Anda di halaman 1dari 18

1.

Memahami dan menjelaskan Laringitis akut Definisi Laringitis akut adalah radang akut laring yang disebabkan oleh virus dan bakteri yang berlangsung kurang dari 3 minggu dan pada umumnya disebabkan oleh infeksi virus influenza (tipe A dan B), parainfluenza (tipe 1,2,3),rhinovirus dan adenovirus. Penyebab lain adalah Haemofilus influenzae, Branhamellacatarrhalis, Streptococcus pyogenes, Staphylococcus aureus dan Streptococcus pneumoniae. Proses peradangan pada laring seringkali juga melibatkan seluruh saluran nafas baik hidung, sinus, faring,trakea dan bronkus. Etiologi Laringitis akut ini dapat terjadi dari kelanjutan infeksi saluran nafas seperti influenza atau common cold. infeksi virus influenza (tipe A dan B) parainfluenza (tipe 1,2,3), rhinovirus dan adenovirus. Penyebab lain adalah Haemofilus influenzae, Branhamella catarrhalis, Streptococcus pyogenes, Staphylococcus aureus dan Streptococcus pneumoniae. Penyakit ini dapat terjadi karena perubahan musim / cuaca Pemakaian suara yang berlebihan Trauma Bahan kimia Merokok dan minum-minum alkohol Alergi

Klasifikasi SUMBATAN LARING Sumbatan laring dapat disebabkan oleh : 1. Radang akut dan radang kronis 2. Benda asing 3. Trauma akibat kecelakaan, perkelahian, percobaan bunuh diri dengan benda tajam. 4. Trauma akibat tindakan medik. 5. Tumor laring 6. Kelumpuhan nervus rekuren bilateral. Gejala dan tanda sumbatan laring yang tampak ialah : - Serak (disfoni) sampai afoni - Sesak nafas (dispnea) - Stridor (nafas berbunyi) yang terdengar pada waktu inspirasi

Cekungan yang terdapat pada waktu inspirasi di suprasternal, epigastrium, supraklavikula, dan interkostal. Cekungan itu terjadi sebagai upaya dari otot-otot pernapasan untuk mendapat oksigen yang adekuat. Gelisah karena pasien haus udara (air hunger ) Warna muka pucat dan terakhir menjadi sianosis karena hipoksia.

Jackson membagi sumbatan laring yang progresif dalam 4 stadium : - Stadium 1 : cekungan tampak pada waktu inspirasi di suprasternal, stridor pada waktu inspirasi dan pasien masih tenang. - Stadium 2 : cekungan waktu inspirasi didaerah suprasternal makin dalam, ditambah lagi dengan timbulnya cekungan didaerah epigastrium. Pasien sudah mulai gelisah. Stridor terdengar pada waktu inspirasi. - Stadium 3 : cekungan selain didaerah suprasternal, epigastrium juga terdapat di infraklavikula dan sela-sela iga. Pasien sangat gelisah dan dispnea. Stridor terdengar pada waktu inspirasi dan ekspirasi. - Stadium 4 : cekungan-cekungan diatas bertambah jelas, pasien sangat gelisah, tampak sangat ketakutan dan sianosis. Jika keadaan ini berlangsung terus maka pasien akan kehabisan tenaga, pusat pernapasan paralitik karena hiperkapnea. Pasien lemah dan tertidur akhirnya meninggal karena asfiksia. Jackson membagi sumbatan bronkus dalam 4 tingkat : 1. Sumbatan sebagian dari bronkus (by-pass valve obstruksi = katup bebas). Pada sumbatan ini inspirasi dan ekspirasi masih dapat terlaksana, akan tetapi saluranya sempit, sehingga terdengar bunyi napas (mengi), seperti pada pasien asma bronchial. Penyebab : benda asing didalam bronkus, penekanan bronkus dari luar, edema dinding bronkus, serta tumor didalam lumen bronkus. 2. Sumbatan seperti pentil. Ekspirasi terhambat atau katup satu arah ( expiratory check valve obstruksi = katup penghambat ekspirasi). Pada waktu inspirasi udara napas masih dapat lewat, akan tetapi pada ekspirasi terhambat, karena kontraksi otot bronkus. Bentuk sumbatan ini menahan udara dibagian distal sumbatan dan proses yang berulang pada tiap pernafasan mengakibatkan terjadinya emfisema paru obstruktif. Penyebab : benda asing di bronkus, edema dinding bronkus pada bronchitis. 3. Sumbatan seperti pentil yang lain, ialah inpirasi yang terhambat (inspiratory check valve obstruktif = katup penghambat inspirasi ). Pada keadaan ini inspirasi terhambat, sedangkan ekspirasi masih dapat terlaksana. Udara yang terdapat dibagian distal sumbatan akan diabsorbsi, sehingga terjadi atelektasis paru. Penyebab : benda asing didalam lumen bronkus, gumpalan ingus, tumor yang bertangkai. 4. Sumbatan total (stop valve obstruction =katup tertutup), sehingga inspirasi dan ekspirasi tidak dapat terlaksana. Akibat keadaan ini adalah atelektasis paru. Penyebab : benda asing yang menyumbat lumen bronkus, trauma dinding bronkus dan peradangan berat bronkus.

