Anda di halaman 1dari 16

RINITIS ALERGI

EVI MELIA SUSAN Nim: 10.2009.121 Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana (UKRIDA) Jalan Arjuna Utara No 6 Jakarta Barat 11470
evimeliasusan@gmail.com

________________________________

PENDAHULUAN
Rinitis alergi merupakan masalah kesehatan global dengan prevalensi yang terus meningkat serta dapat berdampak pada penurunan kualitas hidup penderitanya. Rinitis alergi merupakan penyakit hipersensitifitas tipe 1 yang diperantarai oleh IgE pada mukosa hidung dengan gejala karakteristik berupa bersin-bersin, rinore encer, obstruksi nasi dan hidung gatal. Gejala terjadi pada hidung dan mata dan biasanya terjadi setelah terpapar debu, atau serbuk sari musiman tertentu pada orang -orang yang alergi terhadap zat ini. Berdasarkan atas saat pajanan rhinitis alergi diklasifikasikan menjadi rhinitis alergi musiman (seasonal) dan rhinitis alergi tahunan (perennial) . ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) bekerjasama dengan WHO 2001 membuat klasifikasi baru rhinitis alergi berdasarkan parameter gejala dan kualitas hidup penderita. Berdasarkan atas lama dan beratnya penyakit, rhinitis alergi diklasifikasikan menjadi intermiten ringan, intermiten sedang berat, persisten ringan dan persisten berat. Ini merupakan kondisi yang sangat umum, mempengaruhi sekitar 20% dari populasi. Rhinitis alergi bukanlah kondisi yang mengancam jiwa, namun komplikasi masih dapat terjadi dan menyebabkan kondisi yang secara signifikan dapat mengganggu kualitas hidup. Dua pertiga dari pasien memiliki gejala rinitis alergi sebelum usia 30, tapi kejadiannya dapat terjadi pada usia kapanpun. Ada kecenderungan genetik yang kuat untuk rhinitis alergi. Satu orang tua dengan riwayat rhinitis alergi memiliki sekitar 30 persen kesempatan untuk memproduksi keturunan dengan gangguan tersebut. Resiko meningkat sampai 50 persen jika kedua orang tua memiliki riwayat alergi.

PEMBAHASAN
ANAMNESIS Anamnesis sangat penting, karena seringkali serangan tidak terjadi dihadapan pemeriksa. Anamnesis dimulai dengan riwayat penyakit secara umum dan dilanjutkan pertanyaan yang lebih spesifik, meliputi gejala pada hidung, termasuk keterangan tempat tinggal, tempat kerja dan pekerjaan penderita. Gejala-gejala rinitis alergi yang perlu ditanyakan adalah:1 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Adanya bersin-bersin lebih dari 5 kali (setiap kali serangan) Rinore (ingus bening, encer) dan banyak Gatal di hidung, tenggorok, atau telinga Gatal di mata, berair dan kemerahan Hidung tersumbat (menetap/berganti-ganti) Hiposmia/anosmia Sekret belakang hidung/post nasal drip atau batuk kronik Adanya variasi diurnal (memburuk pada pagi hari-siang hari dan membaik saat malam hari) 9. Penyakit penyerta: sakit kepala berhubungan dengan tekanan dan sinus akibat sumbatan berat, kelelahan, penurunan konsentrasi, gejala radang tenggorok, mendengkur, gejala sinusitis, gejala sesak napas/asma 10. Frekuensi serangan, lama sakit (intermiten/persisten), beratnya penyakit, efeknya pada kualitas hidup seperti adakah gangguan pada aktivitas sehari-hari. Gejala rinitis yang khas ialah terdapatnya serangan bersin yang berulang. Gejala lain ialah keluar hingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien. Perlu ditanyakan pola gejala (hilang timbul, menetap) beserta onset dan keparahannya, identifikasi faktor predisposisi karena faktor genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi, respon terhadap pengobatan, kondisi lingkungan dan pekerjaan. Rinitis alergi dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, bila terdapat 2 atau lebih gejala seperti bersin-bersin lebih 5 kali setiap serangan, hidung dan mata gatal, ingus encer lebih dari satu jam, hidung tersumbat, dan mata merah serta berair maka dinyatakan positif. Pada reaksi alergi fase cepat, gejala klinik yang menonjol adalah bersin-bersin, gatal, rinore, dan kadang-kadang hidung tersumbat, sedang pada reaksi alergi fase lambat gejala yang dominan adalah hidung tersumbat, post nasal drip, dan hiposmia.1 Perlu ditanyakan riwayat atopi pada keluarga serta manifestasi penyakit alergi lain sebelum atau bersamaan dengan rinitis seperti asma bronkhial, dermatitis atopi, urtikaria, dan alergi terhadap makanan.

