Anda di halaman 1dari 2

Tata ruang mempengaruhi politik (versi 1) Pada umumnya politik lebih mempengaruhi tata ruang daripada tata ruang

mempengaruhi politik, karena politik lebih berperan pada pengambilan keputusan dalam penataan ruang. Namun tata ruang juga bisa berpengaruh pada politik atau kebijakan tentang penataan ruang itu sendiri. Misalnya saja, penataan ruang yang tidak berhasil dapat mempengaruhi kebijakan, karena hal tersebut dapat memicu adanya penggantian kebijakan yang baru untuk menata ulang wilayah tersebut. Tata ruang yang semrawut juga akan memaksa pemerintah dalam hal ini sebagai pemangku kebijakan untuk bertindak menyelesaikan maslah yang ada. Tidak hanya itu saja, perubahan tata ruang akibat alih fungsi lahan yang ilegal juga dapat menjadi salah satu faktor penggantian kebijakan. Adanya satu atau beberapa sektor yang ada di suatu wilayah juga bisa memberi pengaruh terhadap kebijakan yang akan diambil. Sebagai contoh misalnya jika suatu wilayah memiliki potensi wisata namun belum dikembangkan sama sekali, hal ini dapat mempengaruhi kebijakan yang akan diterapkan di wilayah tersebut. Contoh lain yang lebih ekstrem adalah jika wilayah A memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah, akan tetapi letak sumber daya alam tersebut berada di perbatasan dengan wilayah B atau bahkan sebagian berada di bawah tanah wilayah B, hal tersebut dapat memicu ketegangan politik pada kedua wilayah jika tidak diselesaikan dengan baik. Tentunya masing-masing wilayah ingin memanfaatkan sumber daya tersebut untuk kepentingan mereka. Akan lebih rumit lagi jika lahan di atas sumber daya alam tersebut merupakan daerah permukiman atau daerah lindung. Pemerintah setempat akan sangat mempertimbangkan langkah apa yang harus diambil dalam kasus tersebut. Di sinilah tata ruang dapat mempengaruhi politik dalam arti kebijakan.

Tata ruang mempengaruhi politik (versi 2) Iklim politik atau situasi politik di suatu negara akan sangat berpengaruh pada tata ruang di negara tersebut, entah negara tersebut adalah negara kapitalis, sosialis, atau bahkan jika negara tersebut dikuasai oleh kepala negara yang otoriter. Hampir semuanya memiliki dampak yang berbeda-beda terhadap tata ruang pada setiap negara. Karena mereka mempunyai tipe atau pola pembangunan yang berbeda-beda pula. Sebagai contoh kasus adalah Tragedi Mei 1998. Indonesia pada waktu itu di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto di era Orde Baru atau sebagian orang menyebutnya rezim otoriter Soeharto. Sebenarnya Indonesia memasuki era Orde Baru yang lebih berfokus pada pembangunan. Belajar dari era sebelumnya yang dinamai Orde Lama, yang sangat disibukkan dengan urusan politik, Orde Baru bangkit dengan semangat dan kekuatan baru lebih mementingkan berkarya membangun bangsa daripada berpolitik. Setelah MPRS mengangkatnya jadi presiden (1967), Soeharto segera menghimpun para ahli dari berbagai bidang serta memerintahkan Bappenas untuk menyusun GarisGaris Besar Haluan Negara yang menjadi landasan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Repelita itu kemudian dijabarkan setiap tahun dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (ABPN). Presiden Soeharto menggerakkan pembangunan dengan strategi Trilogi Pembangunan yakni stabilitas, pertumbuhan dan pemerataan. Walaupun program pembangunan yang ada pada saat pemerintahan Presiden Soeharto bisa dibilang cukup bagus, pada bulan Mei tahun 1998 terjadi demonstrasi besar-besaran untuk menggulingkan kekuasaan Soeharto. Dia dianggap sebagai pemimpin yang otoriter dan pemimpin yang korup.

Dalam peristiwa tersebut, tata ruang ikut andil dalam proses penggulingan Presiden Soeharto. Pada saat itu para demonstran yang kebanyakan adalah para mahasiswa menduduki gedung Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR. Akses jalan yang mudah menuju gedung DPR membantu para demonstran yang ingin menggulingkan Soeharto untuk mendudukinya, puluhan ribu demonstran menduduki gedung DPR. Sebelumnya para demonstran berkumpul pada nodal-nodal tertentu sebelum akhirnya berkumpul di gedung DPR. Contoh kasus lain adalah di negara Libya dan Mesir. Pada penggulingan Presiden Husni Mubarak di Mesir, hampir sama seperti yang terjadi di Indonesia, para demonstran Mesir berjalan kaki menyusuri jalan ruang-ruang kota di Kairo dan berkumpul pada nodal-nodal tertentu sebelum akhirnya berkumpul di ruang terbuka yang sangat luas yaitu At Tahrir Square. Walaupun tidak bisa dikatakan secara langsung bahwa tata ruang yang seperti ini berpengaruh besar terhadap politik, namun paling tidak tata ruang dalam hal ini menjadi salah satu media dalam mempengaruhi situasi politik di suatu negara.

Anda mungkin juga menyukai