TRAUMA LARING Trauma laring merupakan suatu keadaan dimana laring mengalami suatu kerusakan yang dapat disebabkan oleh trauma tumpul, trauma tajam, dan penyebab lainnya. Hal ini menyebabkan fungsi laring sebagai proteksi jalan nafas, pengaturan pernafasan dan penghasil suara terganggu, sehingga dapat menimbulkan resiko kecacatan bahkan kematian. Patofisiologi Trauma laring dapat disebabkan oleh trauma tumpul, trauma tajam, tembak, trauma inhalasi, aspirasi benda asing maupun iatrogenik. Insiden trauma laring akibat trauma tumpul semakin menurun karena perkembangan yang maju pada sistem pengaman kendaraan (automobile safety). Sementara itu angka kejahatan/kekerasan semakin meningkat sehingga persentase kejadian trauma tajam/tembus semakin meningkat. Pada trauma tumpul dan tembak kerusakan jaringan yang terjadi lebih berat dibanding trauma tajam.1,2,3 Monson membagi daerah leher menjadi 3 zona pada trauma penetrasi atau trauma tajam terutama berdasarkan trauma terhadap pembuluh darahnya, yaitu sebagai berikut: Zona I adalah daerah dari kartilago krikoid sampai klavikula. Zona ini berisi trakea dan esofagus bagian inferior, pembuluh darah trunkus brakiosefalika, arteri subklavia, arteri karotis komunis, trunkus tiroservikal dan vena-venanya, duktus torasikus, kelenjar tiroid dan medula spinalis. Zona II adalah daerah dari kartilago krikoid sampai angulus mandibula. Zona ini berisi arteri karotis komunis, arteri karotis eksterna dan interna, vena jugularis interna, laring, hipofaring, nervus X, XI, XII, dan medula spinalis. Zona III adalah daerah dari angulus mandibula sampai basis kranii yang berisi arteri karotis, arteri vertebralis, vena jugularis interna, faring, nervus kranialis dan medula spinalis. Mekanisme dari cedera yang timbul adalah refleksi dari jenis penyebabnya. Pada setiap cedera yang timbul akibat trauma laring seringkali disertai kelainan pada tulang, secara khusus, dapat terjadi dislokasi krikotiroid dan krikoaritenoid. 1. Trauma Inhalasi Inhalasi uap yang sangat panas, gas atau asap yang berbahaya akan cenderung menciderai laring dan trakea servikal dan jarang merusak saluran nafas bawah. Daerah yang terkena akan menjadi nekrosis, membentuk jaringan parut yang menyebabkan defek stenosis pada daerah yang terkena.

2. Trauma Tumpul Trauma tumpul pada saluran nafas bagian atas dan dada paling sering disebabkan oleh hantaman langsung, trauma akibat fleksi/ekstensi hebat, atau trauma benturan pada dada. Hiperekstensi mengakibatkan traksi laring yang kemudian membentur kemudi, handle bars atau dashboard. Trauma tumpul lebih sering disebabkan oleh

kecelakaan kendaraan bermotor dimana korban terhimpit di antara jok mobil dan setir atau dikeluarkan dari kendaraan dan terhimpit di antara kepingan kendaraan yang mengalami kecelakaan. Hantaman langsung paling sering menyebabkan trauma pada tulang rawan laring, sedangkan trauma fleksi/ekstensi lebih sering berhubungan dengan robekan trakea atau laring. Kerusakan trakea akibat trauma benturan terjadi karena trakea tertekan di antara manubrium dan kolumna vertebralis. Trauma tumpul pada dada dapat menyebabkan robekan vertikal pada trakea pars membranosa atau bronkus, biasanya 2,5 cm dari karina.