Sumber penting alergen di lingkungan pasien juga dipertanyakan sebagaimana kualitas udara dan sistem ventilasi di rumah maupun di lingkungan kerja atau adanya binatang peliharaan. Faktor pemicu timbulnya gejala juga perlu ditanyakan seperti lingkungan di rumah, kamar tidur, tempat kerja dan sebagainya yang dapat memicu terjadinya gejala. Bila pasien alergi terhadap debu rumah, gejala memburuk di dalam rumah dan membaik di luar rumah. Gejala juga dipicu bila pasien membersihkan rumah, biasanya memburuk 30 menit sebelum tidur malam. Bila alergi terhadap jamur, gejala dapat terjadi sepanjang tahun, memburuk pada lingkungan dengan kelembapan tinggi dan pada sore hari. Adanya keadaan hiperaktivitas hidung terhadap iritan non spesifik seperti asap rokok, udara dingin, bau merangsang seperti bau parfum, masakan, dan polutan juga dapat memicu serta memperberat gejala rinitis. Riwayat pengobatan juga perlu ditanyakan.1 PEMERIKSAAN FISIK Pada rinoskopi anterior, tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak hipertropi. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila fasilitas tersedia. Gejala spesifik lain pada anak ialah terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata/kelopak mata bawah karena sumbatan vena didaerah orbita, hidung dan sinus yang biasanya menetap akibat bocornya homosiderin (allergic shiner), Dennie Morgan lines adalah garis pada kulit di kelopak mata bawah, allergic salute adalah kebiasaan anak menggosok-gosok hidung karena gatal dengan telapak tangan kearah atas yang akan mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum nasi sepertiga bawah (allergic crease). Pada anak dengan sumbatan hidung kronik dapat menimbulkan dapat menimbulkan facies adenoid karena sering bernapas lewat mulut. Hal ini akan menyebabkan lengkung palatum yang tinggi dan gangguan pertumbuhan gigi sehingga terjadi penonjolan ke depan dari gigi seri atas. Pasien akan sering menggerakkan mulut dan gigi saat tidur terutama pada anak untuk mengatasi masalah gejala rasa penuh di telinga akibat sumbatan tuba. Kadangkadang ditemukan adanya krusta dan kulit yang kasar di daerah nostril/lubang hidung.1 Pada mata dapat ditemukan kemerahan dengan hiperlakrimasi. Pada pemeriksaan tenggorok mungkin didapatkan bentuk geographic tongue (permukaan lidah licin sebagian dan sebagian kasar) yang biasanya akibat alergi makanan, adenoid yang membesar, permukaan dinding faring posterior kasar (Cabble stone appereance) dan penebalan lateral pharyngeal bands akibat sekret mengalir ke tenggorok kronik.1 PEMERIKSAAN PENUNJANG a. In vitro Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) sering kali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Lebih bermakna adalah dengan RAST (Radio Immuno

Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.1 b. In vivo Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET). SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui. Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut diatas kurang dapat diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi dan provokasi (Challenge Test). Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan.1 DIAGNOSIS WORKING DIAGNOSIS Rinitis Alergi (RA) adalah inflamasi mukosa saluran hidung dan sinusyang disebabkan alergi terhadap partikel, antara lain: debu, asap, serbuk/tepungsari yang ada di udara. Gejala utama pada hidung yaitu hidung gatal, tersumbat, bersin-bersin, keluar ingus cair seperti air bening. Seringkali gejala meliputi mata,yaitu : berair, kemerahan dan gatal. Rinitis alergi juga didefinisikan sebagai suatu gangguan fungsi hidungyang terjadi setelah terpajan alergen melalui inflamasi yang diperantarai oleh Imunoglobulin E yang spesifik terhadap alergen tersebut pada mukosa hidung. Onset pajanan alergen terjadi lama dan gejala umumnya ringan, kecuali bila ada komplikasi lain seperti sinusitis.2 Klasifikasi Dahulu rhinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu 1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis). Di Indonesia tidak dikenal rinitis alergi musiman, hanya ada di Negara yang mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu tepung sari (pollen) dan spora jamur. Oleh karena itu nama yang tepat ialah polinosis atau rino konjungtivitis, karena gejala klinik yang tampak ialah gejala pada hidung dan mata (mata merah, gatal disertai lakrimasi).1

