanisme yang berbeda dan lebih selektif. Mungkin akan lebih menguntungkan apabila dipakai kombinasi spesifik. Kombinasi optimal dicapai dengan menggunakan obat-obat yang: - mempunyai mekanisme aksi berbeda - efek samping relatif ringan - indeks terapi lebar

20

- interaksi obat terbatas atau negatif. e. Ketaatan pasien Kriteria kepatuhan minum obat yang dipakai adalah adalah penderita dikatakan patuh minum obat apabila memenuhi 4 hal berikut : dosis yang diminum sesuai dengan yang dianjurkan, durasi waktu minum obat doidiantara dosis sesuai yang dianjurkan, jumlah obat yang diambil pada suatu waktu sesuai yang ditentukan, dan tidak mengganti dengan obat lain yang tidak dianjurkan. Berbagai faktor dapat mempengaruhi kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kepatuhan minum obat pada penderita epilepsi dipengaruhi oleh dukungan keluarga, dukungan dokter, pengaruh faktor motivasi, adanya efek samping obat, pengobatan monoterapi, pengaruh biaya pengobatan serta adanya pengaruh stigma. - Terapi operatif Apabila dengan berbagai jenis OAE dan adjuvant tidak memberikan hasil sama sekali, maka terapi operatif harus diperimbangkan dalam satu dasawarsa terakhir, tindakan operatif untuk mempercepat untuk mengatasi epilepsy refrakter makin banyak dikerjakan. Operasi yang paling aman adalah reseksi lobus temporalis bagian anterior. Lebih kurang 70-80% penderita yang mengalami operasi terbebas dari serangan, walaupun diantaranya harus minum obat OAE. Pendekatan teknik operasi lainnya adalah reseksi korteksi otak,

21

hemisferektomi, dan reseksi multilobular pada bayi dan pembedahan korpus kalosum. - Penghentian pengobatan Keputusan untuk menghentikan pengobatan sama pentingnya dengan memulai pengobatan. Dipihak lain, penderita atau orang tua nya pada umumnya menanyakan: berapa lama atau sampai kapan harus minum obat? untuk memutuskan apakah pengobatan dapat dihentikan atau belum, atau tidak dapat dihentikan atau menjawab pertanyaan yang diajukan penderita/ orang tuanya tadi memang tak mudah. Untuk itu perlu memahami diagnosis (termasuk serangannya) dan prognosis epilepsy. Jenis serangan dapat pula dipakai untuk memperkirakan tingkat kekambuhan apabila OAE dihentikan. Tingkat kekambuhan yang paling rendah adalah jenis serangan absence yang khas. Kemudian berturut-turut makin tinggi tingkat kekambuhannya adalah klonik atau mioklonik, kejang tonik-klonik primer, parsial sederhanadan parsial kompleks, serangan yang lebih dari satu jenis, dan epilepsy Jackson. Konsep penghentian obat minimal 2 tahun terbebas dari serangan pada umumnya dapat diterima oleh kalangan praktisi. Penghentian obat dilaksanakan secara bertahap, disesuaikan dengan keadaan klinis penderita. Dengan demikian jelas bahwa penghentian OAE memerlukan pertimbangan yang cermat, dan kepada penderita atau orang tuanya harus diberikan pengertian secukupnya.

22

23

BAB III KESIMPULAN

24

DAFTAR PUSTAKA

1. Lumbantobing SM. Epilepsi (ayan). Edisi ke-5. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006; p.1-3. 2. Dewanto, George, Wita, dkk. Diagnosis dan Tata Laksana Penyakit Saraf. Jakarta: Penerbit EGC. 3. Ginsberg L. Lecture notes neurologi. Edisi ke-8. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2005; p.79-88. 4. Harsono, Kustiowati E, Gunadharma S, editors. Pedoman tatalaksana epilepsi. Edisi ke-3. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia, 2008; p.1-48. 5. Misbach J. Patofisiologi epilepsi. Dalam: Simposium updates in epilepsy. 14 Desember 2002. Jakarta. 6. Buku Ajar Neurologi Klinis 7. Kustiowati E, Hartono B, Bintoro A, Agoes A (editors) (2003) : Pedoman Tatalaksana Epilepsi, Kelompok Studi Epilepsi Perdossi. 8. Stefan H (2003) : Differential Diagnosis of Epileptic Seizures and Non Epileptic Attacks, Teaching Course : Epilepsy 7th Conggres of the European Federation of Neurological Societies, Helsinki.