Gambar 2.3 Mekanisme trauma tumpul Penyebab lain adalah trauma tak langsung akibat akselerasi-deselerasi. Pada trauma akselerasi-deselerasi dengan posisi glotis menutup juga akan mengakibatkan tekanan intraluminer yang meninggi sehingga dapat menyebabkan robekan pada bagian membran trakea. Robekan ini terjadi akibat diameter transversal yang bertambah secara mendadak. Dapat juga terjadi akibat robekan diantara cincin trakea dari os krikoid sampai karina akibat tarikan paru yang mendadak. 3. Trauma Tajam Trauma laring sering juga disebabkan karena trauma tajam (5-15%) yang paling banyak akibat perkelahian di tempat rawan kejahatan. Senjata yang dipakai adalah belati, pisau clurit, pisau lipat, golok maupun senjata berpeluru. Angka kejadian trauma tajam semakin meningkat dan penyebab utamanya relatif lebih banyak oleh trauma tembus peluru dibanding trauma tusuk. Meskipun trauma tembus dapat mengenai bagian manapun dari saluran nafas, trakea merupakan struktur yang paling sering mengalami trauma akibat luka tusukan. Laring yang mengalami trauma kira-kira pada sepertiga saluran nafas bagian atas, dan sisa dua pertiga bagian lagi adalah trakea pars servikalis. Kematian pasien dengan trauma tembus saluran nafas ini biasanya disebabkan oleh trauma vaskular dan jarang akibat trauma saluran nafas itu sendiri.

Penyebab Lain Penyebab lain trauma laring adalah tentament suicide pada pasien dengan gangguan kejiwaan atau pada pasien dengan stress berat. Trauma laring juga dapat diakibatkan oleh intubasi karena trauma langsung saat pemasangan atau pun karena balon yang menekan mukosa terlalu lama sehingga menjadi nekrosis. Trauma sekunder akibat intubasi umumnya karena inflasi balon yang berlebihan walaupun menggunakan cuff volume besar bertekanan rendah. Trauma yang disebabkan oleh cuff ini terjadi pada kira-kira setengah dari pasien yang mengalami trauma saat trakeostomi.1,2 Cedera yang disebabkan oleh bahan-bahan kaustik seringkali didapatkan pada kelompok usia anak-anak dan biasanya akibat kecerobohan mereka dalam menggunakan benda-benda berbahaya di rumah sebagai alat permainan. Bila didapatkan pada usia dewasa, biasanya ditemukan pada kasus-kasus percobaan bunuh diri dengan menelan larutan alkali ataupun hidrokarbon. Diagnosis Trauma jalan nafas menimbulkan tanda dan gejala yang bervariasi tergantung mekanisme traumanya. Jadi satu hal yang harus diperhatikan dalam mendiagnosis trauma laring adalah mekanisme cidera dan harus waspada terhadap tanda seperti kontusio lokal, emfisema subkutis, perubahan suara (seperti stridor inspirasi / hoarseness), distress pernafasan dan hemoptisis. Manifestasi Klinik Pada trauma laring, gejala dan tanda klinis yang biasanya didapatkan adalah sesak nafas. Batuk, batuk darah, emfisema subkutis (pada leher, kepala, dada), sianosis, gangguan suara juga merupakan tanda dan gejala klinis yang mengarah ke perlukaan jalan nafas. Tanda lain yang dapat ditemukan pada pasien dengan trauma laring adalah adanya kebocoran udara atau suara mendesis pada tempat trauma. Pada trauma tembus, kebocoran tersebut dapat dilihat langsung di tempat luka, sedangkan pada trauma tumpul kadang dapat terlihat kulit leher yang mengembang pada saat batuk. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan jejas (hematom/abrasi) akibat hantaman benda tumpul, jejas berupa garis yang menunjukkan bekas jeratan, luka dan penonjolan tulang, hilangnya tonjolan kartilago tiroid, krepitasi, diskontinuitas, nyeri tekan pada daerah laring, emfisema subkutis maupun emfisema mediastinum jika cidera lebih ke distal. Pada trauma trakea tidak ada pembagian beratnya cedera yang menentukan indikasi operasi. Setiap trauma trakea dengan salah satu gejala atau tanda klinis walaupun ringan memerlukan eksplorasi. Berbeda dengan trauma laring yang dapat dibagi menjadi 5 grup, sebagai berikut : Grup I : Trauma endolaringeal ringan tanpa fraktur

Grup II : Edema sedang, hematoma dengan laserasi mukosa, tidak ada expose tulang rawan, fraktur nondisplaced. Grup III: Edema berat robekan mukosa dengan expose tulang rawan. Fraktur displaced pada CT Scan. Grup IV : Perlukaan berat endolaringeal, bentuk laring yang tidak beraturan. Grup V : Terputusnya laring komplit.