2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial). Gejala pada penyakit ini timbul intermitten atau terus menerus tanpa variasi musim, jadi dapat ditemukan sepanjang t a h u n . Penyebab yang paling sering ialah allergen inhalan, terutama pada orang dewasa, dan alergi ingestan. Alergen inhalan utama adalah allergen dalam rumah (indoor) dan allergen diluar rumah (outdoor). Alergen ingestan sering merupakan penyebab pada anak-anak dan biasanya disertai dengan gejala alergi yang lain, seperti urtikaria, gangguan pencernaan. Gangguan fisiologik pada golongan parenial lebih ringan dibandingkan dengan golongan musiman tetapi karena lebih persisten maka komplikasinya lebih sering ditemukan.2 Berdasarkan rekomendasi dari WHO Initiative ARIA tahun 2000, menurut sifat berlangsungnya rinitis alergi dibagi menjadi:2 a. Intermiten, yaitu bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu. b. Persisten, yaitu bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan/atau lebih dari 4 minggu. Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi: a. Ringan, yaitu bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu. b. Sedang atau berat, yaitu bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut di atas DIAGNOSIS DEFFERENSIAL Rinitis Vasomotor Etiologi Rinitis vasomotor adalah gangguan fisiologi mukosa hidung yang disebabkan oleh bertambahnya aktivitas parasimpatis. Saraf otonom mukosa hidung berasal dari n. vidianus yang mngandung serat saraf simpatis dan parasimpatis. Rangsangan pada saraf parasimpatis menyebabkan dilatasi pembuluh darah dalam konka serta meningkatkan permeabilitas kapiler dan sekresi kelenjar. Rangsangan simpatis sebaliknya. Keseimbangan vasomotor ini dipengaruhi berbagai faktor yang berlangsung temporer seperti emosi, posisi tubuh, kelembaban udara, perubahan suhu luar, latihan jasmani, dsb. Pada pasien rhinitis vasomotor, saraf parasimpatis cenderung lebih aktif.2 Gambaran Klinis Gejala dari rinitis vasomotor adalah hidung tersumbat tergantung posisi pasien, rinore yang mucus/serus, jarang disertai bersin dan gatal pada mata, gejala memburuk pada pagi hari karena

adanya perubahan suhu. Mukosa hidung edema, merah gelap, permukaan konka licin atau berbenjol, sekret mukoid. Terapi Pengobatan yang tepat untuk rinitis vasomotor adalah dengan menghindari penyebab, memberikan obat simtomatis (dekongestan oral, kauterisasi konka yang hipertrofi, kortikosteroid topikal), konkotomi konka inferior, neurektomi n. Vidianus.1

Tabel 1. Perbedaan rinitis alergi dan rinitis vasomotor Rinitis Simpleks Rinitis simpleks disebut juga pilek, salesma, common cold, dan coryza. Penyakit ini merupakan penyakit yang paling sering ditemukan pada manusia.2 Etiologi Penyebab rinitis simpleks ialah beberapa jenis virus, yang diklasifikasikan berdasarkan komposisi biokimia virus. Virus RNA termasuk kelompok seperti rinovirus, virus influenza, parainfluenza, dan campak. Sedangkan virus DNA termasuk kelompok adenovirus dan herpes virus.2 Gambaran Klinik Pada stadium prodromal yang berlangsung beberapa jam, didapatkan rasa panas, kering dan gatal di dalam hidung. Kemudian memasuki stadium pertama yang biasanya terbatas tiga hingga lima hari. Pada stadium ini timbul bersin berulang-ulang, hidung tersumbat, sekret hidung mula-mula

encer dan banyak, kemudian menjadi mukoid, lebih kental dan lengket. Biasanya disertai demam dan nyeri kepala. Permukaan mukosa hidung tampak merah dan membengkak.1 Penyakit dapat berakhir pada stadium pertama, namun pada kebanyakan pasien penyakit berlanjut ke stadium invasi bakteri yang ditandai dengan suatu rinore purulen, sumbatan di hidung bertambah, demam, sensasi kecap dan bau berkurang dan sakit tenggorokan. Stadium ini dapat berlangsung hingga dua minggu. Rinovirus tidak menyebabkan terjadinya kerusakan epitel mukosa hidung, sedangkan adenovirus dapat menimbulkan kerusakan epitel mukosa hidung. Terapi Terapi terbaik pada rinitis virus tanpa komplikasi adalah istirahat, obat-obatan simtomatis seperti analgetika, antipiretik dan dekongestan. Selama fase infeksi bakteri sekunder, dapat diberikan antibiotika.1, 2 2) Rinitis Influenza