25

Anda mungkin juga menyukai

  • Leaflet Lansia Sehat
     Leaflet Lansia Sehat
    Dokumen2 halaman
    Leaflet Lansia Sehat
    Afrida Sahestina
    Belum ada peringkat
  • PP Efusi Pleura
    PP Efusi Pleura
    Dokumen17 halaman
    PP Efusi Pleura
    Afrida Sahestina
    Belum ada peringkat
  • Presentation 1
    Presentation 1
    Dokumen28 halaman
    Presentation 1
    Afrida Sahestina
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen7 halaman
    Bab I
    Afrida Sahestina
    Belum ada peringkat
  • HAID DAN KELAINANNYA
    HAID DAN KELAINANNYA
    Dokumen41 halaman
    HAID DAN KELAINANNYA
    Paleh Tath Ganaih
    100% (2)
  • Gantung Diri (Hanging)
    Gantung Diri (Hanging)
    Dokumen48 halaman
    Gantung Diri (Hanging)
    Afrida Sahestina
    Belum ada peringkat
  • Slide Granuloma
    Slide Granuloma
    Dokumen21 halaman
    Slide Granuloma
    Afrida Sahestina
    Belum ada peringkat
  • Vaginosis Bakterial
    Vaginosis Bakterial
    Dokumen19 halaman
    Vaginosis Bakterial
    Afrida Sahestina
    Belum ada peringkat
  • Presentation 2
    Presentation 2
    Dokumen23 halaman
    Presentation 2
    Afrida Sahestina
    Belum ada peringkat
  • Laporan Kasus
    Laporan Kasus
    Dokumen1 halaman
    Laporan Kasus
    Afrida Sahestina
    Belum ada peringkat
  • Glaukoma
    Glaukoma
    Dokumen16 halaman
    Glaukoma
    Afrida Sahestina
    Belum ada peringkat
  • Presentation 1
    Presentation 1
    Dokumen19 halaman
    Presentation 1
    Afrida Sahestina
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen15 halaman
    Bab I
    Afrida Sahestina
    Belum ada peringkat
  • Laporan Kasus
    Laporan Kasus
    Dokumen9 halaman
    Laporan Kasus
    Afrida Sahestina
    Belum ada peringkat
  • Kondiloma Akuminata
    Kondiloma Akuminata
    Dokumen24 halaman
    Kondiloma Akuminata
    Leonita Budi Utami
    100% (4)
  • PENGGUNAAN PIRACETAM
    PENGGUNAAN PIRACETAM
    Dokumen8 halaman
    PENGGUNAAN PIRACETAM
    Afrida Sahestina
    0% (1)
  • Refer at
    Refer at
    Dokumen1 halaman
    Refer at
    Afrida Sahestina
    Belum ada peringkat
  • Di
    Di
    Dokumen1 halaman
    Di
    Afrida Sahestina
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen31 halaman
    Bab I
    Afrida Sahestina
    Belum ada peringkat
  • Presentation 1
    Presentation 1
    Dokumen19 halaman
    Presentation 1
    Afrida Sahestina
    Belum ada peringkat
  • Refer at
    Refer at
    Dokumen1 halaman
    Refer at
    Afrida Sahestina
    Belum ada peringkat
  • Status Neurologi
    Status Neurologi
    Dokumen21 halaman
    Status Neurologi
    Afrida Sahestina
    Belum ada peringkat
  • Jaras Piramidalis Dan Ekstramidalis
    Jaras Piramidalis Dan Ekstramidalis
    Dokumen11 halaman
    Jaras Piramidalis Dan Ekstramidalis
    Pramasanti Hera
    100% (2)
  • Status Pasien Parkinson
    Status Pasien Parkinson
    Dokumen22 halaman
    Status Pasien Parkinson
    Afrida Sahestina
    Belum ada peringkat
  • Referat HNP
    Referat HNP
    Dokumen30 halaman
    Referat HNP
    Afrida Sahestina
    Belum ada peringkat
  • Guillain-Barré Syndrome (GBS)
    Guillain-Barré Syndrome (GBS)
    Dokumen23 halaman
    Guillain-Barré Syndrome (GBS)
    Afrida Sahestina
    Belum ada peringkat
  • Status Neurologi
    Status Neurologi
    Dokumen21 halaman
    Status Neurologi
    Afrida Sahestina
    Belum ada peringkat
  • Presentation Kasus
    Presentation Kasus
    Dokumen28 halaman
    Presentation Kasus
    Afrida Sahestina
    Belum ada peringkat
  • Presentation Referat
    Presentation Referat
    Dokumen16 halaman
    Presentation Referat
    Afrida Sahestina
    Belum ada peringkat