Penatalaksanaan Kewaspadaan terhadap trauma laring pada trauma leher oleh tenaga medis atau paramedis harus dipertajam agar tidak ada kasus yang terlewatkan. Bila ada trauma laring, luka atau jejas pada leher harus diperiksa dan diobservasi dengan seksama. Pada prinsipnya, penatalaksanaan trauma harus sistematis dimulai dari penilaian dan pengamanan jalan nafas agar tetap adekuat.

Patofisiologi Parainfluenza virus, yang merupakan penyebab terbanyak dari laringitis, masuk melalui inhalasi dan menginfeksi sel dari epitelium saluran nafas lokal yang bersilia, ditandai dengan proses inflamasi sehingga merangsang kelenjar mukus untuk memproduksi mukus yang berlebih dan merangsang batuk hebat . Terjadi pembengkakan dan kemerahan dari saluran nafas yang terlibat, kebanyakan ditemukan pada dinding lateral dari trakea dibawah pita suara. Karena trakea subglotis dikelilingi oleh kartilago krikoid, maka pembengkakan terjadi pada lumen saluran nafas dalam, menjadikannya sempit, bahkan sampai hanya sebuah celah. Mukus yg berlebih dan pembengkakan pd saluran nafas sehingga menyumbatan aliran udara pada saluran nafas atas akan berakibat terjadinya stridor dan kesulitan bernafas yang akan menuju pada hipoksia ketika sumbatan yang terjadi berat.

Manifestasi klinis 1. Gejala lokal seperti suara parau dimana digambarkan pasien sebagai suara yang kasar atau suara yang susah keluar atau suara dengan nada lebih rendah dari suara yang biasa / normal dimana terjadi gangguan getaran serta ketegangan dalam pendekatan kedua pita suara kiri dan kanan sehingga menimbulkan suara menjada parau bahkan sampai tidak bersuara sama sekali (afoni). 2. Sesak nafas dan stridor 3. Nyeri tenggorokan seperti nyeri ketika menalan atau berbicara. 4. Gejala radang umum seperti demam, malaise 5. Batuk kering yang lama kelamaan disertai dengan dahak kental

6. Gejala commmon cold seperti bersin-bersin, nyeri tenggorok hingga sulit menelan, sumbatan hidung (nasal congestion), nyeri kepala, batuk dan demam dengan temperatur yang tidak mengalami peningkatan dari 38 derajat celsius. 7. Gejala influenza seperti bersin-bersin, nyeri tenggorok hingga sulit menelan, sumbatan hidung (nasal congestion), nyeri kepala, batuk, peningkatan suhu yang sangat berarti yakni lebih dari 38 derajat celsius, dan adanya rasa lemah, lemas yang disertai dengan nyeri diseluruh tubuh . 8. Pada pemeriksaan fisik akan tampak mukasa laring yang hiperemis, membengkak terutama dibagian atas dan bawah pita suara dan juga didapatkan tanda radang akut dihidung atau sinus paranasal atau paru 9. Obstruksi jalan nafas apabila ada udem laring diikuti udem subglotis yang terjadi dalam beberapa jam dan biasanya sering terjadi pada anak berupa anak menjadi gelisah, air hunger, sesak semakin bertambah berat, pemeriksaan fisik akan ditemukan retraksi suprasternal dan epigastrium yang dapat menyebabkan keadaan darurat medik yang dapat mengancam jiwa anak. Diagnosis Anamnesis Tanda-tanda utama terjadinya laringitis adalah suara serak. Perubahan pada suara dapat bervariasi tergantung pada tingkat infeksi atau iritasi, bisa hanya sedikit serak hingga suara yang hilang total. Dokter mungkin akan menanyakan apakan anda seorang perokok atau kondisi kesehatan anda saat itu apakah anda sedang menderita selesa, influenza atau apakah anda menderita alergi yang dapat menjadi penyebab terjadinya iritasi pada pita suara. Dokter mungkin juga akan menanyakan apakah anda terlalu banyak menggunakan pita suara anda seperti dengan menyanyi atau berteriak yang juga dapat menyebabkan iritasi pada pita suara anda. Anamnesis yang berkaitan dengan laringitis ini yaitu adanya batuk yang timbul sering di malam hari dan terdengar kasar. didapatkan gejala
1. 2. 3. 4. 5. demam malaise batuk nyeri telan takipneu,yang dapat berlangsung selama 3 minggu, dan dapat keadaan beratdidapatkan sesak nafas, dan anak dapat sianosis