Etiologi Rinitis influenza disebabkan oleh virus A, B dan C dari golongan ortomiksovirus.2 Gambaran Klinik Gejala yang sering timbul ialah sekret hidung berair, dan hidung tersumbat. Lebih sering terjadi infeksi bakteri sekunder dan nekrosis epitel bersilia dibandingkan common cold.2 Terapi Terapi rinitis influenza tidak ada yang spesifik, sama dengan rinitis simpleks, terapi terbaik adalah istirahat, analgetika, antipiretik dan dekongestan, serta antibiotika bila terdapat infeksi sekunder. ETIOLOGI Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi genetik dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi. Penyebab rinitis alergi tersering adalah alergen inhalan pada dewasa dan ingestan pada anak-anak. Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti urtikaria dan gangguan pencernaan. Penyebab rinitis alergi dapat berbeda tergantung dari klasifikasi. Beberapa pasien sensitif terhadap beberapa alergen. Alergen yang menyebabkan rinitis alergi musiman biasanya berupa serbuk sari atau jamur. Rinitis alergi perenial (sepanjang tahun) diantaranya debu tungau,

terdapat dua spesies utama tungau yaitu Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides pteronyssinus, jamur, binatang peliharaan seperti kecoa dan binatang pengerat.3 Faktor resiko untuk terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta sprai tempat tidur, suhu yang tinggi, dan faktor kelembaban udara. Kelembaban yang tinggi merupakan faktor resiko untuk untuk tumbuhnya jamur. Berbagai pemicu yang bisa berperan dan memperberat adalah beberapa faktor nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat atau merangsang dan perubahan cuaca. Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:3 Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya debu rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur. Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, telur, coklat, ikan dan udang. Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin atau sengatan lebah. Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan

EPIDEMIOLOGI Rinitis alergi dan atopi secara umum disebabkan oleh interaksi dari pasien yang secara genetik memiliki potensi alergi dengan lingkungan. Genetik secara jelas memiliki peran penting. Pada 20 30 % semua populasi dan pada 10 15 % anak semuanya atopi. Apabila kedua orang tua atopi, maka risiko atopi menjadi 4 kali lebih besar atau mencapai 50 %. Peran lingkungan dalam dalam rinitis alergi yaitu alergen,yang terdapat di seluruh lingkungan, terpapar dan merangsang respon imun yang secara genetik telah memiliki kecenderungan alergi. Prevalensi rinitis di dunia saat ini mencapai 10-25% atau lebih dari 600 juta penderitadari seluruh etnis dan usia. Di Amerika Serikat, lebih dari 40 juta warganya mend erita rinitis alergi. Rinitis alergi pada anak lebih sering terjadi pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan, sedangkan pada dewasa prevalensi rinitis alergi laki-laki sama dengan perempuan. Sekitar 80% kasus rhnitis alergi berkembang mulai usia 20 tahun. Insidensi rinitis alergi pada anak-anak 40% dan menurun sejalan dengan usia. Di Indonesia belum ada angka yang pasti, tetapi di Bandung prevalensi rinitis alergi pada usia 10 tahun ditemukan cukup tinggi (5,8%).3 MANIFESTASI KLINIK Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari 5 kali setiap serangan, sebagai akibat dilepaskannya histamin. Disebut juga sebagai bersin patologis. Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal,

yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Tanda-tanda alergi juga terlihat di hidung, mata, telinga, faring atau laring. Tanda-tanda alergi juga terlihat di hidung, mata, telinga, faring atau laring. Tanda hidung termasuk lipatan hidung melintang garis hitam melintang pada tengah punggung hidung akibat sering menggosok hidung ke atas menirukan pemberian hormat (allergic salute), pucat dan edema mukosa hidung yang dapat muncul kebiruan. Lubang hidung bengkak. Disertai dengan sekret mukoid atau cair. Tanda di mata termasuk edema kelopak mata, kongesti konjungtiva, lingkar hitam dibawah mata (allergic shiner). Tanda pada telinga termasuk retraksi membran timpani atau otitis media serosa sebagai hasil dari hambatan tuba eustachii. Tanda faringeal termasuk faringitis granuler akibat hiperplasia submukosa jaringan limfoid. Tanda laringeal termasuk suara serak dan edema pita suara. Gejala lain yang tidak khas dapat berupa: batuk, sakit kepala, masalah penciuman, mengi, penekanan pada sinus dan nyeri wajah, post nasal drip. Beberapa orang juga mengalami lemah dan lesu, mudah marah, kehilangan nafsu makan dan sulit tidur.4

PATOFISIOLOGI Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam.3 Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13.4 IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-

CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).4 Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1).1,3 Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi.1 Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung. Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus-menerus (persisten) sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal. Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri dari:1,4 1. Respon primer Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder. 2. Respon sekunder Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier.

3. Respon tersier Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh. Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau reaksi anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik, tipe 3 atau reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi tuberculin (delayed hypersensitivity). Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang banyak dijumpai di bidang THT adalah tipe 1, yaitu rinitis alergi.1

Gambar 1. Patofisiologi rinitis alergi PENATALAKSANAAN 1. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan alergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi. 2. Medikamentosa Antihistamin yang dipakai adalah antagonis H-1, yang bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral.5 Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi-1 (klasik) dan generasi-2 (non sedatif). Antihistamin generasi-1 bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk kelompok ini antara lain adalah difenhidramin, klorfeniramin, prometasin, siproheptadin sedangkan yang dapat diberikan secara topikal adalah azelastin. Antihistamin generasi-2 bersifat lipofobik, sehingga sulit menembus sawar darah otak. Bersifat selektif mengikat reseptor H-1 perifer dan tidak mempunyai efek antikolinergik, antiadrenergik, dan efek pada SSP minimal (non-sedatif). Antihistamin diabsorpsi secara oral dengan cepat dan mudah serta efektif untuk mengatasi gejala pada respon fase cepat seperti rinore, bersin, gatal, tetapi tidak efektif untuk mengatasi gejala obstruksi hidung pada fase lambat. Antihistamin nonsedatif dapat dibagi menjadi 2 golongan menurut keamanannya. Kelompok pertama adalah

astemasol dan terfenadin yang mempunyai efek kardiotoksik. Toksisitas terhadap jantung tersebut disebabkan repolarisasi jantug yang tertunda dan dapat menyebabkan aritmia ventrikel, henti jantung, dan bahkan kematian mendadak (sudah ditarik dari peredaran). Kelompok kedua adalah loratadin, setirisin, fexofenadin, desloratadin, dan levosetirisin. Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau tropikal. Namun pemakaian secara tropikal hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis medikamentosa.1,5 Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala trauma sumbatan hidung akibat respons fase lambat berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid tropikal (beklometosa, budesonid, flusolid, flutikason, mometasonfuroat dan triamsinolon). Kortikosteroid topikal bekerja untuk mengurangi jumlah sel mastosit pada mukosa hidung, mencegah pengeluaran protein sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktivitas limfosit, mencegah bocornya plasma. Hal ini menyebabkan epitel hidung tidak hiperreponsif terhadap rangsangan allergen (bekerja pada respon fase cepat dan lambat). Preparat sodium kromoglikat topical bekerja menstabilkan mastosit (mungkin menghambat ion kalsium) sehingga penglepasan mediator dihambat. Pada respon fase lambat, obat ini juga menghambat proses imflamasi dengan menghambat aktifasi sel netrofil, eosinofil, dan monosit. Hasil terbaik dapat dicapai bila diberikan sebagai profilaksis. Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida, bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik permukaan sel efektor. Pengobatan baru lainnya untuk rinitis alergi adalah anti leukotrien (zafirlukast/montelukast), anti IgE, DNA rekombinan.5 3. Operatif - Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior), konkoplasti atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25 % atau triklor asetat. 4. Imunoterapi cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukan IgG blocking antibody dan penurunan IgE. Ada 2 metode imunoterapi yang umum dilakukan yaitu itradermal dan sublingual.1