Pemeriksaan fisik Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan suara yang serak, coryza, faring yang meradang dan frekuensi pernafasan dan denyut jantung yang meningkat, disertai pernafasan cuping hidung, retraksi suprasternal, infrasternal dan intercostal serta stridor yang terus menerus. Bila terjadi sumbatan total jalan nafas maka akan didapatkan hipoksia dan saturasi oksigen yang rendah. Bila hipoksia terjadi, pasien akan menjadi gelisah dan tidak dapat

beristirahat, atau dapat menjadi penurunan kesadaran atau sianosis. Dari penelitian didapatkan bahwa frekuensi pernafasan merupakan petunjuk yang paling baik untuk keadaan hipoksemia. Pada auskultasi suara pernafasan dapat normal tanpa suara tambahan kecuali perambatan dari stridor. Kadang-kadang dapat ditemukan mengi yang menandakan penyempitan yang parah, bronkitis, atau kemungkinan asma yang sudah ada sebelumnya.

Pemeriksaan penunjang Dengan laringoskopi sering didapatkan kemerahan pada laring yang difus bersama dengan pelebaran pembuluh darah dari pita suara. Pada literatur lain disebutkan gambaran laringoskopi yang pucat, disertai edema yang berair dari jaringan subglotik. Kadang dapat ditemukan juga bercak-bercak dari sekresi. Dari pergerakan pita suara dapat ditemukan asimetris dan tidak periodik. Sebetulnya pemeriksaan rontagen leher tidak berperan dalam penentuan diagnosis, tetapi dapat ditemukan gambaran staplle sign (penyempitan dari supraglotis) pada foto AP dan penyempitan subglotis pada foto lateral, walaupun kadang gambaran tersebut tidak didapatkan. Pemeriksaan laboratorium tidak diperlukan, kecuali didapatkan eksudat maka dapat dilakukan pemeriksaan gram dan kultur dengan tes sensitivitas. Tetapi kultur virus positif pada kebanyakan pasien. Dari darah didapatkan lekositosis ringan dan limfositosis. Penatalaksanaan Laringitis akut biasanya diatasi dengan : - istirahat yang cukup, terutama pada laringitis akibat virus. Istirahat ini juga meliputi pengistirahatan pita suara - pemberian antibiotik; antibiotik tidak disarankan kecuali bila penyebab berupa streptokokus grup A dapat ditemukan melalui kultur. Pada kasus ini, antibiotik yang dapat digunakan yaitu penicillin - menghindari iritan yang memicu nyeri tenggorokan atau batuk - menghindari udara kering - konsumsi cairan yang banyak - konsumsi asetaminofen atau ibuprofen untuk mengurangi nyeri - berhenti merokok dan konsumsi alkohol - trakeostomi, jika terjadi edema laring - konsumsi antasida atau bloker histamin-2 pada laringitis dengan penyebab GERD9

Komplikasi Pada laringitis akut komplikasi yang dapat terjadi yaitu laringitis kronik. Selain itu, dapat terjadi perubahan suara jika gejala suara serak tersebut terjadi selama 2 3 minggu.

Komplikasi penyebab lainnya : Pada laryngitis akibat peradangan yang terjadi dari daerah lain maka dapat terjadi inflamasi yang progresif dan dapat menyebabkan kesulitan bernafas. Kesulitan bernafas ini dapat disertai stridor baik pada periode inspirasi, ekspirasi atau keduanya. Laringitis akibat merokok, laring tidak dapat sembuh dari edema. Hal ini menyebabkan laring dan plika vokais berada dalam keadaan eritema dan edema akibat inflamasi. Edema yang timbul dapat bervariasi mulai dari ringan hingga berat, hal ini mengakibatkan suara akan menjadi parau, terkesan lebih berat atau kasar dan rendah. Laringitis kronik akibat pemaparan yang lama dan berulang dapat menyebabkan terbentuknya jaringan parut pada plika vokalis, penebalan plika vokalis, lesi pita vokalis dan dapat terjadi parakeratosis atau hyperkeratosis. Pada pasien yang berusia lebih tua, laringitis bisa lebih parah dan dapat menimbulkan pneumonia.

Prognosis Prognosis untuk penderita laringitis akut ini umumnya baik dan pemulihannya selama satu minggu. Namun pada anak khususnya pada usia 1-3 tahun penyakit ini dapat menyebabkan udem laring dan udem subglotis sehingga dapat menimbulkan obstruksi jalan nafas dan bila hal ini terjadi dapat dilakukan pemasangan endotrakeal atau trakeostomiaik Prognosis laringitis kronik, bergantung pada keadaan social ekonomi pasien kebiasaan hidup sehat, dan ketekunan berobat. Prognosis baik diagnosisi dapat ditegakkan pada stadium dini

II. Memahami dan Menjelaskan Sindrom Stevens Johnson Definisi Sindrom yang mengenai kulit ( kelainan kulit berupa eritema, vesikel/bula dapat disertai purpura), selaput lender di orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat.

Epidemiologi SSJ jarang terjadi, kejadian SSJ adalah satu dari 1 juta penduduk per tahun. Di Amerika Serikat ditemukan sekitar 300 kasus baru dalam satu tahun. Di Indonesia belum ada angka prevalensi penyakit ini. Penelitian menunjukkan bahwa SSJ adalah kasus yang langka. Hanya 1 dari 2000 orang yang mengkonsumsi antibiotik penisilin yang terkena SSJ. Sindrom ini kebanyakan timbul pada anak-anak dan laki-laki muda. Perbandingan laki-laki dengan perempuan adalah 2 : 1. Namun jarang dijumpai pada anak usia 3 tahun ke bawah. Etiologi Penyebab utama ialah alergi obat lebih dari 50%. (analgesic/antipiretik(45%), disusul karbamazepin(20%) , dan jamu (13,3%) sebagian besar jamu dibubuhi obat. Kausa yang lain amoksisilin, kotrimoksasol, dilantin, klorokuin, seftriakson dan adiktif. Sebagian kecil karena infeksi, vaksinasi, penyakit graft-versus-host, neoplasma, dan radiasi.

(Dikutip dengan modifikasi dari SL Moschella dan HJ Hurley, 1985)

Patogenesis Penyakit ini sama dengan NET disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe II (sitolitik). Gambaran klinis atau gejala reaksi tersebut bergantung kepada sel sasaran . Sasaran utama SSJ dan NET ialah pada kulit berupa destruksi keratinosit. Pada alergi obat akan terjadi aktivitas sel T, termasuk CD4 dan CD8. IL-5 meningkat, juga sitokinsitokin yang lain. CD4 terutama terdapat di dermis, sedangkan CD8 pada epidermis. Keratinosit epierdermal mengekspresi ICAM-1, ICAM-2, dan MHC II. Sel langerhans tidak ada atau sedikit. TNF di epidermis menigkat. Patofisiologi Stevens-Johnson Syndrome merupakan penyakit hipersensitivitas yang diperantarai oleh kompleks imun yang mungkin disebabkan oleh beberapa jenis obat, infeksi virus, dan keganasan. Kokain saat ini ditambahkan dalam daftar obat yang mampu menyebabkan sindroma ini. Hingga sebagian kasus yang terdeteksi, tidak terdapat etiologi spesifik yang dapat diidentifikasi. Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan oleh reaksi hipersensitif tipe III dan IV. Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen antibodi yang membentuk mikro-presitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran (target organ). Reaksi hipersentifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersintesisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang. 1. Reaksi Hipersensitif tipe III. Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibodi yang bersirkulasi dalam darah mengendap didalam pembuluh darah atau jaringan sebelah hilir. Antibodi tidak ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi terperangkap dalam jaringan kapilernya. Pada beberapa kasus antigen asing dapat melekat ke jaringan menyebabkan terbentuknya kompleks antigen antibodi ditempat tersebut. Reaksi tipe III mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast sehingga terjadi kerusakan jaringan atau kapiler ditempat terjadinya rekasi tersebut. Neutrofil tertarik ke daerah tersebut dan mulai memfagositosis sel-sel yang rusak sehingga terjadi pelepasan enzim-enzim sel serta penimbunan sisa sel. Hal ini menyebabkan siklus peradangan berlanjut. 2. Reaksi Hipersensitif Tipe IV Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T penghasil Limfokin atau sitotoksik oleh suatu antigen sehingga terjadi penghancuran sel-sel yang bersangkutan. Reaksi yang diperantarai oleh sel ini bersifat lambat (delayed) memerlukan waktu 14 jam sampai 27 jam untuk terbentuknya

Manifestasi Klinis Gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari berupa demam, malaise, batuk, korizal, sakit menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia yang sangat bervariasi dalam derajat berat dan kombinasi gejala tersebut. Setelah itu akan timbul lesi di : Kulit berupa eritema, papel, vesikel, atau bula secara simetris pada hampir seluruh tubuh. 2. Mukosa berupa vesikel, bula, erosi, ekskoriasi, perdarahan dan kusta berwarna merah. Bula terjadi mendadak dalam 1-14 hari gejala prodormal, muncul pada membran mukosa, membran hidung, mulut, anorektal, daerah vulvovaginal, dan meatus uretra. Stomatitis ulseratif dan krusta hemoragis merupakan gambaran utama. 3. Mata : konjungtivitas kataralis, blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan. Cedera mukosa okuler merupakan faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya ocular cicatricial pemphigoid, merupakan inflamasi kronik dari mukosa okuler yang menyebabkan kebutaan. Waktu yang diperlukan mulai onset sampai terjadinya ocular cicatricial pemphigoid bervariasi mulai dari beberapa bulan sampai 31 tahun
1.