Gambar 2. Penatalaksanaan rinitis alergi menurut WHO dan ARIA KOMPLIKASI Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah: a. Polip hidung yang memiliki tanda patognomonis: inspisited mucous glands, akumulasi sel-sel inflamasi yang luar biasa banyaknya (lebih eosinofil dan limfosit T CD4+), hiperplasia epitel, hiperplasia goblet, dan metaplasia skuamosa.6 b. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak. c. Sinusitis paranasal merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para nasal. Terjadi akibat edema ostia sinus oleh proses alergis dalam mukosa yang menyebabkan sumbatan ostia sehingga terjadi penurunan oksigenasi dan tekanan udara rongga sinus. Hal tersebut akan menyuburkan pertumbuhan bakteri terutama bakteri anaerob dan akan menyebabkan rusaknya fungsi barier epitel antara lain akibat dekstruksi mukosa oleh mediator protein basa yang dilepas sel eosinofil (MBP) dengan akibat sinusitis akan semakin parah.6 PENCEGAHAN Pada dasarnya penyakit alergi dapat dicegah dan dibagi menjadi 3 tahap, yaitu:6 1. Pencegahan primer untuk mencegah sensitisasi atau proses pengenalan dini terhadap alergen. Tindakan pertama adalah mengidentifikasi bayi yang mempunyai risiko atopi. Pada ibu hamil diberikan diet restriksi (tanpa susu, ikan laut, dan kacang) mulai trimester 3 dan selama menyusui, dan bayi mendapat ASI eksklusif selama 5-6

bulan. Selain itu kontrol lingkungan dilakukan untuk mencegah pajanan terhadap alergen dan polutan. 2. Pencegahan sekunder untuk mencegah manifestasi klinis alergi pada anak berupa asma dan pilek alergi yang sudah tersensitisasi dengan gejala alergi tahap awal berupa alergi makanan dan kulit. Tindakan yang dilakukan dengan penghindaran terhadap pajanan alergen inhalan dan makanan yang dapat diketahui dengan uji kulit. 3. Pencegahan tersier untuk mengurangi gejala klinis dan derajat beratnya penyakit alergi dengan penghindaran alergen dan pengobatan

PROGNOSIS Secara umum baik. Penyakit rinitis alergi ini secara menyeluruh berkurang dengan bertambahnya usia, tetapi kemungkinan menderita asma bronkhial meningkat. Remisi spontan dapat terjadi sebanyak 15-25 % selama jangka waktu 5-7 tahun, remisi untuk rinitis alergi musiman lebih besar frekuensinya dibandingkan dengan rinitis alergi perennial. Kebanyakan gejala rintis alergi dapat diobati. Pada kasus yang lebih parah dapat memerlukan imunoterapi. Namun, sebagai aturan umum, jika suatu zat menjadi penyebab alergi bagi seorang individu, maka zat tersebut dapat terus mempengaruhi orang itu dalam jangka panjang.1,5

KESIMPULAN
Rintis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE. Alergen dapat berupa Alergen inhalan misalnya tungau debu rumah, kecoa, serpihan epitel kulit binatang, rerumputan, serta jamur, alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, sapi, telur, coklat, ikan laut, udang kepiting, dan kacang-kacangan, alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin dan sengatan lebah, dan alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetik, perhiasan. Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis dijumpai keluhan dan gejala berupa bersin, keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak keluar air mata (lakrimasi). Pada anamnesis perlu diatanyakan riwayat keluarga, riwayat tempat tinggal dan lingkungan pekerjaan. Pada pemeriksaan fisik, pada rinoskopi anterior dijumpai mukosa edema basah, berwarna pucat atau livid disertai adanya sekret encer yang banyak. Penatalaksanaan dari rinitis alergi adalah menghindari kontak dengan allergen, medikamentosa, operatif, imunoterapi, dan edukasi kepada pasien. Komplikasi yang sering terjadi pada rinitis alergi adalah polip hidung, otitis media, gangguan fungsi tuba dan sinusitis paranasal.