DIA

Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan laboratorium. Anamnesis dan pemeriksaan fisis ditujukan terhadap kelainan yang dapat sesuai dengan trias kelainan kulit, mukosa, mata, serta hubungannya dengan faktor penyebab. 1. Secara klinis terdapat lesi berbentuk target, iris, atau mata sapi, kelainan pada mukosa, demam, dan hasil biopsi yang sesuai dengan SSJ . 2. Pemeriksaan laboratorium ditujukan untuk mencari hubungan dengan faktor penyebab serta untuk penatalaksanaan secara umum. Pemeriksaan yang rutin dilakukan diantaranya adalah pemeriksaan darah tepi (hemoglobin, leukosit, trombosit, hitung jenis, hitung eosinofil total, LED), pemeriksaan imunologik (kadar imunoglobulin, komplemen C3 dan C4, kompleks imun), biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi, serta pemeriksaan histopatologik biopsi kulit. 3. Hasil biopsi dapat menunjukkan adanya nekrosis epidermis dengan keterlibatan kelenjar keringat, folikel rambut dan perubahan dermis. 4. Anemia dapat dijumpai pada kasus berat yang menunjukkan gejala perdarahan. 5. Leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi, dan pada hitung jenis terdapat peninggian eosinofil. 6. Kadar IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit menurun, dan dapat dideteksi adanya kompleks imun yang beredar. 7. Pemeriksaan histopatologik dapat ditemukan gambaran nekrosis di epidermis sebagian atau menyeluruh, edema intrasel di daerah epidermis, pembengkakan endotel, serta eritrosit yang keluar dari pembuluh darah dermis superfisial. 8. Pemeriksaan imunofluoresen dapat memperlihatkan endapan IgM, IgA, C3, dan fibrin. Untuk mendapat hasil pemeriksaan imunofluoresen yang baik maka bahan biopsi kulit harus diambil dari lesi baru yang berumur kurang dari 24 jam.

Diagnosis Banding

Penatalaksanaan Penatalaksanaan utama adalah menghentikan obat yang diduga sebagai penyebab SSJ, sementara itu kemungkinan infeksi herpes simplex dan Mycoplasma pneumoniae harus disingkirkan. Selanjutnya perawatan lebih bersifat simtomatik. 1. Antihistamin dianjurkan untuk m engatasi gejala pruritus / gatal bisa dipakai feniramin hidrogen maleat (Avil) dapat diberikan dengan dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5 mg/dosis, untuk usia 3-12 tahun 15 mg/dosis, diberikan 3 kali/hari, diphenhidramin hidrokloride (Benadril) 1m g/kg BB tiap kali sampai 3 kali per hari. Sedangkan untuk setirizin dapat diberikan dosis untuk usia anak 25 tahun: 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; >6 tahun: 5-10 mg/dosis,1 kali/hari. 2. Blister kulit bisa dikompres basah dengan larutan larutan burowi. 3. Papula dan makula pada kulit baik intak diberikan steroid topikal, kecuali kulit yang terbuka. 4. Pengobatan infeksi kulit dengan antibiotika. Antibiotika yang paling beresiko tinggi adalah B-lactam dan sulfa jangan digunakan. Untuk terapi awal dapat diberikan antibiotika spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan darah. Terapi infeksi sekunder menggunakan antibiotika yang jarang menimbulkan alergi, berspektrum luas, bersifat bakterisidal dan tidak bersifat nefrotoksik, misalnya klindamisin 8-16 mg/kg/hari secara intravena, diberikan 2 kali/hari. 5. Kotikosteroid: deksametason dosis awal 1mg/kg BB bolus intravena, kemudian dilanjutkan 0,2-0,5 m g/kg BB intravena tiap 6 jam. Penggunaan steroid sistemik masih kontroversi. Beberapa peneliti menyetujui pemberian kortikosteroid sistem ik beralasan bahwa kortikosteroid akan menurunkan beratnya penyakit, mempercepat konvalesensi, mencegah komplikasi berat, menghentikan progresifitas penyakit dan mencegah kekambuhan. Beberapa literatur menyatakan pemberian kortikosteroid sistemik dapat mengurangi inflamasi dengan cara memperbaiki integritas kapiler, memacu sintesa lipokortin, menekan ekspresi molekul adesi. Selain itu kortikosteroid dapat meregulasi respons imun melalui down regulation ekspresi gen sitokin. Mereka yang tidak setuju pemberian kortikosteroid berargumentasi bahwa kortikosteroid akan menghambat penyembuhan luka, meningkatkan resiko infeksi, menutupi tanda awal sepsis, perdarahan gastro-intestinal dan meningkatkan mortalitas. Faktor lain yang harus dipertimbangkan yaitu harus tappering off 1-3 minggu. Bila tidak ada perbaikan dalam 3-5 hari, maka sebaiknya pemberian kortikosteroid dihentikan. Lesi mulut diberi kenalog in orabase. 6. Intravena Imunoglobulin (IVIG). Dosis awal dengan 0.5 mg/kg BB pada hari 1, 2, 3, 4, dan 6 masuk rumah sakit. Pemberian IVIG akan menghambat reseptor FAS dalam proses kematian keratinosit yang dimediasi FAS.