DAFTAR PUSTAKA
1. Irawati, N., Kasakeyan, E., Rusmono, N. Rinitis Alergi. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi keenam. Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 2007; 128-134. 2. Sudiro, M., Madiadipoera, T., Purwanto, B. Eosinofil Kerokan Mukosa Hidung Sebagai Diagnostik Rinitis Alergi. MKB volume 42 No 1; 2010. hal 6-11. 3. Karya, I W., Aziz, A., Rahardjo S P., Djufri, N I. Pengaruh Rinitis Alergi (ARIA WHO 2001) terhadap Gangguan Fungsi Ventilasi Tuba Eustachius. Cermin Dunia Kedokteran 166 volume 37 (7). 2008; 405-410. 4. Lumbanraja PLH. Distribusi Alergen pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THTKL FK USU / RSUP H.. Adam Malik Medan. Tesis. Medan: FK USU. 2007 5. Rusmarjono, Erfiaty AS, Nurbiaty, dkk (Editor). Sumbatan Hidung, Rinitis Alergi.Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher. Edisi VI.Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta. 2007. Hal 118-122, 128-133 6. Snell, R S. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi 6. Jakarta:EGC. 2006; 803-805

Anda mungkin juga menyukai

  • Pneumotoraks
    Pneumotoraks
    Dokumen5 halaman
    Pneumotoraks
    Evi Melia Susan
    Belum ada peringkat
  • INFEKSI MENULAR SEXUAL
    INFEKSI MENULAR SEXUAL
    Dokumen36 halaman
    INFEKSI MENULAR SEXUAL
    Novanda Rizky Radityatama
    Belum ada peringkat
  • Diagnosis Pneumotoraks
    Diagnosis Pneumotoraks
    Dokumen3 halaman
    Diagnosis Pneumotoraks
    Santy Phang
    Belum ada peringkat
  • Askeb 1 BBLR
    Askeb 1 BBLR
    Dokumen28 halaman
    Askeb 1 BBLR
    sarahjea
    Belum ada peringkat
  • Makalah Blok 18 2
    Makalah Blok 18 2
    Dokumen22 halaman
    Makalah Blok 18 2
    Evi Melia Susan
    Belum ada peringkat
  • Makalah Blok 18
    Makalah Blok 18
    Dokumen25 halaman
    Makalah Blok 18
    Evi Melia Susan
    Belum ada peringkat
  • REFERAT - HIV Dalam Kehamilan
    REFERAT - HIV Dalam Kehamilan
    Dokumen15 halaman
    REFERAT - HIV Dalam Kehamilan
    Chaerena Amri
    Belum ada peringkat
  • Makalah A2
    Makalah A2
    Dokumen37 halaman
    Makalah A2
    Evi Melia Susan
    Belum ada peringkat
  • PBL 16
    PBL 16
    Dokumen25 halaman
    PBL 16
    Evi Melia Susan
    Belum ada peringkat
  • Dapus 23
    Dapus 23
    Dokumen5 halaman
    Dapus 23
    Evi Melia Susan
    Belum ada peringkat
  • PBL 16
    PBL 16
    Dokumen25 halaman
    PBL 16
    Evi Melia Susan
    Belum ada peringkat
  • Dapus Blok 17
    Dapus Blok 17
    Dokumen3 halaman
    Dapus Blok 17
    Evi Melia Susan
    Belum ada peringkat
  • Diagnosis
    Diagnosis
    Dokumen7 halaman
    Diagnosis
    Evi Melia Susan
    Belum ada peringkat
  • Blok 8
    Blok 8
    Dokumen29 halaman
    Blok 8
    Evi Melia Susan
    Belum ada peringkat
  • Dapus Blok 16
    Dapus Blok 16
    Dokumen2 halaman
    Dapus Blok 16
    Evi Melia Susan
    Belum ada peringkat
  • Tetralogi Fallot
    Tetralogi Fallot
    Dokumen22 halaman
    Tetralogi Fallot
    Evi Melia Susan
    Belum ada peringkat
  • Grafik Farmako
    Grafik Farmako
    Dokumen10 halaman
    Grafik Farmako
    Evi Melia Susan
    Belum ada peringkat
  • PBL KarVas 1
    PBL KarVas 1
    Dokumen34 halaman
    PBL KarVas 1
    Evi Melia Susan
    Belum ada peringkat
  • Rinitis Alergi
    Rinitis Alergi
    Dokumen21 halaman
    Rinitis Alergi
    Evi Melia Susan
    Belum ada peringkat
  • Tetralogi Fallot
    Tetralogi Fallot
    Dokumen22 halaman
    Tetralogi Fallot
    Evi Melia Susan
    Belum ada peringkat
  • PBL 16
    PBL 16
    Dokumen25 halaman
    PBL 16
    Evi Melia Susan
    Belum ada peringkat