1. 2. 3. 4.

Perawatan konservatif ditujukan untuk: Perawatan lesi kulit yang terbuka, seperti perawatan luka bakar. Koordinasi dengan unit luka bakar sangat diperlukan. Terapi cairan dan elektrolit. Lesi kulit yang terbuka seringkali disertai pengeluaran cairan disertai elektrolit. Alimentasi kalori dan protein secara parenteral. Lesi pada saluran cerna menyebabkan kesulitan asupan makanan dan minuman. Pengendalian nyeri. Penggunaan NSAID beresiko paling tinggi sebaiknya tidak digunakan untuk mengatasi nyeri.

Komplikasi Komplikasi Sindrom steven johnson sering menimbulkan komplikasi, antara lain sebagai berikut: - Oftalmologi ulserasi kornea, uveitis anterior, panophthalmitis, kebutaan - Gastroenterologi - Esophageal strictures - Genitourinaria nekrosis tubular ginjal, gagal ginjal, penile scarring, stenosis vagina - Pulmonari pneumonia - Kutaneus - timbulnya jaringan parut dan kerusakan kulit permanen, infeksi kulit sekunder - Infeksi sitemik, sepsis - Kehilangan cairan tubuh, shock Prognosis SJS adalah reaksi yang gawat. Bila tidak diobati dengan baik, reaksi ini dapat menyebabkan kematian, umumnya sampai 35 persen orang yang mengalami walaupun angka ini dapat dikurangi dengan pengobatan yang baik sebelum gejala menjadi terlalu gawat. Reaksi ini juga dapat menyebabkan kebutaan total, kerusakan pada paru, dan beberapa masalah lain yang tidak dapat disembuhkan. Pada kasus yang tidak berat, prognosisnya baik, dan penyembuhan terjadi dalam waktu 2-3 minggu. Kematian berkisar antara 5-15% pada kasus berat dengan berbagai komplikasi atau pengobatan terlambat dan tidak memadai. Prognosis lebih berat bila terjadi purpura yang lebih luas. Kematian biasanya disebabkan oleh gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, bronkopneumonia, serta sepsis.

DAFTAR PUSTAKA

Carroll MC, Yueng-Yue KA, Esterly NB. Drug-induced hypersensitivity syndrome in pediatric patients. Pediatrics 2001; 108 : 485-92.
Cohen JL, Anatomi dan Fisiologi Laring. Dalam BOIES-Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke6.Jakarta:EGC,1997,369-76

Djuanda, A. 2005. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. E. Acute Inflammatory Upper Airway Obstruction. Dalam: Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi 17. USA: W.B. Saunders. 2004. h 1405-1408. Herry Garna, Heda Melinda D. Nataprawira. Pedoman Diagnosis dan Terapi. Indonesia: Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran. 2005. h 388-392.
Hermani B,Kartosudiro S & Abdurrahman B, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher, edisi ke 5, Jakarta:FKUI,2003,190- 200

Kasper, Dennis L. Harrisons Principles of Internal Medicine, Edisi 16. USA: McGraw Hill. 2005. h 192 McKenna JK, Leiferman KM. Dermatologic drug reactions. Immunolo and Allergy Clin North Am 2004;24:399-423. http://doktersehat.com/laringitis-radang-pita-suara/#ixzz28EisYKUJ http://www.emedicine.com/ent/topic353.htm http://www.hopkinsmedicine.org/wilmer/conditions/stevens-johnson.html

Anda mungkin juga menyukai